Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: Yaoi, AU, OOC, dan hal-hal lainnya.

Pairing: NaruxSasu, sedikit NaruxKyuu

Rating: M... for Mature, SEXUAL, VIOLENT, sedikit GORE and more...


Vampire And The Hunter

.

.

Mint and Orange

.

(part 1)


Baiklah! Dalam semua cerita, perkenalan seorang tokoh utama memang penting'kan? Apalagi tokoh utama sepertiku—Uchiha Sasuke, seorang pemuda yang digambarkan di anime, manga atau fanfic-fanfic sebagai seorang cowok yang tampan, pintar dan dicintai oleh seluruh cewek-cewek. Dengan mata sehitam onyx, rambut segelap burung gagak dan kulit seputih kapas, perpaduan yang melebihi seorang 'dewa yunani'?—Benar?

Tapi hal itu saja belum cukup! Aku—Uchiha Sasuke—adalah seorang vampire... Vampire dengan darah kebangsawanan yang kental. Vampire yang hidup dari generasi pertama—oke, jangan tanya generasi siapa karena aku tidak suka membuka setumpuk buku diperpustakaan untuk mencari riwayat keluargaku...cukup mengatakan kalau aku dari keluarga Uchiha saja sudah membuat para vampire-vampire amatiran diluar sana tunggang langgang—kabur.

Tapi—sekali lagi—hal itu saja belum cukup! Karena aku vampire yang tergolong langka, maka nafsu makanku juga melebihi para vampire lain. Kalau para vampire lain makan apa-saja-tidak-masalah, berbeda dengan diriku, aku hanya ingin makanan dengan kualitas tinggi... Ingat! Kualitas—tinggi!

Aku tidak peduli dia cowok atau cewek, asal memiliki darah yang berkualitas bagus dan langka maka akan kusedot sampai kering.

Seperti malam ini, aku sibuk berkeliaran di sekitar jalan-jalan utama untuk melirik mangsa baru. Mata onyx ku menatap setiap orang yang berlalu lalang, beberapa manusia membuatku mengernyit jijik. Bukan karena muka mereka jelek—melainkan aroma tubuh mereka yang berbau busuk? Amis? Entahlah... Yang pasti membuat penciumanku benci untuk mengendus baunya.

Aku melangkahkan kakiku melewati taman yang penuh dengan anak-anak manusia, aku berhenti sebentar untuk melirik mangsa. Satu... Dua... Tiga... Tidak ada yang menarik untuk kumakan. Mereka semua berbau amis—blehh!

Aku memasukkan tanganku ke dalam kantong jacketku, berusaha tetap hangat. Bahkan aku sendiri juga tersenyum tipis ketika mengingat bahwa tubuhku bisa kedinginan padahal aku adalah seorang vampire—menggelikan!

Jariku merogoh rokok, mengambilnya dan menyelipkannya di sela bibir, membakar ujungnya kemudian menghisapnya dengan nikmat. Mata bosanku sudah menjelajahi seluruh manusia yang berada dijalan ini, tetapi tidak ada yang 'berkualitas' untuk jadi mangsaku—menyebalkan!

.

.

"Sendirian?" Suara seorang cowok membuatku harus menoleh ke samping. Seorang pemuda yang—aku tebak masih berumur 25 tahun. Dia memiliki rambut pirang yang menyilaukan dan senyum lebar yang lebih menyilaukan lagi. Mataku sakit.

"Hn..." Jawabku malas, sambil melepaskan rokok dari bibir, menjatuhkannya di tanah kemudian menginjaknya pelan. Cowok pirang itu hanya tersenyum saja.

"Mau jalan-jalan sebentar?" Tanyanya lagi. Aku diam tidak menjawab, aku mengendus udara untuk mencium aroma tubuhnya—tidak ada bau sama sekali. Bahkan aroma amis dan busuk juga tidak tercium. Apakah hidungku bermasalah? Ataukah aku sedang pilek?—tidak—tidak. Mana mungkin seorang vampire pilek, pasti ini karena dia memiliki kualitas bagus. Yang berarti darahnya sangat enak untuk dihisap. Ahhh... Membayangkan tegukan darah yang mengalir di tengorokanku membuatku semakin lapar. Aku tidak akan mennyia-nyiakan kesempatan ini.

Aku berusaha menarik ujung bibirku membentuk senyum kaku, "Baiklah—" Jawabku, "Ayo kita jalan-jalan." Sambungku lagi, kali ini berusaha bersikap ramah untuk memancing mangsaku.

.

.

.

Kami sudah berjalan mengelilingi kota hingga 2 jam, tetapi cowok pirang itu tidak menampakkan dia kecapekan atau letih, dia bahkan dengan semangatnya menjelaskan riwayat sebuah kedai ramen kebanggannya—yang selalu kujawab 'Yeah—Yeah—Whatever.'

Sebenarnya kapan sih dia capek? Aku sudah kelaparan sejak satu jam yang lalu, perutku terus berbunyi minta diisi. Walaupun dia selalu membelikanku roti, benda tawar itu tidak akan membuat perutku kenyang. Astaga—kenapa sih manusia selalu memakan benda-benda aneh, tumbuhan-tumbuhan pahit, ikan mati—Euuhh! Menjijikan!

"Kau sakit? Kau terlihat pucat." Ucap cowok pirang itu tiba-tiba, aku mendongak malas kearahnya.

"Aku—lapar." Jawabku pelan. Dia hanya tersenyum.

"Bukankah tadi kita sudah makan roti? Atau kau mau makan yang lain? Ramen mungkin?" Tanyanya sambil terlihat berpikir. Aku memutar bola mata dengan malas—astaga Tuhan, jangan ramen lagi.

"Kau tahu, ramen disekitar sini terkenal enak, bangunan itu berdiri sejak puluhan tahun yang lalu..." Kata Pemuda pirang itu yang kembali bercerita tentang sejarah, riwayat dan peradaban ramen. Aku sudah hampir menjedotkan kepalaku ketembok karena cerita tidak-pentingnya itu... Ya Kami-sama, Jashin-sama, Shinigami, siapa saja, tolong hentikan si bodoh ini untuk bercerita tentang ramen lagi.

"Bisakah kita istirahat? Aku capek." Ucapku sedikit ketus, dia menengok ke arahku dengan bingung kemudian menyunggingkan senyum lebar.

"Baiklah." Jawabnya mantap, "Bagaimana kalau di dalam gereja sana?" Tunjuknya pada salah satu bangunan tua bergaya Eropa. Aku berpikir sejenak, kemudian mengangguk.

"Hn..." Kataku singkat. Toh, cuma masuk ke dalam gereja saja—aku tidak akan mati—benar?

.

.

.

