Kami duduk saling membelakangi. Jarak tubuh kami sama dengan lebar double bed yang kami duduki. Aku duduk di samping kanan kasur dan dia duduk di samping kirinya. Saat aku melirik ke arahnya, aku melihat dia sedang melepaskan dasinya, membuatku menatap gaun pengantin putih yang membungkus tubuhku.

"Kau mau mandi duluan?"

Suaranya membuatku menoleh ke arahnya. Mata hitamnya menatapku tanpa perasaan tersirat. Aku menatapnya cukup lama sebelum menggeleng.

"Kurasa, aku ingin menghapus riasanku dulu baru mandi. Em... Uchiha-san duluan saja." Aku berkata dengan canggung. Lidahku terasa aneh ketika memanggil marganya, dan aku semakin merasa tak nyaman ketika mata hitamnya masih menatapku beberapa puluh detik sebelum bergumam tak jelas dan mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.

Aku mengembuskan napas lega. Suasana canggung tadi benar-benar mencekik leherku. Aku kembali menatap gaun pengantinku sebelum menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari ini sebelum beranjak ke meja rias dan menghapus riasan wajahku.

Aneh rasanya menikah dengan seorang pemuda yang baru kau kenal kurang dari satu minggu.

.

.

Our Family

.

By : Hinata (Admin)

.

Disclaimer:

Naruto (c) masashi Kishimoto

.

Warning:

OOC, Hinata POV, Typo, Abal, Dan sepertinya akan jadi multichapter yang panjang. (-_-)"

.

Fanfiksi ini terinspirasi dari sebuah pertanyaan yang mengganggu pikiran saya :

Mana yang akan kamu pilih? Menikahi orang yang kamu cintai atau mencintai orang yang menikahi kamu?

.

Saya memilih pilihan kedua untuk tema fanfiksi ini : Bagaimana caranya mencintai orang yang menikahi/dinikahi kamu

.

Alternate Summary:

Kami asing satu sama lain. Tak saling mengenal dan tak saling menaruh perhatian. Pernikahan ini pun ada hanya sebatas pernikahan bisnis orang tua. Aku cinta kebebasan dan dia mencintai pekerjaannya, lagipula kami sama-sama tak mengerti apa itu cinta. Tapi entah bagaimana, kami mengerti bahwa janin dalam perutku akan membuat kami mengenal perasaan 'cinta' itu.

,

Happy reading... :D

Semoga fanfiksi ini tidak mengecewakan

.

Aku keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutku dengan handuk. Saat aku menoleh ke arah tempat tidur, aku melihat dia membaca sebuah buku tebal sembari menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang. Dengan dada berdebar tidak karuan, aku berjalan ke arah ranjang yang lain lalu duduk berselonjor kaki di ranjang. Aku menunduk malu, salah tingkah.

Beberapa puluh menit ke depan, aku tidak bisa tidur. Beberapa menit sekali, setelah bosan mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan, aku melirik ke arahnya, hanya sebentar dan sepertinya dia tidak menyadarinya, lalu aku akan kembali mengedarkan seluruh pandangan ke seluruh ruangan. Ke arah jam digital yang tersimpan di atas meja yang ada di samping tempat tidurku. Ke arah sepasang lampu tidur yang berada di tempat yang sama di samping tempat tidurku dan samping tempat tidurnya.

"Kau ingin kita tidak tidur bersama?"

Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku dan aku bisa melihat dia menutup bukunya dan memandangku lekat. Aku gelagapan dan mendadak saja tubuhku tegak.

"A-Aku tidak berpikir begitu," kataku.

"Kau menyukaiku?" Dia bertanya lagi dan aku langsung menggeleng dengan tegas.

"Aku belum mengenalmu," kataku. Tadinya aku mau menambahkan bahwa aku tak berniat untuk mengenalnya, tapi aku tahu jika aku mengatakannya bisa-bisa dia menatapku dengan tatapan tajamnya dan aku tidak mau ditatap dengan tatapan mematikan seperti itu, aku ini penakut! "Jadi mana mungkin aku menyukaimu," tambahku pelan. Aku mendengar dia mendengus lalu aku mendengar suara selimut yang di tarik. Aku melirik ke arahnya, dia telah membaringkan tubuhnya, matanya mendongak menatapku.

