)Scene Two; Junior High School.

"Mako-chaaaaan," teriak seorang bocah berambut blonde dan berbadan pendek— shota lebih tepatnya. Ia berlari menuju Makoto sambil merentangkan lebar kedua tangannya. Makoto yang mendengar seseorang memanggilnya pun berbalik badan dan tersenyum.

"Oh Nagi— " ucapannya terpotong ketika Nagisa dengan erat memeluk pinggangnya dan menggosok-gosokkan kepalanya di dada Makoto yang bidang, "—sa. Tumben sekali kau tidak berangkat bersama Rei?"

Nagisa kemudian melepas pelukannya dan tersenyum lebar. "Kau sendiri? Dimana Haru-chan yang paaaling kau cintai itu? Kau bilang akan terus mengekorinya dan memikirkannya di setiap detik dalam hidupmu, bukan begitu?" Nagisa mengedip-ngedipkan matanya dengan innocent.

"Tentu saja! Aku juga adalah sahabat yang paaaling dicintainya. Dia tidak bisa hidup tanpa aku," Makoto berkacak pinggang dengan bangganya, "dan—" dia menjitak kepala Nagisa pelan, "—jangan panggil dia seperti itu. Aku lagi yang akan kena marah nanti" Makoto mendengus.

Nagisa memijati bagian kepalanya yang dijitak Makoto, "heh, kenapa? Kau sendiri tidak ada masalah dengan aku yang memanggilmu seperti tadi" Nagisa menggembungkan pipinya persis seperti anak kecil yang sedang ngambek.

'Aku larang pun kau tidak akan menggubrisku' batin Makoto. "Baiklah kalau begitu, jangan panggil aku Mako-chan lagi" Makoto meminta dengan suara lantang.

"Tidak mau! Nama itu cocok denganmu, Mako-chan," Nagisa menekankan panggilan Makoto dengan nada seimut mungkin.

'Benarkan,' Makoto sweatdrop. "Itu sama sekali tidak pantas untuk aku yang macho ini," ujar Makoto.

"Baiklah" Nagisa bergestur seolah dia sedang berpikir keras. "Aha! Mako-chan-kun kalau begitu," Nagisa terkekeh.

.

"Nagisa, kau gila" Makoto memijat-mijat dahinya.

"Hmm, bagaimana dengan Mako-chan-kun-san?" Nagisa memberikan pilihan lain dan mengatupkan kedua tangannya seraya memohon persetujuan Makoto dengan kedua matanya yang berkelip-kelip.

.

.

Makoto menghembuskan napas panjang dengan beratnya. "Tapi aku serius penasaran, kenapa Rei tidak berangkat bersamamu?" Tanya Makoto yang memilih untuk mengganti topik setelah tahu kekeraskepalaan bocah didepannya itu.

"Itu dia," Nagisa memasang muka sedih, "dia bilang tidak bisa menjemputku pagi ini. Kau tahu, tindak-tanduk Rei agak berbeda belakangan ini. Dia sedikit— aneh."

"Aneh bagaimana?" Makoto semakin penasaran dan menaikkan satu alisnya.

"Ya, aneh saja. Dia seperti menghindariku, bahkan dia enggan menatapku ketika kita sedang berbicara. Dan—" Nagisa menatap Makoto lekat, "—apa kau tidak sadar? Rei dan Haru sekarang lebih sering berdua. Itu membuatku sedih" Nagisa memandangi tanah tempat ia berpijak, berusaha sekuat mungkin menyembunyikan rasa sakitnya.

"Sudahlah, jangan kau anggap serius. Mungkin dia hanya ingin mencari suasana baru? Haru pun begitu. Seperti biasa pagi ini aku menjemputnya, tapi Mama Haru berkata bahwa dia sudah berangkat ke sekolah lebih awal. Kau tahu, manusia itu mudah sekali bosan. Ya, pokoknya begitu. Sudahlah ayo, kita cepat-cepat berangkat agar bisa bertemu mereka berdua di sekolah" Makoto memaksakan senyumnya dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba Nagisa meraih tangan Makoto dan mencengkeramnya erat.

"Jangan-jangan mereka—"

"Tidak usah berpikiran macam-macam. Ayo!" kemudian Makoto menarik tangan Nagisa. Nagisa kemudian merengek tidak mau seperti anak kecil.

