Chaos and cosmos.

Kekosongan dan keteraturan. Dualitas mutlak yang kuasanya mencakup seluruh jagad raya ini. Tidak ada satupun materi di alam semesta yang tidak termasuk di dalam lingkup proses ini—dari partikel kehidupan yang terkecil sampai bintang yang berpijar paling terang di luar angkasa. Dari kekosongan lahirlah keteraturan, dan keteraturan akan berakhir kembali menjadi kekosongan. Sebuah lingkaran kejadian yang tidak dapat dihindari oleh apapun dan siapapun yang ada di dalamnya.

Ketahuilah bahwa kurang lebih tiga belas ribu milyar tahun yang lalu, yang ada hanyalah kehampaan. Kemudian terjadilah Ledakan Besar, peristiwa yang menandai kelahiran alam semesta ini, dan dari sanalah muncul partikel-partikel penyokong kehidupan dan kehidupan itu sendiri. Eksistensi makhluk hidup di permukaan yang melapisi inti planet, planet yang mengelilingi bintang, bintang yang mengelilingi inti galaksi, galaksi yang mengelilingi inti dari alam semesta; itulah wujud dari keteraturan yang muncul ketika Ledakan Besar mengakhiri kehampaan. Semua keteraturan pun nantinya akan berakhir kembali kepada kehampaan. Bukankah bintang yang bersinar paling terang sekalipun nantinya akan meledak dan meninggalkan Lubang Hitam menganga di tempat dulu mereka berada?

Manusia pun tidak luput dari proses ini. Mereka yang hidup hanya berjalan di dalam satu kontinum yang sama, yang berujung ke kehampaan dengan melewati proses yang mereka sebut kematian.

Kematian.

Inilah visi mereka, misi mereka, tujuan eksistensi mereka, prinsip mereka, kalimat mereka, bahkan nama mereka. Idealisme yang telah mereka anut dan mereka perjuangkan selama ratusan tahun. Mereka yang mengagungkan kematian bukan karena didasari oleh cinta, benci, kekaguman, apalagi kekejaman. Mereka yang menjadi agen pembawa kematian semata-mata karena tidak ada pilihan lain bagi mereka selain menjaga agar keseimbangan antara chaos dan cosmos tetap utuh pada lingkup kehidupan manusia di atas bumi. Karena manusia adalah makhluk yang berakal sekaligus bodoh, yang memuja dan mengejar keabadian, bahkan berusaha menciptakan keabadian dari ketiadaan.

Lalu siapakah buruan utama mereka? Tidak lain adalah entitas-entitas yang memiliki eksistensi khusus di muka bumi. Entitas-entitas yang bagi mereka menyalahi segala hukum dan aturan yang mereka jaga dan mereka pegang teguh. Entitas-entitas yang menjadi satu-satunya pendorong terbentuknya organisasi mereka. Entitas-entitas yang disebut personifikasi negara.

Selama para personifikasi negara masih ada, mereka tidak akan pernah menyerah. Mereka akan memburu para personifikasi negara sampai ke nafas dan titik darah terakhir. Tidak peduli jika harus mengorbankan harta maupun nyawa. Mereka tidak akan pernah mengasihani dan mereka tidak akan pernah mengampuni. Mereka tidak akan pernah berhenti.

Karena mereka adalah Kematian.

.

.

Mors venit velociter quae neminem veretur,

Omnia mors perimit et nulli miseretur.(1)

.

.

Axis Powers Hetalia © Hidekaz Himaruya

.

Bhinneka Jayawardhana © skadihelias

.

DEMISE: Concept © Spice Islands

DEMISE: Moskow © skadihelias

.

Historical AU; character death; blood/gore; multiple OCs

.

.

Moskow, Januari 1969.

Suara desis kertas yang melintasi lantai di bawah pintu membuat seorang laki-laki muda menghentikan kegiatannya.

Selama beberapa detik ia tidak bergerak, matanya menatap waspada ke arah pintu kamar apartemennya, menunggu-nunggu jika ada sesuatu yang akan mengikuti kertas itu—entah langkah seseorang atau bahkan berondongan peluru. Seluruh otot tubuhnya menegang, bersiap-siap untuk melompat keluar jendela jika dibutuhkan, tidak peduli dinginnya angin musim salju Rusia yang bisa membekukan tulangnya di luar sana. Jam dinding di atas pintu berdetak seirama dengan detak jantungnya, terdengar begitu keras di tengah keheningan. Ketika tidak terjadi apapun, laki-laki itu meletakkan Makarov semi-otomatis yang sedang dibersihkan dan diisinya dengan hati-hati di atas tempat tidur.

Dengan beberapa langkah yang singkat dan tanpa suara, laki-laki itu menyeberangi kamarnya, menghampiri kertas yang tergeletak diam di atas lantai. Dipungut dan dibaliknya kertas itu. Tiga baris kalimat singkat tertulis di sana dengan tinta berwarna hitam dalam aksara cyrillic yang tampak familiar di matanya.

Ilyin mengacau. Saat ini dia ada di tangan Andropov.

Tunda tugasmu dan ambil alih pekerjaan ini.

Jangan sampai gagal, tovarishch.(2)

Alis laki-laki itu berkedut dan matanya memicing—mengiringi decakan penuh kekesalan yang keluar dari balik bibirnya. Diremas-remas dan dilemparkannya kertas itu ke dalam perapian, dimana kobaran api dengan cepat melahapnya habis menyisakan abu. Pupus sudah rencana laki-laki itu untuk meninggalkan Moskow dan mencapai Tallinn secepatnya. Seharusnya ia tidak menyerahkan tugas sepenting ini pada orang lain. Benar-benar tidak bisa dipercaya, gerutunya dalam hati.

Tempat tidur berangka besi itu berderak dan berderit ketika sang laki-laki menghempaskan diri ke atas kasur dalam posisi duduk. Kedua tangannya terkelungkup menutupi wajahnya, mencoba membongkar dan menata ulang rencana yang sudah disusunnya dengan cermat di dalam kepalanya selama hampir tiga tahun. Sekali lagi ia mengutuk kegagalan rekannya dalam hati. Gara-gara kebodohan rekannya itu, ia harus menjalankan tugas yang biasanya membutuhkan perencanaan bertahun-tahun dalam waktu beberapa hari saja. Meskipun tugas itu pada awalnya memang direncanakan untuk dijalankan olehnya, ia sudah menyerahkan tanggung jawab atas tugas itu kepada rekannya beberapa bulan yang lalu. Lalu si bodoh itu gagal dan membuatku harus menyelesaikan tugasnya di samping tugasku sendiri.

Satu jam berlalu tanpa suara maupun gerakan sebelum laki-laki itu akhirnya berdiri. Gurat-gurat kekesalan sudah terhapus dari wajahnya, hanya meninggalkan tekad dingin di matanya yang bersinar tajam.

