A/N : Hanya baca ulang sekali, maaf kalau masih ada typo or kalimat gajeness karena kata-kata menghilang. Mata udah seperempat watt.. belom tidur.

Langsung balas review aja ya ^^


Balas review~
Yuuhee

Ok, ^^ sudah dilanjut nih,,

URuRuBaek

Ini chap terakhir, yang pasti Sessho nongol :3

suki da shaany, miszshanty05 :

Ini sudah lanjut ^^, silahkan dibaca~

Yamaguchi Akane

Sayang aku nggak nyeritain masa lalu Inu-chan.. :3

Maaf ya, itu Cuma di bahas sekilas dichapter kemarin aja ^^
Nanti dipaling bawah ada jawabanmu ^^
Aku suma bisa BD tapi SM-nya aku belom sanggup. Suwerrr! -_-v
Haha... Sessho muncul nih untuk Sang adinda Inuyasha-chan (?)

DarkLiliy :

Duh... nggak perlu dibeli, nanti ada tuh di bawah dimana ceritanya ^^

Dan BDSM? Kayaknya lemon dichapter ini nggak terlalu BDSM deh, Cuma B-nya aja DSM-nya ngga ikut,,

Wonkyu stalk :

Sudah dilanjut nih XD

devilojoshi

Hohoho.. Iya, Aku orang sundanis(?) nih loshi XD

Kamu linu, aku sengsara nih sama lemon chapter ini T^T.. nggak tau hot apa nggak lemonnya. Ngerasa bukan aku banget :'(((((

Tenang aja, kakanda Sessho datang di sini XD

yunauii

Di sini~ di sini~ di sini~ #jadinyanyi

Silahkan baca aya, biar lebih jelas XD

Minge-ni :

Sudah lanjut~ baca ya~ dan nikmati sajian R-18 ini XD

afifah. kulkasnyachangmin :

Dilanjut nih, baca ya XD

fuyu cassiopeia :

Di sini malah Inu-channya 'berdiri' terus #apaan?!

aoi yuki honey :

Thank ^^

shiro yuki :

Hahaha... aku mau tau kamu bisa ngomong ggak pas baca chapter ini XD #plakk

Badai sakura :

yah, dari pada sama kamu mendingan ama aku XP

kan authornya aku,, mwehehehehe #sembelih

Kai Shinza :

Sudah lanjut! Maaf lama ya!

akirakihito :

Eh? Makasih-makasih~

Baca yaw~

mikhail. elluna :

Bukan incest kok, dan aku pakai Inu mode hanyou biar kerenan dikut, nggak pake Inu mode ningen *manusia*

ameru-chan :

Di chap ini hampir full romance kok ^^

silahkan dinikmati~

cyiendy :

Sudah dilanjut~

Guest :

Ok! Silahkan baca!

by uchiha sasunaru chan :

Uwaduh~

Kayaknya inspirasinya nggak bener deh,, aku jadi mikir horror soal cerita yang mau kamu bikin... #dikemplangsapu

tetsuya kurosaki :

Ini sudah dilanjut, bacalah ya~ ^^

MizuKaze Naru :

Ini sudah dilanjut ^^

Feel dichap ini dapet kah?

ayulopetyas11 :

Duuuuh... makasih pujiannya, jadi malu aku awh~ #getok

Haha.. iya aku lanjut nih, pertanyaanmu dijawablah sama cerita ini ^^

NiYo Chan :

Udah nih!

Masih ngegantung kah?

diosasuna :

Aku udah bales kamu deh kalau nggak salah,, XD

Aku nyari-nyari dimbah gugel dari kemaren dan nggak nemu istilah pasangan yang suka nyakitin pasangan bercintanya. T^T

namanya apa coba, hiks... aku mau ganti, tapi aku nggak tau istilahnya,

adakah yang bisa bantu?

.


.

.

.

Let's Enjoyed ttebayo!

.

.

.

Disclaimer:

Inuyasha milik Takahashi Rumiko-Sensei

Rate :

M

Genre : Hurt/Comfort, drama, (ROMANCE)

Pairing : SesshomauXInuyasha

slight : InutashoXNaraku (Crack Pair)

Warning!

AU, Hard Yaoi, BL, BoyXboY, Rape, Lime, Hard Lemon, Crack,

OOC, gaje, alur kecepetan, ketidak nyambungan alur, typo dan sebangsanya.

Dont't Like? Yeah Dont Read!

Okey?

Nick Say FuckerShit For Kagari / UzumakiKagari present

Kill Me, if You Want to Have Sex With Me

.


*########*###########*#############*#############*#############*##########*

O. Kagari Hate The Real World.O


.

Malam terasa begitu sunyi. Hening, tidak ada suara meskipun hanya suara nyanyian jangkrik dipekarangan rumah bergaya tradisional jepang yang gelap gulita. Jika saja bulan purnama di atas sana tidak meneranginya, mungkin saja hanya akan terlihat seperti bangunan gelap tak berpenghuni. Namun, itu juga sangat disayangkan. Seseorang yang duduk di atas lantai kayu menghadap pada pekarangan sederhana di depannya malah mengharapkan hal sebaliknya.

Ia tidak ingin ditemani oleh siapapun. Tidak juga oleh bulan yang 'tersenyum' cerah ditengah hitam kebiruannya langit. Ia hanya ingin sendiri, tanpa ada apapun yang mengganggunya. Dan bulan membuatnya yang ingin sendiri merasa kesal. Sinarnya yang terang sudah mengganggunya dengan menyinari wajah menyedihkan yang menjadi ekspresinya saat ini. Kesal karena ia merasa bulan tengah tertawa melihat keadaannya sekarang.

Iris madunya terlihat berkilat seperti air yang bening memantulkan sinar bulan. Wajahnya mendongak, kepalanya yang menandar pada tiang kayu bersisi empat siku mengarahkan wajahnya langsung pada purnama.

Inuyasha merasa sangat menyedihkan.

Berapa lama ia di sini. –Maksudnya duduk setiap malam dan memandangi bulan yang terkadang enggan untuk melihatnya. Sudah seberapa lama ia termenung dengan wajah seperti orang pesakitan seperti ini. Satu –bulan kah? Mungkin lebih. Tidak, ia sebenarnya tidak tahu pasti sudah berapa lama ia berada di tempat ini. Ia sudah kehilangan hitungannya saat hari kesepuluh atau kesebelas –ia tidak menghitung lagi.

Penenangan diri. Itulah yang menjadi alasannya untuk berada di tempat ini. Keluar untuk sementara dari rutinitas pekerjaannya sebagai pelcur –penjaja sex untuk orang-orang 'sakit'.

Naraku mengizinkannya, terlebih saat melihat kinerjanya mulai tak memuaskan pelanggan. Laki-laki itu tidak ingin kehilangan sedikitpun asetnya yang berharga hanya karena ia –yang adalah asetnya yang berharga- merasa tidak nyaman.

Tetapi Inuyasha tidak akan berterima kasih untuk itu. Karena ia tahu, setelah Naraku memanggilnya untuk kembali bekerja, yang akan ia hadapi adalah 'tidak ada penolakan untuk siapapun yang menginginkannya' sudah menunggu. Tapi sungguh Inuyasha tidak peduli. Toh, itu memang pekerjaannya kan? Sebagai pemuas nafsu para bajingan.

Salah satunya, bajingan yang membuatnya merasa 'sakit' saat ini.

Inuyasha menghela napasnya, berat. Saat tujuannya menenangkan diri malah menjadi titik balik dari memikirkan kenapa dirinya menjadi seperti ini. Merasa gundah. Juga hatinya yang merasa sesak setiap kali memikirkan Si salah satu 'bajingan' itu.

Sepertinya keputusannya salah untuk mengasingkan diri di tempat ini. Bukannya juga ikut tenang. Ia justru merasa semakin kacau balau.

Bahkan semakin kacau dengan kantung matanya yang menghitam, tanda ia –sangat- kurang tidur. Ia yakin 'kecantikannya' akan benar-benar luntur jika setiap hari ia seperti ini. Dengan kegiatan yang sama. Bangun dengan kepala seperti mau pecah setelah bermimpi hal yang sama, berjalan dengan satu tangan yang memegangi dinding, termenung lama di kamar mandi –sempat ia hampir dua jam hanya duduk di pinggiran bak mandi dan tak melakukan rutinitas yang seharusnya, lalu makan dengan tidak selera meskipun setiap hari ia selalu disuguhi makanan penuh nutrisi berharga mahal oleh pelayan. Dan malamnya, ia akan duduk ditempat yang sama persis dengan malam ini. Memandangi langit dengan manik madunya yang berubah sendu. Sampai ia bisa tertidur di sana hingga pagi menjelang.

Tapi, ia tidak merasakan bosan untuk terus melakukan hal yang sama setiap harinya. Lebih tepatnya, Inuyasha tidak bisa merasakan perasaan lain selain 'sakit' yang aneh pada dadanya. Dengan pikirannya yang –mulai tidak waras untuk terus-menerus melahirkan kalimat tanya yang sudah terhitung ratusan kali ia coba untuk menjawabnya. Namun hasilnya nihil. Tidak ada satupun dari pertanyaan itu mampu dijawabnya.

Dan itu membuatnya sangat amat frustasi. Dan ia merasa bodoh.

Ia menghela napasnya lagi. Sebaiknya ia beranjak dari sini sebelum ia tertidur di sini seperti kemarin malam.

Inuyasha mengangkat kakinya dari atas rumput dan memijak pada lantai kayu. Ia memegangi tiang kayu di sampingnya untuk membantunya berdiri. Ia mengernyit saat pandangan terasa berputar melihat warna-warna disekitarnya berpadu.

"Ukh..." Sebelah tangannya memegangi keningnya, memijat bagian itu agak keras. Kepalanya berdenyut sakit. Rasanya pusing sekali.

-Brugh!

Tubuhnya terjatuh bebas dari lantai rumah ke atas tanah. Membentur dengan cukup keras namun rasa sakit itu sudah tak dirasakan lagi. Matanya tertutup, tak ada lagi sisa kesadaran darinya.


.

.

.

.

.

.

.

.


Tubuhnya terasa sangat panas sekali. Ia tidak perlu untuk membuka matanya yang terasa berat hanya untuk tahu jika tubuhnya saat ini sedang tidak dalam keadaan baik. Napasnya yang tersendat meskipun begitu memburu untuk menyuplai oksigen dalam parunya semakin membuatnya sadar ia tengah sakit. Ia juga tidak perlu repot-repot menggerakan mulutnya yang tengah terbuka –membantunya bernapas- untuk menanyakan ia sedang berada di mana sekarang.

Terlalu sulit. Dan yang pasti permukaan lembut tempatnya berbaring ini adalah tempat tidur. Inuyasha lebih memilih untuk kembali menyerahkan kesadarannya pada Sang tuan mimpi. Setidaknya itu lebih baik dari pada harus merasakan sakit tubuhnya secara sadar.

Dan ia memang akan kembali tidur jika saja elusan lembut dipipinya tidak membuat ia terlanjut penasaran. Apa lagi karena sentuhan itu terasa sangat dingin, seperti air es yang menyentuh permukaan kulitnya. Kontras sekali dengan temperatur tubuhnya saat ini.

Dengan sangat enggan tapi tetap ia lakukan, Inuyasha membuka matanya. Sangat perlahan, karena kelopak matanya terasa amat berat untuk terbuka. Warna yang buram, warna gelap yang abu-abu, lalu mulai membentuk menjadi seperti langit-langit dengan putih yang remang. Inuyasha menutup kembali matanya. Butuh waktu untuk terbiasa dikala matanya terasa amat panas.

Kelopaknya kembali terbuka, kali ini lebih jelas gambaran suasana dari ruangan yang ditempatinya. Ini kamar tempatnya tidur selama sebulan ini, karena itu ia tidak mengucapkan apapun untuk bertanya. Kemudian bola matanya bergerak ke samping, ingin melihat apa gerangan sentuhan dingin yang menyentuh pipinya, namun yang ia lihat hanya gelap dengan beban kecil membuat matanya terpaksa menutup. Seperti kain basah hangat.

"Tidur, tubuhmu membutuhkannya,"

Samar ia mendengar suara yang menyuruhnya untuk kembali tidur. Mungkin seseorang yang menutup matanya ini. Tapi suara itu terdengar tidak asing, namun ia tak bisa mengingat siapa pemiliknya. Inuyasha menyerah untuk menebak siapa pemilik suara laki-laki yang berada bersamanya dan memilih untuk menuruti kata-katanya. Kembali tidur.

.

.

.

Inuyasha menatap diam pada laki-laki di sampingnya. Membiarkan saja saat tangannya dipegang dan pergelangannya ditekan agak kencang. Mulutnya terkatup dengan sebuah alat berbentuk tabung yang ujung kecilnya dimasukan ke dalam mulutnya. Sesekali ia memainkan alat itu untuk mengusir rasa penasaran sekaligus sebagai penunda dari mulutnya yang sudah gatal ingin bertanya.

Dan ia tidak bisa untuk tidak langsung mengeluarkan suaranya saat alat dimulutnya dicabut oleh laki-laki berkaca mata di depannya.

"Ano –siapa yang memanggil Anda kemari?" –itu pertanyaan yang pertama kali terlintas dikepalanya.

Laki-laki berkacamata itu tersenyum sebelum kemudian menatap benda ditangannya. "Suhu tubuh Anda sudah normal, tapi saya akan memberikan resep obat untuk memastikannya. Jangan lupa untuk makan dan minum air putih yang banyak –" ucap laki-laki itu. Tangannya memasukan semua benda yang ia keluarkan dari tas hitam di samping tempatnya bersimpu, "Anda juga harus menjaga pola makan Anda dengan teratur. Kekurangan cairan dan vitamin akan membuat tubuh anda drop lagi. Tolong lebih peduli pada kondisi tubuh Anda sendiri, Inuyasha-sama," ucapannya berakhir dengan sebuah senyum simpul.

"Tugas saya sudah selesai. Saya mohon permisi dulu, Inuyasha-sama. Dan Anda harus meminum obat yang sudah saya resepkan,"

Inuyasha hanya bisa mengedipkan matanya saat laki-laki itu beranjak pergi. Meninggalkan dirinya yang kebingungan dengan selembar kertas ditangannya. Resep obat dari ...err dokter itu.