.

Sampai akhirnya mereka melihat gerbang sekolah dan waktu menunjukkan sisa dua puluh menit sebelum bel masuk berbunyi.

"Hei, Mako-chan Mako-chan," Nagisa menoel-noel pundak Makoto, "sebelum masuk kelas, mau mampir ke taman dulu tidak? Aku tebak Rei masih disana, itukan tempat favoritnya" jelasnya.

"Boleh, mungkin saja Haru juga ada bersamanya."

Mereka berdua pun memutuskan untuk pergi ke taman yang berada di samping sekolah. Dari kejauhan tampak dua sosok yang saling berhadapan dan berbincang. Ya, itu adalah Haruka dan Rei. Nagisa dan Makoto secara otomatis memasang muka gembira dan berjalan mendekati mereka, sampai akhirnya—

"Shush, Mako-chan," Nagisa menarik tangan Makoto dengan maksud membuat langkahnya terhenti, "ayo kita kagetkan mereka," ucap Nagisa yang tersenyum jahil.

"T-Tapi aku tidak terbiasa melakukan hal semacam itu," Makoto —yang juga kemudian berbisik— membelalakkan matanya mendengar rencana Nagisa.

"Tenang saja, kan ada ahlinya disini. Cukup ikuti saja aku, ayo." Nagisa kemudian mengendap-endap dengan Makoto yang berlari-lari kecil mengikuti dibelakangnya. Mereka kemudian bersembunyi dibalik pohon besar nan rindang yang berada sekitar tiga meter dari tempat Haruka dan Rei sekarang berada. Nagisa kemudian menyampaikan kepada Makoto rencana berikutnya.

"Setelah hitungan ketiga, kau keluar dari sisi kanan dan aku keluar dari sisi kiri kemudian kita kagetkan mereka bersama-sama. Kau siap?" Nagisa meyakinkan Makoto bahwa rencananya itu akan berhasil, Makoto kemudian dengan tegas menganggukkan kepalanya.

"Satu… Dua… Ti—"

"Aku menyukaimu. Maukah kau berkencan denganku?"

.

.

.

Angin berhembus pelan bersama dengan kesunyian taman yang tidak wajar. Suara Rei beberapa detik yang lalu membuat kedua lelaki dibalik pohon itu berdiri kaku sembari mengatupkan bibirnya erat— terdiam. Hanya jantung mereka yang berdetak lebih kencang bahkan seakan dapat terdengar satu dengan yang lain. Meskipun sakit, tapi keduanya memilih untuk menanti seseorang menjawab pertanyaan dari lelaki yang sangat dicintai Nagisa itu.

"Tentu saja aku mau."

Dari tempat Makoto sekarang berada, dia bisa melihat senyum terpatri di wajah Haruka setelah menerima pernyataan cinta Rei, senyum yang tidak pernah sekalipun diperlihatkan kepadanya ketika mereka berdua bersama.

Kedua lelaki yang berada di balik pohon —yang tadinya ingin memberikan kejutan dan malah mendapatkan kejutan yang lebih tidak terduga— berusaha untuk tetap berpijak diatas tanah meski kedua kaki mereka melemah. Nagisa menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun meski air mata yang ia coba bendung tidak dapat lagi tertahan. Bintang-bintang yang selalu berkilauan di mata bocah itu pun makin lama meredup dan kemudian— mati.

Sedang bocah lelaki satunya yang berumur lima belas tahun itu kemudian mengepalkan erat tangannya, juga mengurungkan niatnya untuk memberikan kejutan— dia yang tadinya berlari-lari kecil kemudian memutuskan berhenti menjalankan tugasnya sebagai 'sahabat kecil' Haruka—

—dan patah hati.

— u —

)Scene Three; Senior High School part 1.

