Disclaimers:

Naruto © Masashi Kishimoto

You Still Have Me © Jinsei Megami

Warning: AU, OOC, Typo(s), ide yang pasaran, & kebanyakan deskripsi (mungkin?)

Read first, baru boleh nilai suka apa nggak... ^^

Enjoy read, Minna~

.

Jinsei Megami Proudly Present

YOU STILL HAVE ME


[chapter 2 : welcome home, dad... mom...]

.

.

.

.

Tangan putih semulus porselain itu menimang-nimang handphone dengan gelisah.

"Kenapa Neji-nii jadi sulit sekali dihubungi, sih?" tanya sang pemilik tangan, Hinata, entah pada siapa. Jemarinya kembali menekan touch screen handphone-nya, dan hanya ada nada sibuk dari seberang sana.

Sakura yang menemaninya amat mengerti kenapa Hinata yang cerdas jadi sebodoh ini. Ia sedang bingung. Tentu saja Neji sulit dihubungi, Hinata pun sebenarnya pasti tahu. Dalam situasi seperti ini, si diplomat muda itu pasti sedang sangat sibuk.

Hinata menyerah. Akhirnya ia meninggalkan voice mail di kotak suara Neji. Berharap kakak sepupunya itu sudi melirik sebentar ke handphone-nya di tengah kesibukannya. Hinata menghela napas berat.

Sakura yang duduk di hadapannya mengulurkan lengannya menyebrangi meja makan Namikaze. Menggenggam tangan Hinata lembut.

"Naruto baru berangkat beberapa jam yang lalu. Dia mungkin baru akan sampai di bandara sana," ucap Sakura. Tak ada balasan apapun dari Hinata, namun tangannya yang berada dalam genggaman Sakura sedikit bergetar. Maka Sakura menambahkan, "Dia akan baik-baik saja. Apalagi dia bersama Jiraiya-sensei."

Hinata mengangguk pelan. Dia mengerti. Naruto sudah besar sekarang. Dia sudah dewasa. Setelah proses penyangkalannya, dia pasti bisa berpikiran terbuka dan lebih tenang. Tapi tetap saja Hinata tidak bisa tidak mengkhawatirkannya. Bagaimanapun kejadian ini terlalu tiba-tiba bagi Naruto.

Putri sulung Hyuuga itu kemudian melihat Sakura menggeser mangkuk sup miso lebih mendekat ke arahnya. Dia baru menyadari semangkuk nasi beserta lauk pauk lengkap sudah tersaji di hadapannya. Entah kapan Tsunami datang dan mengantarkan itu semua. Kepalanya menoleh menatap jam dinding.

"Makan malam masih beberapa jam lagi, Sakura."

"Kau bahkan sudah melewatkan sarapan dan makan siang, Hinata. Dan semalam kau hanya minum setengah gelas susu."

"Yang kau tambahkan obat tidur, Bu Dokter," sindir Hinata. Dia masih belum menerima Sakura berbuat curang kepadanya semalam. Sakura memang berkata ia tak menyentuh susu itu, tapi Ino menyentuhnya dan memasukkan obat tidur ke dalamnya. Dari mana Ino mendapatkan obat itu jika bukan dari Sakura?

"Sudahlah, Hinata. Aku kan sudah minta maaf soal itu," balas Sakura, lalu menambahkan, "Tapi kau pasti akan kujejali paksa makanan ini jika kau nggak makan ini semua sendiri sampai habis."

Maka Hinata mengambil mangkuk nasi dan sumpit. Memandangnya dengan tidak bernafsu sebelum tiba-tiba sepotong besar daging singgah di mangkuknya. Rupanya Sakura tak sabar dan mengambilkan sepotong beef teriyaki itu untuk Hinata.

"Makan!" perintah Sakura dengan nada rendah mengintimidasi. Hinata menganggukkan kepalanya takut-takut dan dia pun mulai makan. Terpaksa.

Sakura bisa benar-benar menyeramkan.