Ia menghela napasnya. Bahkan orang itu tidak menjawab pertanyaannya. Sekarang malah meninggalkan dirinya yang tidak tahu harus apa dan bagaimana. Tapi –bukannya kemarin ia itu ada luar kamar, -Ok, ia ingat kalau ia sempat sadar –kenapa juga ia bisa tertidur ia tidak tahu- dan ia ada di kamar. Tubuhnya terasa sangat tidak nyaman, panas dan dadanya terasa sesak. Itu artinya ia sakit. Tapi ia juga ingat jika dirinya mendengar suara seseorang di sampingnya saat itu. Seseorang yang ada bersamanya, apa orang tadi itu? Tapi rasanya bukan. Sentuhan dingin dipipinya itu, ia ingat betul siapa yang biasanya melakukan itu padanya.

Tapi, mungkin ia hanya bermimpi. Karena saat ia bangun, yang ada di hadapannya hanya dokter tadi. Memeriksanya dan melakukan pemeriksaan ini-itu. Bukan orang yang ia harap –tunggu dulu! Memangnya siapa juga yang ia harapkan ada di sini? Memangnya ada seseorang yang ia harapkan ...ya?

Inuyasha menggelengkan kepalanya cepat. Apa sih yang ia pikirkan? Siapa juga yang mengharapkan seseorang err.. entah siapa ada di sampingnya? Ia kan di sini memang sendirian, hanya ada dua pelayan yang setiap pagi, siang dan sore datang ke tempat ini.

Lalu kenapa ia mengharapkan seseorang yang jelas-jelas tidak akan pernah datang kemari. Tidak akan menemuinya lagi.

Pandangan Inuyasha bertumpu pada selimut putih yang masih membungkus kakinya. Pakaiannya sudah diganti dengan kemeja putih dan celana hitam selutut. Mungkin pelayannya yang mengganti pakaiannya saat ia tidur. Ia tidak terlalu pedulilah dengan itu. Sekarang itu lebih penting untuk membuang jauh-jauh perasaan tidak nyaman didadanya ini.

Ia merasa sangat bodoh. Baru saja sembuh tapi dipikirannya ini masih saja orang itu. Orang itu terus. Kapan sih ia bisa melupakannya? Sampai kapan, dihati kecilnya ini masih mengharapkan dapat melihatnya lagi. Melihat iris keemasan yang menatapnya tanpa ekspresi. Menatap wajah yang sesekali tersenyum tipis saat –

Inuyasha menggeram.

"Agh! Kuso!"

Kaki Inuyasha menendang selimut putih itu hingga memperlihatkan keseluruhan kakinya. Apa-apan sih! Kenapa ia harus terus mengingatnya? Ini menyebalkan, sangat menyebalkan saat ia harus mengakui jika –jika ...ia merindukannya.

Sreeg...

"Kenapa pagi-pagi sudah marah?"

Inuyasha bermaksud untuk memaki siapapun yang mengganggu acara 'amarah karena galau'nya. Namun yang keluar dari bibirnya hanya suara sunyi dengan sepasang matanya yang melebar. Pintu geser yang terbuka itu, di sana. Seseorang tengah menatapnya dengan sepasang iris coklat keemasan, tubuh yang sedikit menampilkan siluet dengan sinar mentari yang merambat masuk.

Inuyasha terdiam.

Tidak tahu harus berbuat apa.

Manik madunya mengikuti gerakan laki-laki di depannya saat laki-laki itu melangkah masuk. Ia masih diam meski pandangannya menyiratkan hal lain, lebih dari sekedar kata yang terkunci karena bibirnya yang terbungkam.

Kertas ditangannya diambil, sepasang iris emas menatap deretan tulisan di atasnya dengan cepat dan kembali menatap kearahnya yang masih diam.

"Bersihkan tubuhmu, dan ganti pakaianmu," ucap suara berat khas laki-laki dari orang di depannya. Tapi Inuyasha masih diam. Rasanya apa yang dilihatnya ini bukan kenyataan. Ia masih bermimpi.

"Sessho –maru?" ia memanggil nama orang itu.

Sepasang manik keemasan memaku penglihatannya. Ia menatap dengan wajah setengah bingung, membuat Sesshomaru menggunakan tangannya untuk mengusap wajah Inuyasha. Mengusapnya dari atas ke bawah, singkat namun gesekan kulit yang sejenak membuat wajahnya panas itu mampu untuk menghapus ekspresinya yang tadi.

"Apa yang kau lakukan!" Inuyasha menyentuh wajahnya dengan cepat dan mengelus hidungnya. Tidak terlalu sakit, tapi tetap saja mengejutkannya. Ia menatap tajam pemuda di depannya. Tidak terima.

"Aku tunggu di depan," Sesshomaru berjalan keluar tanpa menggeser kembali pintu yang dilewatinya.

.

.

Inuyasha terdiam cukup lama setelah kepergian Sesshomaru dari kamarnya. Ia masih menatap kearah yang sama, pintu kamarnya yang terbuka. "Ugh..." Telapak tangan yang mengelus hidungnya beralih untuk menutupi kedua matanya. Satu tangannya menumpuk dipunggung tangan lainnya. Matanya terasa sangat panas saat ini. Ia ingin sekali menangis. Ia juga tidak tahu kenapa ia ingin menangis.

"Dasar bodoh,"

.

.

.

.

.

.

Kaki beralaskan sendal rumahannya berhenti untuk berjalan saat ia telah sampai di pekarangan depan rumahnya. Ia berdiri menghadap seseorang yang tengah duduk menyamping dikursi mobil dengan pintu yang dibiarkan terbuka. Berhadapan langsung dengannya.

Ia menatap sinis orang di depannya itu, "Mau apa kau kemari?" tanya Inuyasha. Sungguh, ia tidak ingin berbasa-basi saat ini.

Sesshomaru turun dari mobilnya dan berjalan mendekati Inuyasha. Ia berhenti dua langkah di depan pemuda cantik itu. Ia menggerakan bola matanya, melihat dari bawah ke atas. Sandal rumahan, celana berbahan katun selutut dengan banyak kantung, kaus berwarna abu-abu dengan tulisan sablon 'Never have me' –keluaran salah satu produk pakaian terkenal anak muda zaman sekarang.

Penampilan yang sama sekali tidak memperlihatkan jikalau Si penggunanya ini adalah seorang pro dalam menjajakan tubuhnya. Tampilan saat ini selayaknya pemuda simple di zaman sekarang.

"Ayo pergi," Sesshomaru membalikan tubuhnya dan berjalan kembali mendekati mobilnya.

Inuyasha mengerjap, "Hah?" ia tidak salah dengarkan? "Aku tidak mau. Lagipula aku sedang cuti dari pekerjaanku. Pergi sana, kembali saja nanti kalau Naraku-san sudah memanggilku," ucap Inuyasha. Ia melipat tangannya di depan dada dan menatap punggung Sesshomaru, pemuda yang saat ini menghentikan langkahnya.

"Kalau begitu kau mulai bekerja lagi hari ini. Aku sudah mengatakannya pada laki-laki itu," Sesshomaru kembali melangkah dan baru berhenti di samping pintu mobil hitamnya yang terbuka, mengunggu Inuyasha.

Decakan terdengar dari Inuyasha, "Memangnya mau kemana? Tidak bisa di sini saja? Kau tidak suka suasana kamarku? Aku bisa mengaturnya, bisa kusuruh pelayan di sini untuk –"

"Jalan-jalan," potong Sesshomaru.

"Apa?" Inuyasha yakin ia salah dengar.

"Kita jalan-jalan," ulang Sesshomaru. Matanya memberi lirikan pada Inuyasha lalu mengarah pada pintu mobilnya yang terbuka. Memberi perintah tanpa kata.

Dan Inuyasha makin tidak mengerti, "Aku ini dibayar untuk digunakan diranjang. Kau mau menyia-nyiakan uangmu hanya untuk jalan-jalan denganku?" tanyanya tidak percaya. Rekor yang pertama jika memang Sesshomaru lebih memilih untuk jalan-jalan dari pada melakukan aktivitas ranjang bersamanya. Ia ini mahal loh! Masih ingat tarifnya kan? Hampir setara dengan keuntungan dan pengeluaran pembuatan film luar.

Diamnya Sesshomaru malah membuat Inuyasha yakin laki-laki itu hanya sosok orang kaya yang punya kelainan dan gila, ah –juga pemikiran aneh tidak terduga.

Inuyasha angkat bahu, "Terserah kaulah," ucapnya seraya berjalan mendekati Sesshomaru. Ia masuk ke dalam mobil dan duduk tenang di sana. Ia melirik supir dikursi depan sejenak sebelum pandangannya mengarah pada Sesshomaru yang duduk di sampingnya. Ia memalingkan pandangannya keluar kaca mobil sebelum pemuda itu melihat kearahnya.

Sekarang ini, jantungnya berpacu dengan sangat cepat. Ia tidak tahu mengapa.


.

.

.

.

.

.


"Itu... kau tidak salah tempat tujuan kan?" Inuyasha menoleh pada pemuda bersurai putih keperakan di sampingnya lalu menatap gerbang besar dengan tulisan warna-warni di atas gerbang itu. Bunyinya 'Wellcome to Happy Park!' dengan dua wajah badut di kanan-kiri tulisannya.

Ini taman bermain. Ia sih tau itu, tapi untuk apa juga Sesshomaru membawanya ke sini? Mau main-main dengan ...nya kah? Inuyasha benar-benar tidak mengerti arah dari acara jalan-jalan yang sempat dikatakan Sesshomaru. Terlebih dengan pakaian pemuda itu yang sudah berubah jadi jelana jeans donker panjang semata kaki dan kaus panjang berwarna putih, cukup ketat dengan membentuk lekukan didada dan perut sixpack-nya. Duh, berapa sih umur pemuda di sampingnya ini? Bagaimana bisa dia punya tubuh sempurna begitu?

"Ayo masuk," Inuyasha menurut saja saat tangannya digenggam dan ditarik masuk melewati gerbang besar itu. Ia sempat bingung dengan beberapa orang berpakaian seragam –ia yakin mereka pekerja ditempat ini- membungkuk hormat saat ia dan Sesshomaru lewat.

"Kau itu raja ya, sampai orang-orang itu hormat padamu? Atau cuma orang kaya kurang kerjaan yang membeli tempat ini?" celetuk Inuyasha. Sebenarnya ia hanya asal bertanya, tapi jawaban Sesshomaru langsung membuat wajahnya melongo.

"Tempat ini memang milikku," katanya dengan nada datar.

Inuyasha diam saja kalau begitu. Ia tidak mau bicara lagi. Jantungnya bisa-bisa mendadak berhenti jika yang ia ucapkan bermaksud bercanda malah benar adanya seperti tadi.

"Kau belum makan," Sesshomaru masih terus berjalan dengan tangan yang menggenggam tangan Inuyasha. Namun langkahnya sudah ia perlambat agar sejajar dengan pemuda manis yang mendadak diam di sampingnya. Matanya menatap sekeliling, tempat ini sudah ramai meskipun jam masih menunjukan setengah sembilan yang berarti baru dibuka setengah jam lalu. Cukup membuktikan jika taman bermain ini digemari pengunjungnya.

Pandangan Inuyasha juga ikut berkeliling. Ia sebenarnya cukup antusias dengan keadaan tempat ini. Ini pertama kalinya ia ke taman bermain. Kali perdananya ia menginjakan kaki di tempat hiburan –beda konteks dengan hiburan malam- seperti ini. Kalau saja ia tidak sedang bersama pemuda di sampingnya ini. Ia ingin sekali berkeliling dan melihat seluruh seluk-beluknya. Menaiki satu-persatu permainannya. Memakan permen yang sempat dibawakan Shota –adik Kagome- saat menjemput Sang kakak yang tidak pulang-pulang. Rasa permen mirip kapas itu manis dan lumer saat menyentuh lidah. Apa ya namanya? Arum manis, kalau ia tidak salah.

"Kau ingin makan apa?"

"Arum manis," Inuyasha refleks menjawab. Namun sedetik kemudian ia menutup mulutnya. Uups... rasanya ia keceplosan dengan mengatakan apa yang tengah dipikirkannya. Ia langsung mengalihkan pandangannya dari Sesshomaru pada sekeliling, berpura-pura tertarik pada orang-orang yang berlalu lalang melewati mereka. Tidak terlalu berhasil karena yang ia lihat malah orang-orang itu yang menatap dirinya sambil berbisik-bisik. Inuyasha risih sekarang.

Sesshomaru mengulum senyuman saat mendengar jawaban Inuyasha. Sebelah tangannya mengacak helaian surai Inuyasha. Membuat pemuda yang nampaknya tengah menutupi rasa malunya itu kembali menatapnya. Kali ini dengan pandangan bingung yang lucu meski setelahnya kembali menatapnya dengan sengit.

"Setelah makan dan kau minum obatmu, aku belikan arum manis," ujar Sesshomaru. Ia berjalan dengan menarik tangan Inuyasha mendekati salah satu stand makanan. Tidak mengetahui jika perbuatannya itu sudah membuat jantung Inuyasha hampir mendobrak keluar dari dadanya.

.

.

.

.

Inuyasha makan dalam diam. Menggulung pasta pada piring putih di depannya menggunakan garpu dan menyuapkannya ke dalam mulutnya. Sesekali ia melirik Sesshomaru yang makan dengan sikap sudah seperti raja di meja makan. Sangat penuh wibawa dengan tubuh tegap juga sikap sempurnanya saat makan. Kalau saja ia memakai pakaian lebih formal atau dipasangi jubah kebesaran mungkin tidak ada yang bisa membedakan mana Sesshomaru dan mana yang raja.

"Kau bisa bebas memperhatikanku setelah selesai makan," Inuyasha kembali fokus pada makanan yang tersaji di depannya setelah mendengar ucapan Sesshomaru padanya. Malu rasanya ketahuan memperhatikan pemuda itu. Terlebih, Sesshomaru mengatakannya tanpa perlu melihat apa yang ia lakukan.

Inuyasha kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Memilih tidak lagi jelalatan dan hanya fokus untuk makan.

.

.

"Sebenarnya kita mau apa di sini?"

Setelah diam lumayan lama dan duduk dengan keadaan setengah bosan karena sudah sekitar sepuluh menit dirinya dan Sesshomaru tak beranjak dari tempat duduk. Meskipun makanan mereka sudah habis dan dibereskan oleh pelayan. Akhirnya Inuyasha bertanya juga.

Sesshomaru tak menjawab. Pemuda itu melihat jam dipergelangannya, setelah itu beralih dengan berkutat dengan ponsel hitamnya.

Tak lama, seseorang berseragam hitam mendatangi mereka dengan sebuah kantung plastik biru ditangan kanannya. Orang itu membungkuk pada Sesshomaru dan menyerahkan plastik ditangannya pada pemuda itu.

