Disclaimer :: Shingeki No Kyojin ©Hajime Isayama. This Love © Shinhwa. This Love English Lyrics © PopGasa. Story based on Fan Video created by Naver ( 523_4) I do not own the characters nor copyright of the disclaimers, except for this story.

Genre:: Shonen-ai/Yaoi, Romance, Humor, AU, "POSITIVE OOC".

Rate::M! (No Lemon, Mild Lime in the future)

Pairing:: RiRen (Rivaille x Eren), Slight Jean x Eren, Slight Bertholdt x Eren, Slight Armin x Eren, Slight Erwin x Eren, Slight Rivaille x Armin, Slight Jean x Sasha. Positive Harem!Eren.

Warning:: OOC! Typoo bertebaran! But Enjoy~ Don't Like, Don't Read!

—Jean tidak mengerti.

Tidak.

Dia hanya tidak bisa mengerti.

Kenapa dari semua orang di muka bumi ini, Jean Kirstein bisa memikirkan orang lain selain pujaan hatinya—Mikasa Ackerman? Mana masalah alot-nya sendiri itu orang yang dimaksud—yaitu macam mahluk yang kodratnya sejenis dengannya sendiri pula. Ah—rasanya pandangan jernih Jean terasa blur dan kelam.

Hitam ke coklat.

Cantik ke manis.

Batu obsidian ke batu zamrud.

Hei—itu sebuah perubahan drastis yang sangat memukau, kawan.

Dan kini, sosok yang sedang dilanda dilema tentang kewarasan ketertarikan sexual itu tak henti-hentinya mengetukkan onggokkan jari lentiknya pada dash board van hitam yang sedang dihuninya—membuat sosok gadis berkuncir kuda di sebelahnya risih saat menyetir.

"Jean, aku khawatir dengan jarimu. Nanti kalau terluka, bisa jadi masalah. Kalau kau tak digaji, otomatis aku juga tak bisa punya uang untuk membeli cake kentang keluaran terbaru."

Kutu kupret memang—disaat kritis begini, bukannya membujuk dengan hal yang baik, asisten rakusnya ini malah mengomporinya soal kentang.

Merasa kesal, Jean malah bersikap senewen,"Biar saja. Supaya kau tidak bisa makan sekalian."

"HEH?! Jangan dong! Aku tak bisa hidup nanti!"

CIIIIIIIT!

JDUK!

"ADUH! SASH—"

Kutu kupret level 2. Sudah bikin sensi, dibalas sedikit malah ini anak nyolot dan tiba-tiba mengerem mendadak sehingga jidat mulus Jean terbentur dash boarddengan indahnya.

Sasha, bahkan jidat Jean lebih berharga daripada jarinya tadi, lho.

"Maaf. Habisnya suasananya bikin risih." ia mengerucutkan bibirnya, lalu melirik Jean yang sibuk mengusap dahinya yang memerah,"Ada masalah apalagi? Padahal tadi pagi kau semangat sekali karena hari ini bertemu Mikasa."

"Tch, bukan urusanmu."

Sasha terdiam sejenak, lalu kembali mengalihkan padangannya pada jalanan malam dengan santai,"Kau tidak akan bisa maju kalau hanya melihatnya dari kejauhan. Jangan kejar saja, tangkap kalau perlu! Mikasa itu idola di agensi kita loh!" titahnya sok menasehati.

"Tumben kau bilang begitu—kupikir otakmu sudah sepenuhnya terisi kentang sampai tak ada lagi hal lain selain kentang dalam hidupmu." Jean menyipitkan matanya dengan ragu—kalau-kalau orang di sebelahnya ini bukan Sasha Brauss yang ia kenal.

"Jean, aku benar-benar berniat untuk mendukungmu, lho."

Merasa sedikit tersinggung, Sasha dengan sengaja menggembungkan pipinya—tanda sebal.

Jean mengendikkan bahunya tanpa ada rasa dosa, kemudian menyenderkan kepalanya ke kaca mobil,"Well—aku tidak begitu mengerti. Tapi kurasa…aku akan melupakan Mikasa."

—Lagi. Sasha mengerem mobilnya dengan amat sangat mendadak.

Jean terantuk dashboard untuk yang kesekian kalinya—ah, malang.

"SASHA! KAU—"

"Kau serius mau menyerah?!" Ah, masa bodoh dengan omelan pedas bosnya itu—Sasha tak perduli. Yang ada dalam otaknya kini hanya satu—sosok Jean yang tiba-tiba memutuskan hal yang teramat ganjil di dunia ini.