.

.

.

.

Matahari sudah mulai menghilang di ufuk barat. Meninggalkan semburat jingga di kaki langit. Menimbulkan bayang gelap di sisi timur tiap gedung pencakar langit di luar sana. Cahaya mentari yang menembus jendela penthouse Namikaze pun semakin terbatas. Ditambah terhalang oleh tubuh Hinata yang sedang berdiri di balkon. Menatap senja yang menyisakan segaris warna jingga di cakrawala. Di arah baratnyalah negeri tirai bambu itu berada.

"Naruto-kun...," bisiknya pada diri sendiri.

Saat itu melodi dari handphone Hinata pun terdengar. Mengagetkan Sakura yang tengah melamun. Ia tersentak dan spontan meraih gadget yang pemiliknya letakkan di atas meja. Nama Neji terpampang di layarnya. Bukannya ia berlaku tidak sopan, tapi ia tahu Hinata sedang amat menunggu kabar dari sepupunya. Maka ia menjawab sambungan itu sebelum menyerahkannya pada Hinata.

"Hinata!" panggil Sakura begitu ia berada di balkon. Menjulurkan tangannya yang memegang handphone, "Neji."

Hinata langsung menyambar benda itu dari tangan Sakura dan langsung menempelkan di telinganya. "Moshi-moshi, Nii-san!"

"Hinata-sama. Maaf baru bisa menghubungimu," suara Neji terdengar dari seberang sana.

"Iya, aku mengerti. Neji-nii, apa kau sudah bertemu dengan Naruto-kun?"

"Iya. Sudah."

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Apakah dia baik-baik saja?"

"Apakah kau pikir dia akan baik-baik saja saat melihat secara langsung jasad kedua orang tuanya?"

Jasad? Kata itu pun langsung membuatnya juga tidak baik-baik saja.

Neji melanjutkan, "Kami baru selesai melakukan tes DNA ulang terhadap Kushina-ba-san dan Minato-ji-san. Atas permintaan Naruto."

"Hasilnya?" Walau sudah mengira dengan pasti akan hasilnya, tetap saja Hinata ingin tahu. Dia juga masih punya harapan, walau hanya setitik kecil.

"Mereka memang Kushina-ba-san dan Minato-ji-san. Dari awal sudah nggak ada keraguan. Toh tubuh mereka masih dalam keadaan relatif baik dan masih sangat bisa dikenali. Tapi aku bisa mengerti bagaimana keadaan Naruto saat ini. Aku mengerti bagaimana keadaanmu saat ini. Aku pun ikut bersedih seperti halnya kau dan Naruto. Kau harus tabah. Dampingi dia! Karena di tahap inilah dia paling membutuhkan dirimu."

Hinata mengangguk. Tapi kemudian sadar bahwa Neji tak bisa melihat gesture-nya. "Aku pasti akan selalu di sampingnya."

Kemudian terdengar Neji seperti menjauhkan teleponnya dan bicara dengan beberapa orang. Dia masih sibuk rupanya. "Sudah dulu ya, Hinata-sama. Kemungkinan besar kami akan sampai di sana pukul satu siang besok. Sampai jumpa di Konoha."

"Arigato gozaimasu, Neji-nii."

Dan sambungan mereka pun terputus. Hinata menyandarkan punggungnya di pintu balkon.

"Apa kata Neji?" tanya Sakura ingin tahu.

"Katanya..."

Dan Hinata mengulang kembali apa yang dikatakan Neji padanya.

.

.

.

.

Suara bel memecah kesunyian pagi itu. Hanya selang beberapa detik setelahnya butler keluarga Namikaze dengan sigap menerima tamu yang datang pagi-pagi itu. Begitu pintu membuka, terlihatlah sesosok gadis yang begitu mirip dengan Hinata berdiri dengan paper bag di tangannya.

"Nona Hanabi," sapa sang butler.