Gerakan tangan laki-laki itu terlihat lebih tenang dan teratur ketika ia membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di atas tempat tidur dan meja tulisnya. Kemudian dibakarnya sebagian besar dokumen-dokumen itu di perapian, hingga abunya bercampur dengan abu surat yang baru saja diterimanya. Selama beberapa detik setelahnya, laki-laki itu memandangi beberapa lembar dokumen yang tersisa dengan ragu-ragu. Kertas-kertas yang dikopinya langsung dari markas besar itu berisikan arsip tugas seorang agen abad pertengahan yang menjadi panutan dan teladannya sejak kecil. Pemuda legendaris yang menurut catatan arsip telah berhasil menghabisi hampir semua personifikasi di benua Eropa, sebelum akhirnya meregang nyawa pada usia muda di tangan Kekaisaran Rusia. Ia merasa sayang untuk membakar kertas-kertas yang begitu sering dibacanya ulang itu. Tetapi ia tidak boleh meninggalkan jejak yang dapat menyulitkan rekan-rekannya yang lain. Karena itulah dengan pandangan sedikit menyesal ia akhirnya memasukkan kertas-kertas terakhir itu ke dalam perapian juga.

Sisa pakaian-pakaian dari lemari dan gantungan dilipat dan dimasukkannya dengan rapi ke dalam koper kulit yang sudah tigaperempat penuh. Ia memastikan koper itu terkunci dengan rapat sebelum mengangkat dan meletakkannya di luar pintu kamar yang akan segera ditinggalkannya.

Tak lama, barang-barang miliknya yang tersisa di ruangan itu hanyalah pakaian yang dikenakannya, mantel dan ushanka yang tergantung di sudut ruangan, sarung tangan tebal yang sengaja disisakannya di atas meja tulis, sebuah belati tua bergagang gading dan bersarung kulit di dalam laci, serta pistol yang masih belum berpindah dari atas tempat tidur sejak ia meletakkannya di sana.

Diperiksanya kembali Makarov kesayangannya dengan teliti. Warna hitam mengkilat serta lambang bintang di gagang coklatnya menatapnya balik. Ia sudah mengisi penuh senjata itu, tanpa menyisakan satu butir pun peluru cadangan. Delapan peluru. Delapan tembakan yang mestinya cukup untuk menyelesaikan tugasnya. Tidak, delapan peluru itu HARUS cukup.

Ia menyarungkan pistol itu di pinggang kirinya setelah memastikan bahwa pengamannya telah terpasang. Kemudian ia mengambil belati warisan keluarganya dan mengikatkan sarungnya di paha kanan. Dikenakannya sarung tangannya sambil berjalan ke arah tempat mantel dan topinya digantung, lalu dikenakannya pula kedua benda itu. Ia memeriksa dirinya sekali lagi, sampai ia benar-benar yakin bahwa tak akan ada seorang pun yang mencurigainya.

Laki-laki muda itu menutup mata dan menarik nafas panjang beberapa kali. Di dalam hatinya ia mengucapkan kata keramat yang telah diajarkan kepadanya semenjak ia bahkan belum bisa berbicara. Kata keramat yang akan menuntunnya untuk menyelesaikan tugas yang dihibahkan kembali ke tangannya hari itu.

Di luar jendela, seluruh kota berwarna putih tertutup salju yang tak kunjung berhenti.

.

.

Moskow, Desember 1967.

"Hei, Vanya, akhirnya kau muncul juga! Ke mana saja kau akhir-akhir ini?"

Seruan keras Nikolai sang bartender, aroma tajam alkohol, serta udara hangat yang bertolak belakang dengan salju dan angin kencang yang bertiup di luar pintu menyambut Ivan Braginski ketika laki-laki bertubuh tinggi besar itu memasuki bar kesukaannya. Beberapa pengunjung tetap bar itu—yang sudah mengenal Ivan dengan baik—melambaikan tangan untuk menyapanya. Seperti biasanya, bar yang terletak di pinggiran kota Moskow itu tampak tidak terlalu ramai, hanya dikunjungi oleh segelintir orang yang sudah berstatus pengunjung tetap selama beberapa tahun.

"Selamat malam, Kolya," Ivan tersenyum kepada bartender yang sudah lama dikenalnya itu. "Kau tahu sendiri aku sibuk dengan pekerjaanku akhir-akhir ini. Belum lagi aku harus menemani kakakku yang sudah dua minggu ini datang berkunjung dari Ukraina. Kau tahu sendiri kakakku seperti apa—bisa-bisa dia tersesat sampai Petropavlovsk-Kamchatsky kalau kutinggal sendiri."

"Aha!" serobot Lev—salah seorang pengunjung tetap juga—sambil melingkarkan lengannya ke bahu Ivan, "Gadis cantik yang tubuhnya luar biasa itu kan? Sekali-sekali ajaklah kakakmu itu kemari lagi. Lalu kenalkan aku padanya."

Senyum Ivan melebar sampai mulut dan matanya membentuk tiga bulan sabit sempurna yang menghiasi wajahnya. Diarahkannya senyum yang tidak pernah gagal membuat orang-orang merinding itu kepada Lev sambil menepis lengan laki-laki itu dari bahunya.

"Boleh," ujar Ivan sambil tertawa. "Setelah itu, kau pilih Mosin-Nagant, Dragunov, atau Tokarev? Atau mungkin kau lebih suka pipa tua kesayanganku, hmm?"

Lev langsung mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan mengarah ke Ivan—pertanda menyerah. "Baiklah...baiklah... Aku kan hanya bercanda," katanya sambil mundur beberapa langkah. "Bagaimana kalau kutraktir kau satu botol, lalu kau lupakan soal pertanyaanku tadi?"

Ivan kembali tertawa, namun dengan nada yang jauh lebih ramah dan hangat. "Aku tahu ada alasan mengapa aku belum membunuhmu sejak dulu, Lev," kata Ivan sambil melangkah riang menuju salah satu bangku kosong di hadapan Nikolai. "Baiklah. Akan kuterima tawaranmu. Satu botol vodka terbaikmu untukku, Kolya! Dan berikan tagihannya kepada Lev kita ini."

Suara tawa Nikolai dan erangan Lev mengikuti permintaan Ivan. Sementara sang bartender pergi untuk mengambilkan pesanannya dan Lev menghempaskan diri ke bangku di sebelahnya sambil menggerutu, Ivan menyapukan pandangan ke seluruh ruangan.

Ada yang tidak biasa di bar hari itu. Ivan memandang ke sekelilingnya dengan teliti, mencoba mencari keganjilan yang dirasakannya sejak memasuki bar tadi. Pandangannya terhenti pada meja yang berada di sudut ruangan, nyaris tersembunyi oleh tiang besar yang menopang langit-langit bar. Di sana, sekelompok pemuda berwajah oriental duduk mengelilingi meja sambil membicarakan sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh telinganya. Ivan memicingkan matanya. Rupanya inilah kejanggalan yang dirasakannya tadi—kehadiran orang-orang yang bukan 'miliknya' di ruangan itu.