Gereja itu ternyata lumayan luas dan terlihat mewah dari dalam, aku benar-benar tidak menyangka. Padahal aku pikir bangunan di dalamnya pasti penuh debu dengan bangku-bangku kayu reot dan jendela yang pecah disana-sini, kau tahu— seperti di film-film. Tapi nyatanya tidak sama sekali.

"Bagus'kan?" Kata pemuda pirang itu sambil bergerak menuju altar, berjongkok disana, dan menangkupkan kedua tangannya. Pemuda itu mulai berdoa. Aku hanya duduk malas disalah satu bangku, mengeluarkan rokok, menyulutnya dan menghisapnya pelan. Mata onyx ku tidak lepas dari sosok pemuda pirang itu. Dia terlihat serius sekali berdoa.

Bibir cowok pirang itu bergumam kecil, "Terima kasih atas kehidupan yang telah kau berikan padaku." Ucapnya pelan, aku hanya menghisap rokok saja.

"Terima kasih karena telah memberikanku kekuatan untuk terus hidup." Kata cowok pirang itu lagi. Aku hanya menguap malas mendengar dia bergumam doa.

"Dan terima kasih—" Cowok pirang itu merogoh sakunya, "—Untuk 'santapan' yang nikmat ini." Ucapnya sambil mengeluarkan dua buah pistol.

Cowok pirang itu berbalik dengan cepat, mataku terbelalak kaget ketika moncong pistolnya mengarah ke kepalaku.

"—Terima kasih, Tuhan." Sambungnya lagi.

.

-DOORR!-

.

.

.

Aku terjerembab jatuh ke belakang, tubuhku menghantam bangku kayu, membuat kursi itu terbelah dua. Rokok ku sudah jatuh ditanah dua detik yang lalu. Aku berdecak kesal.

"Astaga—Harga rokok sekarang mahal tahu." Ucapku malas. Sambil membersihkan debu yang menempel di bahu. Tubuhku tidak terluka karena aku berhasil menghindar dari tembakan pemuda gila berambut pirang itu.

Pemuda itu menyeringai—bukan seringai menawan seperti waktu pertama kali bertemu, melainkan seringai kelaparan. Bagi penglihatanku dia yang lebih mirip vampire dibandingkan aku. Astaga—reputasiku mulai turun kalau begini.

"Jadi—" Kataku sambil mengacak rambut hitamku, "Kau Hunter, huh?"

Pemuda pirang itu menyeringai, "Begitulah—dan kau pasti vampire yang mulai membusuk, heh?" Ucapnya yang membuat amarahku meninggi.

"Dengar, Dobe! Apa begitu sopan santunmu pada orang yang lebih tua? Umurku sudah 100 tahun lebih." Jawabku sambil melepaskan jacket panjang dan jas hitam milikku. Aku mulai bersiap-siap menyerang pemuda itu.

Cowok pirang itu meludah, "Cih, dasar Teme!" Dia mulai menarik pelatuk pistol lagi.

-DOR!-DOR!-DOR!- Tembakannya berusaha mengenai kepalaku, tetapi gerakanku lebih cepat, dengan lincah aku menghindar dan berkelit dari desingan peluru. Dia berdecak kesal.

Aku menyeringai, kemudian berusaha meluncurkan tendangan kesamping tubuhnya. Dia menahan dengan lengannya, membuatnya hanya mundur beberapa meter saja. Senjata peraknya mulai mengarah ke arahku. Suara letusan peluru lagi-lagi hanya mengiris udara kosong, beberapa kaca gereja bahkan pecah karena hantaman letusan tadi. Aku bersalto menghindar dan bergelantungan dengan anggun di atas plafon. Aku merogoh saku celana kemudian mengeluarkan rokok, "Kau tahu, Dobe?" Ucapku pelan, "Kau seharusnya bisa jadi makanan yang penurut—kau memiliki kualitas darah yang bagus." Sambungku sambil menghisap rokok dalam-dalam.

Pemuda dibawahku hanya berdecak kesal, dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya kemudian melemparkan ke arahku.

"Hgggh—" Aku tersedak ketika seikat tali melilit tubuhku. Pemuda pirang itu menyeringai.

"Kau tahu, Teme? Kau bisa menjadi vampire yang penurut kalau kau mau." Balasnya lagi sambil menarik tubuhku dari atas plafon. Aku terjatuh ke tanah dengan suara -BRUK- yang keras, beberapa debu berhamburan disekitar badanku. Dan lagi-lagi batang rokok ku terjatuh di lantai—sial! Apa dia tidak tahu kalau sekarang harga barang melonjak tajam, begitu juga harga rokok?

Pemuda pirang itu mendekat dengan seringai yang mengerikan, "Sebelum aku membunuhmu, akan kuperkenalkan diriku dahulu..." Ucapnya dengan gaya hormat para pangeran Inggris. "Namaku—Uzumaki Naruto, aku harap kau akan mengingatku di alam sana." Lanjutnya sambil mengeluarkan belati perak.

Mataku terbelalak ngeri ketika dia mulai mengangkat tinggi-tinggi benda tajam itu, "Selamat tinggal..." Bisiknya pelan, "...Teme." Kemudian dengan gerakan cepat, dia menghunuskan benda tajam tadi ke jantungku.

-JLEB!-

"GWAAAAAAAA...!" Aku meraung kesakitan. Tubuhku mengejang keras kemudian ambruk di lantai. Darah segar langsung menyembur dengan deras di tanah. Pemuda pirang itu tertawa senang, dia menikmati pertunjukkan tubuhku yang bergetar sekarat di lantai Gereja.

"Menyedihkan—" Ucapnya sarkastik, "Kau mati tanpa memberitahu namamu." Lanjutnya yang mendorong tubuh matiku dengan ujung sepatu hitamnya.

Pemuda itu—Naruto—Dia berjalan dengan angkuh menuju altar kemudian berdoa lagi. "—Amien." Katanya, mengakhiri doa sambil menggerakkan tangannya membuat tanda cross di depan dadanya.

.

.

.

"Ngomong-ngomong, Dobe..." Suaraku membuatnya berbalik kaget. "Namaku—Uchiha Sasuke." Ucapku santai.

"A—APA?!" Serunya kaget, "Ba—Bagaimana bisa kau—"

Aku tersenyum tipis sambil berusaha berdiri dari lantai, kemudian melepaskan tali yang melilit dan belati yang menancap ditubuhku, "Kau tahu? Ditikam seperti itu rasanya sakit sekali—sungguh." Ucapku pura-pura menampilkan mimik kesakitan. Pemuda pirang itu menggeram gusar.

"DIAM KAU, TEME!" Teriaknya murka sambil mengacungkan kembali mulut pistolnya ke arahku. Aku mendesah lelah, dengan gerakan cepat aku sudah berada dibelakangnya.