"Jadi kau tidak bermasalah kan kalau kita tidur bersama?"

Aku gelagapan sebelum mengangguk cepat-cepat. Dia kembali mendengus. "Mulai besok kita akan hidup bersama. Tolong jangan merepotkanku!" katanya dingin sembari membalikkan tubuhnya membelakangiku. Aku menghela napas sebelum membaringkan tubuhku dengan posisi membelakanginya.

Hanya ada udara dingin yang mencengkam di malam pertama kami.

.

Our Family – SasuHina

.

Namaku Hyuuga Hinata. Usiaku tahun ini 25 tahun dan kini aku tengah menggeluti apa yang kucita-citakan sejak aku masih berusia lima tahun, menjadi seorang petualang yang akan mengelilingi dunia dan, mengabadikan tempat-tempat yang kusukai dengan lensa kamera. Jujur saja, aku adalah wanita yang memuja sebuah kebebasan. Artinya, pernikahan yang bersifat merampas kebebasan seorang wanita, mengurungnya dalam sebuah kurungan bernama rumah tak pernah terlintas dalam kamus hidupku, setidaknya untuk saat ini.

Dia, Uchiha Sasuke. Usianya saat ini tepat 26 tahun. Kudengar dia sedang membuat sebuah lembaga bimbingan belajar dari nol sekaligus sedang menempuh pendidikan untuk menjadi penerus keluarga Uchiha di bidang penerbitan. Yang kulihat dia adalah orang tampan yang kaku, yang begitu mencintai pekerjaannya sehingga rasanya wajar saja ketika dia mengatakan bahwa dia menikahi pekerjaannya.

Kami bertemu seminggu yang lalu. Saat itu aku sedang berada di Lembang, Indonesia. Aku sedang berada di kebun teh dan menikmati udara sejuk kota ini sambil memotret beberapa untuk kujadikan koleksi sampai ayah menghubungiku, memintaku untuk pulang besok dengan penerbangan paling pagi.

Di rumah, semua perintah ayah adalah mutlak, harus dipatuhi. Maka aku langsung mengemasi pakaianku dan memesan penerbangan untuk besok, terserah dengan pesawat yang seperti apa, aku pulang.

Esoknya saat aku berada di bandara, pria itu ada di sana.

"Kau Hyuuga Hinata?" tanyanya dengan datar dan aku mengangguk. Dia lalu mengangguk dan mengambil koperku, lalu berjalan di depanku. Aku mau tak mau mengikutinya dan masuk ke mobil yang dibukakan olehnya. Aku duduk di belakangnya dan dia duduk di depan, mengemudi mobil hitam yang tidak kukenali.

Sepanjang perjalanan tak ada percakapan hangat di antara kami. Aku sesekali melirik ke arahnya. Kuakui dia tampan. Kulitnya pucat. Iris hitamnya yang tajam mungkin membuat para wanita yang ditatapnya akan meleleh. Tubuhnya juga bagus dan proposional. Kukira dia memang hebat. Dari sikap tubuhnya yang tegak, aku tahu dia orang yang penuh percaya diri. Tapi sikapnya benar-benar tak bersahabat.

Aku menerka-nerka kira-kira siapa pemuda yang menjemputku itu. Kutaksir usianya tak jauh berbeda denganku, mungkin kami hanya terpaut dua atau tiga tahun. Jika usianya dua tahun lebih tua dariku, berarti usianya sekitar dua puluh tujuh tahun. Di umur segitu, dengan tampilan serapi ini, dan kini tengah mengemudi sebuah mobil hitam yang mewah membuatku menerka bahwa pria yang menjemputku adalah supir ayahku.

Tapi aku menggeleng pelan, tidak menyetujui tebakanku sendiri. Pria ini terlalu tampan untuk menjadi seorang supir, seperti yang kukatakan sebelumnya.

Lalu aku memikirkan kemungkinan lainnya. Setiap anggota Hyuuga memiliki satu orang butler yang bertugas mengekori majikannya dan melayani majikannya, apapun itu. Seingatku, pelayan ayah memang sudah waktunya untuk digantikan, kemungkinan besar pria ini adalah pengganti butler ayah. Hanya saja pria ini terlalu dingin dan cuek, dan tidak sopan. Ayah tidak menyukai tipe orang yang seperti itu, jadi sepertinya ayah tidak mungkin memperkerjakan pria ini sebagai pelayan yang akan setia menemani beliau dua puluh jam.