Pemuda-pemuda itu tampak kurus dan lelah, postur yang tidak dapat disembunyikan oleh mantel tebal yang mereka kenakan untuk menahan udara dingin. Kulit mereka yang kuning langsat atau kecoklatan tampak kusam dan layu di bawah temaram cahaya lampu bar. Pandangan mereka nanar, penuh dengan kecurigaan. Sesekali mereka melayangkan pandangan waspada ke arah pintu atau jendela, seolah menunggu kedatangan kejutan yang tidak diinginkan.

Tiba-tiba mata salah satu dari kumpulan pemuda itu menangkapnya, membuat Ivan terperanjat. Sepasang mata cokelat gelap yang tajam dan keras—terpatri di atas wajah tanpa guratan, tanda orang muda yang jarang tersenyum—terpaku pada mata ungunya. Pemilik mata itu berkulit paling pucat di antara pemuda-pemuda yang lain, meskipun garis wajah asing dan rambut warna hitamnya seragam dengan rekan-rekannya.

Selama beberapa detik mereka saling bertatapan—Ivan dengan wajah penuh rasa keingintahuan dan pemuda itu dengan ekspresi yang sama sekali tidak terbaca.

"Ini dia!" Seruan Nikolai diiringi dengan suara botol yang beradu dengan kayu membuyarkan perhatian Ivan. "Satu botol vodka terbaikku untuk kawan kita Ivan Braginski."

Ivan tertawa. Satu lirikan ke sudut ruangan memberitahunya bahwa pemuda itu telah mengalihkan pandangannya dari Ivan dan kembali bercakap-cakap dengan kelompoknya. Memutuskan untuk sejenak melupakan sekelompok pemuda asing di sudut bar, Ivan membiarkan Nikolai menuangkan segelas minuman untuknya. Nanti sajalah ditanyakannya mengenai pemuda-pemuda itu. Malam ini ia ingin bersenang-senang minum bersama kawan-kawan lamanya.

.

.

Moskow, Januari 1968.

"Artyom?"

"Hmm? Ada apa, Vanya?"

"Sebelumnya kuingatkan, jangan terlalu cepat menoleh. Aku mau tanya—siapa pemuda-pemuda Asia di pojok itu? Aku melihat mereka sejak dua minggu lalu waktu aku ke sini setelah sekian lama, tapi aku terlalu asyik minum dengan kalian—sampai-sampai lupa menanyakan tentang mereka."

"Oh, mereka... Aku sebenarnya kurang tahu, tapi kudengar dari Igor beberapa hari yang lalu kalau dua atau tiga dari mereka adalah pelajar dari Indonesia—kau tahu kan, negara di Asia Tenggara yang banyak pulaunya itu?—yang dikirim ke sini pada masa Sekretaris Jenderal Khrushchev. Sedangkan sisanya—"

"Ada apa? Kenapa dengan sisanya?"

"Yah, aku tidak tahu apakah kau mengikuti kabar internasional dua atau tiga tahun yang lalu. Aku sendiri pun hanya tahu karena aku bekerja di kantor berita."

"—Oh, penerima suaka politik?"

"Begitulah. Mantan kader-kader muda Partai Komunis Indonesia. Berarti kau tahu situasi di sana pada saat itu, kan?"

"Kurang lebih. Aku tidak tahu detilnya, tentu saja. Tapi aku mendengar banyak kabar burung."

"Aku pun sama. Bagaimanapun juga, apa yang sudah kudengar—meskipun sedikit—sudah cukup untuk membuatku merasa...yah, aku tidak bisa memutuskan antara merinding, marah, atau kasihan. Aku berani bertaruh babi-babi kapitalis itu yang menjadi dalang di balik kejadian ini. Brengsek..."

"Tapi...kejadian itu kan sudah hampir tiga tahun berlalu. Menurut pengamatanku, pemuda-pemuda yang menerima suaka politik itu baru tiba di negara ini kurang dari sebulan yang lalu. Apakah aku salah? Mengapa mereka butuh waktu lama sekali untuk mencari suaka politik ke Uni Soviet? Logikanya kan negara ini seharusnya jadi pilihan pertama bagi penganut-penganut komunisme di Indonesia yang melarikan diri."

"Vanya, coba pikirkanlah baik-baik. Pembersihanwalaupun aku lebih suka menyebutnya dengan pembantaianterhadap segala unsur komunisme di negara itu terjadi dalam kurun waktu kurang dari setahun. Ada yang memperkirakan bahwa korban yang jatuh sekitar dua ratus ribu orang, tapi menurutku itu omong kosong. Pada saat itu Partai Komunis Indonesia adalah partai komunis terbesar ke tiga di dunia—tepat setelah kita dan Cina. Mereka memiliki setidaknya tiga ratus ribu kader dan dua juta anggota. Tidak mungkin hanya ada korban dua ratus ribu dari semua itu! Waktu yang sangat singkat dan angka korban yang fenomenal, pikirmu bagaimana kondisi anak-anak ini saat itu? Kalau aku jadi mereka, aku tidak akan merepotkan diri dengan membawa terlalu banyak barang atau bahkan uang. Aku akan berlari sejauh-jauhnya walaupun hanya ditemani pakaian yang melekat di badanku."

"Hmm, jadi maksudmu"

"Ya, kurasa penyebab mereka tiba begitu terlambat di negara ini adalah karena mereka mencari suaka politik ke Vietnam dan Cina terlebih dahulu. Dan mungkinentahlahmencari uang di negara-negara yang mereka lewati sebelum mencapai tempat ini. Di negara mereka sendiri dimana musuh berada di segala penjuru dan kawan terlalu takut untuk membantu, pilihan transportasi mereka pasti sangat terbatas."

"...bicaramu semangat sekali, tovarishch. Kalau kulitmu tidak pucat, rambutmu tidak pirang, dan matamu tidak hijau, kau pasti sudah kusangka sebagai salah satu dari pemuda-pemuda Indonesia itu."

"—Kau ini benar-benar tidak tahu cara membaca situasi, ya, Vanya. Bisa-bisanya kau bercanda menanggapi topik seserius ini..."

.

.

"Selamat datang."

Alih-alih sapaan Nikolai, hari itu Ivan disambut dengan kalimat bahasa Rusia yang diucapkan dengan sedikit terbata-bata disertai aksen asing yang kental. Sepasang mata ungu membelalak melihat pemuda yang bertatapan dengannya lebih dari sebulan yang lalu itu sedang sibuk mengelap meja dan membereskan gelas-gelas kosong di atasnya. Pemuda itulah yang telah menyambutnya barusan.

"Kau—"

"Vanya!" panggil Nikolai yang tiba-tiba muncul dari belakang Ivan—tampaknya bartender itu baru kembali dari mengecek gudang. "Kulihat kau sudah bertemu dengan pegawaiku yang baru? Perkenalkan, dia Eka. Sejak tiga hari yang lalu dia bekerja membantuku di sini."

Pemuda itu—Eka—membungkukkan badannya sedikit dengan sopan kepada Ivan. Di bibirnya tersungging senyum tipiswalaupun sinar matanya tetap tak terbaca, sama seperti saat pertama kali Ivan bertemu dengannya. Mungkin itulah senyum komersil versi pemuda yang tidak banyak berekspresi itu.