"Kau itu berisik ya, Dobe." Bisikku tepat ditelinganya. Sedetik kemudian aku sudah menghajar bagian belakang punggungnya, membuat tubuhnya terpental ke depan dan menghantam pintu gereja dengan suara -BRAK!- yang keras. Dia jatuh dilantai kemudian terbatuk darah. Ia masih menggeram kesal.

Aku menguap malas, sudah tidak berniat untuk bermain-main lagi, "Aku akan pulang, entah kenapa rasa laparku sudah hilang melihat kebodohanmu." Ucapku dengan santai yang berlenggang menuju pintu depan, tetapi Naruto langsung berdiri didepan jalanku, membuatku lagi-lagi berdecak kesal.

"Mau apalagi?" Tanyaku malas. Dia menunduk... tetapi sedetik kemudian sebuah seringai terlihat, dia kembali menarik sesuatu dari sakunya dan melemparkan ke arahku.

Aku mundur ketika rasa panas menerpa pakaianku, mataku terbelalak ngeri, "I—Ini—"

Cowok pirang itu berdiri dan memperlihatkan sebuah botol yang berisi air suci, aku menggeram gusar, terlebih lagi karena 'air' yang dilemparnya itu, pakaian mewahku menjadi terbakar.

"KAU!" Aku meraung dan menggertakkan gigiku, memperlihatkan sepasang taring yang siap menghisap darah pemuda itu hingga habis. Dan mata onyx ku kini berubah menjadi semerah darah—aku benar-benar murka.

Dia meneteskan air tadi di kedua pistol dan seluruh peluru miliknya, kemudian menjatuhkan botol yang kosong itu ke lantai.

-PRANG-

.

Naruto menyeringai kemudian meludah, "Kalau begitu, aku tidak akan bermain-main lagi, Teme."

Pemuda pirang itu menerjang ke arahku dengan seluruh pistol dan pelurunya yang sudah dilumuri air suci... Sial! Aku tidak boleh ceroboh kali ini.

-DOR-DOR-DOR- Tembakan beruntun darinya, hampir membuatku kalang kabut melarikan diri—menghindar.

Aku mencoba menangkap lampu besar diatas plafon untuk berayun kesamping. Tetapi Naruto lebih cepat satu detik, dia dengan keras menendang perutku, membuatku terjerembab ke lantai.

Aku terbatuk sambil tetap berusaha berdiri, Naruto berjalan angkuh dengan menenteng kedua pistol antik ditangannya, "Jadi—Bagaimana kalau kau menyerah sekarang?" Ucapnya dengan suara parau karena letih berkelahi, tetapi seringai diwajahnya masih terlihat jelas.

Aku mendengus kecil, "Huh, tidak akan pernah." Jawabku santai yang sudah berdiri menantangnya.

Mata biru Naruto berkilat tajam, kemudian di detik berikutnya suara tembakan membuat telingaku berdenging.

Naruto—Dia menembakku tepat di perut, membuat darah segar langsung merembes di kemeja putihku. Aku mundur perlahan sambil memegangi perutku yang berlubang. Pemuda pirang itu hanya berdecak kesal ketika melihatku kesakitan, "Cukup menyerah apa susahnya, sih?"

Aku menggeram marah, mataku kembali memerah dan taringku kembali muncul. Aku bersiap untuk menerjangnya lagi.

-DOR!- Tembakan lain menghentikan perubahanku menjadi 'vampire'. Kini pemuda pirang itu menembakku di paha, membuatku langsung terjatuh dilantai. Rasa nyeri mulai menjalar. Sial! Kalau bukan karena 'air' mengerikan itu, aku sudah membunuhnya sekarang juga.

Naruto menimbang-nimbang senjatanya di bahu, mata malasnya melirik Sasuke, "Huhh—Apa yang harus kulakukan padamu, ya? Kau keras kepala, Teme."

Aku beringsut mundur ketika Naruto berjalan ke arahku—membuat jarak sejauh mungkin adalah pikiran yang cerdas, dan bila ada kesempatan aku akan kabur... Bullshit dengan harga diri Uchiha—Yang terpenting sekarang adalah bagaimana aku bisa melarikan diri tanpa ditembak dengan peluru bodohnya itu.

"Mencoba kabur, hum?" Kata Naruto santai, bibirnya terangkat, menampilkan sebuah seringai yang bagiku sangat menjijikan untuk dilihat. Dan—Bagaimana dia bisa tahu kalau aku berencana untuk kabur? Dia ESP? Semacam orang yang punya indera keenam untuk membaca pikiran orang lain? Fuck that shit!

Aku menatapnya dengan death glare paling mematikan—percuma! Si bodoh itu tidak akan tahu betapa dinginnya pandanganku. Sial!

"Apa yang kau inginkan?" Tanyaku, berusaha menyembunyikan nada parau dari suaraku. Naruto bergumam pelan.

"Mungkin—Sedikit bermain dengan vampire sepertimu, Teme." Nada suaranya berubah, dari aneh menjadi semakin aneh. Jujur—melihatnya menjilat bibir dengan pandangan nafsu begitu membuatku merasakan firasat buruk.

Naruto mencengkram luka di pahaku, membuatku meringis kesakitan. Pemuda pirang itu mendekat perlahan, "Aku akan membuatmu memohon ampun padaku, Teme."

Aku mendengus dengan menampilkan senyum meremehkan, "Yang benar saja—Aku tidak akan memohon." Sahutku ketus. Naruto memutar bola matanya dengan malas kemudian mencengkram pahaku yang terluka—membuat darahku kembali mengucur dengan deras.

"Hgghh!—Ugghh—" Aku meringis berusaha menyingkirkan cengkramannya dari kakiku. Apa dia tidak tahu? Kekurangan darah bisa membuat vampire mati lemas? Sial!

Naruto mendekatkan wajahnya ke sisi leherku, berusaha mencium aroma mint yang menguar dari tubuhku, "Kau—harum, Teme..." Ucapnya pelan. Aku tidak peduli dengan pujiannya, yang kubutuhkan sekarang adalah kabur dan mencari mangsa! Tetapi tindakan Naruto selanjutnya sanggup menyulut kemarahanku. Dia menjamah kemejaku dan membuka kancingku satu persatu, menampilkan kulit putihku yang bernoda merah karena bercak darah.

Aku meringis ketika jarinya menyentuh luka di perutku, "Aghh! Stop—Kalau ingin membunuhku, lakukan dengan cepat, Bodoh!" Seruku kesal.

Naruto menyeringai, "Sayangnya, aku suka menyiksamu terlebih dahulu, Teme." Ia memulai aksinya dengan menorehkan belati peraknya ke tubuhku, membuat garis darah disepanjang dadaku. Aku berusaha menahan rasa sakitnya.