Satu tahun berselang setelah kejadian itu. Ya, umur Makoto sekarang menginjak enam belas tahun. Dan selama itu juga ia berusaha untuk tidak berurusan dengan Haruka, bahkan berbicara kepadanya pun tidak. Ketika Mamanya bertanya kenapa dia sudah tidak pernah menjemput Haruka lagi, Makoto hanya menjawab bahwa dia tidak ingin terlambat ke sekolah. Dia memfokuskan dirinya terhadap pelajaran dan sekolahnya dengan harapan mendapat prestasi yang tinggi— dan tercapai. Di majalah dinding sekolahnya tertempel daftar siswa-siswa terpopuler saat ini, dan Makoto menduduki peringkat ketiga atas prestasinya. Tentu saja mantan sahabat kecilnya berada di tingkat pertama, dia memang selalu populer— selalu. Sedang peringkat kedua diduduki seseorang bernama Matsuoka Rin, teman terdekat Makoto yang sekarang.

Selain untuk menyita perhatian guru akan semangatnya dalam belajar, tujuan Makoto yang utama adalah untuk membuang Haruka dari pikirannya dengan memfokuskan diri pada bidang yang lain— sebisanya, semampunya. Kelulusan sekolah terjadi tidak lama setelah kejadian di taman yang mematahkan dua hati sekaligus itu. Makoto sendiri tidak berangkat di hari perpisahan, dia bahkan tidak tahu dimana Nagisa dan Rei sekarang. Namun meskipun enggan, Makoto sekali lagi berada di sekolah yang sama dengan Haru. Tentu saja, Mama mereka berdua yang memaksa. Lagi pula sekolah mereka yang sekarang memang sekolah terfavorite, jadi Makoto pun akhirnya setuju.

"—koto!" Makoto menoleh ke sumber suara, dilihatnya lelaki berambut merah yang mungkin sudah sedari tadi duduk disampingnya itu menggeram dan menampakkan gigi-gigi hiunya yang runcing.

"Sejak kapan kau berada disitu, Rin?" Makoto memiringkan kepalanya bertanya.

"Sejak dua melon tumbuh di dada Ama-san sensei. Hah, aku lelah dengan semua ini." Rin memejamkan matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak usah lebay," diikuti Makoto yang memukul lengannya pelan.

"Ya habis, setiap pagi yang aku temui hanyalah kau dengan otak kotormu yang melamunkan Har—"

"Jaga mulutmu, Rin. Dan sekali lagi kau mencoba menyebut namanya, aku pecahkan bolamu," ancam Makoto. Mental Rin menciut otomatis, "dan aku tidak sedang memikirkannya, lihat ini, nilai bahasa Inggrisku tidak sempurna." Makoto menunjukkan secarik kertas dengan nilai ujian tengah semester tertera disana. Dia mendapatkan semua nilai sempurna, kecuali bahasa Inggris. Rin hanya merengus mengingat nilainya jauh mendekati batas kelulusan.

"Kepopuleranmu tidak akan terenggut hanya dengan satu nilai tidak sempurna seperti itu. Dan itu sembilan puluh empat Makoto, sembilan puluh empat! Belajarlah untuk bersyukur" Makoto mengangkat bahunya enteng. Terkadang dia heran bagaimana bisa Rin menduduki kepopuleran tingkat dua hanya karena dia handal di segala bidang keolahragaan. Dan betapa bodohnya —pikir Makoto— ketika murid-murid wanita di sekolahnya berteriak kegirangan di saat Rin terpeleset ke dalam kolam renang atau jatuh waktu menggiring bola. Kelakuan fangirls benar-benar di luar akal sehat dan batas kendali, pikir Makoto.

Ting tong teng tong. Tong teng ting tung.

'Perhatian kepada seluruh siswa, moving class akan dimulai hari ini. Dimohon menyesuaikan dengan jadwal yang telah diberitahukan sebelumnya. Sekali lagi, perhatian kepada seluruh siswa, moving class akan dimulai hari ini. Dimohon menyesuaikan dengan jadwal yang telah diberitahukan sebelumnya. Terima kasih.'

Makoto mendesau, "hah, menyusahkan saja."

"Apa boleh buat, kan? Ayolah berdiri, kita harus berburu tempat duduk tahu," ajak Rin yang telah berdiri sembari jalan-di-tempat, merasa tergesa. Makoto hanya bisa mengeluh dan menggendong tasnya kemudian berjalan dibelakang Rin. Pelajaran pertama adalah matematika di kelas 1-C yang kebetulan tidak jauh dari kelas mereka, 1-A. Namun di ambang pintu ketika hendak keluar dari kelasnya, Makoto melihat Haruka yang sedang duduk di depan kelas 1-B, sedang bersenda gurau bersama teman-temannya. Dengan sigap Makoto pun mencengkeram seragam Rin dan menariknya kembali ke dalam kelas, Rin tersungkur jatuh kebelakang.