"Minum obatmu," Inuyasha menaikan sebelah alisnya saat melihat beberapa obat berjejer di atas meja. Ia disuruh minum benda bulat pipih sebesar kuku ibu jari itu? "Atau kau ingin aku menggerusnya agar lebih mudah?"

Inuyasha memberi pemuda itu tatapan tajamnya. "Tidak usah! Kau pikir aku anak kecil?" ujarnya. Inuyasha langsung menyambar bungkusan obat di meja dan mengambilnya satu-satu dari masing-masing bungkusan. Dan menelannya sekaligus, dengan beberapa kali tegukan air.

Pahit. Tapi ia sudah terbiasa dengan obat pahit yang selalu diberikan Naraku. Ini sih bukan apa-apa.

Pria berseragam hitam undur diri setelah Sesshomaru menyerahkan plastik berisi obat kembali padanya. Meninggalkan Inuyasha yang lagi, meneguk minuman digelasnya. Baru terasa pahitnya obat yang ia minum.

Sesshomaru tersenyum dan menggenggam pergelangan tangan Inuyasha. Namun Inuyasha menarik tangannya. Pemuda manis itu menatap sekeliling sebelum menumpu pada manik keemasan Sesshomaru. "Aku –," Inuyasha tak melanjutkan ucapannya. Ia baru ingat, orang di depannya ini kan sudah membayar.

"Maaf, Sesshomaru-sama," ucapnya seraya berdiri namun menolak berpandangan dengan Sesshomaru.

"..."

Tatapan Sesshomaru masih memaku pada Inuyasha, sedetik kemudian ia membalikan tubuhnya dan mulai berjalan. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya.

Inuyasha menatap punggung berbalut kaus putih yang mulai menjauh dengan bingung. Ia masih belum beranjak dari posisinya. Ia sedikit tersentak saat tubuh Sesshomaru menyamping dengan mata yang mengarah padanya. Dengan segera ia menyusul langkah Sesshomaru hingga berada di samping pemuda itu. Ia mengikuti langkah Sesshomaru dengan pikiran campur aduk.

-Bugh!

Ia menabrak sesuatu, membuatnya mengambil beberapa langkah ke belakang. Tangannya mengusap hidungnya yang paling dahulu menabrak sesuatu itu. Tapi –matanya langsung mengerjap saat melihat gumpalan mirip kapas berwarna putih tepat di depan matanya. Ia mendongak, menatap Sesshomaru. Pemuda itu memegangi gagang putih sebesar sumpit tempat gumpalan mirip kapas itu.

"Ini –apa?" tanya Inuyasha.

Sesshomaru menarik sebagian kecil gumpalan itu dan menempelkannya dibibir Inuyasha. Pemuda manis itu mengerjap dan menjauhkan wajahnya. Ia menjilat ke dalam bibir bawahnya. Rasa manis langsung menghampiri indera perasanya.

'Manis,' pikirnya. Tangannya langsung menerima sodoran gula kapas ditangan Sesshomaru dan mengambil segumpal kecil lainnya untuk ia masukan ke dalam mulutnya. Lidahnya bergerak penuh antusias di dalam mulutnya saat lelehan gula melumeri seluruh bagian mulutnya.

Sesshomaru tersenyum, tangan kanannya menggenggam jemari kiri Inuyasha. Kali ini tidak ada penolakan dari pemuda manis itu karena kesibukannya mencabuti gula ringan dengan bibirnya. Lelehan gula terlihat menempel di ujung bibirnya.

Beberapa orang bahkan sempat berhenti untuk melihat mereka berdua berjalan beriringan. Namun Sesshomaru tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menuju satu wahana di taman bermain itu.

Rumah Hantu.

Oh –uh... Inuyasha mengerjap dengan mata membulat. Bibirnya terbuka lalu ia tutup kembali, tidak tahu harus berkata apa. Ia menoleh pada pemuda di sampingnya hanya untuk melihat wajah datar Sesshomaru. Mau apa mereka di depan pintu bertuliskan 'Rumah Hantu' dengan lelehan merah a la-a la darah ini?

"Kita –masuk ke sini?" tanya Inuyasha. Ia ragu masuk ke dalam sana. Tidak, bukannya ia takut pada yang namanya hantu. Tapi, kenapa harus ketempat konyol seperti ini sih? Tapi –yah, terserah Sesshomaru juga. Lagipula ia cukup diam dan mengikutinya saja, tidak perlu repot untuk protes segala.

Ia masuk-masuk saja saat Sesshomaru menariknya melewati pintu kain hitam bolong-bolong dengan tulisan 'Semoga perhalananmu menyeramkan'. Inuyasha kembali menjilati gula kapas yang sudah habis setengah ditangannya.

.

"Em... –kau yakin tidak tersesat?" tanya Inuyasha. Ia menoleh ke kanan-kirinya, hanya ada dinding berlapis kain berwarna hitam, pohon jejadian, ular-ularan yang melingkar di dahan-dahan lalu dinding lagi. Ini jalan keluarnya yang mana?! Maunya Inuyasha menjambak rambutnya saking pusingnya karena di sana-sini cuma terlihat gelap saja.

Namun sepasang tangan yang melingkari pinggangnya dari belakang, nampaknya sedikit membuat rasa panik Inuyasha mereda.

"Sessomaru-sama, kau sengaja membuat kita tersesat?" Inuyasha menoleh, ke arah yang salah. Karena Sesshomaru malah mengecupi lehernya dari arah sebaliknya. Tengkuknya langsung meremang merasakan kecupan demi kecupan yang dilakukan Sesshomaru. Ia melenguh kecil, sebisa mungkin meredam desahannya.

"Berapa kali sudah kukatakan," napas hangat Sesshomaru menyapu permukaan leher Inuyasha, " –jangan tunjukan wajah palsumu padaku,"

Inuyasha mengerang saat kecupan Sesshomaru berubah menjadi jilatan dan gigitan kecil. Ia meremas lengan yang melingkari pinggangnya dengan erat. Gula kapas yang tersisa sedikit terjatuh dari tangannya. "Ka –kau ingin melakukannya di –sini?"

Sesshomaru tak menjawab. Masih sibuk dengan menandai leher putih Inuyasha dengan bekas-bekas merah yang bermunculan saat ia selesai memberikan hisapan disatu titik lalu ketitik lain lagi. Kaus yang dipakai Inuyasha tersingkap ke atas, memperlihatkan perut putihnya yang tengah dielus lembut jemari Sesshomaru.

Otot perut Inuyasha menegang, rasanya melilit dan berubah menjadi pegas yang ditarik kencang. Ia melenguh dan menyandarkan punggungnya pada tubuh Sesshomaru. Kepalanya tersandar dibahu pemuda itu, ia mendongak menatap kain hitam yang menutupi langit-langit bangunan.

"Nanti susah kalau orang-orang melihat ta –tanda dileherku," ia berucap. Bukan merupakan protesan, ia hanya tidak suka keheningan diantara kegelapan yang menaungi aktivitas mereka. Karena itu ia terus bicara disela desahannya. Ia sama sekali tak menolak apaun segala sentuhan yang dilakukan Sesshomaru pada tubuhnya.

Tubuh sensitifnya.

Lebih dari satu bulan tanpa sentuhan penuh hasrat membuat tubuhnya menjadi lebih sensitif. Tidak ada yang membelai ataupun mengecupi tubuhnya begitu lama. Tidak ada yang menyentuh daerah sensitif ditubuhnya. Bukan berarti ia juga tidak melakukan ritual melepas hasrat selama sebulan. Hanya saja, menyentuh diri sendiri dengan disentuh orang lain itu berbeda.

"Hhh –"

Inuyasha memejamkan matanya. Jemari kanannya bergerak untuk menyentuh gundukan didaerah selangkangannya yang masih tertutup rapi oleh celananya. Ia menggigir bibirnya gemas. Apalagi saat Sesshomaru ikut meremas tangannya –yang meremas kejantanannya.

Inuyasha tidak tahan.

Tubuh Inuyasha dibalik, membuat dadanya langsung bertubrukan dengan otot terbentuk tubuh bagian depan Sesshomaru. Wajahnya merona merasakan lekukan itu meski dari balik kaus Sesshomaru. Wajahnya mendongak saat dagunya ditekan ke atas dan dihadiahi ciuman basah dari liur Sesshomaru yang membasahi bibirnya. Ia membuka belahan bibirnya dan menyedot masuk liur yang dengan sengaja Sesshomaru bagi untuknya.

Lidah menelusup masuk dengan mudah dan di sambut ramah oleh lidah Si pemilik 'rumah'. Liukan masing-masing dalam mulut Inuyasha membuat suara erangan pembangkit nafsu keluar disela pergulatan lidah. Saling memelintir, mendorong dan menjilati permukaan kasar itu.

Tangan Inuyasha melingkari leher Sesshomaru, tubuhnya berjinjit untuk memperdalam ciuman mereka. Dibantu lengan yang melingkari pinggangnya hingga tubuh itu melayang.

Inuyasha melenguh dan memilih menyerah dalam ciumannya, ia membiarkan Sesshomaru mendominasi dan menjilati seluruh permukaan dalam rongga mulutnya. Bahkan menjamah hingga hampir kepangkal tenggorokannya. Ia sudah terlalu terbuai dalam cumbuan Sesshomaru.

Manis, seperti gula. Setiap kali lidahnya mencecap permukaan basah dalam mulut Inuyasha, Sesshomaru selalu merasakan manisnya gula dilidahnya. Manis yang memang berasal dari gula kapas yang dimakan pemuda cantik dalam buaian nafsunya. Ia menggoda lidah Inuyasha yang sudah pasrah untuk mengikuti gerakan lidahnya. Meliuk dan saling menjamah, membawanya keluar dari sarang dan menghisapnya pelan. Suara hisapannya terdengar begitu erotis ditelinganya sendiri.

Bibir mereka terlepas dari pagutan basahnya. Tetesan demi tetesan saliva masih setia berjatuhan keluar dari celah bibir Inuyasha. Sepertinya pemuda itu benar-benar sudah mabuk. Pasrah dan berharap sentuhan lebih dari pemuda dihadapannya. Tapi Sesshomaru tak juga menyerangnya lagi setelah itu, hanya menatapnya dengan pandangan datar.

Inuyasha melonggarkan pelukannya pada leher Sesshomaru dan mulai merosotkan tubuhnya agar kembali berpijak pada lantai. Napasnya masih memburu, namun pikirannya sudah mulai kembali. Ia menggunakan punggung tangannya untuk menghapus jejak liur dibibir dan dagunya.

"Sudah?" Inuyasha bertanya. Wajahnya masih dihiasi rona merah.

Sesshomaru mengecup bibir Inuyasha sekali dan melanjutkan jalannya lagi, tangan Inuyasha kembali digenggamnya seakan tak ingin pemuda manis itu tersesat diruang gelap seperti sekarang.

.

.

.

Inuyasha terus saja membenarkan rambut putihnya. Menggunakan tangannya untuk membuat rambutnya tetap tergerai ke depan sejak ia dan Sesshomaru berhasil keluar dari rumah hantu. Matanya memandang kesekitar dan sekali lagi menggunakan tangannya untuk mengubah posisi rambutnya lagi.

Jangan salahkan dirinya yang seperti orang gelisah. Ia hanya tidak ingin beberapa –banyak- kissmark dilehernya terlihat khalayak umum. Di sini banyak orang, satu saja mereka melihat jejak merah dilehernya maka suara bisikan sekecil apapun pasti akan menyebar dengan cepat.

"Biarkan rambutmu, Inuyasha,"

Pandangan Inuyasha bertumpu pada manik Sesshomaru. Ia cemberut seketika. Apa-apaan orang ini? Ingin membuatnya malu dengan tanda merah hasil karyanya begitu? Ia masih cukup waras untuk menutupinya di depan orang asing yang banyak seperti ini.

"Mudah mengatakan, sulit untuk dilakukan," ujar Inuyasha. Ia mengutip kata-kata dari salah satu dialog drama yang pernah ditontonnya. Kemudian ia mendengus karena sudah mengatakan hal konyol seperti itu.

Sesshomaru menarik tangan Inuyasha mengikuti langkahnya.

Perasaannya saja, atau memang dari tadi ia ditarik-tarik melulu oleh Sesshomaru? Ini benar-benar membuatnya kesal seketika. Ia ini kan bukan benda yang bisa ditarik sana-sini. Ia juga akan ikut meskipun tidak ditarik segala. Mau apa lagi memang ia di sini, sendirian itu artinya menyesatkan. Menyesatkan yang artinya ia akan benar-benar tersesat di taman bermain super luar biasa besar ini kalau ia sendirian.

Kepala Inuyasha seperti tertimpa sesuatu. Dan saat pemuda itu menyentuh sesuatu di atas kepalanya, ia hanya bisa menatap bingung syal berwarna merah yang kini ada ditangannya.

"Pakai itu untuk menutupi lehermu," ucap Sesshomaru.

Inuyasha menatap heran tapi tetap memakai syal merah itu dilehernya. Peduli juga dia sampai membelikan syal ini. Yah, setidaknya Inuyasha tak perlu repot untuk terus mengatur rambutnya.

"Dan pakai topi ini, di sini mulai panas. Masih banyak wahana yang ingin kucoba,"

Inuyasha menyentuh topi dikepalanya dengan tetap memandang kearah Sesshomaru. Ia jadi kepikiran, "Kau sedikit berubah," gumamnya, tak bermaksud untuk mengecilkan suara sebenarnya.

Sesshomaru hanya memberinya senyum kecil dan menarik tangannya lagi. Kali ini pandangannya tertuju pada pintu masuk sebuah wahana yang bertuliskan 'Rollercoasta!' dengan gambar kereta melaju dengan kartun manusia menunjukan mimik berteriak. Tapi tarikan dari tangannya membuat langkahnya terhenti, ia menoleh ke belakang.

"Kau tidak –" Inuyasha meneguk ludahnya, " –akan menaiki itu kan?" tanya pemuda manis itu. Telunjuknya mengarah pada kereta yang melaju di atas sana. Ia semakin mundur saat mendengar teriakan keras dari orang-orang yang menaikinya.

"Aku tidak mau," ucapnya cepat.

"Kau takut ketinggian?" Inuyasha menggeleng cepat, "Aku tidak mau muntah setelah menaiki itu!" kilahnya.