"Mohon bantuannya mulai hari ini, Tuan...er—"

"Ah," Ivan tersadar dari ketertegunannya, "Namaku Ivan. Ivan Braginski. Mohon bantuannya juga...Eka."

"Kau tampak terkejut." Pernyataan itu diucapkan Nikolai dengan santai ketika Eka telah kembali ke dapur, Nikolai kembali bekerja di balik meja bar, dan Ivan telah duduk di depan bartender itu sambil menyesap segelas vodka.

Ivan mengedikkan bahunya. "Aku cuma tidak menyangka kau akhirnya mempekerjakan seseorang untuk membantumu. Apalagi dia orang asing."

"Sebenarnya dia sudah memintaku untuk mempekerjakannya sejak dua minggu lalu," jelas Nikolai. "Dia sangat butuh pekerjaan, katanya. Awalnya aku menolak sampai beberapa kali. Tapi lama-lama aku kasihan juga. Aku mendengar kabar tentang keadaan anak itu dan kawan-kawannya dari Artyom. Kudengar beberapa temannya juga mendapat pekerjaan di sekitar sini—di toko milik Luka dan di bengkel milik Maxim. Ya sudahlah, akhirnya kuterima. Ternyata kerjanya sangat baik. Memang Eka orangnya tidak banyak bicara dan lebih pelit lagi senyumnya daripada bicaranya, tapi dia rajin dan cekatan. Kau bisa lihat sendiri kan? Seluruh bar ini tampak lebih bersih daripada waktu aku sendirian mengurusnya."

Memang ada benarnya kata-kata Nikolai, tapi Ivan hanya tersenyum pada teman lamanya itu sambil berkata, "Kurasa itu hanya perasaanmu, Kolya."

.

.

Moskow, Juni 1968.

Ivan mengernyitkan alis menatap pemuda di hadapannya.

Eka menatap balik sambil memicingkan matamenantang Ivan untuk berkomentar.

"Sweater setebal itu? Di bulan Juni? Kau serius, Eka?"

Yang ditanya hanya mendengus keras dengan kesal. "Aku kedinginan."

Kali ini Ivan mengangkat alisnyaskeptis. "Ini hampir musim panas. Di luar sana hawanya tujuh belas derajat, Eka," jelasnya perlahan, seperti sedang menerangkan sebuah fakta sederhana kepada seorang murid taman kanak-kanak.

"Lalu?" balas Eka sengit sambil mengibas-ngibaskan lap lusuh yang sedang digunakannya untuk membersihkan meja. "Kau sudah lupa kalau aku berasal dari negara tropis, Vanya? Di sana hawa tujuh belas derajat hanya bisa ditemukan di dataran tinggi. Dan bagi kami, ini sudah cukup dingin."

Kekesalan Eka mengundang sebuah senyum geli di wajah Ivan. "Entah bagaimana kau bisa bertahan di negara ini bulan-bulan kemarin," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala."

"Cerewet."

Ivan tertawa. Tidak terbayang olehnya beberapa bulan lalu kalau dirinya akan bisa mengakrabkan diri dengan pemuda asing di hadapannya itu. Bahasa Rusia Eka sudah jauh lebih baiktermasuk kosakata umpatannya yang semakin bervariasi, entah siapa yang mengajarkan. Meskipun pemuda itu masih belum bisa disebut ramah atau periang (dan selamanya pasti tidak akan pernah), ia semakin sering bertukar cakap dengan Ivan.

"Hei, Eka," panggil Ivan. "Kenapa kau tak beristirahat barang beberapa menit? Ambillah gelas dan temani aku minum. Toh bar sedang sepi sekarang."

Pengunjung bar memang sering sedikit menipis menjelang musim panas. Orang lebih memilih untuk menghabiskan waktu di luar daripada berada di dalam bar yang bagi mereka terasa sempit dan panas di musim itu. Hari itu hanya ada Ivan dan tiga orang lain di dalam sanabelum termasuk Eka dan Nikolai.

Eka berhenti untuk berpikir sejenak.

"Aku minta ijin pada Kolya dulu," kata pemuda itu akhirnya.

.

.

"Seperti apa Indonesia di musim panas?" tanya Ivan tiba-tiba suatu hari.

Eka tersenyum menanggapinya, "Indonesia hanya punya panas, Vanya. Pertanyaanmu itu pada hakekatnya hanya menanyakan bagaimana Indonesia secara umum."

Pemuda itu lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Matanya menerawang dan senyum itu tetap terukir di bibirnya, seperti setiap kali ia ditanya tentang negaranya.

"Yang paling kuingat dari Indonesia adalah betapa biru laut di sana dibandingkan dengan laut-laut Rusia yang suram ini. Laut adalah elemen terpenting dalam kehidupan di negara kami. Pelaut-pelaut kami handal. Armada-armada nenek moyang kami menaklukkan hampir seluruh Asia Tenggara lewat laut. Kau tahu kami adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Laut kami hampir dua kali lebih luas daripada daratannya, dan keindahannya pantai-pantai kami tidak tertandingi, Vanya."

Ivan tertawa.

"Kau bisa bilang begitu cuma karena kau orang Indonesia, Eka. Kalau kau orang—misalnya—Spanyol, maka keindahan pantai-pantai Spanyol lah yang tidak tertandingi bagimu."

Eka tidak menghiraukan komentarnya.

"Di Indonesia, warna hijau terlihat di mana-mana sepanjang tahun. Ribuan jenis tanaman tumbuh di negara kami. Pohon, bunga, sayur, rempah, semak, lumutapapun yang bisa kau bayangkan. Bahkan di negara kami ada leluconkalau kau tancapkan tongkat di tanah, maka akan tumbuh pohon. Waktu Belanda menjajah kami, mereka memperbudak rakyat untuk menanam komoditas perdagangan mereka. Heh, mungkin tak ada satu orang pun di Eropa ini yang tahu, tapi dulu negara Belanda bisa menjadi kaya raya terutama karena suburnya tanah di negara kami."

"Bunga matahari juga?" tanya Ivan lagi.

"Kenapa sih kau ini terobsesi sekali dengan bunga matahari?" tanya Eka balik, mengernyit tanpa memandang Ivan. "Ya, tentu saja kami juga punya. Bahkan ibuku"

Mata Eka menutup perlahan.

"Dulu, ibuku menanam bunga itu di halaman kami. Tepat di bawah jendela kamarku. Karena jendela kamarku tepat menghadap ke timur, yang bisa kulihat setiap pagi dari balik jendelaku hanya pantat bunga itu. Tapi aku sering sekali duduk di bawah pohon di pojok halaman rumahku dulu dan memandang bunga-bunga itu. Aku tidak tahu kenapabunga matahari bahkan bukan bunga kesukaankumungkin karena bunga itu begitu besar dan mencolok, mau tak mau pandanganku selalu teralih padanya."