Melupakan Mikasa? Serius? Jean yang sudah ia kenal sejak 2 tahun lalu itu berniat untuk melupakan cinta pertamanya? Mikasa yang itu loh! Yang jelas-jelas sosok wanita idaman para pria! Jean berniat menyerah pada cinta yang ia kejar selama setahun penuh dengan mudahnya? Holy

Jean mengernyit takjub dengan sikap Sasha yang kelewat berlebihan dan tiba-tiba meremas kedua bahunya dengan kuat,"Hah? Kenapa kau terlihat shock begitu? Aku serius. Perasaanku padanya tiba-tiba lenyap begitu saja. Mungkin aku hanya kagum dengannya, bukan cinta."

Bullshit—tidak mungkin itu hanya perasaan kagum saja. Masa iya hanya karena kagum, mata Jean tak pernah lepas dari sosok Mikasa barang sedetik saja? Sedikit-sedikit, Jean bakal menggumam kan kesempurnaan seorang Mikasa setiap harinya. Sedikit-sedikit, Jean pasti akan memandangi layar ponselnya yang terpampang wajah asia Mikasa seraya tersenyum bodoh.

Sedikit-sedikit, Jean pasti akan menyambungkan segala hal yang ia bicarakan ke arah sosok semapai yang tingginya hanya berselisih beberapa senti dari dirinya sendiri itu—jujur saja, kuping Sasha sampai panas mendengarkan curhatan ala anak baru pubertas oleh Jean yang setidaknya menyebutkan nama wanita itu 2-3 kali dalam setiap kalimatnya.

Sudah sampai seperti itu, Jean tiba-tiba berkata akan menyerah?

"Jean—kau demam?" sontak si gadis berkuncir kuda meraih jidat kemerahan Jean yang terekspos bebas.

Tangan lembut itu ditepis dengan sekali hentakan,"Bodoh. Aku masih sehat tahu! Aku serius ingin melupakan Mikasa!"

Terkesiap, Sasha mematikan mesin mobilnya dan menatap sosok idola wanita di sampingnya tersebut dengan seksama,"Apa alasanmu tiba-tiba membuat keputusan seperti itu? Sekarang aku merasa kalau aku tak bisa mempercayaimu, Jean."

"Tak ada alasan khusus, hanya saja… aku tahu bahwa Mikasa tak akan menjawab perasaanku. Aku tahu dia tak akan jatuh cinta padaku." Pemuda berambut kelabu kecoklatan itu menghela napas dengan pasrah.

"Kau pesimis? Dan lalu memilih untuk mundur saja?"

"Tidak, bukan begitu. Aku hanya…benar-benar tidak ada perasaan lagi dengannya. Lagipula, kau tahu bahwa agensi kita melarang hubungan percintaan diantara sesama rekan kerja kan? Meskipun aku memaksakan kehendakku, pada akhirnya aku akan kehilangan karir dan impianku."

Sasha termangu beberapa saat.

Benar sekali, agensi perusahaan tempatnya bekerja sangat menangguhkan peraturan ketatnya soal percintaan. Selain bisa mempengaruhi karir seorang entertainer tersebut, penjualan mereka di pasaran biasanya akan jatuh dalam sekejap setelah para fans-nya merasakan kekecewaan di mana sosok impian mereka sudah menjadi milik orang lain.

Hal yang wajar jika seorang artis sangat berhati-hati dalam melakukan segala hal agar paparazzi yang tidak tahu diadat itu tidak menangkap basah segala kelakuan yang bisa menjatuhkan masa depan karirnya. Hukum dunia entertainment itu kejam? Yah, memang. Seorang artis professional sudah sepatutnya mengenyampingkan segala kesenangan pribadinya hanya demi berlakon dibalik topeng palsu yang menarik mata sekumpulan manusia untuk memujanya. Melupakan perasaan, melupakan masa lalu sebagai manusia 'umum' hingga melupakan hubungan keluarga agar mereka dapat menjalankan tugas mereka dengan baik.

"Aku tidak mengerti," Sasha mendengus lalu berbalik menatap setir mobil yang digenggamnya dengan erat,"Tapi aku mendukung segala keputusanmu. Kalau menurutmu memang itu yang terbaik, aku tak akan protes."

Ya, Sasha tak akan protes. Ia tak tahu apakah ia harus merasa senang atau sedih. Pasalnya, Jean sudah membuang perasaannya, yang berarti tak ada lagi seseorang yang mengisi hatinya. Tak akan ada lagi curahan hati mahluk berisik bertampang kuda itu.