Naruto menjilat bibirnya ketika melihatku tersiksa, dia mulai menindihi atas tubuhku, kemudian menjilat rembesan darah di dadaku. Sapuan lidahnya—entah kenapa membuatku mengerang... Aku tidak tahu, apakah eranganku itu termasuk erangan kesakitan atau erangan nikmat. Sungguh, aku sendiri tidak bisa membedakan suaraku.

"Wah—Wah—sepertinya ada yang menikmati permainanku, ya?" Ucap Naruto sambil menyisir rambut hitamku. Aku membalasnya dengan tatapan mengancam dan itu semakin membuatnya tertawa liar.

"Aku tidak menikmati permainanmu, Dobe!" Ucapku sinis sambil berusaha berontak dari tindihannya. Sayanganya—tenagaku terlalu lemah untuk berontak, aku kekurangan banyak darah. Aku harus cepat-cepat mensuplai diriku dengan cairan merah berbau amis itu.

"Bagus kalau begitu—Karena sekarang permainan yang menarik akan segera dimulai." Desisnya ngeri sambil mengeluarkan belati perak dan talinya lagi. Pemuda pirang itu mengikat kedua tanganku dengan erat, kemudian dia mendesis lagi, "Teme, ayo kita bermain disini—sekarang juga."

Mata onyx ku melotot ngeri ketika dia menorehkan sekali lagi pisau peraknya ke lenganku. Aku mengerang nyeri dan sakit, "Hgghhh!—"

Naruto menyunggingkan senyum misterius kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mempertemukan bibirnya yang hangat ke mulutku yang dingin layaknya mayat. Ia memaksaku membuka mulutku dengan lidahnya—aku pasrah. Aku merasakan lidahnya yang hangat menyapu seluruh mulut keringku. Rasanya lengket dan—nyaman. Aku bisa mendengar dia mengecupku dengan kecupan panjang kemudian melepaskan pagutannya untuk mengambil oksigen—untungnya aku vampire, jadi aku tidak perlu repot-repot untuk bernapas seperti dia.

"Kau manis—Teme. Mulutmu, tubuhmu, dan—" Naruto tidak menyelesaikan kalimatnya, mata birunya menatap celana bagian bawahku, dan aku mengerti apa yang dia pikirkan... Oh tidak—aku tidak akan mau diperkosa oleh anak manusia macam dia.

Sekali lagi tubuhku berontak dari tindihannya—percuma! Aku lemah sekarang. Dan kini, aku malah berdoa dalam hati agar cowok bodoh ini tidak memperkosaku. Sial! Kenapa tidak langsung membunuhku saja? Misalnya dengan—menyalibku mungkin? Atau menusukku di jantung? Setidaknya mati dengan cara seperti itu lebih terhormat ketimbang harus diperkosa oleh bocah ini.

Naruto yang melihatku menggeliat berontak dibawah tindihannya, membuat libidonya naik. Dengan cepat dia mengecup bibirku, menjilatnya dan berusaha memasukkan lidah basahnya ke dalam mulutku... Oh Tuhan—Jangan ciuman lagi. Aku muak harus merasakan setiap sentuhannya di lidah, gigi dan gusiku. Kenapa manusia begitu menjijikan seperti ini?

"Nghhh! Stop—You Jerk—Hnnnhh—" Aku berusaha protes tetapi lidahnya dengan lihai menutup suaraku dengan lenguhan nafsunya. Naruto tidak peduli dengan pemberontakkanku, Ia dengan tangkas memasukkan jari hangatnya ke benda dibalik celanaku. Mataku terbelalak kaget ketika tangan besarnya mencengkram benda dingin milikku yang masih lemas. "Agghhh—Hghhh—Stop!"

Sekali lagi—pemuda pirang itu tidak mempedulikan protesanku, dia malah melancarkan aksinya mencium leherku dan meninggalkan kissmark di bagian dada. Aku mengerang, "Nghhh—Ahhnn—Do—be—Ahhhh."

Naruto menjamah batang kemaluanku yang mulai berdiri tegak, pemuda itu mengocoknya pelan dan dengan irama konstan. Aku melirik kejantananku yang berdenyut-denyut senang karena sentuhan hangatnya. Aku mengigit bibirku—mencoba meredam desahanku. "Hnnhhh—Ahhhk—"

Naruto mengecup keningku, menyisir rambut hitamku dengan tangan satunya. Dia memperlakukanku sangat lembut dibandingkan saat dia berkelahi denganku beberapa menit yang lalu. Kini, pemuda pirang itu mulai melepaskan celana panjangku dan mengeluarkan kejantananku dari celana dalamku yang mulai basah. Membuat benda itu berdiri tegak dihadapannya.

Naruto menyentuh ujung kejantananku dengan jarinya, membuatku terhentak ke belakang karena sensasi nikmat. Mulutku terbuka berusaha mengambil oksigen—karena entah kenapa rasanya paru-paruku akan meledak kalau aku tidak berusaha bernapas. Menggelikan—benar?

"Kau—suka—Sasuke?" Ia memanggilku dengan nada manja dan menggoda. Keningnya mendekat ke dahiku dan deru napas hangatnya menyentuh wajahku. Rasanya—Nyaman.

Aku menggeleng pelan, Ia tersenyum, "Pembohong—" Ucapnya lagi yang mulai mencium bibirku lembut. Aku mulai menikmati sapuan lidahnya dan membiarkan diriku telentang di lantai. Wajahku memerah, entah karena panasnya hawa di dalam gereja ini atau memang darahku sedang menggelegak karena nafsu, Aku sendiri tidak tahu.

"Naruto—" Panggilku dengan nada menggoda, aku bingung kenapa aku bisa mengeluarkan suara mendesah seksi begitu dihadapan cowok bodoh ini. Apakah aku sudah masuk ke dalam 'permainan' liarnya? Ah—sial!

Pemuda pirang itu mengelus dadaku dan menarik-narik nipple ku sebelum dia melepaskan baju dan celana miliknya. Mataku terfokus pada miliknya yang sudah berdiri tegak dihadapanku. Lebih berdenyut dan—terasa hidup.

Naruto meraih daguku kemudian menciumku penuh nafsu. Ia berbisik pelan, "Kau—menginginkanku?" Tanyanya penuh misterius. Aku tidak menjawab, hanya suara desahan saja yang keluar ketika dia meremas-remas milikku... Aku mulai mabuk dengan sentuhannya. Dia menjilat telingaku, mencium pipi dan menghisap leherku, membuatku serasa melayang beberapa menit. Aku bahkan lupa dengan luka yang ada diperut maupun pahaku. Pikiranku kosong sekarang.

Naruto mendengus pelan di telingaku, aroma jeruk menguar dari lehernya. Apakah parfumnya selalu memabukkan seperti ini? Aroma jeruk yang membuatku hampir hilang kesadaran? Ahhh—ternyata aroma tubuhnya memang memikat.