Ivan mendengarkan dengan penuh perhatian. Baginya bunga matahari juga mengingatkan pada kehangatan keluarga. Ibubukan, wanita yang telah melahirkan jasadnyalah yang dulu mengenalkannya pada bunga besar berwarna kuning itu.

"Ibumu"

"Sudah tidak ada."

Mata coklat gelap itu mengeras, penuh kemarahan.

Ivan terdiam, tak bertanya apa-apa lagi.

.

.

"Apa yang terjadi pada saat itu?"

Tanpa perlu diperjelas lagi pun Eka langsung memahami pertanyaan Ivan hari itu. Pemuda itu berhenti mengelap dan menyusun gelas-gelas kosong yang baru saja selesai dicucinya. Matanya langsung menatap tajam mata Ivan, ekspresinya sedatar dan sekosong dinding yang baru dicat.

"Seperti neraka di atas bumi," suara itu terdengar monoton, seperti orang yang sedang membacakan ramalan cuaca. "Setidaknya bagi kamikader, anggota, dan simpatisan PKIseperti itulah keadaannya. "

"Mereka memasuki rumah-rumah kami dengan paksapagi, siang, malam. Orang-orang yang sebelumnya menyapa kami dengan senyuman berubah menjadi serigala-serigala yang kelaparan. Atas nama kebenaran, atas nama revolusi, atas nama bangsa, atas nama agamabegitulah seruan-seruan mereka. Markas-markas dibakar, petinggi dan aktivis ditangkap, harta benda dijarah. Tidak peduli tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, semuanya diseret ke jalan. Tidak ada pembelaan, tidak ada pengadilan."

"Senapan, pedang, pisau, pentungansenjata apapun yang bisa mereka dapatkan digunakan untuk mencabut nyawa orang-orang kami. Mereka dibariskan di tengah jalan atau lapangan, lalu digorok lehernya satu persatu. Ketika tubuh mereka sudah tergolek lemah di atas tanah pun, serigala-serigala itu tidak berhenti. Pisau dan bayonet ditusukkan berkali-kali ke raga yang sudah sekarat atau bahkan sudah tewasseolah tidak cukup bagi mereka jika kami mati satu kali."

"Mayat-mayat dibiarkan begitu saja bergelimpangan di jalan atau dibuang ke sungai. Tahukah kau bahwa banyak sungai-sungai yang tersumbat saking tingginya tumpukan mayat-mayat itu? Rasanya kemana pun mata memandang hanya ada warna merah dan coklat. Aku melihat darah di mana-mana, Vanyadi atas rumput, aspal, tanah, batu, dinding, bahkan di aliran got dan sungai. Selama berminggu-minggu, bau anyir darah dan bau busuk bangkai memenuhi udara. Bahkan wangi kamboja, melati, dan sedap malam tidak mampu melindungi hidung kami dari aroma itu."

"Pemerintah menyebar fitnah dan dusta tentang kami. Jika kau mendengar tentang kami dari mulut-mulut mereka, pasti kau akan menyangka bahwa kami titisan iblis di atas bumi atau semacamnya. Heh, menggelikan. Siapa iblis yang sebenarnya? Yang menangis memohon ampun atau menyarangkan peluru disertai umpatan alih-alih mendengarkan permohonan itu? Parahnya lagi, yang melakukan ini semua adalah orang-orang yang mengaku hamba Tuhan. Sungguh, jika aku tidak berada di antara semua ini, aku pasti sudah tertawa karena tidak ada lagi lelucon yang lebih lucu daripada ini."

Ivan membiarkan kalimat-kalimat Eka memasuki telinganya. Terbayang olehnya kejadian-kejadian yang pernah dialaminya di masa lampau. Ya, ia juga pernah mengalami hal yang sama, bukan? Beginilah pula cara kaum Bolshevik dahulu pada saat menjatuhkan kekaisaran.

"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Ivan, terlambat menyadari bahwa Eka telah berhenti berbicara dan sekarang sedang melanjutkan pekerjaannyaseperti mesin yang dinyalakan kembali.

"Aku?" tanya Eka tanpa memandang Ivan. "Aku tak mengalami satu goresan pun. Tapi kurasa aku hampir bisa merasakan setiap tusukan dan tembakan, bahkan ketika aku sudah berada ratusan kilometer jauhnya dari tanah airku. Mereka kawan-kawanku, Vanya. Mereka milikku."

Eka tidak menyadari ekspresi terhenyak Ivan ketika mendengar kalimat itu meluncur dari bibirnya. Pemuda Rusia itu mengatur kembali raut wajahnya sebelum Eka sempat menangkap keterkejutannya.

"Lalu...bagaimana kau bisa selamat?"

"Aku berbeda."

"Maksudmu?"

"Aku beruntung."

.

.

Moskow, November 1968.

"Siapa namamu?"

"Ilyin. Viktor Ilyin."

"Putra Ivan Ilyin?"

"Benar."

"Dari siapa kau mendengar tentang aku?"

"Zhenya—maksudku, Yevgeny Bortnik—yang memberitahuku tentangmu. Dia bilang jika aku ingin memperkuat posisiku di dalam DEMISE, aku harus menghubungimu."

"Zhenya terlalu banyak omong. Aku tidak butuh bantuanmu. Rencana ini sudah kuatur dan kusempurnakan selama bertahun-tahun. Uni Soviet milikku."

"Tunggu! Kumohon, ijinkan aku membantumu. Aku berjanji tidak akan membuatmu kecewa. Kau tahu ayahku mati dengan penuh kebanggaan sebagai seorang anggota DEMISE, dan beliau membawa serta Kazakhstan bersamanya. Meneruskan perjuangannya dalam mewujudkan ideologi kita adalah impianku sejak kecil. Kumohon, berilah aku kesempatan."

"—Aku mengerti. Baiklah. Satu kesempatan. Akan kuberikan satu kesempatan saja untukmu, demi menghormati jasa Ivan Ilyin. Jika kau gagal, aku tidak akan menyelamatkanmu. Bahkan kalau perlu akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri."

"Te-terima kasih! Aku akan mengerahkan usaha terbaikku!"

"Apakah kau sudah tahu sasaran kita?"

"Ya. Ivan Braginski. Personifikasi Soyuz Sovetskikh Sotsialisticheskikh Respublik atau Uni Soviet."

"Benar. Dia, dan satu orang lagi."

"Eh? Satu orang lagi? Siapa—"

"Seorang laki-laki berambut hitam yang beberapa bulan terakhir ini sering terlihat bersama Ivan Braginski. Bereskan dia juga."

"A-aku mengerti!"

"Bagus. Aku akan menjelaskan detilnya dan melatihmu sampai waktu yang sudah ditentukan. Selanjutnya semua ada di tanganmu. Jangan sampai gagal."

.

.

Moskow, Januari 1969.

Pada tanggal 22 Januari 1969 di gerbang Menara Borovitskaya—salah satu menara Kremlin Moskow—terjadi percobaan pembunuhan terhadap pimpinan tertinggi Uni Soviet, Sekretaris Jenderal Leonid Brezhnev.