Jadi, siapa pria yang ada di depanku ini?

Terbatuk, aku mencoba menarik perhatian pria yang ada di balik kemudi dan berhasil. Pria itu melirikkan ekor matanya, menatapku tajam.

"Kau akan tahu siapa aku nanti," katanya seolah dapat membaca pikiranku. Aku terdiam dan memilih untuk menundukkan kepala, takut karena tatapan tajamnya itu.

.

Our Family – SasuHina

.

Kami sampai tiga puluh menit kemudian. Hizashi-san, butler yang mengurusi rumahku membuka pintu dan mempersilakanku keluar, aku mengangguk sebelum keluar dan mendapati wajah ayah dan ibu yang sudah berdiri di teras rumah kediaman Hyuuga. Aku tersenyum lalu mempercepat langkahku.

"Tadaima, okaasan, otousan," kataku dan Ibuku membalasnya sembari memelukku erat. Ayah seperti biasa mengangguk kaku sebagai balasan salamku.

"Masuklah, nak," Ibu membimbingku masuk dan menuntunku menuju ruang makan. Aku sedikit terkejut ketika melihat sepasang suami istri yang berada di meja makan keluarga kami. Sang istri tersenyum ketika melihatku lalu membungkuk, aku ikut membungkuk.

"Hinata-chan, mereka Uchiha Mikoto-san dan Uchiha Fugaku-san," Ibuku mengenalkanku kepada sepasang suami istri yang mengganggu rasa penasaranku saat aku, ayah dan ibu berada di meja kami. Aku mengangguk lalu membungkuk sedikit untuk memberi hormat.

Tak lama pria yang mengganggu rasa penasaranku sejak dibandara menyusul masuk. Membungkuk pelan ke arah kedua orang tuaku, pria itu duduk di samping Nyonya Uchiha.

"Dan," Uchiha Mikoto-san berbicara. Suaranya merdu dan menyejukkan. Beliau meletakkan tangannya di punggung pria yang tadi menjemputku. "Ini Uchiha Sasuke, anak kedua kami sekaligus ..."

"Suamimu, Hinata-chan."

Aku tak tahu harus berekspresi apa selain mematung dengan kaget.

.

Our Family – SasuHina

.

Aku membuka kedua mataku. Hal yang pertama kulihat adalah tempat tidur yang ada di sebelahku telah kosong. Aku melirik ke arah jam yang duduk manis di meja dekat tempat tidurku. Jam delapan pagi. Aku tidur terlalu nyenyak daripada biasanya.

"Sudah bangun?" Aku tersentak saat mendengar sebuah suara yang berat. Suamiku, Uchiha Sasuke keluar dari kamar mandi yang ada di kamar kami, telah rapi dengan kemeja biru dan celana hitam berbahan halusnya. Dasi berwarna senada sudah terpasang rapi di kerah kemejanya, menjuntai hingga menutupi sepanjang garis kancing kemeja yang digunakannya.

Dia terlihat tampan.

"Aku tak menyangka sulung Hyuuga sulit untuk bangun pagi," sindirnya membuatku tersentak dari lamunanku. Aku menjawab dengan gugup.

"Sesekali saja, lagipula kemarin aku benar-benar lelah," kataku memberi alasan yang jujur. Aku tidak bohong saat aku mengatakan bahwa aku lelah. Kemarin benar-benar hari yang melelahkan. Kemarin, aku bak artis yang tengah memainkan sebuah lakon, Sebuah lakon dimana sang gadis begitu bahagia dengan pernikahannya bersama seorang pria yang sangat dicintainya. Yang begitu bangga karena akhirnya dapat hidup satu atap bersama pria yang dipilihnya.

Kelelahan mental ternyata lebih berat daripada kelelahan fisik.

"Hm...," Uchiha-san hanya bergumam menanggapi alasanku. Pria itu berjalan masuk ke ruang pakaiannya dan beberapa detik kemudian keluar dengan jas dan sepatu mahal.