"Aku tidak terima penolakan," –dan tangannya kembali ditarik. Inuyasha sebisa mungkin membebankan seluruh tubuhnya pada kaki. Membuatnya susah untuk merjalan, melangkah mundur dan menggerutu tidak mau ikut dan menunggu saja. Tapi Sesshomaru sepertinya sudah tuli sampai-sampai mereka tetap masuk dengan mudah –tanpa mengantri- hanya dengan satu tatapan yang ditunjukan Sesshomaru pada petugas wahana yang menunduk hormat padanya.

"Benar aku harus ikut?" tanya Inuyasha. Saat ini ia duduk dengan gelisah di sebelah Sesshomaru yang tengah memasangkan sabuk pengaman untuknya. Pemuda itu menolak niat baik petugas saat petugas wahana di sana akan memasangkannya pada Inuyasha. Inuyasha sendiri hanya menurut saja meski tidak tenang juga.

Gigi Inuyasha saling bertubrukan saat benda yang ia naiki mulai bergerak. Matanya tak sekalipun bisa diam meskipun orang-orang yang duduk di depannya seperti mulai tertawa dan menunggu aksi yang mendebarkan. Ia meneguk ludahnya. Kenapa juga ia harus duduk paling belakang begini?

Tangan Inuyasha refleks mencengkram pergelangan tangan Sesshomaru saat keretanya mulai naik ke batas tertinggi jalur. Jantungnya mulai berdetak dengan kencang, tapi matanya tak bisa ia tutup. Saking tegangnya.

Dan saat bagian depan mulai turun, meluncur ke bawah. Ia memekik dengan keras, menyaingi teriakan para penumpang lain di bagian depannya. Cengkraman pada lengan Sesshomaru juga menguat.

Ia ingin sekali ini cepat berakhir sebelum ia mati duduk ditempat.

Namun sebuah tarikan pada kaus depannya membuat Inuyasha mengalihkan pandangannya ke samping. Satu kecupan dibibirnya dan ia sukses mengerjap kaget. Hanya ciuman yang tak lebih dari lima detik, namun membuat Inuyasha kebingungan sampai-sampai kereta yang dinaikinya entah sejak kapan sudah berhenti dan kembali lintasan awal. Ia melupakan ketakutannya yang tadi. Tapi juga ia tidak suka dengan kebingungan yang menggantikannya.

Ia baru saja akan bertanya, tapi pengaman otomatisnya keburu terbuka dan Sesshomaru juga sudah melepas pengaman manual di baliknya. Jadi Inuyasha menenggelamkan pertanyaan dalam benaknya.

.

.

.

.

Bagian bokongnya langsung mendarat di bangku taman yang pertama dilihatnya. Kakinya pegal sekali setelah berjalan mengelilingi tidak sampai setengah dari taman bermain ini. Otot kakinya sudah berdenyut lelah minta diistirahatkan dari tadi. Dan tak pikir panjang lagi, ia langsung mendudukan dirinya di sana. Meninggalkan Sesshomaru beberapa langkah di depannya.

"Aku capek!" ucapnya dengan tangan yang menutupi wajahnya yang mendongak. Ukh... untung bangku taman ini berada tepat di bawah pohon besar yang rindang, sehingga bayangannya cukup besar untuk menaungi satu meter bangku yang didudukinya sekarang.

Ia menyingkirkan tangan dari wajahnya saat cukup yakin Sesshomaru tidak ikut duduk di sampingnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi pemuda itu tidak ada. "Dia kemana?" Ia memiringkan kepalanya, kenapa mendadak dia itu menghilang?

Tess...

"Awh!" Inuyasha refleks menjauhkannya wajahnya saat pipi kanannya merasakan dingin yang merambat. Ia cemberut pada seseorang yang menyodorkan minuman kaleng dingin ke wajahnya. "Kau itu menyebalkan," ujarnya.

Sesshomaru tak membalas. Ia memilih mendudukan dirinya di sebelah Inuyasha dan menaruh satu minuman kaleng ditangannya di atas bangku sedangkan ia sendiri membuka minuman kaleng ditangannya yang lain. "Itu isotonik. Bisa menggantikan cairan tubuhmu yang hilang," ucapnya dengan satu tegukan mengikuti.

Tangan Inuyasha mengambil minuman kaleng yang ditaruh Sesshomaru. Ia tidak meminumnya, tapi menempelkan kaleng berisi cairan dingin itu pada keningnya. Ia mendesah lega saat rasa dingin menjalar dikulitnya. Tempat ini panas sekali kalau sudah siang begini.

Acara elus-elus kaleng dingin dengan kulit wajahnya terhenti saat tangan Sesshomaru mengambil kaleng itu dari tangannya. Pemuda itu membuka kalengnya dan menyodorkannya ke depan bibir Inuyasha.

Bola mata Inuyasha berputar jengah. Ia juga akan meminumnya, tidak usah pakai acara dibuka paksa begitu juga sih, mungkin itu pikir dari Si pemuda manis. Ia akan mengambil lagi kaleng minuman itu, tapi Sesshomaru kembali menjauhkannya dan malah meminum cairan di dalamnya.

Inuyasha cengo. Apa yang...

"Kau itu ...iiiihhh! Kau itu laki-laki yang paling menyebalkan –lupa pada Naraku- yang pernah kutemui!" –Ok, Inuyasha baru pertama kali ini menunjukan bagaimana wajahnya ketika ia sedang kesal. Plus ngambek.

"Kau itu –amfffh!" Inuyasha terkejut campur dengan sedikit terbatuk karena menelan cairan yang tiba-tiba masuk ke dalam mulutnya. Wajahnya dicengkam dikedua sisi dan dipaksa menoleh hanya untuk menerima ciuman basah dari campuran isotonik dan liur Sesshomaru.

Tangannya meremas kaus bagian depan Sesshomaru saat lidah pemuda itu bergrilya di dalam mulutnya. "Ngg –ni –temmmh –pat .. –mum..." Inuyasha berusaha untuk bicara. Cukup berhasil menyadarkan pemuda itu untuk melepas ciumannya.

"Dasar gila!" Inuyasha memaki. Menggunakan punggung tangannya untuk mengusap kasar bibirnya yang basah. "Bagaimana kalau ada yang lihat?! Aku tidak mau terlibat dengan skandal berjudul 'Orang kaya terkenal berciuman dengan pelacur pria di taman bermain'. Aku masih waras!" kesalnya.

Sesshomaru memilih mediamkan umpatan Inuyasha padanya dan menikmati lagi kopi dingin kalengan ditangannya seraya memandangi langit biru yang terlampau cerah.

"Setelah ini," Sesshomaru melirik Inuyasha, pemuda manis itu terlihat masih berwajah kesal meski menerima minuman yang ia sodorkan. " –kau ingin naik apa?"

Inuyasha menatap Si penanya dengan pandangan bingung. "Kok, tanya padaku? Ini kan jalan-jalanmu," ujar Inuyasha. Ia benar-benar tidak mengerti Sesshomaru ini maunya apa.

Pandangan Sesshomaru kembali pada langit, "Aku, tidak pernah pergi ke taman bermain," ucap Sesshomaru. "Ini kali pertama aku kemari,"

"Bukannya kau bilang tempat ini milikmu? Kau juga bebas keluar masuk tempat ini. Kau pasti bercanda dengan mengatakan tidak pernah kemari," Inuyasha tersenyum mengejek, "Jangan bercanda,"

"Meskipun tempat ini milikku, aku tidak pernah mengunjunginya. Aku hafal setiap wahana karena setiap hari aku selalu mengecek keadaannya dari kantorku," Sesshomaru meneguk kopinya lagi, "Aku terlalu sibuk untuk melakukan kegiatan biasa anak-anak umuran enam belas tahun," lanjutnya.

Inuyasha menoleh sempurna, "Serius? Kau baru enam belas? Kali ini kuyakin kau bercanda. Enam belas tahun kau bilang, dan kau sudah sangat 'hebat' diranjang," ada nada menekan, tidak percaya dan mengejek pada ucapannya barusan. Pemuda ini bahkan lebih muda satu tahun darinya, tapi apa katanya tadi? Sibuk di kantor? Walaupun ia tak pernah mengecap pendidikan formal di sekolah, Inuyasha juga diajari ini dan itu oleh beberapa orang suruhan Naraku. Bahasa kerennya sih, home schooling. Inuyasha sendiri tidak tahu kenapa Naraku mau repot-repot menyediakan guru privat untuknya.

Tapi, usianya sekarang ini tujuh belas tahun. Bisa dikategorikan sebagai pelajar kelas tiga SMA, dan pemuda di sebelahnya ini harusnya kan baru kelas satu. "Bukannya kau bilang, kau sudah bekerja? Bahkan punya taman hiburan seperti ini,"

"Akselerasi," ujar Sesshomau, pandangannya masih mengarah pada langit.

"Akselerasi?" ulang Inuyasha.

"Semacam program percepatan pendidikan. Mudahnya, melewati tiga tahun hanya dengan satu tahun dan lulus," jelas Sesshomaru.

Inuyasha berdecak kagum tanpa disadarinya, "Ternyata kau pintar juga. Kukira kau cuma orang kayak mesum yang kelebihan harta," ucapnya, tidak tahu memuji atau malah menghina. Sesshomaru menatapnya datar.

"Baiklah," Inuyasha membuang kaleng kosong ditangannya ke tempat sampah di samping bangku taman, " –kita lanjutkan," ucapnya seraya berdiri menarik tangan Sesshomaru. "Berdiri, Sesshomaru. Aku masih belum melihat seluruh area taman bermain ini,"

"..." Sesshomaru menatap Inuyasha, wajahnya datar namun tak menampik keterkejutan saat melihat senyum cerah diwajah pemuda cantik itu. Tanpa pikir panjang ia balik menarik tangan Inuyasha dan membawa pemuda itu ke dalam pelukannya. Bibirnya meraup bibir tersenyum Inuyasha. Menciumnya dalam.

.

.

.

.

.

Tepukan dari dua telapak tangan yang saling berkali-kali membentur terdengar dari ruangan empat kali enam meter yang kini ditempati Inuyasha. Tangannya terus bertepuk sebagai tanda kagum pada sosok pemuda yang berdiri dihadapannya. Membelakangi tiga cermin full body di belakangnya.

Pemuda bersurai putih keperakan yang helaiannya begitu panjang sampai lututnya. Manik madunya meneliti dari kepala hingga ujung kaki. Rambut dengan poni belah tengah sejajar dengan alis, lalu polesan seperti bulan sabit berwarna ungu tua di tengah keningnya. Dan Inuyasha berusaha sangat keras menahan tawanya saat melihat kelopak mata dari pemuda itu yang dibubuhi warna merah mendekati ungu. Juga dua pasang tato seperti cakaran berwarna merah dimasing-masing pipinya.

Inuyasha tergelak seketika. Ini terlalu lucu, wajah pemuda dingin dan biasanya sangar itu jadi terlihat lebih cantik saat ini. "Apa –apaan sih, kenapa kau berdandan seperti itu, Sesshomaru? Ffft... kenapa juga dengan pakaianmu itu?" Inuyasha mencubit pahanya sendiri sebagai penahan tawanya.

Melihat Sesshomaru dengan hakama putih yang berhiaskan bunga sakura putih yang dirangkap oleh masing-masing segi enam di bagian leher kiri lalu tiga sakura lagi di bahu kirinya dengan gradasi merah dan dibagian kain ujung tangan kain putih dibatasi kain merah dengan sakura putih yang sama. Sudah begitu, apa pula itu bulu-bulu putih tebal dan panjang menjuntai ke bawah mirip bulu-bulu yang biasa dipakai banci di bahu kanannya.

Dan pula, kenapa ia harus merangkap pakaian atasannya itu dengan semacam armor berwarna hitam yang diikat kain kuning pucat berujung liukan biru seperti aliran air dan benda seperti besi yang melingkari bahu kirinya, dan kenapa harus ada runcing-runcingnya juga?

Turun ke bawah, Inuyasha melihat celana yang senada dengan pakaian Sesshomaru. Ujungnya mengerucut dengan sepatu khas orang dulu di Jepang. Penuh balutan kain berwarna coklat tua. Dia –ffft... dia benar-benar seperti seorang bangsawan salah tempat yang ingin pergi berperang. Lihat pula dua pedang yang disarungkan dipinggang kirinya.

"Apa tamparanku terlalu keras sampai kau jadi gila begini?" tanya Inuyasha. Ia masih menahan tawanya.

Sesshomaru menatap datar pemuda yang tengah menertawakannya itu. Ia beralih untuk menatap seorang perempuan berkimono sederhana berwarna biru tua di dekat pintu ruangan. Perempuan itu menatapnya dengan mata penuh kekaguman. Terpesona dengan penampilannya.

"Satu stel untuk inu-han'you dengan ukuran pemuda itu," ujar Sesshomaru seraya menunjuk Inuyasha yang masih sibuk tertawa.

Perempuan itu mengangguk dan langsung berkutat dengan lemari besar berisi banyaknya pakaian warna-warni di dalamnya. Tangannya menarik keluar dua gantungan dengan kain berdominasi merah –semuanya merah sebenarnya. Ia berjalan mendekati Sesshomaru dan menyerahkan pakaian yang diminta oleh pemuda itu.

"Pakai itu," Sesshomaru melempar pakaian ditangannya pada Inuyasha. Sedang pemuda itu menatap bingung kain merah yang menutupi sebagian tubuhnya. Pakaian ini besar sekali.

"Untuk apa?" Inuyasha membentuk tanda silang dengan kedua lengannya, "Aku tidak mau memakai sesuatu yang sepertimu itu. Tidak keren dan juga tidak mau mempermalukan diriku!" serunya.

Sesshomaru melangkahkan kakinya mendekati pintu ruangan, "Itu hanya hakama biasa. Ada satu wahana di sini yang mengharuskan pengunjungnya untuk memakai pakaian seperti itu," jelas Sesshomaru. Sepertinya tahu tentang pikiran Inuyasha mengenai pakaian yang dipakainya ini bukan cuma tidak biasa, tapi terlampau aneh.

"Wahana seperti apa sih, sampai kau yang punya juga harus berpakaian –err.. unik seperti itu?" tanya Inuyasha. Sepertinya memilih kata unik lebih cocok menurutnya dari pada kata aneh yang menyakitkan hati.

" ...Desa siluman," Sesshomaru pun pergi dari ruangan itu. Meninggalkan Inuyasha yang mengerjapkan matanya dengan bibir terbuka dan menutup.

Apa tadi katanya? Desa –siluman? Siluman, silumannya yang itu kan?

.

.