Pelaku dari tindakan ini adalah Viktor Ilyin, 21 tahun, seorang desertir dari Tentara Soviet. Ilyin menembakkan dua pistol Makarov yang dicurinya dari militer ke arah iring-iringan mobil yang membawa Sekretaris Jenderal Brezhnev, Ketua Presidium Nikolai Podgorny, beserta delapan orang kosmonot awak pesawat luar angkasa Soyuz 4 dan Soyuz 5 yang baru saja kembali dari misi mereka. Iring-iringan itu sedang menuju ke Istana Kongres di Kremlin Moskow untuk mengadakan upacara resmi dan perayaan kesuksesan misi para kosmonot tersebut.

Terdapat satu korban jiwa dalam insiden ini, yaitu pengemudi dari salah satu mobil dalam iring-iringan. Beberapa kosmonot mengalami luka ringan, sedangkan Sekretaris Jenderal Brezhnev sendiri yang menjadi target utama tindakan tersebut selamat tanpa luka.

Ilyin yang tertangkap langsung pada saat kejadian menjalani pemeriksaan panjang yang dilakukan sendiri oleh kepala KGB Yuri Andropov. Ia dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah sakit jiwa di Kazan. Menurut sumber, Ilyin berada di rumah sakit jiwa itu sampai ia dibebaskan pada tahun 1990.

Kejadian ini merupakan salah satu contoh news blackout yang dilakukan oleh Uni Soviet, karena berita tentang kejadian ini terkesan ditutup-tutupi dan dijaga dengan hati-hati. Bahkan pada saat pernyataan resmi pers yang dilakukan oleh pemerintahan Soviet dua hari setelah kejadian, detil keterangan yang dibeberkan sangatlah minimal—sampai-sampai jenis kelamin pelaku pun tidak diketahui publik. Keterangan lengkap tentang kejadian ini baru diketahui oleh publik maupun dunia internasional setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.

Namun sekelompok orang tertentu mengetahui kebenaran di balik kejadian ini. Mereka mengetahui bahwa Sekretaris Jenderal Brezhnev bukanlah merupakan target utama insiden tersebut. Tidak ada seorang pun kecuali kelompok ini yang mengetahui bahwa mereka mengirim Viktor Ilyin secara khusus untuk menggantikan seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Tidak ada seorang pun yang akan menyangka bahwa sasaran utama dalam insiden ini sebenarnya adalah seorang laki-laki muda tinggi besar berambut pirang dan bermata ungu yang pada hari itu sedang menyetir salah satu mobil di dalam iring-iringan itu.

Tidak akan ada seorang pun yang mengetahui kebenaran ini, kecuali ia yang menjadi sasaran, para pelindungnya, dan mereka yang memburunya.

.

.

Moskow, Januari 1969.

Mata ungu Ivan terbelalak selama beberapa detik. Kemudian disusul dengan batuk-batuk hebat ketika vodka yang sedang ditenggaknya memasuki saluran yang salah—terkejut mendengar kabar tak terduga yang didengarnya ketika vodka itu sudah setengah jalan masuk ke ujung tenggorokan.

"Berhenti?!" pekik Ivan setelah ia berhasil bernafas kembali.

Eka mengangguk.

"Ya," jawabnya. "Maaf, aku baru sempat memberitahumu hari ini. Sebenarnya aku sudah membicarakan hal ini dengan Kolya sejak seminggu yang lalu. Kau tahu sendiri sudah selama itu juga kau tidak berkunjung ke sini."

Ivan cemberut.

"Jahat sekali," gerutu pemuda Rusia itu. "Kukira aku ini sahabatmu."

"Justru karena itu aku minta maaf, Vanya." Selama berteman dengan Eka, Ivan bisa dibilang belum pernah melihat ekspresi penuh penyesalan seperti itu di wajah Eka. "Aku ingin kau yang paling dulu tahu. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghubungimu. Bahkan Fyodor saja tidak mau memberitahuku."

Vodka di dalam gelas itu kembali ditenggak. Ivan merasa bahwa ia akan lebih bisa menghadapi kabar buruk ini jika ia sudah setengah mabuk.

"Lalu, kau mau ke mana?"

"Spanyol. Aku sudah lama ingin mengunjungi Andalusia," jawab Eka sambil tersenyum. "Lagipula aku sudah bosan dengan udara Moskow yang membekukan ini."

"Benar-benar tak tahu terima kasih pada negara yang sudah bersusah payah melindungimu dari babi-babi kapitalis selama ini."

Pemuda Indonesia itu tergelak—lagi-lagi ekspresi yang cukup langka untuk disebut keajaiban dunia.

"Omong kosong. Aku tahu Uni Soviet sama sekali tak terbebani oleh kedatangan maupun kepergianku. Aku ini cuma satu orang, Vanya. Tak mungkin bisa membuat kesusahan sebesar itu."

Ivan tidak menanggapinya lagi. Hanya berkonsentrasi pada botol vodkanya dengan muka terlipat-lipat.

"Hei, Vanya—" panggil Eka sambil mencolek lengan Ivan yang terbalut mantel cokelat muda kesayangannya.

"Apa?"

"Kau punya waktu luang malam ini?"

"Mungkin."

"Ayo kita merayakan perpisahan kita dengan minum-minum. Aku akan membawa sebotol vodka terbaik Kolya."

"—Baiklah. Di mana?"

"Jam sepuluh di Jembatan Borodinsky."

"Orang gila macam apa yang mengajak minum-minum di Jembatan Borodinsky pada jam segitu?!" seru Ivan sambil memutar bola matanya.

"Ah, kau ini cerewet sekali. Tidak apa-apa kan? Toh aku suka sekali tempat itu. Salah satu tempat terfavoritku di Moskow, bahkan."

"Terserah kau saja, lah."

"Terima kasih, Vanya. Jangan sampai terlambat!"

.

.

"Jam berapa sekarang?"

Suara Eka membuyarkan lamunan Ivan. Entah sudah berapa lama mereka berada di dekat jembatan—mengobrol sambil menyesap vodka perpisahan mereka. Ini salah satu ide terburuk di tahun ini, pikir Ivan. Ia bisa merasakan tanda-tanda flu yang mulai terbentuk di pangkal lubang hidungnya. Sekarang hanya tinggal penyesalan karena ia tidak berusaha meyakinkan Eka untuk melakukan pesta perpisahan di tempat yang lebih hangat.

"Hampir jam dua belas, kurasa?" jawab Ivan dengan suara yang terdengar agak serak.

Eka tidak berkata apa-apa lagi sebelum akhirnya pemuda Indonesia itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu Ivan.

"Sepertinya sudah waktunya kita mengakhiri ini," kata Eka sambil membantu Ivan menepuk-nepuk sisa salju yang melekat di serat-serat mantelnya.

"Setuju. Aku tiba-tiba rindu dengan perapian di kamarku."

"Hmm..."

"Hei, Eka—"

"Ya?"

"Apakah kau akan kembali lagi ke negara ini suatu hari nanti?"

Eka mengangkat alis sesaat sebelum melempar senyum tipis ke arah Ivan.