Jean memilih karirnya, yang berarti Jean akan bersikap dingin terhadap apapun selain yang berhubungan dengan karirnya. Lalu Sasha akan tetap bahagia dengan pekerjaannya yang membuahkan hasil olahan kentang sesuka hatinya.

Ya, seharusnya begitu.

Seharusnya, Sasha hanya merasakan hal itu saja. Lalu kenapa ia merasakan sesuatu tak kasat mata yang meremas relung dadanya dengan kuat? Sakit dan terasa pedih. Meskipun tak ada yang melukainya dari luar—meskipun luka itu berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Sakit sekali, Jean.

Setelah selama ini ia menahan perasaannya dan memilih untuk mendukungmu dengan Mikasa, kini dengan mudahnya kau mengatakan untuk menyerah dan melupakannya? Bahkan meskipun itu merupakan suatu pintu kesempatan di mana ia dapat menelusupi celah yang tersedia, kini celah tersebut hilang bersamaan dengan adanya suatu penghalang terbesar yang pernah ada—masa depan.

"Terima kasih sudah mau mencoba untuk mengerti, gadis kentang."

Malam itu, Sasha hanya membisu seraya meremas setir mobil van yang melaju di tengah jalanan kota yang tak pernah mati.

.

Earl Yumi

mempersembahkan

cerita fiksi ini hanya untukmu

.

.

~This Love~

Chapter 3

"I Just Can't Understand"

.

.

"SCREAM! SCREAM! SCREAM! SCREAM!" hentakkan ribuan kumpulan suara yang bercampur menjadi satu terdengar riuh memenuhi gelanggang panggung.

The red light.

In this stopped time,

Only your scent remains—

Sosok itu memainkan kedua lengannya ke arah yang berlawanan, melirik tajam para penonton seraya meliukkan kedua bahunya secara bergantian.

"Hyaaaaaaaaaa! RIVAILLE! Kyaaaa!" teriakan serta seruan histeris dari kumpulan manusia yang terpesona atas hiburan dari sosok yang mereka dambakan saling bersahutan satu sama lain—berharap sosok itu mendengar isi hati mereka yang terdalam.

Like a dream I'm not waking from,

I'm falling more and more into you.

"Rivaille! Aku mencintaimu, Rivaille! Kyaaaa!" sosok itu kembali bernyanyi, meliukkan badannya sekali lalu menyilangkan kedua lengannya ke atas kepala dan pinggulnya—melewati garmen bagian bisep perutnya dengan lambat, mengiringi alunan musik sebagai latarnya.

The green light.

I have gone crazy, should I rush to you?

My heart sounds like it'll burst,

It races only for you.

Kemudian sosok yang paling tinggi mulai bergerak seiring dengan suaranya yang lembut terdengar jelas dan jernih. Ia melipat kedua lengannya ke belakang kepala—menatap ramah para fansnya seraya kembali melakukan bagian gerakannya.

"Bertholdt! Bertholdt! Lihatlah ke sini! Hyaaaa!~ SCREAM! SCREAM!"

Ratusan—tidak, ribuan pemuja grup pria itu berteriak semakin histeris, merasa menjadi manusia yang sangat bahagia saat melihat sekumpulan sosok idaman mereka yang terasa dekat. Meskipun mereka tak bisa meraih sosok itu, hanya dengan melihat keindahan mereka dengan mata telanjang adalah suatu kenikmatan tersendiri bagi seorang fan. Ya, mereka milik semua orang. Siapapun tak dapat memiliki mereka seorang diri. Tak boleh ada fans yang egois—mereka adalah milik bersama. Begitulah peraturannya.

One kiss from you will wake me up,

I feel like I can have the whole world.

Jean Kirstein dengan segala keindahan lekukan tubuhnya, menyampirkan sebelah tangannya ke pundak kanannya. Kemudian ia memusut helaian kelabunya ke belakang secara perlahan hingga akhirnya ia mengirimkan kedipan matanya ke fans dengan memikat.

I can't get enough, I can't get off of your love

I can't live without your love, I am addicted

In a blink of an eye, I'm by your side

When we kiss, I feel so high

We live for this love!

Setelah Jean selesai dengan kalimat lagunya, muncullah sosok gagah Reiner dari belakang tubuhnya. Gerakannya yang tegas terlihat tak kalah memukau dari member Scream lainnya. Meskipun style-nya paling berbeda dari yang lainnya berhubung dia adalah lead rapper, Reiner sendiri mampu menarik perhatian ribuan mata di gelanggang raksasa itu menatapnya dengan kagum.