Inuyasha keluar dari ruang ganti, ia sudah berganti pakaian dengan kain-kain menjuntai panjang berwarna merah yang diberikan Sesshomaru tadi. Memang, yang dipakainya ini lebih sederhana dari pakaian ribetnya minta ampun Sesshomaru. Hanya hakama merah –ia bingung ini hakama atau malah kimono- dengan yukata putih dibagian dalam. Celananya juga berwarna merah, bagian ujungnya menyerucup ke dalam mirip yang dipakai Sesshomaru. Dan alas kakinya juga sama seperti pemuda itu.

Ia menatap tajam pemuda yang berjalan mendekatinya, "Sudah puas kan?" tanyanya dengan nada kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Satu lagi," Sesshomaru mengangkat tangannya yang tenggelam ditelan kain bagian tangannya dan saat tangannya terlihat, yang dilihat Inuyasha adalah sebuah –itu bando kucing ...kan?

"Hah?! Aku tidak mau pakai itu!" tolak Inuyasha. Sudi sekali dirinya harus memakai benda itu dikepalanya.

"Setengah siluman seharusnya tidak membantah Raja dari Timur," Sesshomaru memakaikan bando dengan sepasang telinga hewan dikepala Inuyasha. Ia sedikit mengancam untuk mencium pemuda itu ditempat umum lagi jika telinga itu tidak segera bertengger dikepalanya. Alhasil, Inuyasha memakainya dengan sangat terpaksa.

Poni Inuyasha sedikit diacak-acak oleh perempuan berkimono sederhana yang tengah mencorat-coret –menurut Inuyasha- wajahnya. Ia tetap memasang wajah cemberutnya saat dihadapkan pada cermin besar di depannya. "Selesai, Tuan," ucap perempuan itu.

Inuyasha menggerakan wajahnya ke kiri lalu ke kanan. Menatap sepasang guratan seperti cakaran dipipinya. Mirip dengan Sesshomaru, tapi hanya sepasang dan warnanya ungu gelap.

"Setelah pakaian, telinga hewan dan coretan diwajahku, apa lagi yang kau inginkan 'Sesshomaru-sama'?" Inuyasha memberikan tekanan pada pertanyaanya barusan.

"Jalan-jalan," jawab Sesshomaru. Ia berjalan mendekati gerbang bergaya kuno –sangat kuno sekali. Masih memakai kayu dengan tulisan besar di atasnya 'Desa Siluman' bergaya huruf kanji super zaman dulu.

Well, Inuyasha tiba-tiba saja merasa dirinya menjadi tua.

"Kau membangun tempat aneh di taman bermain ini," ucap jujur Inuyasha. Matanya berkeliling, manatap satu demi satu orang-orang yang terus berlalu lalang dengan pakaian jauh lebih aneh dari Sesshomaru. Ia bahkan sempat melihat laki-laki bermata satu besar tadi dipertigaan jalan. Ia bergidik ngeri melihatnya.

Jadi maksudnya desa siluman itu, orang-orang yang semuanya menirukan makhluk astral dari cerita Jepang dulu dan tinggal ditempat ini. Tentu saja mereka ada yang khusus dibayar dan ber-acting seperti siluman sungguhan. Bukan pengunjung sepertinya.

Tapi tetap saja, mau dimanapun Sesshomaru nampaknya selalu menjadi pusat perhatian. Lihat saja para siluman-siluman gadungan yang langsung –bukan lagi membungkuk tapi bersujud saat ia dan Sesshomaru lewat. "Selamat atas begitu terkenalnya dirimu," sindir Inuyasha.

"Mereka tidak tahu jika aku pemilik tempat ini," ujar Sesshomaru, pandangannya mengarah pada jalan setapak di depannya.

"Terus, kenapa mereka sujud segala saat melihatmu?" tanya Inuyasha heran.

"Apa yang kupakai ini adalah pakaian Raja dari timur, penguasa tanah timur di negeri siluman ini," jawab Sesshomaru. Si pemuda manis menanggapinya dengan membentuk bibirnya menyerupai hurup 'O' dan mengangguk-angguk.

"Yah, terserahlah. Tapi apa di sini ada pemandangan lain selain siluman jejadian yang terus mondar mandir? Lama-lama aku risih dengan sujud-sujudan yang dilakukan mereka padamu,"

Sesshomaru terdiam sebentar sebelum membelokan langkahnya ke kanan. Menuju semak-semak dan pepohonan, bukan jalan setapak dari tanah yang dipijak Inuyasha sekarang. Inuyasha menatap bingung arah perginya Sesshomaru. Ia mengangkat bahu tidak peduli, ikuti sajalah. Nanti juga tahu tujuan pemuda itu.

.

.

.

.

"Hatchi!" Inuyasha mengusap hidungnya yang terasa dingin saat disentuh. Angin ditempat ini terlampau kencang. Memang sih tempat yang jadi tujuan Sesshomaru itu bisa dikatakan cukup menawan hatinya. Padang rumput luas, membentangkan kehijauan sejauh mata memandang. Ia sendiri heran, bagaimana bisa taman bermain ini begitu luas sampai bisa menyediakan lapangan luas untuk rumput-rumput hijau tumbuh.

Kakinya berhenti melangkah dan berjongkok di depan gundukan tanah yang berlubang di tengahnya. Ia menoleh pada Sesshomaru yang memilih duduk menyandar pada pohon besar di tengah lapangnya padang rumput –pasti sengaja ditanam di sana- sedangkan ia berjalan-jalan mengelilinginya. Siapa tahu menemukan hal menarik, seperti gundukan tanah ini kan misalnya.

Eh –itu putih-putih apa? Inuyasha meolongok ke dalam lubang di tanah itu. Memberanikan dirinya untuk mencolek apapun itu yang berwarna putih. Dan benda itu bergerak. Lebih menyeruput lagi ke dalam lubang.

Inuyasha dengan cepat mencegahnya dengan menarik benda berbulu putih yang ternyata halus sekali itu keluar lubang. Matanya membulat saat mengetahui apa gerangan benda ditangannya.

"Ke –kelinciiiii!" ia tak bisa menahan suaranya untuk tak berteriak dan membawa kelinci ditangannya untuk ia dekap. Sejak lama sekali ia ingin melihat kelinci langsung, menyentuhnya dan menggesekan bulu-bulu putih seperti awannya pada wajahnya. "Aku tidak tahu di sini ada kelinci. Sesshomaru, kanapa kau tidak bilang padaku?" tanya Inuyasha, suaranya sedikit dikeraskan karena jaraknya dengan pemuda itu sedikit jauh. Dan angin kencang yang mengarah kearah berlawanan bisa dengan mudah meneggelamkan suaranya.

Inuyasha menoleh ke belakang saat tak mendengar jawaban dari Sesshomaru. Namun setelah itu maniknya tak bisa berkedip sekalipun. Manik madunya terpaku pada pemandangan dimana Sesshomaru tengah duduk di bawah pohon rindang dengan kelopak matanya yang tertutup. Terlihat sangat damai.

Inuyasha menggigit bibir bawahnya. Ia tidak mungkinkan berpikir untuk menyerang pemuda itu. Tangannya yang memegangi telinga panjang kelinci semakin mendekap kelinci malang yang merasakan sesaknya untuk bernapas. Inuyasha sepertinya melupakan makhluk hidup imut itu karena sudah menemukan pemandangan yang lebih menarik dibandingkan Si manis dalam dekapannya.

Dan –saat sepasang iris coklat keemasan memperlihatkan warnanya. Inuyasha tetap tak bisa memalingkan wajahnya. Madunya terpaku pada sepasang mata Sesshomaru yang balik membalas tatapannya.

Bibir Sesshomaru terbuka dan bergerak membisikan kata tanpa suara pada Inuyasha. Namun cukup bagi Inuyasha untuk membaca pergerakan bibir itu untuk mengerti. Ia membangunkan tubuhnya dan berjalan mendekati Sesshomaru. Kelinci gemuk berbulu putih halus masih dalam dekapannya.

Ia berhenti tepat di depan Sesshomaru, pandangan mereka masih saling bertubrukan. Inuyasha menggigit bibir dalamnya, tidak bisa menahan detakan jantungnya yang semakin kencang. Dan satu tangan Sesshomatu yang terangkat ia sambut dengan menggenggam jemarinya. Tubuhnya perlahan membungkuk dan mendudukan dirinya dipangkuan Sesshomaru. Inuyasha merasakan sesuatu yang keras dibawah pantatnya. Genggaman pada jemarinya mengencang.

"Ngh..." Erangan lolos dari bibir Inuyasha dan saat itu juga ia memalingkan wajahnya dari Sesshomaru.

"Aku belum menyentuhmu,"

Inuyasha menundukan wajahnya lebih dalam. Memang benar Sesshomaru belum menyentuhnya. Tapi pikirannya yang sudah terlalu 'jauh' membuat tubuhnya semakin sensitif meski hanya berdekatan dengan pemuda itu.

"Apa yang ada dalam pikiranmu?" Sesshomaru bertanya. Namun diamnya Inuyasha tak menjawab pertanyaannya. "Tegakan wajahmu," titah Sesshomaru.

Iris madu Inuyasha mengintip dibalik poninya lalu mulai menegakan wajahnya. Melihat wajah berpoles make up sederhana Sesshomaru. Ia tak menunggu lagi untuk mendekatkan wajahnya pada pemuda itu. Satu kecupan dan memagut lembut bibir dengan rasa ceri yang sudah lama sekali ingin ia perlakukan seperti ini. Ciuman yang manis.

"Itu yang kau pikirkan?" tanya Sesshomaru saat Inuyasha melepaskan pagutannya.

Pemuda cantik itu menggeleng, menggamannya pada hewan kecil bernama kelinci melonggar hingga hewan berbulu itu langsung berlari menjauh. Tapi Inuyasha tidak mempermasalahkan hal itu. Ia saat ini lebih menyukai wajah Sesshomaru yang menjadi lingkupan penglihatannya.

"Katakan padaku apa yang kau pikirkan?"

Inuyasha mengerang, matanya berkilat di antara teduhnya bayangan pohon. Ia mengalungkan kedua tangannya dileher Sesshomaru dan merapatkan tubuhnya. Selangkangannya bergesekan dengan armor yang dipakai Sesshomaru. Ia berdesis.

"Atau lakukan apa yang kau pikirkan," ucap Sesshomaru. Matanya menatap lurus pada Inuyasha. Pandangan pemuda manis itu sudah berubah sayu, dan guratan seperti sepasang cakar dipipinya menambah ekspresi liar diwajahnya. Sepertinya pemuda itu tidak akan menggunakan wajah innocent-nya kali ini.

Tangan Inuyasha menelusuppada helaian putih keperakan di kepala belakang Sesshomaru. Bibir bawahnya digigit gemas dengan satu erangan lagi lolos dari sana.

Bibir Inuyasha kembali meraup bibir Sesshomaru. Memberinya gigitan-gigitan kecil disetiap pergerakannya lalu ia menjilat bibir itu hingga basah. Tubuh Inuyasha terus bergerak gelisah, ia menggeram –kesal karena permukaan keras dari armor di bawahnya menghalangi gesekan tubuh diinginkannya.

Ia menjauhkan tubuhnya dan mundur untuk duduk dipaha Sesshomaru. Ia menarik kain panjang membentuk simpul pita dipinggang Sesshomaru dan melepaskan pengikat armor pemuda itu. Ia menggesekan tubuhnya lagi saat mendekati Sesshomaru. Kali ini ia mengerang puas karena hanya tersisa kain yang tak mampu menghalau hawa panas yang dikeluarkan tubuh Sesshomaru.

Satu tangannya mencoba untuk melepaskan pengikat yang menahan baju Sesshomaru. Ia mengerang, terlampau kesal karena pakaian yang dipakai Sesshomaru terlalu ribet dengan penahan sana penahan sini.

Tangan yang tengah berusaha melepaskan ikatan dipakaian Sesshomaru itu ditangkup oleh sepasang tangan. Inuyasha menatap Sesshomaru yang saat ini tengah melihat kearah lain. Melihat tangannya yang berada diperut pemuda itu.

"Aku akan lepaskan. Sementara itu, kau juga lepaskan pakaianmu," ucap pemuda itu pada akhirnya.

Inuyasha tak menjawab. Ia menurut dengan menyerah untuk membuka tali temali pakaian Sesshomaru dan beralih untuk membuka pakaiannya sendiri. Syal merah dilehernya ia lepas. Ia membuka ikatan dibagian dadanya lalu, membuka ikatan simpul dibagian perutnya. Kain panjang berwarna merah itu terlepas dari pinggangnya, membuat hakama merahnya melonggar seketika. Selanjutnya ia membuka tali obi pada baju dalamnya yang berwarna putih, tapi tangan Sesshomaru menghentikannya. Inuyasha menatap pemuda itu.

"Biarkan seperti itu. Kau hanya butuh melepas bagian bawahnya," Inuyasha mencium kilas pemuda itu sebelum membuka ikatan pada celana merahnya. Ia mengangkat tubuhnya dan membuat celana itu turun hingga ke bawah pahanya. Bokongnya kembali duduk dipaha Sesshomaru yang juga sudah selesai dengan membuka pakaian luar dan dalamnya. Celananya juga sudah melonggar, hanya saja tetap ditempatnya.

Inuyasha tak perlu menunggu lagi untuk tak mengecupi leher putih Sesshomaru, juga meraba dada pemuda yang lebih muda satu tahun darinya itu. Dada kokoh itu membuat Inuyasha ingin sekali meremasnya dengan kencang. Dan saat Inuyasha melakukan itu, Sesshomaru mengerang karena perbuatannya. Ia mengecupi leher Sesshomaru dan memberikan jilatan panjang dari telinga, melewati leher dan berakhir pada puting kemerahan Sesshomaru.

Inuyasha memberi kecupan kecil dipucuk puting itu sebelum mengulumnya dan memainkannya dengan lidahnya. Sesshomaru meresponnya dengan meremas helaian putih dikepala Inuyasha. Menekannya agar lebih memanja bagian dadanya.

Dengan senag hati bagi Inuyasha untuk melakukan hal yang lebih dari sekedar memainkan dua puting menegang di depan matanya. Ia menjilati dada bidang Sesshomaru, memberinya tarikan keras disertai gigitan dikulit dadanya. Jejak kemerahan dengan mudahnya muncul dikulit putih itu.

"Kau sedikit lebih agresif," komentar Sesshomaru. Pandangannya masih datar, tapi napasnya mulai memburu.

Inuyasha membawa wajahnya mendekat dan meraup bibir yang baru saja mengeluarkan suaranya itu. Tidak sedang ingin mengatakan apapun, jadi ia melakukan apapun yang ingin dikatakannya.