"Mungkin," kata Eka. "Memangnya kenapa?"

Ivan menatap pemuda yang telah dianggapnya sahabat itu dengan serius.

"Kalau kita bertemu lagi nanti," ujar Ivan. "Aku akan memberitahukan sebuah rahasia padamu."

"Kenapa? Kau punya istri?"

"Bukan itu, bodoh!" seru sang pemuda Rusia. "Sesuatu yang jauh lebih penting daripada itu."

Selama beberapa detik Eka hanya menatap Ivan. Sejenak Ivan seperti merasakan deja vu, karena tatapan itu identik dengan tatapan Eka saat pertama kalinya mereka bertemu pandang lebih dari setahun yang lalu.

Senyum Ivan merekah.

"Aku akan merindukanmu, Eka," kata Ivan, lengannya bergerak untuk memeluk tubuh sahabatnya yang lebih kecil itu.

"Ha," balas Eka sambil memeluk balik Ivan dengan sebelah lengannya. "Kurasa kau bahkan akan terlalu sibuk untuk mengingatku."

"Tidak akan," ucap Ivan tegas. "Do svidaniya, tovarishch.(3)"

Eka berjinjit, mendekatkan bibirnya ke telinga Ivan. Di sana, ia membisikkan sebuah kalimat—

"Pomni, chto pridzotsya umiratz, Sovetskij Soyuz.(4)"

Detik itu juga, Ivan merasakan semua yang di sekitarnya terhenti—angin dingin yang berhembus semalaman, suara bel yang berdentang di kejauhan, air sungai yang mengalir beradu dengan tiang jembatan, bahkan detak jantung dan hembusan nafasnya sendiri. Yang bisa didengarnya hanya gaungan kalimat yang baru saja dibisikkan ke dalam telinganya.

Ivan Braginski baru menyadari kesalahannya ketika ia merasakan perihnya timah panas yang menembus kulit dan dagingnya.

"Memento mori.(5)"

Semuanya sudah terlambat.

.

.

Jakarta, Oktober 1965.

"—Kenapa..."

"Kau tahu tentang kami. Kau pasti juga tahu alasannya."

"Tapi—tapi kau... Aku mempercayaimu selama ini. Aku sudah menganggapmu seperti saudaraku sendiri."

"Itu urusanmu, bukan urusanku."

"—Apakah kau sebegitu membenciku?"

"Jika kau benar-benar mengenal kami, kau pasti tahu bahwa semua ini bukan merupakan permasalahan pribadi. Aku—kami—hanya menjalankan misi yang didasari atas apa yang kami percayai. Tidak kurang, tidak lebih. Tan hana dharma mangrwa—kau juga tahu artinya kan? Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam hati kami terhadap kebenaran yang kami yakini."

"—Ini tidak akan berakhir begitu saja..."

"Tentu saja kami tahu itu. Tapi setidaknya ini satu langkah maju menuju keseimbangan."

"Kau... Bedebah! Kuharap kau mati dibantai antek-antek Soeharto seperti kawan-kawan kita yang lain! Indonesia yang baru akan lahir di atas tanah yang dibasahi oleh darahmu dan darah kaummu!"

"—Selamat tinggal, Indonesia."

"BHINNEKA!"

"Memento mori."

.

.

Moskow, Januari 1969.

Nafas Fyodor Kozyrev masih tersengal-sengal ketika ia sampai di ujung jembatan. Helai-helai rambut hitam pekatnya mengeras akibat keringat yang setengah membeku. Uap putih mengepul dari mulut dan hidungnya ketika nafas laki-laki muda itu beradu dengan dinginnya udara dini hari Moskow, sedikit mengaburkan pandangannya dari pemandangan mengerikan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri.

Tubuh orang yang seharusnya ia lindungi sudah terbujur kaku di atas hamparan salju yang berwarna putih berhias kemerahan. Mantel berwarna cokelat muda dan syal kesayangan yang dikenakan orang itu penuh dengan lubang bekas peluru dan darah. Sebilah belati menancap dalam tepat dimana jantung berada, hanya menyisakan gagang gading yang bersinar pucat di bawah siraman cahaya lampu jalan. Sebelah tangan orang itu masih melingkar erat di sekeliling sebatang pipa dan keran yang juga berhias percikan darah. Bunga es sudah mulai terbentuk di antara helai rambut, alis, dan bulu mata pirang yang sangat dikenalnya itu. Mata ungu itu sudah tertutup, tak akan pernah bisa dilihatnya lagi. Ivan Braginski—sahabatnya, saudara seperjuangannya, tuannya, negaranya—telah menjadi seonggok jasad yang tak bernyawa. Fyodor menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan jatuhnya air mata yang entah sejak kapan telah menggenang di pelupuk matanya.

"Vanya...," bisik Fyodor pelan. Suaranya tertelan tiupan angin dalam sekejap. "Otechestvo...(6)"

Dengan perlahan dan penuh khidmat, Fyodor mendekati tubuh personifikasi Uni Soviet itu dan mencabut belati yang menancap di dadanya. Tak ada setetes pun darah yang keluar dari lubang bekas belati itu kecuali yang telah mengering melapisi bilah besi yang mengkilap. Ivan sudah mati selama beberapa jam nampaknya—udara musim dingin membekukan darahnya dengan lebih cepat.

Fyodor membiarkan setetes air mata jatuh membasahi sarung tangannya. Ia menatap nanar ke arah belati yang telah mungkin menjadi penentu akhir nyawa Ivan. Desis kemarahan meluncur dari bibirnya ketika matanya menemukan sebaris kalimat yang terukir halus di permukaan gagang gading belati itu.

Merasakan kemarahan yang mengaliri nadi-nadinya bagai racun yang kuat, Fyodor menyapukan pandangan ke sekitarnya. Sekitar lima meter dari tempat tubuh Ivan terbaring, sesosok tubuh lain tampak tergeletak tanpa gerak. Ia bergegas menghampiri tubuh itu, belati yang digunakan untuk membunuh Ivan tergenggam erat di tangannya—bersiap-siap membalaskan dendam kalau perlu.

Fyodor tertegun ketika matanya menangkap jelas sosok ke dua itu.

Sebuah mata coklat gelap yang telah berkabut menatap kosong ke depan, sementara mata yang sebelah lagi tidak tampak karena bermandikan darah. Pemuda pemilik mata itu berbaring menghadap ke kiri. Sebelah kepalanya remuk menumpahkan darah, melapisi sebelah wajah berparas Asia dan mata almond pemuda itu. Ia juga jelas sudah tak bernyawa. Tidak ada seorang pun akan bisa bertahan jika kepala mereka dihantam pipa baja oleh orang berkekuatan besar seperti Ivan.

Dari balik mantel pemuda itu yang tersingkap, Fyodor dapat melihat sarung belati yang terikat melingkari paha kanannya.