"Kaiza-san." Hyuuga Hanabi membalas sapaan Kaiza, si butler. Dan si butler dengan rambut hitam pendek yang mencuat ke atas dengan bekas luka menyilang di dagunya hanya mengangguk sekali. Hanabi tersenyum. "Onee-san-ku?"

Kaiza mempersilakan Hanabi masuk dan mengantarnya ke tempat Hinata berada. Kaiza membawanya ke ruang keluarga Namikaze. Hanabi bisa melihat ada kakaknya di sana, berdiri memandangi foto keluarga Namikaze yang terpatri di dinding. Kakaknya tidak sendirian, gadis berambut pink pun ada di sana.

"Nee-san," panggil Hanabi pelan.

Hinata masih memandangi foto pasangan Namikaze dengan sedih kala didengarnya suara seseorang yang dikenalnya memanggilnya. Gadis cantik itu berbalik dan Sakura pun ikut menolehkan kepalanya, walau mereka sudah menduga siapa yang datang.

Hinata belum mengatakan apapun, namun Hanabi langsung memeluknya. Terdengar isakan pelan di telinga Hinata. Hinata mengelus rambut panjang adiknya yang juga berduka. Sama halnya seperti Hinata, Minato dan Kushina pun menganggap Hanabi seperti anak mereka sendiri. Hanabi pun demikian.

Hinata yang sudah lebih tabah sekarang menenangkan adiknya.

"A-aku baru sampai tengah malam tadi, Nee-san. Tapi Tou-sama melarangku langsung ke sini. Sulit sekali mencari penerbangan pertama dari London. Aku benar-benar nggak percaya kalau Minato-ji-san dan Kushina-ba-san, mereka sudah... su-sudah...," ucap Hanabi dengan terbata di bahu kanan Hinata. Hanabi adalah pribadi yang dingin, tak biasanya ia bicara sebanyak ini. Ini berarti perasaannya suda tak terbendung lagi. Rasa sedih dan dukanya.

Hinata masih mengelus rambut Hanabi dengan sayang. "Sssh... Kita semua tak ada yang mempercayai ini semua, Hanabi. Kita semua menyayangi mereka. Aku yakin, Kami-sama menyayangi mereka. Mungkin ini yang terbaik. Kita nggak punya cukup pengetahuan untuk memperkirakan rencana Kami-sama. Doakan mereka ya, Hanabi."

Hanabi mengangguk pelan.

.

.

.

.

Bertahun-tahun Hinata bekerja di media dan baru kali ini ia membenci orang-orang media. Terutama reporter berita. Hinata mengerti, mereka membutuhkan berita sebagai bahan siar mereka. Tapi apakah mereka tak memikirkan perasaan keluarga korban kecelakaan? Tega-teganya media membombardir pertanyaan pada mereka yang sedang berduka. Tak bisakah mereka menunggu sebentar saja, setelah semua prosesi pemakaman berakhir?

Hinata juga sedikit kesal saat melihat Inoichi-ji-san diwawancara di salah satu stasiun televisi. Pertanyaan yang sama diulang beberapa kali, Hinata yang hanya melihatnya saja geram dibuatnya, apalagi Inoichi. Itu terlihat dari rautnya yang terlihat meredam emosi.

Satu jam yang lalu Sasuke menjemput Hinata, Sakura, dan Hanabi di penthouse Namikaze. Kini mereka sudah sampai di bandara. Tepat setengah jam sebelum jadwal kedatangan pesawat yang membawa Minato dan Kushina.

Hinata membuka pintu dengan memasang sikap defensif begitu dilihatnya kerumunan wartawan berada di sana. Dia benar-benar tidak mau ditanyai oleh mereka. Ia tidak suka. Bahunya terlihat tegang. Sakura di sampingnya menyadari itu, maka ia langsung menyentuh bahu Hinata.

Hinata terkesiap, ia menoleh pada sahabatnya itu.

"Shikamaru-senpai akan mengurus mereka," ucap Sakura pada Hinata. Kemudian matanya menagkap sesuatu di luar sana, dekat para wartawan. "Tuh, benar kan?"