Aku menyentuhkan pipiku ke pipinya, membuat gesekan pelan layaknya kucing. Hangat... Kulitnya hangat—aku suka.

Naruto membalasku dengan mencium kening dan pipiku, dia kembali menyentuh batang kemaluanku dan mengocoknya pelan, aku mendesah, "Nghhh—Hnnn—" Eranganku membuat libidonya makin naik. Dengan sigap dia mendekatkan kejantanannya ke mulutku, membuatku harus mencium aroma miliknya yang memabukkan. Secara perlahan, dia membuka mulutku dengan ujung miliknya yang mengeluarkan pre-cum. Kemudian memaksaku mengulumnya dalam-dalam.

Pemuda pirang itu berusaha menahan getaran tubuhnya, ketika lidah dinginku menyapu batang kemaluannya. Pinggulnya menyodok perlahan ke kerongkonganku, membuatku tersedak cairan pre-cumnya. Kedua tanganku yang terikat ke depan berusaha menahan genjotan pinggulnya. "Hgghh—Naru—Ghhh!"

Naruto menjambak rambutku kemudian menyodokku lebih keras, dia melenguh nikmat, "Ahhh—Hhhh—Sasuke—Hgghhh!" Ia menikmati ketika aku tersedak kejantanannya yang besar. Mulutku dapat merasakan, batang kemaluannya berdenyut-denyut meminta lebih. Dengan cepat Naruto mengeluarkan penisnya dengan suara -Plop- keras dari mulutku—berusaha menahan cairan yang keluar.

Dia mengelus daguku kemudian mencium bibirku lagi, jemarinya menari-nari di bagian nipple ku dan kejantananku. "Kau—Manis." Dia bergumam pelan ditelingaku, "Kau—vampire tercantik yang kutemui." lenguhan dan pujiannya membuat wajahku semakin bersemu. Mungkin terasa aneh vampire yang berumur lebih dari 100 tahun harus bersemu merah karena perkataan seorang pemuda yang—entahlah, berumur 25 tahun mungkin... menggelikan—benar?

Aku hanya menatapnya dengan pandangan diam, Naruto tersenyum menatap bola mataku yang hitam. Aku dapat mendengarnya berbisik 'Cantik seperti boneka' atau 'Manis layaknya kucing.'—aku tidak protes ketika dia memujiku dengan rayuan anak muda seperti itu. Aku—senang.

Tanganku berusaha menggapai kejantananya, kemudian mencengkramnya kuat lalu menggigitnya lembut dengan gigi taringku. Dia lagi-lagi melenguh nikmat disela ringisan nyerinya. Naruto menyukai ketika batang kejantanannya ku gigit pelan atau kucubit. Ia mendengus penuh nafsu.

Aku mengeluarkan penisnya dari mulutku, kemudian menatapnya dengan mulut terbuka yang penuh air liur dan pre-cumnya, aku mulai bicara, "Naruto—Enak?" Tanyaku lagi. Dia mengangguk pelan lalu mencium bibirku lagi, menjilat lidahku, dan menghisap bibirku. Suara 'Sluurp' nikmat terdengar ketika aku membalas dengan menghisap mulutnya juga. Saliva kami saling bertautan, membentuk benang tipis yang menjalar dari bibirku ke lidahnya.

Aku masih menikmati permainan lidah Naruto ketika tanpa sengaja pemuda itu menyentuh pantat kenyalku kemudian meremasnya dengan gemas. Aku sedikit tersentak kaget tetapi langsung terdiam ketika dia kembali mengocok penisku dengan tangannya yang lain. Aku mengerang layaknya gadis perawan dibawah tindihannya, membuat Naruto semakin gencar mencumbu bibirku.

Jari Naruto kembali bermain di pantatku, mencoba mencari lubang analku dibawah sana. Aku hanya bisa mengerang ketika satu jarinya masuk ke lubang virginku. Bibir pemuda pirang itu menghentikan eranganku dengan cumbuannya. Dia mahir dalam mengendalikan gairah lawan 'main' nya. Dalam satu menit, bagian bawahku sudah berdenyut-denyut meminta barang yang lebih besar dari kedua jarinya. Naruto mengerti, dengan handal dia menjilat lubang analku dengan sapuan nikmat. Memasukkan lidahnya ke dinding lubang virgin-ku.

Aku mengerang, "Ahhh—Naruto—Unghhh—" Berusaha menahan getaran enak yang diberikan oleh lidahnya dibawah sana. Cowok itu menjilat mulai dari paha, perut, dada kemudian berakhir dibibirku. Dia terus mencumbuku hingga aku merasakan pemuda itu sudah memposisikan batang kemaluannya di lubang analku. Aku bergerak berontak, walaupun aku menerima sentuhannya bukan berarti aku mau 'Dimasuki' olehnya—benar?

Naruto mengecup hidungku lembut, "Hum? Ada apa, Sasuke?"

"Dengar—" Aku berusaha bangkit, tapi tubuhnya menindihiku, membuatku tidak bisa bergerak, "—Aku senang kau bersikap manis padaku, tapi aku tidak pernah 'melakukan' hal ini, Oke?" Jelasku lagi, tetapi Naruto tidak memperhatikan. Dia sibuk menciumi wajahku. Mataku, hidungku, bibirku, daguku, semuanya—seakan-akan dia kecanduan dengan diriku.

"Hentikan—Naruto—" Erangku lagi—benar-benar risih ketika dia terus menciumiku disaat aku tidak ingin disentuh.

"Sasuke—" Panggilnya, "Jangan membuatku harus memaksamu." Senyumnya terlihat lembut, tetapi dibalik bibirnya itu, aku tahu dia sedang memandangku dengan tatapan dinginnya. Dia bukan meminta melainkan memerintah—dan aku tidak suka itu.

"Cukup!" Seruku kasar—aku mendorong tubuhnya tetapi ototnya menahan tubuhku untuk bergerak. Pemuda itu tidak memandangku dengan pandangan lembut lagi, matanya memandangku dengan dingin.

Naruto mengambil belatinya kemudian menjilat benda perak itu dengan seringai licik, "Kau tahu, Sasuke?—Aku disini untuk membunuhmu, ingat?—Jadi jangan 'sok menjadi pangeran' disini."

Aku menggigit bibirku—dia benar, aku hanya seorang tahanan, kenapa aku bisa terlena dengan sentuhannya? Ini—memalukan!

"Fine—" Aku menatapnya tajam, "—kalau begitu aku akan terus berontak layaknya tahanan." Aku mulai menendang perutnya, membuat pemuda itu terhuyung ke belakang. Dengan langkah cepat aku mulai merangkak kabur.