"Adududuh, apa-apaan sih kau Makoto!" Rin dengan susahnya berdiri sambil memegangi pantatnya yang sakit.

"K-Kenapa… K-Kenapa ada Haru di kelas sebelah?! D-Dia kan anak kelas 1-E?!" dengan napas yang tidak teratur, Makoto bertanya.

"Sekarang aku mulai ragu apa benar kau adalah murid terpintar di sekolah ini Makoto," Rin facepalm, "ya mungkin saja kan pelajaran pertama Haru ada disana. Apa otakmu menggelinding setiap kali melihat Haru, HA?!" bentak Rin yang mulai khawatir dia tidak bisa mendapat tempat duduk di paling belakang. Makoto pun acuh tak acuh, dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya sampai di kelas sebelah yang hanya beberapa meter tanpa disadari oleh Haru. Mendadak dia memegangi kedua pundak Rin dan menelan ludah dengan susahnya.

"Ayo, kita putari sekolah ini," pinta Makoto.

"HAAAAA?!"

— u —

Bel pulang sekolah pun berbunyi, dan semenjak tadi Rin tidak mengucapkan sepatahkatapun pada Makoto. Wajar saja, dia diajak berlari mengelilingi sekolah setiap pergantian pelajaran hanya untuk menghindari pertemuan Makoto dengan Haru. Perkataan terakhir Rin yang diingat Makoto adalah 'seharusnya kau mengganti namamu menjadi Makoto Tachicken'. Yang benar saja.

Makoto mulai mengepaki barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas sampai salah satu temannya berteriak, "Makoto, kau ditunggu Haruka diluar!"

—dan dilihatnya Haru yang bersender di pintu kelasnya sambil melipatkan kedua tangannya di dada.

.

Sesaat jantungnya berhenti berdetak.

Pikirannya penuh dengan segala macam hal-hal aneh seperti 'itu benar Haru yang mencariku? Haruka Nanase kan? Apa aku melakukan hal yang salah tadi? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku keluar lewat jendela untuk menghindarinya?' dan lain sebagainya. Akhirnya setelah memasuk-keluarkan tempat pensilnya selama lima menit dan menyadari bahwa dia berada di lantai satu sekolahnya —tidak mungkin baginya untuk melompat keluar jendela— diapun berjalan keluar dan memutuskan untuk menemui Haru.

"Kau tidak bisa lebih lama lagi?" itulah kalimat —ejekan— pertama yang Haru ucapkan setelah tidak berbincang dengan Makoto selama lebih dari satu tahun, "pulang bersamaku."

"Ano— kenapa— aku— harus— pulang bersamamu?" Makoto bertanya dengan canggungnya, tidak berani menatap Haruka dan hanya bermain dengan jari-jarinya.

"Aku tidak mengharuskan, sih. Tapi mama kita yang meminta. Mereka memintaku untuk pulang bersamamu dan katanya kau diminta mampir dulu ke rumahku," kata Haru santai, "jadi, kau mau pulang sekarang tidak?" Haruka memutar kedua bola matanya. Makoto hanya mengangguk lemah.

Dia merasa— aneh. Keadaan diantara mereka benar-benar canggung, bahkan sunyi senyap. Seakan angin memilih untuk tidak berhembus diantara mereka dan binatang-binatang bersayap berhenti terbang. Ini bukan pertama kalinya Makoto berjalan dibelakang Haru, mengekor dibelakangnya. Tentu saja hal ini mengingatkannya pada masa lalu. Dia tidak mungkin lupa bahwa punggung yang ia pandangi sekarang adalah punggung yang sama milik orang yang —masih— ia cintai dulu. Bahkan waktu juga masih terasa berjalan lebih cepat saat mereka bersama—

"Tadaima"

—sampai dia tidak sadar bahwa kakinya sudah berpijak di lantai rumah Haru.

"E-Eh? Tadaima," ucap Makoto gagap. Dilihatnya Haru yang langsung berjalan ke ruang tengah dan duduk tanpa mempedulikannya. Mama Haru keluar dari ruang tengah dan menyambut kedatangannya.