Aku gugup saat menghadapi situasi seperti ini. Meneguk ludah aku turun dari ranjang, menghampirinya yang duduk di sofa panjang kami dan berdiri di depannya.

"Ka-Kau butuh bantuan?"

Dia menggeleng pelan. Aku salah tingkah dan kembali bertanya. Meski pernikahan ini bukanlah sesuatu yang kuharapkan, tapi setidaknya aku harus bersikap seperti layaknya seorang istri yang baik.

"Ma-Mau kubuatkan sarapan?"

"Aku bisa makan di cafe," balasnya dingin. Aku diam dengan raut gugup.

"Ta-Tapi, Uchiha ..."

"Dengar, Hyuuga-san!" Uchiha-san sudah selesai menalikan sepatu hitam mahalnya. Mata oniksnya menatapku tajam. "Aku tidak berniat untuk mengakrabkan diriku denganmu."

Aku speechless. Dia berdiri dan berjalan ke arah pintu, namun berhenti ketika mendengar suaraku.

"Ta-Tapi kita akan hidup bersama," aku menatap punggungnya yang terlihat dingin. Menatapnya dengan pandangan buram. Ah, sepertinya aku akan menangis karena perasaanku yang sesak. "Aku juga sebenarnya tidak suka mengakrabkan diri denganmu. Ta-tapi jika kita tidak saling mengakrabkan diri, kita tidak akan terlihat seperti pasangan suami istri yang ...," napasku tercekat dan tenggorokanku terasa kering. "... normal."

"Kita memang bukan pasangan yang normal," katanya. Lalu membalikkan tubuhnya dan memandangku dengan tatapan yang tak bisa dibantah. "Dengar, Hyuuga-san, kita memang menikah, kita memang suami istri tapi kau tahu sendiri bahwa pernikahan ini palsu, tidak nyata dan hanya di atas kertas."

Aku tahu dan mengerti hal itu.

"Jadi lebih baik kita tidak saling mempedulikan. Kau bebas melakukan apa yang kau mau, aku bebas melakukan apa yang aku inginkan. Kita hanya tinggal di satu rumah dan tidur di satu ruang yang sama.

Aku mati-matian mengeluarkan suaraku ketika mengatakan kalimat ini, "Apa yang dikatakan publik jika mereka tahu sikap kita yang saling tak mempedulikan?"

"Aku tak peduli pandangan publik."

"Tapi aku peduli," Aku menggigit bibir bawahku. "Karena aku anak pertama keluarga Hyuuga. Pernikahan tak harmonis seperti ini akan mencoreng nama keluargaku."

Uchiha-san mendengus sebelum berkata cuek 'terserah kau' sebelum menutup pintu kamar kami dengan keras.

Aku duduk di sofa dengan tubuh yang lunglai.

Aku tidak boleh menangis. Aku sudah menduga ini sejak awal, sejak saat aku dengan keyakinan penuh menerima perjodohan ini, aku sudah menduganya.

Bahwa rumah tanggaku dan Uchiha-san tak akan hangat seperti rumah tangga orang lain.

.

.

To be continued

.

Next Chapter

"Kau yang memintaku memanggilmu Sasuke, hanya Sasuke. Kenapa kau sekarang marah saat aku memanggilmu Sasuke?"

"Kau tahu, aku membenci perempuan sok baik hati sepertimu."

.

"Kau bilang kau ingin mengakrabkan dirimu denganku, heh? Aku mau saja asal kau mau mengakrabkan dirimu denganku di atas ranjang juga!"

"A-Apa yang kau lakukan? Hentikan!"

.

.

"Aku mengerti, Aku tak akan lagi menyapamu. Aku tak akan lagi menunggumu, aku menyerah untuk menjalin hubungan baik denganmu, Uchiha-san. Aku akan mengikuti 'saran'mu tentang tidak saling mempedulikan!"

.

.

Author notes:

Akhirnya saya punya kesempatan untuk memajang karya saya di sini... :D

Dan karena saya sudah mempublish sampai chapter dua di FB, saya juga akan publish yang chapter duanya... :D

Saya sangat berharap fiksi ini tak mengecewakan dan dapat porsi di hati pembaca meski sedikit

Dan... saya akan menanti repiuw dan kritik kalian... :D

Sign,

Hinata (admin)