-JLEB!-

"GWAAAAAAA!" Aku berteriak kesakitan ketika Naruto menikam betisku dengan belati. Membuat kakiku tidak bisa bergerak. Darah merembes dengan cepat ke lantai. Naruto menyeringai.

"Jangan—membuatku—marah—Sasuke." Ucapnya penuh penekanan, kemudian merangkak menuju ke arahku, memaksaku untuk menahan berat tubuhnya yang menindihiku. Ia memulai aksinya dengan memasukkan batang kejantanannya ke lubang analku. Aku berteriak kaget.

"Hentikan!" Seruku tidak terima. Tetapi percuma—Naruto sudah mendorong masuk penisnya ke lubangku. Membuatku harus mencakar lantai kayu karena rasa sakit yang teramat perih. "AGHHHHH! Stop—Aghh!"

Naruto tidak peduli, dengan mantap dia mulai menggenjot lubangku. Aku merasakan nyeri di kaki dan dibagian bawahku. Aku merasa—tubuhku dibelah menjadi dua. Perih dan Sakit!

Naruto melebarkan kakiku, dan membiarkan kakiku yang satunya lagi tertancap belati. Menjaga agar aku tidak melarikan diri lagi. Dia mulai melenguh nikmat ketika batang kejantanannya mendorong masuk mencari prostat milikku.

Rasa nyeri belati membuatku berteriak sakit, "Aghhhh! Stop!—Agghhh!" Daging kakiku teriris makin dalam, ketika Naruto mulai bergerak. Dia menyodokku tanpa mempedulikan daging di betisku yang keluar dan tulang putih yang terlihat disana. Teriakanku membuatnya semakin menikmati 'gulat panas' ini.

Aku membuka mulutku berusaha bernapas, sodokannya membuat aku menikmati rasa sakit di kakiku dan nyeri dilubang analku. Nikmat! Rasa sakit yang nikmat!

Aku mulai mendesah, "Ahhh—Ahhhk—Hnnggg—" Tubuhku mulai memanas karena nafsu. Aku tidak peduli lagi pada luka ditubuhku dan membiarkan penis Naruto menjamah lubangku lebih dalam. Naruto menyeringai kemudian mencabut belati yang tertanam di kakiku, aku mengerang perih tetapi selanjutnya tertelan oleh desahan nikmat karena sodokan Naruto.

Pemuda itu tersenyum, "Sepertinya—kau lebih penurut sekarang." Ucapnya lembut yang mengangkat kakiku kemudian mengecup robekan daging di betisku. Aku dapat melihat darahku mengenai bibirnya. Ia tidak peduli, pinggulnya sibuk mendorong batang kemaluannya masuk lebih dalam ke lubang analku.

Aku mengerang lebih nikmat ketika penisnya mengenai prostatku, kejantananku berdiri tegak dengan pre-cum yang terus mengucur melawati batang kemaluanku. Naruto meremas dua buah kantong di bawah penisku, membuatku menggelinjang nikmat.

"Kau—cantik." Pujinya lagi sambil mencium bibirku. Ia terus menyodok dan mendorong batang kemaluannya ke lubangku. Membuat suara becek yang menggema di dalam gereja.

"Ahhhh—Sasuke—Hhhh—" Naruto melenguh tepat ditelingaku sambil tetap menyodok lubangku. Aku mencengkram bahunya, menahan getaran nikmat yang terus menjalar dari paha ke penisku.

Naruto menyeringai ketika menatap wajahku yang terlihat erotis dengan mulut terbuka dan lidah menjulur. "Aku ingin—Hhh—melihatmu lebih dari sekedar erotis—Sasuke." Ucapnya misterius.

Sebelum aku menyadari perkataannya, dia sudah menusuk perutku dengan belatinya, aku berteriak keras—kesakitan, "ARGHHHHHH!—"

Mulutku terbatuk darah, tetapi dia tidak menghentikan sodokannya di lubangku. Dia menikmati aku menderita dan tersiksa. Naruto tersenyum aneh, "Sekarang—kau terlihat—lebih erotis—Sasuke." Ucapnya lagi.

Pandanganku hampir mengabur, aku yakin sebentar lagi aku kan mati. Tubuhku melemah ketika dia terus menggenjot lubangku tanpa henti. Dia terus melenguh dan mengerang nikmat sambil terus memanggil namaku. Aku membuka mulut berusaha bernapas.

Naruto menyentuh wajahku yang makin pucat, aku hampir sekarat. Ia menyeringai gembira, "Lakukan—dengan lebih—erotis lagi." Bisiknya pelan ditelingaku.

Tangannya menyentuh luka diperutku kemudian menggenggam belati yang menancap disana, "Ayo—bermain—hingga kita sekarat." Ucapnya lagi sambil menjilat bibirnya yang kering. Detik selanjutnya, dia mulai merobek perutku secara horizontal, membuat darah segar langsung menyembur keluar dan muncrat diwajah tan nya.

Aku mengejang sekarat, mulutku terbuka kesakitan, mataku terbelalak dan terbalik hampir memutih. Aku tidak sanggup berteriak—terlalu sakit! Tetapi Naruto tidak peduli, dia menganggap wajahku semakin'cantik' ketika hampir mati. Dia menciumku.

"Kau—makin manis." Katanya sambil mengangkat kedua kakiku dan menyodokku lagi. Tangannya meremas perutku yang robek dan memasukkannya ke dalam sana. Mencari organ dalamku yang masih berdenyut.

Aku melihat perutku terbuka lebar dengan beberapa usus yang menjuntai ditariknya. Kalau aku manusia—aku pasti sudah mati sekarang. Tetapi karena aku vampire, seidaknya aku masih bertahan dengan rasa sakit di robek dan dimutilasi.

Aku mengerang dan bernapas pendek-pendek ketika Naruto masih menyodokku. Aku melihat penisnya menyodok organ dalamku yang berdenyut dan berwarna merah. Ia menggenggam penisnya dari dalam tubuhku, membuatku terhentak kaget ketika dengan kasar dia mencengkram organ dalamku. Membuatnya mengocok penisnya sendiri dari dalam tubuhku.

"Hgghh—Hhh—Ghhhoghh—" Aku sudah hampir mati. Mataku terbalik, dan mulutku terbuka. Air liur dan cairan airmata keluar tanpa henti.

Naruto mendengus senang, kemudian -KRAAK!-

"AARGGHHHH!' Aku meraung kesakitan ketika dia mematahkan lengan tanganku. Membuat tulang putih mencuat dari sana. Darah mengucur lagi dengan otot-otot daging yang sobek.

"Jangan mati dulu—Hhh—Aku belum—bersenang-senang." Katanya sambil mengambil belati dan mengiris daging dan tulang di lenganku. Aku dapat mendengar suara gesekan tulang dan benda tajam dari arah kiriku, dan yang kulihat selanjutnya adalah potongan lenganku yang dilemparnya ke arah lain. Dia sudah memutilasi tanganku.