Hinata menoleh lagi ke arah luar. Mendapati alasan kenapa Sakura mengatakan kalimat terakhir itu. Shikamaru ada di sana, berbicara kepada para wartawan, entah sedang mengatakan apa. Tapi itu menenangkan Hinata.

Ketegangan di bahu Hinata perlahan mengendur.

.

.

.

.

Di atas langit yang menaungi mereka, sebuah burung besi raksasa mendekat di kejauhan. Ino mengabarkan pada Hinata bahwa benda itulah yang membawa Namikaze Minato dan Uzumaki Kushina kembali ke Konoha.

Beberapa menit kemudian benda itu mendarat. Beberapa orang berseragam terlihat membentuk formasi untuk upacara penyambutan kedukaan. Itu bukan kehendak Hinata, apalagi Naruto. Dia –dan pasti Naruto juga— tak mengetahui segala prosesi ini. Dia sama sekali tidak diberitahu. Dia memang masih bukan siapa-siapa di keluarga Namikaze. Tapi tak bisakah seseorang mengatakannya padanya? Walaupun mereka dari pihak pemerintah.

Sungguh. Hinata amat tahu, Minato dan Kushina sangat rendah hati dan sederhana. Mendapatkan perlakuan istimewa dan menjadi sorotan media bukan gaya mereka. Hinata yakin, sekarang pun —saat mereka sudah tiada— mereka tidak menginginkan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Hinata tak mempunyai kuasa sedikit pun untuk melarangnya.

Hinata dan kerabat Namikaze yang lain mendekati pesawat saat pintu kargo terbuka. Upacara penghormatan terakhir pun dilaksanakan. Hinata melihat Naruto di sana. Sedang membawa foto Minato dan Kushina di antara dua peti jenazah kedua orang tuanya yang perlahan diturunkan. Ingin sekali Hinata berlari merangkul kakasihnya. Namun ia harus menunggu sampai prosesi berakhir.

Peti Minato dan Kushina dimasukkan dalam mobil yang berbeda, karena mustahil membawa mereka bersama. Naruto memilih ikut mobil yang membawa Minato didampingi Jiraiya, Hiashi, Inoichi, dan Hiashi. Sedangkan Hinata sebaliknya. Bukannya pilih kasih, tapi Hinata ingin sekali melihat Kushina terlebih dahulu. Ia juga ingin memastikannya karena penyangkalan masih menyelimutinya.

Hinata menutup mulutnya dengan kedua tangannya menahan isakan saat peti bagian atas dibuka. Itu memang benar Kushina. Uzumaki Kushina yang sangat disayanginya. Hinata membungkuk pinggiran peti mendekati sosok Kushina yang tertidur abadi. Dia memang tampak seperti tertidur. Masih sangat cantik. Tanpa beban. Penuh ketenangan.

"Kushina-ba—,"—Hinata ingat perintah Kushina—,"Kaa-san."

Hinata menarik panjang napasnya. Memejamkan matanya sejenak. Menahan air matanya.

"Konnichiwa, Kaa-san. Okaerinasai," bisiknya pelan. "Aku ikhlas melepas kepulanganmu menghadap Kami-sama. Karena aku tahu semuanya adalah milik Kami-sama. Aku tahu ini hanya soal waktu. Tapi tetap saja ini berat bagitu. Tapi aku janji aku akan tabah, Kaa-san. Aku akan jadi kuat demi Kaa-san. Agar aku bisa menepati semua janjiku pada Kaa-san dan Tou-san. Aku akan berusaha, Kaa-san."

Sakura memeluk Hinata yang tak kuat menahan air mata.

"Aku akan berusaha."

.

.

.

.

Orang bilang, kebaikan seseorang itu terlihat bukan saat seseorang sedang bahagia, tapi saat seseorang berduka.