Wajahnya mungkin sudah sangat memerah sekarang ini. Tapi Inuyasha tak peduli, lagi pula wajahnya yang sekarang ini malah akan menambah gejolak libido pasangannya sekarang. jadi Inuyasha lebih suka membiarkannya seperti ini. membiarkan wajah erotisnya mempengaruhi nafsu birahi lawan mainnya.

Sementara Inuyasha mencumbui bibirnya dengan beringas, Sesshomaru memanfaatkan waktunya untuk menarik lepas celana merah Inuyasha. Bersama dengan celana dalam pemuda itu. Membiarkan paha putih pemuda itu terpapar hembusan angin yang terlampau kencang. Tubuh Inuyasha bergidik karenanya. Ia mengusap masing-masing paha putih itu dengan kedua tangannya. Menggesekan telapak tangannya, mengirimkan rasa hangat dari setiap rangsangan kulit yang ia lakukan.

Inuyasha mendesah karena sentuhan kecilnya. Kejantanan diselangkangan pemuda itu terlihat mengacung di balik baju atasannya. Memang Sesshomaru tak bisa melihatnya karena masih tertutupi bajunya yang panjang. Tapi bulatan area dari kain putih yang basah membuatnya yakin jika precum yang dikeluarkan Inuyasha cukup banyak.

Ibu jari Sesshomaru menyentuh tengahan dari bulatan basah itu. Inuyasha melenguh, sepertinya menyukai perbuatannya. Tangan Sesshomaru menyingkap kain putih yang menutupi batang kejantanan yang sudah sangat mengeras itu dan mengelusnya langsung.

Inuyasha melepaskan ciumannya dan melenguh panjang. Matanya yang setengah terbuka menatap sayu pada wajah Sesshomaru. Pandangan yang baru pertama kali Sesshomaru lihat dari pemuda manis di depannya. Seperti hewan liar, menatapnya seperti mangsa yang siap dicakari habis sebelum akhirnya dijadikan santapan.

Sesshomaru mengulum senyum tipis. Apakah ia sudah 'berhasil'?

Inuyasha menjilati jemari kanannya, dimulai dari telunjuknya yang ia masukan seluruhnya lalu diikuti ibu jarinya yang juga ikut bergrilya di dalam mulutnya. Dan saat jari ketiganya akan ia masukan, tangan Sesshomaru menarik jarinya keluar. Jari itu dikecup Sesshomaru sebelum memasukannya ke dalam mulutnya.

Inuyasha melenguh merasakan jarinya dilumuri liur Sesshomaru menggunakan lidahnya. Tubuhnya bergetar menahan hasratnya untuk langsung menggunakan jari-jari basah itu untuk menusuk lubang anusnya. Napasnya terengah dengan bibir yang terus ia gigit bergantian antara bagian kanan lalu kirinya.

Dan ketika jemarinya keluar dari mulut Sesshomaru, ia langsung mengarahkannya ke belakang tubuhnya yang ia angkat dengan tumpuan pada lutut.

"A –ah..." Inuyasha memejamkan matanya saat jari tengahnya ia dorong masuk pada lingkaran ketat anusnya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Sesshomaru. Nama pemuda itu meluncur mulus dari bibir yang mengalunkan desahan. Pikiran Inuyasha sudah dipenuhi oleh jemarinya yang ia bayangkan sebagai penis Sesshomaru.

"Nnnh –hha –ahh..."

"Kau ingin bersenang-senang sendiri?" suara yang terdengar tepat ditelinganya itu membuat erangan Inuyasha semakin keras. Suara itu, bisa saja membuatnya klimaks tanpa disentuhpun.

Dengan napas yang terengah, Inuyasha menjauhkan sedikit tubuhnya dari Sesshomaru. Ia menatap pemuda itu sejenak sebelum membalikan tubuhnya. Ia membungkuk dan menempelkan pipi kirinya pada hamparan celana Sesshomaru. Membuat tubuhnya menungging, pantatnya menghadap langsung pada Sesshomaru. Menantang pemuda enam belas tahun itu dengan kedutan dari lubang yang tengah dimasuki oleh jari tengah Inuyasha.

Sesshomaru tak mengatakan apapun. Ia hanya menatap pemandangan di depannya dengan datar. Meskipun jari tengah yang mulai bergerak keluar masuk itu amat menarik perhatiannya. Jari kedua masuk, dan Inuyasha mengerang. Tapi Sesshomaru tetap menatap dua jari yang keluar masuk itu dalam diam. Inuyasha sudah mendesah-desah diantara balutan kain dikakinya, ia sudah meracaukan nama 'Sesshomaru' di tengah lenguhannya.

.

.

Sudah empat jari. Sesshomaru meremas rerumputan di samping tubuhnya. Pemandangan erotis ini benar-benar membuat libidonya membumbung tinggi. Kejantanannya sudah berdiri menantang di bawah sana. Tapi ia belum ingin memasukannya untuk menggantikan empat jari Inuyasha yang bergerak-gerak liar dengan gerakan merenggangkan seperti gunting, memutar atau asal-asalan menusuk-nusuk ke dalam.

Tubuh Inuyasha sudah merosot setengahnya karena terlalu tidak tahan dengan gemetaran tubuhnya. Ia terengah dan terus mendesah, menusuk lebih dalam pada lubang anusnya karena beberapa saat lalu ia sudah menemukan titik kenikmatannya sendiri. Tapi ia langsung mengerang –sedikit kaget saat tubuhnya ditarik untuk kembali menungging tinggi. Pahanya ditahan Sesshomaru agar ia tidak merosot lagi.

Dan sesuatu yang lentur dan basah menyentuh permukaan lubangnya membuat ia mendesah lebih keras, "Sess –sshomaru –yame –te... ahh –tunggu –" tapi benda basah di depan lubangnya itu bukannya berhenti malah sekarang menusuk-nusuk ke dalam lubangnya. Keempat jarinya yang sempat berhenti juga diambil alih oleh Sesshomaru dengan menggerakannya keluar masuk lagi.

Inuyasha membuka mulutnya lebar-lebar, mendesah dengan kencang. Liurnya mengalir keluar hingga membasahi kain celana Sesshomaru. Matanya terpejam erat, rasanya terlalu nikmat. Tubuhnya terlalu menikmatinya.

Sett...

Tubuh Inuyasha ditegakan dengan sebelah tangan Sesshomaru yang menarik bagian dadanya. Ia yang terlalu sulit untuk mempertahankan tubuhnya langsung bersandar dibahu Sesshomaru. Napasnya terengah. Jemarinya sudah ditarik keluar Sesshomaru, lubang anusnya terasa sangat kosong sekarang ini. Peluh juga sudah membasahi wajah memerah Inuyasha.

Sedikit demi sedikit Sesshomaru menurunkan tubuh Inuyasha. membuat tumpuan pemuda itu pada lututnya sedikit berkurang hingga ujung dari kejantanannya yang sudah meneteskan precum menyentuh permukaan berkedut dibelahan pantat Inuyasha. Ia menekan pinggang Inuyasha ke bawah secara perlahan. Pemuda manis itu melenguh dengan kernyitan pada alisnya. Mungkin sedikit sakit.

"Hnn –Sessho –hha –ahh..." desah Inuyasha, lubangnya yang sempat menyempit kembali melebar dengan kali ini kepala dari kejantanan Sesshomaru yang masuk. Matanya menatap teduh wajah penuh kenikmatan Sesshomaru. Kedua tangannya mencengkram kain dibahu pemuda itu sebagai penyalur dari rasa tidak nyaman dan sakit yang dirasakannya.

Liang Inuyasha melebar dengan perlahan-lahan. Ototnya yang berkedut-kedut seperti berusaha menelan kejantanan Sesshomaru dengan terus dengan tidak disengaja membantu kejantanan itu masuk lebih dalam.

Napas Inuyasha terengah dan namun lebih lamban dari yang tadi. Lubangnya terasa sangat penuh sekarang dengan kejantanan Sesshomaru yang berdenyut di dalamnya. Ia menolehkan wajahnya dan menatap wajah Sesshomaru. Pemuda itu juga menatapnya hingga bibir kembali bertemu dengan bibir. Tangan yang menahan dada Inuyasha mulai bergrilya mengelusi permukaan kulit halus didada dan perut Inuyasha. Memberikan sensasi menggelitik diperut pemuda manis itu.

"Aku ingin bergerak," ucap Sesshomaru, tapi Inuyasha memberikan gelengan padanya. Sesshomaru mengernyit saat Inuyasha menegakan duduknya dengan kejantanan Sesshomaru masih mengisi anusnya.

Inuyasha menumpukan kedua tangannya dipaha Sesshomaru. Ia menoleh ke belakang dan memberikan senyuman termanisnya. Sesshomaru mengerti arti senyuman itu ketika merasakan kejantanannya yang bergesekan dengan dinding anus Inuyasha.

Inuyasha membebankan berat tubuhnya pada telapak tangan yang bertumpu dipaha Sesshomaru dan menggunakan lututnya untuk mengangkat tubuhnya. Membuat kejantanan Sesshomaru keluar dari anusnya. Lalu, ia menghentak keras pantatnya untuk kembali memasukan kejantanan Sesshomaru.

" –AAH!" desahan keras itu disertai getaran tubuhnya yang tengah menyemburkan sperma dari lubang kecil dikejantanannya. Dampak dari benturan keras pada titik kenikmatan di dalam tubuhnya ternyata sangat besar sampai-sampai ia langsung klimaks. Cairannya menyembur lima kali sebelum berhenti mengeluarkan semen putih itu.

Tangan Inuyasha mengelap ujung kejantanannya dan membawa cairan lengket ditangannya untuk dijilatnya. Well, ia ingin merasakan bagaimana rasa spermanya setelah sebulan lebih tidak melakukan persetubuhan. Cukup kental dengan baunya yang khas.

Setelah mengatur napasnya dan menetralisir rasa lemas ditubuhnya sehabis klimaks, Inuyasha kembali mengangkat tubuhnya dan menghujam lagi tubuhnya dengan kejantanan Sesshomaru. Ia mendesah, gerakan keluar masuknya ia percepat dengan sesekali membuat lingkaran anusnya menyempit dengan sengaja untuk memijat kejantanan Sesshomaru. memberi service tambahan pada batang keras itu.

Ia merasa puas saat Sesshomaru berdesis dengan namanya yang disebut menggunakan nada erotis disertai desahan. Desahan kerasnya membalas suara seduktif itu. Tubuhnya terus bergerak naik-turun, mengeluarkan dan memasukan kembali kejantanan Sesshomaru.

"Ah –haah- Ahh- Sessho –hha!" Inuyasha menundukan wajahnya, ia menggeleng dan menengadah. Tetesan liur di sudut-sudut bibirnya mengalir deras. Ia sudah meracau dengan suara desahan yang mengalahkan desiran angin di padang rumput. Akal sehatnya mulai memudar. Terlebih saat kecepatan sodokan dianusnya bertambah dengan tangan Sesshomaru yang sekarang memegangi kedua sisi pinggangnya. Membuatnya menjadi tubrukan lebih keras andara ujung kejantanan Sesshomaru dan titik kenikmatannya.

Ia sudah kehilangan kewarasannya.

Spermanya menyembur lagi, tanpa sekalipun mendapatkan sentuhan. Lebih banyak dari yang pertama. Membasahi kain celana yang dipakai Sesshomaru hingga terlihat lengket dengan kaki pemuda itu. Inuyasha berkali-kali mendesah keras setiap kali spermanya menyembur. Tangan Sesshomaru tetap menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Dan ia bersyukur untuk itu karena tubuhnya memang terasa sangat lemas sekali.

Sesshomaru mengangkat tubuh Inuyasha dari atas tubuhnya, hanya untuk mengubah posisi mereka. Ia menidurkan Inuyasha dihamparan rumput dan menindih tubuh lemasnya. Kaki Inuyasha ditekuk hingga menyentuh dadanya. Pemuda manis itu meringis karena otot-otot kakinya dipaksa untuk menegang hingga batasnya.

Pandangannya masih mengabur namun kedua tangannya dengan mudah untuk memeluk leher Sesshomaru. Ia memekik –terkejut dengan sodokan keras Sesshomaru yang kembali menancapkan kejantanannya yang sempat dia lepaskan dari lubang anusnya. Bibirnya dikecup sejenak sebelum tubuh bagian bawahnya kembali menerima hantaman. Ia mendesah dan mendongak saat merasakan kenikmatan berlebih pada tubuhnya.

"Sessho –maruhh –aah... mmhah –" mendesah. Inuyasha tak tahu lagi bagaimana cara menyalurkan rasa nikmat yang dirasakannya. Matanya sudah mengalirkan air mata sejak tadi, semua yang didapatnya dari Sesshomaru terlalu nikmat.

Desiran pada batang kejantanannya kembali ia rasakan. God! Sudah berapa kali ia klimaks? Tapi kenapa Sesshomaru masih tetap tahan untuk tetap menggenjot tubuhnya.

" –AAH?!" Inuyasha melotot saat melihat Sesshomaru mengikat ujung kejantanannya dengan kain merah yang menjadi pengikat bajunya tadi. Diikat dengan simpul pita, dengan sangat erat. "Ss –Sessho...!" Ia berusaha untuk protes, tapi gerakan keluar masuk di lubang anusnya benar-benar membuatnya sulit untuk sekedar memanggil nama pemuda itu.

Ia sudah tidak tahan, spermanya sudah berada di ujung tanduk. Tapi ia tidak bisa mengeluarkannya karena tali yang diikatkan pada kejantanannya menghalangi ia untuk melepaskan hasratnya. Inuyasha menggeram keras saat dirinya orgasme kering, tak ada setetespun dari spermanya keluar dari lubang kejantanannya.

"Tidak kali ini," Sesshomaru berbisik ditelinga Inuyasha. Ia mengulung cuping telinga pemuda itu hingga basah dipenuhi liurnya dan beralih untuk memberikan tanda pada lehernya.

Inuyasha hanya bisa mendesah di bawah kuasanya. Menunggu untuk dibiarkan keluar juga pasrah untuk terus disodok dengan penisnya. Sesshomaru menggeram, ia merasakan amarahnya menguasai kendali dirinya.

Sudah berapa kali Inuyasha menunjukan wajah nikmatnya pada orang selain dirinya. Sudah berapa kali Inuyasha merasakan penis lain selain miliknya. Sudah berapa nama yang keluar dari mulut penuh liur itu. Sudah berapa kali suara desahan Inuyasha di dengar oleh orang selain dirinya.