Aku tidak sanggup lagi, pandanganku menggelap, napasku putus-putus dan tubuhku mengejang sekarat. Sebentar lagi aku akan mati, dan Naruto mengetahui hal itu. Dengan cepat dia makin menyodok lubang analku, membuat penisnya berdenyut-denyut minta dikeluarkan. Dia mendesah nikmat, "Ahhh—Sasuke—Hgghhh—Ahhhhk—"

Tubuhku bergetar ketika disodoknya, aku tidak peduli lagi, aku hanya ingin mati dengan tenang. Tetapi sepertinya itu mustahil—Naruto mulai mengocok penisku yang juga hampir memuntahkan cairan putihnya. Aku mencengkram bahunya dengan tangan kananku yang tersisa. Di dalam perutku yang terbuka, aku dapat melihat seluruh organ dalamku menggelegak ketika batang kemaluan Naruto menyodok bagian perutku.

"Ahhhgghh—Aku keluar—Hgghhh!" Naruto menghentakkan beberapa kali pinggulnya ke lubang analku kemudian aku melihat spermanya merembes masuk ke saluran diperutku. Aku mengejang—Antara sekarat dan ingin keluar.

Kemudian...

-CRASH!- Naruto menebas penisku yang hampir memuntahkan sperma dengan belati miliknya.

"AARGHHHH!—" Aku berteriak dengan sisa suara yang ada. Dia menyeringai senang, ketika potongan batang kejantananku jatuh ke lantai, meninggalkan semburan darah dan cairan putih kental yang mengucur dilantai dari sisa kejantananku. Tubuhku menggelepar sekarat di pelukan pemuda itu.

Naruto berbisik pelan, "Tidurlah—Sasuke-chan." Ucapnya lembut. Aku masih mengejang pada detik terakhir, kemudian selanjutnya tubuhku terdiam kaku. Mataku sudah terbalik—menampilkan bola mata berwarna putih dengan mulut yang terbuka karena sekarat.

.

.

Hembusan angin menyapu tubuhku yang lambat laun berubah menjadi abu. Mulai dari kaki, perut kemudian kepala. Pemuda pirang itu melepaskan tubuhku yang kini terbang menjadi kumpulan debu hitam. Sosok matiku sudah menghilang dari pelukannya, tergantikan dengan abu debu disana—meninggalkannya sendirian terduduk di tembok gereja.

Naruto mengambil puntung rokok yang terjatuh dilantai, membakar ujungnya, kemudian menghisapnya dengan nikmat, matanya memandang sisa debu dari jasadku. Pemuda itu tersenyum, "Sayang sekali—padahal kau termasuk vampire yang menarik, Sasuke." Bisiknya pelan.

Dia bangkit dari duduknya lalu mulai berpakaian, tangannya yang penuh darah mengambil belati yang tertancap dilantai, membersihkannya sebentar kemudian memasukkannya ke kantong jacketnya.

Naruto mulai membuka pintu depan gereja dan bergerak keluar. Langkah pelannya terdengar ketika tapak kakinya menjauh dari gereja. Dia mengambil jacket hitam, memasukkan tangannya ke kantong dan menutup lehernya dengan kerah jacket, dia merinding sebentar ketika udara malam menerpa wajahnya. "Well—sepertinya aku harus mencari vampire lain." Berbarengan dengan perkatannya, hembusan angin menerpa wajahnya sekali lagi, membuatnya harus cepat-cepat menjauh dari gereja—dia tidak ingin terkena flu atau semacamnya.

.

.

.

.

.

_Uchiha's Mansion_

Udara malam membuat suasana di Mansion Uchiha makin terlihat menyeramkan. Seorang pemuda berambut hitam panjang yang diikat ke belakang sibuk menghisap rokoknya sambil menatap bulan yang tergantung separuh di langit. Tubuhnya duduk dengan nyaman disofa dengan perapian yang hangat didepannya. Matanya tidak lepas dari jendela yang berada disamping ruangan, menampilkan langit yang gelap gulita. Tiba-tiba hembusan debu menerpa wajah cowok itu dari arah jendela ruang tamu. Dia berdecak kesal.

"Sasuke—bisakah kau datang dengan gaya biasa saja? Melalui pintu dan bukan jendela?" Katanya kaku sambil melirik kumpulan debu hitam yang berputar-putar kemudian lambat laun berubah menjadi sosok pemuda tampan berambut raven—Aku—hanya mendengus kesal.

"Hn—" Jawabku tidak peduli. Aku mengambil rokok dari bibirnya kemudian menghisapnya pelan. Mataku dapat melirik tatapannya yang bingung melihatku kusut begini.

"Darimana saja kau?" Tanyanya bingung.

Aku mendesah, "Bukan urusanmu, Itachi." Jawabku enteng—aku tidak sudi kalau aku mengatakan bahwa aku baru saja 'diperkosa dan dibunuh' oleh Hunter... Hei! Aku sudah bilang bukan? Aku bukan vampire amatiran—aku tidak dapat mati, tetapi bukan berarti tikaman senjata pemuda pirang itu tidak sakit. Ia merobek tubuhku, bermain dengan organ dalamku dan—itu benar-benar menyakitkan. Sungguh!... Aku terpaksa berpura-pura mati dengan menjadi debu agar aku bisa kabur. Kalau tidak begitu, Ia akan terus menyiksaku—Hell no!

Itachi hanya mendesah, "Ganti bajumu—kau terlihat menyedihkan."

Aku mendengus kasar, "Terima kasih atas pujiannya." Ucapku sarkastik yang berjalan melewatinya.

Sebelum aku beranjak dari pintu, Itachi sudah berbalik dan memandangku dengan tatapan mengernyit bingung, "Kau—memakai parfum?" Tanyanya lagi.

Aku mengendus bau badanku—aroma jeruk.

Apakah parfumnya masih menempel ditubuhku? Ughhh—mengingat aroma jeruk saja sudah membuatku membayangkan dirinya yang memperkosaku beberapa menit yang lalu. Bukannya tidak suka—hanya saja, melakukan sex dengan orang sadist dan masochist membuat tubuhku hancur lebur.

"Iya—Ini parfumku." Jawabku pura-pura. Aku tidak bisa bilang kalau ini adalah aroma dari parfum cowok pirang itu.

Itachi terlihat tidak suka, "Cepat mandi—baumu terlalu menyengat."

Aku mengangguk malas, "Hn—" Kemudian aku segera pergi dan masuk ke kamarku. Menutupnya dengan suara -Blam- kecil. Itachi mendesah.

"Anak itu kenapa sih? Cara jalannya aneh."