Hinata meyakini itu. Dan Hinata percaya. Ratusan orang melayat di memberikan penghormatan terakhir pada Minato dan Kushina. Ingin melihat mereka untuk yang terakhir kalinya. Beberapa rekan dan sahabat Minato dan Kushina bergantian tak henti berorasi di mimbar tentang betapa baiknya mereka, betapa ramah, dan dermawannya mereka. Juga tentang cinta dan kasih sayang mereka, bukan hanya kepada keluarga, namun kepada semua hal.

Hinata makin terharu saat tiba-tiba ada seorang anak kecil—Nana namanya—menarik kursi sebagai pijakannya hanya agar ia bisa mencapai microphone dan bicara di mimbar. Ia memperkenalkan dirinya berusia sepuluh tahun, anak mantan seorang gelandangan yang sering meminta bantuan dan belas kasihan dari orang-orang. Namun dua tahun yang lalu secara tak segaja bertemu dengan Kushina. Tidak, Kushina tidak memberi mereka uang dengan percuma. Ia dan suaminya –Minato –, memberikan orang tuanya pekerjaan, mengajarkan mereka untuk berusaha. Bahwa memberi jauh lebih baik daripada menerima.

Itulah salah satu kisah kebesaran hati Minato dan Kushina.

Hinata menyunggingkan senyumnya saat gadis kecil itu menatap mereka berdua. Hinata juga membalas erat pelukannya begitu Nana menghampirinya. Gadis itu juga menyalami Naruto. Berkata dengan air mata di pelupuknya, "Kata Kaa-san-ku, orang baik selalu dipanggil lebih dulu sama Kami-sama. Kata Kaa-san-ku, mungkin karena Kami-sama sangat menyayangi mereka. Jadi Kami-sama nggak mau mereka menderita di dunia. Kami-sama pasti menyiapkan rumah dengan yang taman yang indah buat mereka. Karena Nyonya dan Tuan Namikaze adalah orang-orang yang baik."

Naruto tidak merespon sama sekali atas ucapan Nana. Hinata menoleh menatap Naruto yang melihat gadis itu sama datarnya dengan raut wajahnya. Jadi seperti pelayat-pelayat sebelumnya yang mengungkapkan rasa belasungkawa mereka pada Naruto, kali ini pun Hinata yang bicara pada Nana. "Arigato gozaimasu, Nana-chan. Jadilah baik seperti mereka, ya."

Nana mengangguk sekali. Gadis kecil itu berbalik berlari ke arah seorang wanita paruh baya yang Hinata duga sebagai ibunya. Nana langsung memeluk wanita itu, dia menangis. Wanita itu menenangkannya, kemudian menoleh pada Hinata. Memberikan Hinata senyuman hangat penuh arti.

'Uzumaki Kushina menitipkan banyak hal padamu. Kuatlah. Beranilah. Jadilah baik.'

Hinata juga membalasnya dengan senyuman.

'Arigato.'

"Sekarang saja." Hinata menoleh pada Naruto. Ia yang barusan bicara. Pemuda itu bicara pada Jiraiya di kirinya. Hinata tak mengerti maksud ucapan Naruto. Ia tak sempat menanyakannya karena Naruto menjauhinya, mendekati peti kedua orang tuanya. Mengacuhkan orang-orang yang bermaksud menyapanya.

Hinata mengikutinya. Pemuda itu berdiri dengan menundukkan kepalanya di antara tubuh Minato dan Kushina yang terbujur kaku. Hinata menatap sedih Naruto. Digapainya tangan Naruto.

Suara Jiraiya mengejutkan Hinata. Ia menoleh ke arah mimbar. Jiraiya mengumumkan bahwa Minato dan Kushina akan dibawa ke Pemakaman Konoha sekitar setengah jam lagi. Hinata menoleh lagi menatap kekasihnya. Secepat inikah? Tak maukah Naruto menunggu sampai besok?