"Sessho –Ah! Ahh! A –appah –yang –"

Inuyasha terkejut saat gerakan Sesshomaru berubah menjadi lebih –kasar. Tubuhnya di balik dan ditusuk dengan cepat. Pinggulnya dinaikan agar lebih mudah memasukan penisnya. Tapi gerakannya kali ini tanpa tempo yang menentu dan tidak selalu mengenai prostatnya.

Inuyasha menggigit bibir bawahnya. Anusnya bisa terluka jika begini terus. "Ahh –hah- mmaah –Sessho –yame –tehha –ah!"

Shit! Ada yang salah dengan pemuda ini. Kebrutalannya bahkan melebihi hari-hari dulu saat mereka melakukan hal ini. "AAH!" –dinding anusnya terasa perih sekarang. Pasti anusnya terluka karena perihnya semakin terasa saat Sesshomaru terus memaksa menusuk dirinya lebih dalam. Ia bahkan bisa merasakan kepala kejantanan pemuda itu menyentuh pasar perutnya.

Ini nikmat, tapi ini juga menyakitkan.

Dan orgasme kering untuk kedua kalinya tidak menambah baik keadaannya sekarang. Jika begini, lebih baik ia yang mengendalikan permainan. "Ngghh –ah –hhah –Sessho –" Inuyasha berusaha bicara, "Ch –chium aku –" ucapnya dengan susah payah.

"Chium aku!" ulangnya setengah memekik dengan tubuhnya yang kembali dibalik. Tapi cukup bersyukur karena Sesshomaru menciumnya –dengan kasar. Sampai-sampai bibirnya terasa perih sekarang karena terbentur giginya.

Inuyasha mengalungkan tangannya dileher Sesshomaru, menelusupkan jemarinya pada helaian rambut Sesshomaru dan meremasnya cukup kencang. Bibirnya yang dicumbui membalas pagutan Sesshomaru. saling mengecup, menarik bibir bawah dan atas masing-masing dan bertarung lidah dengan sengit. Inuyasha kewalahan untuk menandingi cumbuan panas yang sangat ingin didominasi Sesshomaru.

Ia berusaha untuk tidak terbuai dengan cumbuan itu dan memanfaatkan kesempatan dikala Sesshomaru tengah terfokus pada ciuman mereka dengan menatap mata pemuda itu. Menatapnya dengan lurus dan menghentikan perlawanannya. Kedua tangannya menahan kepala Sesshomaru agar tak bergerak sedikitpun. Agar pemuda itu juga menatapnya.

Dan sepasang coklat berbinar emas itu akhirnya menatapnya. Tatapan penuh dengan sorot marah, Inuyasha tertegun dengan apa yang dilihatnya. Kenapa Sesshomaru menatap dirinya dengan penuh amarah.

Inuyasha meredupkan pandangannya. Berusaha sebisa mungkin untuk membuat matanya setenang air tanpa beriak sedikit pun. Meleburkan pandangan amarah dari Sesshomaru. Ia mencobanya.

Dan gerakan Sesshomaru pada lubangnya yang sedikit melambat membuat Inuyasha ingin sekali bernapas lega sekarang jika saja bibirnya tidak sedang dipagut pemuda itu.

"Sudah tenang kan?" Inuyasha bertanya. Napasnya masih terengah meskipun sudah berusaha ia stabilkan.

"..." Sesshomaru menatap wajah memerah Inuyasha. Wajahnya tanpa ekspresi tapi nampaknya ia terkejut saat Inuyasha meringis dikala ia menarik keluar kejantanannya. Ia hilang kendali.

"Jangan pikirkan lukanya. Aku ingin kau melanjutkannya, puaskan dirimu. Puaskan aku," ucap Inuyasha. Bibirnya mengulum senyum dan memagut bibir Sesshomaru lagi. Ia mengambil langkah pertama dengan memasukan kejantanan Sesshomaru lagi dan mendesah sebagai tanda ia baik-baik saja. Dan setelahnya ia bisa merasakan gerakan Sesshomaru menghujam anusnya lagi. Tapi kali ini sepertinya pemuda itu sudah sadar karena tidak sekasar tadi lagi.

Desahan nikmat Inuyasha kembali mengalun, rasa sakitnya sudah tergantikan dengan kenikmatan lagi. meskipun kejantanannya yang sudah mulai membiru tetap saja menyiksanya, tapi ia berusaha untuk menahannya sampai Sesshomaru mencapai klimaksnya.

Denyutan dari kejantanan yang tertanam dianusnya semakin sering ia rasakan. Inuyasha tahu jika Sesshomaru tidak bisa menahannya lebih lama lagi. karena itu ia memberikan remasan lebih pada kejantanan itu. Menggerakan otot rektumnya seakan melahap penis Sesshomaru.

Pemilik coklat keemasan berdesis dan mempercepat gerakannya. Ia mencium Inuyasha dalam dan memberikan sodokan terakhirnya pada pemuda itu. Sesaat kemudian cairannya menyembur jauh di dalam anus Inuyasha. Kejantanannya terasa sangat panas saat cairannya menyentuh kulit dari batang kejantanannya.

Penisnya ditarik keluar dengan bunyi 'plop' dan lelehan sperma yang keluar juga melihat darah yang bercampur diantaranya.

"Ngh... milikku –Sesshomaru –" Inuyasha berusaha menggapai kejantanannya dengan tangan gemetaran. Sepertinya pemuda manis itu sudah mengalami orgasme lagi dengan kejantanannya yang sudah membiru keunguan.

Sesshomaru mengecup pucuk dari kejantanan Inuyasha dan melahapnya ke dalam mulutnya. Inuyasha mendesah keras karena kelakuannya. Rongga hangat Sesshomaru menambah deritanya karena tidak bisa mengeluarkan spermanya.

Kain yang dijadikan penghalang oleh Sesshomaru ditariknya. Dan begitu terlepas, semburan dari cairan putih berbau khas itu langsung menyembur di dalam mulut Sesshomaru. Sangat banyak, sampai belum sepenuhnya Sesshomaru menyelesaikan satu tegukan semburan lain sudah memenuhi mulutnya. Inuyasha bergerak seperti orang gila. Kakinya yang ditahan Sesshomaru untuk tetap menekuk didadanya berkali-kali mengejang dan berusaha untuk lepas. Tangannya juga meremat rerumputan hijau dikedua samping tubuhnya. Saking tidak kuatnya menahan rasa nikmat dari klimaksanya yang sudah tertahan tiga kali.

Sesshomaru memberikan jilatan terakhir saat tak ada lagi sperma yang keluar dari lubang kejantanan Inuyasha. Ia merangkak ke atas tubuh lemas tak berdaya Inuyasha dan mencium bibir pemuda itu. Membagi sedikit sperma yang berada di dalam mulutnya.

Mata lelah Inuyasha hanya bisa memperhatikan Sesshomaru dalam diam. Membiarkan saja saat lehernya dijilati dan dihisap oleh pemuda itu. Sepertinya masih belum puas untuk menandai tubuhnya, karena lengannya juga sekarang menjadi incaran pemuda itu untuk diberikan tanda kemerahan.

.

.

.

.

Inuyasha melenguh dengan remasan kuat pada helaian putih keperakan yang kini tengah memaju mundurkan kepalanya diantara selangkangannya. Ia sudah lelah, dan ia hanya mampu untuk duduk bersandar pada pohon besar di belakangnya. Hanya bisa mengucapkan kata cukup dengan lemah dan meremas-remas rambut Sesshomaru agar pemuda itu mau menghentikan kegiatannya.

Ia benar-benar sudah merasa kosong. Dikuras habis, diperas sampai tak tersisa oleh Sesshomaru karena sejak persetubuhan mereka berakhir, ini ketiga kalinya Sesshomaru mengulung kejantanannya yang melemas agar kembali mengeluarkan spermanya. Ia sungguh sangat lelah. Dan ketidak puasan Sesshomaru membuatnya semakin lelah karena ia tidak bisa memejamkan matanya dan tidur dengan nyenyak saat ia terus saja dirangsang untuk berdiri.

"Cu –kup," ujar Inuyasha lirih, "Sudah –tidak –hhha –ti –tidak ada lagi, Sesshomaru –"

Pandangan Inuyasha sudah hampir tinggal putih saja. Ia yakin dirinya akan pingsan jika Sesshomaru tidak membiarkan dirinya istirahat sekarang.

Sesshomaru melirik wajah kelelahan Inuyasha. Terlihat sangat erotis, bahkan ketidak berdayaannya malah membuat hasrat Sesshomaru kembali ingin menyatukan dirinya dengan pemuda manis itu.

Tapi ia masih cukup waras untuk tidak melakukan hal itu.

Kuluman pada kejantanan Inuyasha berhenti, penis yang setengah menegang itu sebenarnya sangat ingin ia hisap lagi. Tapi ia tidak ingin Inuyasha pingsan karena hormon remaja miliknya mendominasi. Ia menegakan duduknya dan mengambil jarak sekitar satu langkah dari tubuh lemas Inuyasha.

Ia menjilat bibirnya sendiri. Pemandangan yang begitu erotis. Wajah kelelahan dan pasrah yang penuh dengan cucuran peluh dan lelehan liur yang masih menetes dari dagunya. Leher yang sudah dipenuhi bercak-bercak merah –bahkan sangat sulit untuk menemukan warna kulit asli dari pemuda cantik itu. Tubuhnya yang telanjang bulat tak kalah penuhnya dengan kissmark. Dada, perut, lengannya sampai punggung tangan. Tak ada celah yang terlewati oleh tanda kepemilikian yang dibuatnya.

Kaki Inuyasha yang mengangkang lebar dengan kain merah yang mengikat paha dan pergelangan kakinya benar-benar mampu membuat penisnya kembali berdiri. Lihat juga pahanya yang penuh tanda kemerahan, betisnya yang tak juga lolos dari hisapannya. Dan kejantanan yang setengah menegang milik Inuyasha juga terdapat kissmark miliknya.

Sesshomaru mendekati Inuyasha dan melepaskan ikatan kain dikaki Inuyasha. Ia membawa Inuyasha untuk bersandar didadanya yang polos sedangkan ia yang bersandar pada pohon. Hakama merah Inuyasha ia gunakan untuk menutupi tubuh polos pemuda itu.

"Kau ... terlalu bersemangat," suara itu terdengar kecil sekali. Tak akan terdengar jika saja angin tidak dalam keadaan tenangnya.

Sesshomaru menumpu dagunya dipucuk kepala Inuyasha, pemuda itu menutup matanya. Tangannya mendekap erat Inuyasha ke dalam pelukannya. Menghalau rasa dingin yang bisa membuat pemuda cantik milik'nya' kedinginan.

"Aku hanya merindukanmu," ujar Sesshomaru.

Inuyasha hanya bisa diam mendengar penuturan penuh nada kejujuran yang diucapkan Sesshomaru. Ia tersenyum miris, "...merindukan, tubuhku," lirihnya. Tiba-tiba ia ingin sekali menangis sekarang.

Sesshomaru menghirup wangi shampoo dari rambut Inuyasha yang sudah nampak kusut karena sering kegiatan mereka beberapa saat lalu, "Aku merindukan tubuhmu,"

Tetesan air asing itu turun dari kedua mata Inuyasha yang menatap kosong hamparan hijau di depannya.

"Aku merindukan suaramu. Aku merindukan saat kau menyebut namaku. Aku merindukan bibirmu. Aku merindukan matamu," ucap Sesshomaru.

Inuyasha menggigit bibir bawahnya keras, menghalau suara isakan yang bisa kapan saja lolos dari belahan bibirnya.

"Aku merindukan perasaanmu terhadapku, Inuyasha," dekapan tangan Sesshomaru mengerat saat merasakan tubuh Inuyasha mulai gemetaran, "Aku –merindukan hatimu yang hanya untukku," ucapan Sesshomaru barusan entah mengapa terdengar seperti orang putus asa bagi Inuyasha.

"A –aku tidak punya yang namanya hati," Inuyasha berusaha sangat keras agar suaranya tidak ikut gemetaran. "Aku hanya –seorang pela –"

" –seseorang yang kucintai," potong Sesshomaru cepat. Tubuh dalam dekapannya tiba-tiba saja berhenti gemetar. Terdiam seperti patung. Sesshomaru melanjutkan ucapannya, "Seseorang yang sudah merebut hatiku, jauh sebelum kau mengenalku,"

" ...hong. Kau bohong..." Inuyasha mulai terisak, "J –jangan mengatakan –hiks! hal brengsek s –seperti itu padaku.." lirihnya. Tangannya meremas hakama merah yang menurupi tubuh telanjangnya. Ia tidak ingin Sesshomaru mengatakan hal-hal rumit itu.

"Aku tidak pernah membohongimu," ucap Sesshomaru. Dekapannya semakin erat saat tubuh Inuyasha mulai kembali gemetaran.

"Jangan bercanda!" Inuyasha memberontak meski tak terlalu berpengaruh karena tubuhnya masih sangat lemah, "Kau –kau tidak pernah kembali. Kau me –membuatku terus memikirkanmu. Te –terus hanya tertuju padamu! Aku benci! A –aku benci saat kau ti –dak pernah –hiks- ke –kembali!"

"Aku punya alasan," kilah Sesshomaru. Ia tetap memeluk pemuda yang tengah menangis itu dengan erat.

"Jangan –jangan pernah k –kau mengharapkan sesuatu dari pelacur, Tuan! Aku h-hanya –hiks- bisa menjual tubuhku! Bukan –bukan hatiku!"

"Aku tidak perlu membeli hatimu, Inuyasha. Kau sudah memberikannya," ujar Sesshmomau.

"..." Inuyasha tidak membalas dan itu kesempatan bagi Sesshomaru untuk bicara.

"Kau sudah memberikan hatimu padaku. Sama seperti aku yang sudah memberikan hatiku padamu delapan tahun lalu," ucap pemilik binar keemasan itu, "Saat pertama kalinya aku melihatmu di rumah itu, saat Ayahku menemui Naraku –aku melihatmu yang terdiam duduk di taman belakang rumah itu,"

"Kau yang sendirian, kau yang begitu cantik namun terlihat menyedihkan. Kau yang menyembunyikan semua perasaanmu dengan senyum memukau palsumu," Sesshomaru terus berucap dengan tangan yang semakin erat memeluk Inuyasha, "Kau yang seakan tengah menunggu seseorang untuk menyelamatkanmu. Aku. Yang kau tunggu adalah aku,"

"..." Inuyasha masih mengunci bibirnya rapat.