"Akhirnya! Makoto, lama tidak bertemu. Tinggimu sudah melebihi Mama," ujar Mama Haru yang langsung memeluknya rindu, Makoto tersenyum lembut menanggapinya.

"Loh, Mama? Kenapa ada disini?" tanya Makoto yang kemudian melihat Mamanya keluar menyambutnya.

"Akan Mama jelaskan nanti. Sekarang kau masuk dan makan dulu, Mama Haru sudah memasakan makanan kesukaanmu."

.

Dan disinilah Makoto bersama tiga orang yang lain, menyantap makan siang di atas meja persegi empat besar. Sesekali Makoto melirik Haru yang sedang makan dengan lahap. 'Uh, ikan lagi' batinnya kemudian.

Setelah selesai makan, Mamanya menjelaskan semuanya.

"Jadi satu minggu kedepan akan diadakan reuni di SMA Mama dan Mamamu yang dulu. Juga kami telah bersepakat untuk pergi berlibur setelahnya sehingga Papa Haru dan Papamu serta kedua adikmu akan ikut bersama kami. Tentu saja kami ingin sekali mengajak kalian berdua, tapi sayangnya kalian tidak bisa membolos sekolah begitu saja bukan?" jelas Mama Haru pada Makoto.

"Lihat koper yang ada disana, didalamnya sudah ada baju-bajumu dan peralatan penting lainnya. Karena Haru sudah setuju, mulai hari ini kamu akan menginap di rumah ini bersama dia tentunya. Mama tidak tega meninggalkanmu sendiri di rumah," dengan senyuman innocent Mama Makoto melanjutkan penjelasan Mama Haru.

Makoto melongo. Kemudian tersadar dan—

—tersedak. Dia cepat-cepat berlari mengambil air minum. Mama Haru dan Mama Makoto hanya tertawa usil, sedangkan Haru masih memasang muka poker face-nya. Setelah sedikit tenang kemudian Makoto bertanya.

"Apakah kalian memberikan pilihan padaku untuk tidak setuju disini?"

"Tentu saja— tidak. Toh kami sudah akan berangkat sebentar lagi," jawab Mama Makoto masih dengan senyum santainya.

"Maafkan kami Makoto, sebenarnya kami ingin memberitahumu dari beberapa hari yang lalu. Tetapi sangat sulit sekali untuk membujuk Haru agar setuju dengan semua ini. Salahkan saja dia, Mama rela" sambung Mama Haru sambil menepuk-nepuk pundak Makoto.

'Yang benar saja aku menyalahkan Haru… menatapnya pun aku tak mampu. Dan sekarang aku harus tinggal berdua dengannya?!' batin Makoto yang sekarang menyenderkan kepalanya di dinding, mengasihani nasibnya sendiri.

.

.

Makoto dan Haruka kemudian membantu Papa mereka memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil. Kedua adik Makoto melambai-lambaikan tangan mereka dari dalam mobil. Mama Makoto kemudian menurunkan kaca mobil dan berkata, "jaga rumah baik-baik ya Makoto, Haru. Sampai berjumpa satu minggu lagi" ucapnya setengah teriak.

'Sampai bertemu di surga, Ma' batin Makoto yang masih melambaikan tangannya, melepas mereka pergi.

Beginilah akhirnya, kecanggungan kembali terasa setelah mobil lenyap dari pandangan mata. Dan sepertinya, Makoto harus kembali menjalankan tugasnya sebagai 'sahabat kecil' Haruka—

—dengan berusaha menjauhkannya dari kata kesepian, dimulai hari ini.

to be continued

A/N;

oyz.

jam setengah lima pagi disini by the way, dan akhirnya selesai.

entah kenapa di chapter ini Ai suka banget sama karakter Rin dan Mama mereka berdua, hohoho. /slaps.

maaf banget pokoknya kalau banyak typo, merem melek nih ngetiknya ;; nggak sempet full edit juga.

kalau dilihat sih, satu chapter lagi kayaknya selesai. yeee.

disini lack banget interaksi makoharu-nya hueee. ;; tapi chapter berikutnya janji bakalan fluff makoharu. o u o

enjoy reading guys!1! /tidur.

p/s; tolong acuhkan saja bunyi bel sekolahnya. q A q