Naruto membalas genggaman tangan Hinata. Dan Hinata mengerti saat itu. Bahwa terus bersama kedua orang tuanya adalah keinginan terbesar Naruto sekarang. Namun itu hanya akan membuatnya lebih berat mengikhlaskan mereka. Ya, lebih cepat Minato dan Kushina dimakamkan akan lebih baik untuk semuanya.

Namun bukan itu alasan di balik gerakan kecil Naruto. Walau perkiraan Hinata pun tak salah.

Naruto membuka matanya. Memandang banyak orang yang memenuhi ruangan itu. Setelah mendengar ucapan Nana, ia berpikir, apakah salah menjadi orang baik? Jika menjadi orang baik akan cepat ditarik nyawa, apakah lebih baik tidak menjadi baik? Jika demikian, bukankah Naruto akan tetap mempunyai orang tua sekarang?

.

.

.

.

Seluruh pelayat—kerabat, sahabat, dan kolega Namikaze dan Uzumaki—telah meninggalkan makam pasangan Namikaze yang menjadi korban kecelakaan pesawat itu.

Kecuali dua orang yang berdiri mematung di sisi dua pusara pualam putih yang bersisian yang masih baru. Bertuliskan Namikaze Minato dan Uzumaki Kushina.

"Kami-sama sungguh kejam! Kenapa Dia mengambil orang tuaku?" Itu kalimat pertama yang terdengar sejak bermenit-menit mereka lewati di sana dalam hening. Ah! Itu bahkan kalimat pertamanya sejak ia kembali dari Beijing. Membuat Hinata menoleh menatap wajah Naruto. Garis wajahnya terlihat kaku dan dingin. Hinata tak suka itu. Tak seperti Naruto yang ia kenal. Apalagi saat kemudian Naruto berkata, "Aku benci Kami-sama."

Hinata meraih tangan kiri Naruto, menyentuhnya, dan menggenggamnya dengan hangat dan lembut. "Jangan membenci Kami-sama, Naruto-kun."

"Kau nggak mengerti apa yang kurasakan, Hinata-chan! Tou-san dan Kaa-san ku sudah nggak ada. Dia mengambil mereka. Aku kini sebatang kara. Aku benci Kami-sama."

Hinata menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi Naruto. Menatapnya seolah memohon pada Naruto untuk balas menatapnya. Naruto belum membalas tatapannya, namun Hinata tetap bicara.

"Percayalah Naruto-kun, aku mengerti. Apa kau lupa kalau aku pun sudah nggak punya ibu? Apa kau lupa sesayang apa aku pada Minato-ji-san dan Kushina-ba-san? Apa kau lupa sudah kuanggap mereka sebagai apa? Percayalah Naruto-kun, aku sungguh merasakan apa yang kau rasakan sekarang."

Akhirnya Naruto menatap Hinata. Tak ada lagi air mata di sana. Hanya ada pancaran kesedihan yang mendalam. "Aku nggak lupa."

"Kita hanya manusia, Naruto-kun. Pemikiran kita nggak akan melampaui setitik pun rahasia di balik semua ini. Kita hanya bisa mempercayai bahwa Kami-sama punya rencana yang terbaik untukmu. Jadi kumohon Naruto-kun, jangan pernah lagi berburuk sangka pada Kami-sama."

Hinata tak peduli Naruto mengganggapnya sedang menggurui atau sok bijaksana. Ia hanya mengutarakan apa yang ia yakini. Dan ia tak bisa membiarkan kebencian di diri Naruto tumbuh.

"Lagipula...," Hinata melanjutkan. Ia melepas sentuhan telapak tangannya di pipi Naruto. Gadis itu kembali memandang dua pusara di depannya. "Tou-san dan Kaa-san-mu sama sekali nggak pergi."

"A-apa?" Naruto mengerjap. Apa maksud ucapan Hinata? Bukankah memang kedua orang tuanya yang dikubur di dalam sana? Dia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Tes DNA pun memastikannya. Lalu?