"Maaf karena membuatmu menunggu selama delapan tahun. Maafkan aku karena aku sudah sangat terlambat. Aku minta maaf karena tidak bisa merampasmu dengan usahaku sendiri dari laki-laki itu. Maaf, kau menderita terlalu lama –"

"Kau membuatku sesak –" ujar Inuyasha. Sesshomaru melonggarkan dekapannya dan membiarkan pemuda itu duduk dengan benar, "Saat kau belum ada dikehidupanku, hanya beberapa kali saja aku merasakan sesak didadaku ini," Inuyasha menatap Sesshomaru dengan pandangan kosong, "Tapi, saat kau datang, dada ini tidak lagi merasakan sesak itu meskipun setiap hari aku harus melayani bajingan-bajingan lain sebagai pemuas nafsu."

Sesshomaru diam, memilih untuk menunggu kalimat lain yang akan diucapkan Inuyasha. "Tapi saat kau pergi tanpa kalimat 'Aku akan kembali' dan lebih dari satu bulan setelah itu –dadaku seperti terhimpit bumi. Rasanya bukan hanya sesak, tapi juga sakit," –satu tetes air mata jauh dari mata Inuyasha.

"Dan sekarang, kau kembali dengan ucapan 'Aku mencintaimu' dan kata-kata maaf yang sebenarnya bukan salahmu?" Inuyasha tertawa hambar, "Aku ingin pulang. Tolong antarkan aku, Sesshomaru-sama,"

"Tidak," ucap Sesshomaru.

"Kenapa!" Inuyasha berteriak lantang, air mata mulai membasahi pipinya lagi.

"Kau akan pergi bersamaku," jawab Sesshomaru. Pemuda itu masih berusaha untuk tetap tenang.

"Tidak akan bisa. Naraku-san tidak akan pernah melepaskan aku. Jadi kumohon padamu, antarkan aku pulang, Sesshomaru,"

Sesshomaru tak bisa menahan dirinya untuk tidak menghela napas, "Dia sudah melepaskanmu," ujarnya.

Inuyasha tertawa lagi, tidak mungkin. Orang ini pasti berbohong padanya, "Berhenti, hentikan candaanmu itu, hahaha...itu tidak lucu!"

Kedua tangan Sesshomaru memegang baru Inuyasha. Matanya menatap serius manik madu berhiaskan merah akibat terlalu banyak menangis. Ia menatap Inuyasha dengan serius, "Hanya tinggal kau. Tinggal keputusanmu saja, Inuyasha –" Inuyasha menahan napasnya, " –ikut bersamaku, atau selamanya berada di tempat itu dan aku tidak akan bisa menemuimu lagi,"

Mata Inuyasha membulat, tubuhnya mendadak kaku. Tidak –ia tidak mau menghabiskan sisa hidupnya di tempat itu. Ia tidak mau jika harus terus berada di sana dan –dan ia tidak mau jika ia harus melupakan Sesshomaru, tidak bisa menemui pemuda itu lagi.

"Aku –hiks! Aku tidak mau ...–aku tidak mau!" Inuyasha memeluk tubuh tegap di depannya dengan erat. Kepalanya menggeleng dengan cepat dengan tangis yang pecah, terus mengatakan 'Tidak mau' dengan pelukan yang semakin erat pada Sesshomaru.

Tangan yang mencengkram bahu Inuyasha perlahan membalas pelukan pemuda manis itu. Sesshomaru mengelus punggung penuh bercak kemerahan Inuyasha dengan lembut. Lalu mendekapnya erat. Matanya terpejam, ia berhasil. Inuyasha adalah miliknya.

Senyuman tulus ia tunjukan di tengah dekapannya pada tubuh orang yang paling dikasihinya. Kekasihnya. Orang yang dicintainya, satu-satunya manusia di dunia ini yang telah berhasil mencuri hatinya bahkan di saat ia masih berusia kanak-kanak. Usianya yang kesembilan tahun.

Sesshomaru berhasil menarik malaikatnya dari kubangan dosa pekat yang mengotorinya. Dan ia berjanji untuk terus menjaganya. Mencintai malaikatnya seumur hidupnya –bahkan ia tidak akan melepaskannya meski kematian kelak mendatanginya.


.

.

.

.

.

.

.

.


Omake (1) :

Seorang laki-laki bersurai hitam panjang bergelombang menatap langit cerah dari balik jendela besar kamarnya. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, memberikan elusan pada lengannya yang tengah ia gunakan untuk mengapit selimut tebal berwarna putih yang sedikit melindungi tubuh polos dibalik selimut itu.

Jika diperhatikan baik-baik, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis yang begitu jujur. Sangat tulus dibandingkan dengan senyuman yang biasa diumbarnya.

Apa ia sudah melakukan hal yang benar dengan melepaskan orang yang paling dicintainya, pergi dari sisinya? Apa keputusannya ini benar? Atau, orang itu akan kah dia bahagia dibandingkan kesengsaraan yang selama ini ia berikan padanya?

"Kau masih memikirkannya?"

Sepasang tangan melingkari pinggangnya dan beberapa kecupan basah dibahunya membuat ia menutup matanya dan menyandarkan kepalanya pada bahu seseorang di belakangnya. "Tidak. Aku yakin anakmu bisa menjaganya dengan baik," ucapan itu terdengar dari bibir yang sejenak tadi menunjukan senyum tulusnya.

Laki-laki bersurai putih yang tengah mengecupi bahu dari laki-laki bersurai hitam itu menghentikan aktivitasnya dan menyangga dagunya pada bahu bekas kegiatannya tadi, "Lalu bagaimana dengan ini?" ia bertanya, tangannya terangkat tepat dihadapan dada laki-laki bersurai hitam.

Si surai hitam membuka matanya dan melihat tangan yang tersaji di depannya tengah membuka sebuah kotak kristal transparan dengan sebuah cincin putih bermahkotakan blue sapphire yang berpendar pelangi terkena sinar matahari. Ia tertawa pelan dan mengangkat tangan kirinya, "Pakaikan," titahnya pada laki-laki di belakangnya.

Laki-laki bersurai putih memberi kecupan sekali lagi pada Si surai hitam sebelum mengambil cincin pada kotak kristal ditangan kirinya dan ia memasang cincin itu dijadi manis Si surai hitam.

"Kau suka dengan sebutan Nyonya Inutaisho?" tanya Si surai putih. Yang ditanya lagi-lagi tertawa dan membalikan tubuhnya, membuat mereka berhadap-hadapan.

"Aku lebih suka dipanggil dengan namaku," ujar Si surai hitam.

Senyum mengulum dibibir laki-laki bersurai putih, "Baiklah, Nyonya Naraku," –dan kedua bibir itu bertemu dalam pagutan panjang yang tidak akan dengan segeranya berakhir.


.

.

.

.

.

.


Omake (2) :

"Tetaplah di dalam mobil, Sesshomaru. Ayah harus bertemu teman Ayah sebentar,"

Sesshomaru mengangguk dan tetap duduk dikursi penumpang. matanya memperhatikan ke mana arah dari langkah Sang Ayah yang baru saja meninggalkan mobilnya. Ia mengernyit saat melihat seorang –perempuan? berambut sebitam arang yang bergelombang berada tepat di depan Sang ayah yang berjalan.

"..." sunyi. Sesshomaru tak bisa memikirkan hal lainnya saat Sang ayah dengan mesranya mencium pemilik surai hitam itu. Begitu dalam dengan tangan yang mendekap erat pinggangnya.

Seketika itu juga ia melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil di sampingnya. Ia berlari keluar, tak mempedulikan teriakan supir yang selanjutnya adalah teriakan dari Sang ayah yang memanggil namanya. Marah. Ternyata ini yang dilakukan Ayahnya saat Ibunya sakit-sakitan, berjuang untuk hidup dengan topangan alat-alat medis di rumah sakit? Berselingkuh? Dengan seseorang yang lebih muda, lebih cantik dan pastinya bisa memenuhi semua kemauan Ayahnya?

Ia benci kenyataan ini.

Ia benci Ayahnya.

Sesshomaru berhenti saat kakinya mulai terasa pegal untuk terus diajak perlari. Ia mendudukan dirinya di sebuah batu besar yang menghadap pada pekarangan rumah besar yang ia tidak tahu milik siapa. Napasnya yang memburu masih meraup dengan rakus oksigen diudara sekitarnya. Rasa kesalnya masih ada. Apalagi amarahnya. Sekarang ini ia ingin sekali berteriak dengan memaki Sang Ayah, tepat di depan wajahnya.

Lalu tanpa sengaja ia melihatnya. Seseorang dengan rambut putih –mirip sepertinya hanya saja rambut itu cuma sepanjang atas bahu. Duduk di sebuah bangku taman, menatap kolam ikan di depannya dalam diam. Tapi bukan rambut atau diamnya yang mebuat Sesshomaru tak bisa berpaling dari anak itu. Ia tak bisa melepaskan pandangannya karena, -ekspresi yang tertera diwajahnya saat ini. Seperti orang menyedihkan yang mau mati saja. Ia tertegun melihat pandangan kosong menyiratkan air mata yang tak bisa dijatuhkannya.

"Sesshomaru!"

Pandangan Sesshomaru beralih pada suara yang memanggil namanya. Ia melihat Sang ayah yang berlari mendekatinya, dengan seseorang yang tadi dicium Ayahnya berada tepat di belakangnya.

"Kenapa kau lari begitu? Jika ingin pergi, sebaiknya katakan dulu pada Ayah atau pada Supir. Kau membuat Ayah khawatir,"

Sesshomaru tidak terlalu mempedulikan ucapan Ayahnya. Matanya terpaku pada orang yang berdiri di belakang Ayahnya. Seorang remaja laki-laki –bukan perempuan seperti yang disangkanya. Kemudian, satu pemikiran terlintas dikepalanya. Anak berusia delapan tahun.

"Ayah, aku mau dia," Sesshomaru menunjuk sosok kecil yang tengah duduk termenung di taman belakang. Cukup jauh hingga anak itu tak bisa mendengar ataupun merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.

Pandangan Inutaisho mengarah pada apa yang ditunjuk anaknya. Melihat seorang anak epertinya seumuran dengan anaknya duduk dibangku taman. "Apa maksudmu, Sesshomaru? Ada yang kau inginkan dari anak itu?" tanya Inutaisho.

"Aku. mau. Dia," ucapan itu kini penuh dengan penekanan.

"Tidak bisa, Sesshomaru-kun. Anak itu adalah milikku. Tidak mungkin aku menyerahkannya pada anak-anak sepertimu,"

Sesshomaru menatap kelamnya malam dari manik remaja di depannya. "Kenapa tidak bisa?" tanyanya pada remaja laki-laki itu.

"Kau tidak akan bisa menjaganya. Dan kau belum menjadi siapa-siapa sekarang," jawab remaja laki-laki itu. Bibirnya menyunggungkan senyum ramah pada Sesshomaru.

"Kalau begitu, aku tidak akan memberikan Ayah padamu," ucap Sesshomaru. Ia menarik lengan Sang ayah dan memberikan jarak antara remaja itu dengan Sang ayah menggunakan tubuhnya. "Kau juga bukan siapa-siapa dan Ayahku tidak perlu dijaga,"

"Sesshomaru?" Inutaisho berusaha membuat Sesshomaru untuk mengurungkan niatnya. Tapi, ancaman dari seorang anak kecil bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Terlebih anak itu adalah anaknya. Anak yang ia sayangi dan ia hasilkan untuk meneruskan semua bisnis keluarganya.

Remaja bersurai hitam gelombang itu meniadakan senyuman diwajahnya. Matanya menatap datar Sesshomaru yang tingginya tak lebih dari dadanya. Lalu sebuah senyuman dengan cepat kembali kewajahnya, "Bagaimana jika kita membuat perjanjian?" tanya remaja itu. Sesshomaru tak menjawab, tapi mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan remaja laki-laki di depannya.

"Jika kau ingin Inuyasha, kau harus menebusnya dengan hidupmu. Tidak ada kehidupan anak-anak seperti biasa. Kau harus membuat perusahaan Ayahmu maju pesat, terbaik di Asia dan aku akan memberikan Inuyasha padamu. Begitu juga dengan kau harus memberikan ayahmu padaku," jelas remaja itu.

"Tapi, waktumu itu terbatas. Kau harus cepat, atau anak itu –" remaka itu menunjuk tepat kearah seorang anak yang masih setia duduk termangu dibangku taman, " –akan terlanjur rusak dan tidak bisa diperbaiki," lanjutnya dengan tubuh membungkuk dan jari mengepal kecuali jari kelingkingnya yang dihadapkan langsung pada Sesshomaru.

"Deal?" tanya pemuda itu.

Sesshomaru tahu ini semua hanya perjanjian konyol yang tidak akan pernah bisa ia wujudkan. Mustahil, tapi, anak itu –anak yang entah mengapa membuatnya ingin sekali menghampirinya dan merengkuhnya seakan Inuyasha itu rapuh.

"Deal," jari kelingking itu saling bertautan, membuat perjanjian sederhana yang akan mengubah hidup Sesshomaru selamanya. Membuatnya menanggung beban berat diusinya yang masih depalan tahun.


.

.

.

.

.

.

OWARI –TAMAT- SELESAI- THE END


A/N : Huraaaaai! *lempar lembing(?)* Akhirnya cerita request-an ini selesai dengan gajenya. Hohoho... maaf ya kalau misalnya kurang greget Endingnya T^Ta

Dan scene acara nangis-nangis SessInu jadi super gaje dan kesannya buru-buru. Abis –itu... lemonan terus langsung acara tangis-tangisan. Kayaknya absurd plus awkward banget tauk!

Dan aku bikin fic ini cukup dua hari dengan hari terakhir ini 18 Mei 2014, sukses banget aku begadang nggak tidur sama sekali -_-

Bahu dan pinggangku sakit duduk depan leppi-kun semaleman, Ukkkhhh... demi Request selesai nih! **joged-joged*


1~ Pakaian yang dipakai Sesshomaru dan Inuyasha itu sama kayak yang ada di animenya. Maaf kalau salah deskripsiin ya!

2~ Soal tato cakaran warna ungu tua dipipi Inuyasha, itu mode pas dia nggak sadar kalau lagi dikendaliin nafsu silumannya. Kalau pas hanyou biasanya, tatonya nggak ada. Aku pake karena biar lebih sangar XDv


Terima kasih untuk yang sudah mengikuti cerita threeshot ini sampai tamat ^^

Project ke depan :

Request by Kei FAA

Fandom : Naruto

Pair : NejiGaa

Genre : Romance fluffy

Semoga orangnya sabar nunggu yau~


Terakhir, sudi kiranya anda mereview fanfic gaje ini? #peellllllaaak!