Raungan penuh kemurkaan memecah keheningan. Fyodor menyarangkan belati yang digenggamnya berkali-kali dengan penuh dendam ke tubuh kaku sang pemuda. Seumur hidupnya, belum pernah ia merasa semarah, sesedih, dan seputus asa ini. Padahal ia telah berkali-kali diperingatkan, telah bertahun-tahun dididik. Namun segala pengetahuan dan persiapan yang dimilikinya ternyata tidak cukup untuk menghadapi kenyataan yang terjadi.

Ia telah gagal.

.

.

"Ayah, ini Fyodor, maaf menelpon dini hari begini, tapi aku harus menyampaikan sesuatu yang sangat penting."

"Tidak apa-apa, Fedya. Aku belum tidur. Ada kabar apa?"

"...ini bukan kabar yang baik, Ayah."

"...apakah ini tentang Ivan?"

"Ya. Aku...aku baru saja menemukan Ivan."

"...kita sudah terlambat..."

"Ya... Dia berada di dekat Jembatan Borodinsky. Mereka—keparat-keparat itu... Mereka yang sudah membunuhnya!"

"—Di mana dia sekarang?"

"Aku sudah menghubungi Dmitriy untuk mengurus jasadnya. Aku akan memastikan semuanya bersih sebelum matahari terbit."

"Bagaimana dengan pembunuhnya?"

"Sudah dibunuh oleh Ivan. Kutenggelamkan ke sungai untuk sementara. Biar mereka mengurus sendiri kelanjutannya. Aku tak peduli."

"...kau tak apa-apa, Fedya?"

"—Maafkan aku, ayah. Aku telah gagal. Padahal baru beberapa bulan aku resmi bertugas. Maafkan aku..."

"—Setelah kau mengurus jasad Ivan, pulanglah ke rumah. Pulang dan beristirahatlah. Ibumu akan menyiapkan borscht kesukaanmu. Hangatkan dirimu, lalu kita semua akan membicarakan rencana berikutnya. Keluarga Kozyrev tidak boleh mengabaikan tugas karena satu kematian, Fedya. Ini memang menyakitkan, tapi tugas kita belum berakhir."

"Ya..."

.

.

Fyodor meletakkan kembali gagang telepon umum itu ke tempatnya. Ia merasa sangat lelah. Suara ayahnya di teleponmu terdengar lebih tua beberapa tahun dalam sekejap setelah mendengar kabar yang dibawanya. Tidak peduli bahwa mungkin dalam kurun waktu beberapa bulan lagi mereka akan menemukan pengganti Ivan, hal itu sama sekali tidak dapat meringankan keterpurukan yang dirasakannya. Ini bukan hanya kegagalannya. Ini adalah kegagalan seluruh keluarga Kozyrev.

Dipungutnya kembali belati yang tadi diletakkannya di atas telepon. Darah Ivan dan darah pemuda itu masih menempel di sana.

Fyodor jatuh berlutut, membiarkan isak tangis mengguncang tubuhnya dan air mata mengukir lubang-lubang kosong di atas timbunan salju. Kalimat yang terukir di atas gagang gading belati di genggamannya menatapnya balik—seolah mengumbar tawa penuh kemenangan. Kemenangan bagi mereka. Kemenangan bagi DEMISE.

.

.

Memento mori.

.

.

TAMAT

.

.

Footnotes:

(1) Mors venit velociter quae neminem veretur,

Omnia mors perimit et nulli miseretur.:

Kematian datang dengan cepat tanpa menghormati siapa pun,

Kematian menghancurkan segalanya tanpa mengasihani siapa pun. (latin)

(2) tovarishch: kawan (rusia)

(3) Do svidaniya, tovarishch.: Selamat tinggal, kawan. (rusia)

(4) Pomni, chto pridzotsya umiratz, Sovetskij Soyuz.: Ingatlah akan kematianmu, Uni Soviet. (rusia)

(5) Memento mori.: Ingatlah akan kematianmu. (latin)

(6) Otechestvo: tanah air (fatherland) (rusia)

Beberapa nama depan di Rusia memiliki versi diminutif atau versi kecil (semacam nickname) yang biasanya digunakan di antara orang-orang yang sudah sangat akrab, misalnya keluarga atau sahabat. Contohnya: Ivan - Vanya, Nikolai - Kolya, Yevgeny - Zhenya, Fyodor - Fedya, Alexei/Alexandr - Sasha, Mikhail - Misha, Pavel - Pasha, Yekaterina - Katya/Katyusha, Yelena - Alyona, Sophia - Sonya, dan lain lain.

Pemberantasan unsur-unsur komunis di Republik Indonesia dan percobaan pembunuhan terhadap Sekretaris Jenderal Uni Soviet Leonid Brezhnev oleh Viktor Ilyin adalah peristiwa yang nyata terjadi dalam sejarah. Selain dua peristiwa di atas, semua yang terjadi di dalam cerita ini adalah fiksi semata.

.

.

A/N:

AKHIRNYA BENDA INI SELESAI JUGAAAAAA!

MERDEKAAAAA! #mentang2inifanfic17an

Sebelumnya, izinkan saya meminta maaf yang sebesar-besarnya, baik kepada pembaca dan kepada teman-teman di Spice Islands karena pelepasan fanfic ini terlambat dua hari dari waktu yang dijadwalkan—yaitu tepat pada dirgahayu Republik Indonesia yang ke 68 tanggal 17 Agustus 2013 kemarin. Kesalahan ini adalah murni disebabkan karena kelalaian saya selaku yang diberi tanggung jawab sebagai penulis chapter pertama. Sekali lagi, mohon maaf yang sebesar-besarnya #dogezasampainyungsepketanah

So, itulah awal dari proyek terbaru Spice Islands. Bagaimana? Apakah sudah cukup membingungkan? #ditabok Sebenernya proyek ini sudah lama kami bicarakan. Kalau nggak salah dulu proyek ini dirancang untuk hadiah kalau review THE UNDIES mencapai jumlah tertentu. Eh, bener nggak sih, guys? Tapi akhirnya diputuskan untuk menjadi persembahan Spice Islands untuk merayakan ulang tahun negeri kita tercinta ini :D (sekaligus ulang tahun JonRangGunGarKa, hohoho~)

Fanfic ini nantinya akan terbagi ke dalam lima chapter yang setiap chapter-nya akan ditulis oleh kami masing-masing anggota Spice Islands secara bergantian—berbeda dengan THE UNDIES dimana setiap chapter ditulis borongan. Urutannya kurang lebih sama dengan urutan dikeluarkannya teaser fanart buatan are . key. take. tour yang dipublish lewat FB, DA, dan Twitter.

Nah, mudah-mudahan chapter pertama ini tidak terlalu mengecewakan sebagai pembuka kisah yang AMAT SANGAT kami sukai ini—nggak bo'ong, setiap kali kami membicarakan tentang fanfic ini, isinya penuh dengan jejeritan, gelundungan, deklarasi cinta anggota-anggota SI ke satu sama lain, lamaran pernikahan, darah, dan air mata #lebay2013

Ditunggu review-nya, baik berupa kritik maupun saran!

Nantikan chapter selanjutnya kurang lebih satu minggu lagi! OwO

Regards,

skadihelias