Hinata tersenyum hangat pada Naruto. "Bukan secara harfiah, Naruto-kun. Aku lebih senang menyebut orang-orang yang sudah nggak ada bukan dengan kata 'pergi', tapi 'pulang'. Karena kita semua bukan berasal dari dunia ini, kan? Maka aku yakin, Tou-san dan Kaa-san 'pulang' ke rumah terbaik yang disediakan Kami-sama. Karena mereka orang-orang baik. Raga dan ruh mereka memang nggak ada di sini lagi. Tapi mereka akan terus hidup. Di sini." Hinata menyentuh dada kiri Naruto. "Di hatimu."

Naruto menyentuh tangan Hinata yang berada di dadanya. Merasakan kehangatannya.

Naruto sama sekali tak menganggap Hinata menggurui atau sok bijaksana. Hinata memang gadis yang bijak. Yang mampu melihat segala hal dari sisi yang positif. Dalam kondisi seperti ini, Naruto menyadari ia memang butuh sosok Hinata di sisinya. Menyadarkan kesalahannya yang telah bodoh menyalahkan—bahkan sampai membenci—Kami-sama atas semua tragedi ini. Di saat sebenarnya ia pun tahu, tak ada satu pun makhluk hidup pun yang mampu luput dari maut.

Kepala Naruto tertunduk. Matanya terpejam. Meresapi semua ucapa Hinata. Dengan tangan yang masih menggenggam Hinata di dadanya. Saat akhirnya ia membuka matanya kembali, ia menatap Hinata. Melihat jelas yang sejak kemarin kabur di pandangannya.

Wajah kekasihnya yang terlihat lelah kurang istirahat dan dihiasi kantung mata. Juga mata ungu pucat seperti bulan yang memandangnya dengan penuh kekhawatiran. Ah! Pipinya pun terlihat lebih tirus seperti kurang makan. Naruto merasa bersalah.

"Gomen ne, Hinata-chan."

"Karena?"

"Karena aku membuatmu mengkhawatirkan aku."

"Itu bukan kesalahanmu, Naruto-kun. Nggak ada yang salah."

Naruto menarik bibirnya sedikit. Memang bukan senyuman. Tapi Hinata tahu, ini sudah jauh lebih baik.

Naruto menurunkan tangan Hinata dari dadanya, dengan tetap menggenggamnya. Ia merendahkan tubuhnya, berjongkok di samping makam kedua orang tuanya. Membuat Hinata mengikuti gerakannya.

Ya. Hinata benar. Ia telah menepati janji terakhirnya pada kedua orang tuanya. Ia menjemput mereka pulang.

"Okaerinasai, Otou-san... Okaa-san." Kemudian sebelah tangan Naruto yang lain bergerak ke salah satu puncak nisan—nisan Minato. Bicara pada makam ayahnya. "Tapi sekarang aku sendirian, Tou-san. Aku nggak punya siapapun lagi."

"Naruto-kun," panggil Hinata. Naruto menoleh. "Sekarang apa yang kau lihat?"

"Kamu," jawab Naruto singkat.

"Dan kau masih mengatakan kau sendirian?"

Hinata tak mendapatkan balasan atau jawaban apapun dari Naruto. Ia hanya merasakan genggaman Naruto pada tangannya mengerat hangat.

Ya. Naruto memiliki Hinata. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan mempertahankan miliknya selamanya. Namun sayang sekali ada satu hal yang Naruto lupa.

Bahwa kata 'selamanya' tak pernah berlaku di dunia fana.

.

.

.

.

[to be continued]


[a/n]

30 April 2014.

Nyaris setahun semenjak kepulangan ayah. Dan hati ini masih saja terkoyak rasa rindu yang tak terobati. Tuhan, titip rinduku untuk ayah. Sampaikan betapa aku menyayanginya. Kumohon Tuhan, bahagiakan ayah, luaskan tempat penantiannya. Kutahu, kasih dan sayangMu pada ayah melebihiku, tak terbatas.

.

Ayah... aku merindukanmu.

Sangat.