.

.

.

.

Naruto melirik jam tangannya—Pukul 03.00 pagi. Langit masih gelap tetapi beberapa jam lagi mentari pagi akan mulai bersinar, sebelum itu, sebaiknya dia segera kembali ke rumah. Dengan langkah cepat, dia melewati beberapa blok yang masuk ke dalam perkarangan graveyard.

Di belakang graveyard tua dan kuno itu, berdiri sebuah rumah kecil yang terlihat nyaman dan tentram. Naruto mengetuk pintu kayu dengan ketukan halus. Pintu itu berderak terbuka, menampilkan seorang anak laki-laki berumur 10 tahun yang memiliki ekor dan telinga layaknya serigala. Dia tersenyum ramah.

"Kau sudah pulang?" Tanyanya lagi. Naruto mengangguk kemudian melemparkan jas hitamnya. Anak itu segera menangkap pakaian Naruto kemudian menyampirkannya digantungan baju.

Naruto melirik bocah tadi, "Kau masih belum pulih—Kyuubi-chan?" Tanyanya lagi.

Bocah tadi melotot kesal kearahnya, "Jangan memanggilku seenaknya begitu. Aku ini 'kakak' mu—mengerti?" Ucapnya kesal. Naruto hanya menghela napas pasrah. Ini sudah dua tahun sejak kakaknya berubah menjadi manusia serigala—hanya saja dia tidak tahu kalau saat berubah menjadi manusia serigala, orang akan kembali disaat berumur 10 tahun. Dalam hal ini—kakaknya sebenarnya sudah berumur 30 tahun lebih tetapi karena dia termasuk manusia serigala, maka kakaknya kembali ke umur 10 tahun dan tetap menjadi anak-anak sampai sekarang. Rumit? Yup! Sangat!—Bagi Naruto, kehidupannya benar-benar rumit. Terlebih lagi untuk mengembalikan Kyuubi ke keadaan normal dia harus berburu vampire legendaris dan mengambil darahnya untuk diserahkan pada kakaknya itu—konon katanya, darah murni seorang vampire akan mengobati seorang manusia serigala. Tetapi vampire yang memiliki darah murni benar-benar langka saat ini.

"Kau hunting sampai pagi lagi?" Tanya Kyuubi sambil menyerahkan semangkuk sup hangat dengan irisan wortel dan jagung. Naruto menerimanya tanpa protes.

"Aku mencari penawar untukmu—" Ucap Naruto sambil menyeruput sup panas itu. Kyuubi hanya duduk sambil memainkan rambut merahnya. Jemari kecilnya menarik-narik telinga serigala miliknya.

Naruto meliriknya sedikit kemudian beranjak menuju kakaknya itu, pemuda pirang itu berjongkok diadapan Kyuubi kemudian mengelus pipi chubby bocah serigala itu. "Tenang saja—kita akan mendapatkan penawarnya segera." Kata Naruto lagi. Kyuubi mengangguk lemah, membuat telinganya ikut bergoyang.

Tangan Naruto menyentuh belakang leher Kyuubi kemudian menariknya mendekat ke arah wajahnya. Kyuubi memejamkan matanya ketika bibirnya bertemu dengan bibir Naruto.

Pemuda itu mencium lembut bibir Kyuubi kemudian membuka mulut Kyuubi dengan lidahnya. Bocah berambut merah itu mengalungkan lengannya di sekitar leher Naruto, menikmati cumbuan yang diberikan adiknya itu.

Naruto tanpa sadar menyentuh belatinya—hasratnya bergejolak, ingin menorehkan luka di tubuh kakaknya itu. Dia memiliki kelainan sadisme dalam dirinya. Naruto akan merasa bergairah ketika melihat pasangannya menderita, berdarah, bahkan mati saat melakukan sex dengannya.

"Na—Naruto?" Suara Kyuubi terdengar gugup ketika Naruto mengacungkan belati kearahnya, membuat pemuda pirang itu langsung tersadar dan cepat-cepat menyarungkan pisaunya kembali. Dia menyentuh keningnya yang berdenyut, kemudian menjauh dari kakaknya itu.

"Maaf—Aku—" Naruto tidak dapat meneruskan perkataanya. Pikirannya pusing dengan kelainan yang dideritanya. Kyuubi tersenyum ramah.

"Tidurlah—hari ini kau tidak perlu hunting lagi. Aku yang akan menggantikanmu, oke?" Kata Kyuubi lagi. Naruto hanya mengangguk pasrah—toh, Kyuubi sering berburu vampire bersamanya. Dia pasti tidak akan apa-apa—benar?

"Ngomong-ngomong, Kyuubi-chan—" Naruto menoleh ke arah kakaknya sebelum masuk ke dalam kamar.

"Hum? Ada apa?"

"Vampire yang murni itu seperti apa? Maksudku—bagaimana kita tahu kalau vampire itu murni?" Tanya Naruto lagi. Kyuubi terlihat berpikir sejenak.

"Aku pernah baca bahwa vampire murni tidak akan pernah mati dan terus hidup kekal—" Jelasnya lagi, "—Dan konon, vampire murni hanya ditemukan pada keluarga 'Uchiha', keturunan generasi pertama dari peradaban vampire." Sambung Kyuubi yang mendapat tatapan mengernyit dari Naruto.

"Uchiha? Rasanya—" Pemuda pirang itu menggantungkan kalimatnya. Pikirannya berkecamuk dengan nama yang sangat familiar itu. Apakah—vampire yang semalam? Ah tidak—bukankah dia sudah mati? Berarti bukan vampire 'cantik' bernama Sasuke itu.

"Naruto? Ada apa?" Tanya Kyuubi lagi. Naruto tersentak kaget kemudian menggeleng.

"Ti—tidak apa-apa. Sebaiknya aku cepat tidur." Ucapnya lagi yang bergegas masuk ke dalam kamar.

Kyuubi hanya mendesah pelan kemudian mengambil jas kotor Naruto yang tergantung di gantungan baju. Hidung Kyuubi mencium bau yang bukan milik Naruto dari jas cowok pirang itu. Seperti—aroma mint yang lembut.

Kyuubi mengangkat bahunya tidak peduli, "Mungkin dia memakai parfum lain, tapi aku tidak tahu kalau dia suka aroma mint—bukankah anak itu suka aroma jeruk?" Ucap Kyuubi yang masih sedikit penasaran, tetapi detik selanjutnya dia lebih tertarik menyiapkan peralatan berburu vampire dibandingkan jas yang beraroma mint itu.

.

TBC

.

.

Sebuah VamFic yang direquest oleh Collin Blown a.k.a AnakYunjae

Maaf kalau ada kekurangan (_ _) *bungkuk badan*... XD hehehe, aku harap minna-san suka

RnR Please ^O^