Tak ingin mengakhiri bagiannya dengan cara yang biasa, Reiner serentak berputar ke samping dengan gesit—bersama dengan keempat penari latar yang sedari tadi mengelilinginya. Sebelum berbalik untuk kembali ke barisan yang lain di belakangnya, Reiner dengan sengaja membuka garmen luarnya secara kasar—menampakkan garis lengan-lengannya yang kekar dan melemparkannya ke sembarang arah.

Bagai sebuah sihir, sesaat sebelum garmen itu menyentuh lantai panggung, Erwin Smith—yang notabene terkenal sebagai leader scream, muncul dari balik garmen tersebut. Erwin tersenyum lembut sebelum ia mulai melafalkan liriknya.

I'm a shooting star inside a solar system called you

I am pulled to you,

You're a black hole that I can't deny

Sesuai dengan pembawaannya yang berkharisma, Mr. Smith tak perlu banyak melakukan gerakan bertenaga untuk kembali menarik perhatian penonton yang sempat terpukau oleh aksi Reiner sebelumnya. Ia hanya bergerak sesuai irama musik yang lembut, namun senyuman gentleman dari pria tampan ini tak pernah lepas dari wajahnya. Wajar saja jika semua orang terpikat dengan kelembutan yang dipancarkan oleh Erwin.

It's automatic, systematic, in this universe

I am pulled to you,

You're a black hole that I can't deny

We live for this love!

Dalam sekejap mata, konser single pertama mereka telah berakhir. Lantai utama di tengah panggung yang didesain secara mewah dan khusus untuk scream itu perlahan turun—membawa kelima bintang tersebut sebagai perpisahan.

=================—Ө—=================

"Hey—Berth! Kau lihat tadi?" sebuah lengan telanjang yang kekar melingkar pada bahu Bertholdt,"Aku keren sekali! Mereka menyerukan namaku dengan sangat lantang—Wow!"

"Ah? Eh—ya, kau benar." sedikit linglung, Bertholdt tersenyum masam seraya menggaruk belakang telinganya yang sebenarnya tak gatal.

Dengan tatapan menyelidik, Reiner mendekatkan wajahnya pada sosok yang lebih tinggi,"Oi—jangan bilang kau masih memikirkan gadis preman itu."

"H-Hah? T-Tidak kok!" Bertholdt tersentak dari lamunannya—membuang wajahnya yang memanas untuk berdalih,"Tunggu—dia bukan gadis preman!" ia memrotes sejenak.

"Pada kenyataannya ia kasar dan memukul dengan sangat ganas—"

Bibir Bertholdt semakin mengerucut.

"—Atau kau memang masokis." Reiner sweatdrop seketika melihat ekspresi sahabatnya itu yang terlihat begitu senang dengan insiden kekerasan selamam—well, anggap saja Bertholdt senang akibat 'kontak kulit'-nya, bukan tamparannya. Ya, mungkin begitu. Reiner meyakinkan dirinya sendiri dengan pikiran positif yang sangat tidak masuk akal.

"Oya, kemarin namanya siapa? Gadis itu." Reiner mengingat-ingat kembali. Ia bukanlah tipe orang yang suka mengingat nama orang yang tidak menarik perhatiannya. Yah, bukannya Reiner tidak normal kalau melihat gadis secantik itu ia tak merespon, hanya saja Reiner sudah punya seseorang yang mengisi pikirannya. Wajar saja kalau ia tak melihat gadis lain selain pujaannya sendiri, kan?

"Setelah kemarin aku memaksa Petra memberitahukan namanya padaku, akhirnya aku tahu kalau gadis itu Erena—"

"Ternyata kalian di sini." Suara alto dari belakang sukses menghentikan kalimat Bertholdt.

"Oh. Rivaille. Kau mencari kami? Tumben sekali." Reiner nyengir dengan nada meledek melihat sosok yang biasanya acuh tak acuh itu tiba-tiba menyapanya terlebih dahulu.

"Jangan bodoh, Reiner Braun. Kalau saja Erwin tak menyuruhku untuk mencari kalian, aku tak mau repot-repot membuang waktu santaiku hanya untuk menjadi suruhan pemanggil. Kalian pikir ini jam berapa, huh? Kita akan segera mulai rapat tentang single terbaru kita." Rivaille melipat kedua lengannya di depan dada dengan angkuh seperti biasa.

"A-Anu, sir—biar aku saja yang memanggil Jean setelah ini. Anda lelah kan, lebih baik istirahat saja." Kepala coklat yang terkesan berantakan menyembul dari balik punggung Rivaille, berucap dengan lirih.

"Eren, sudah kubilang kau tunggu aku saja di ruang rapat."

"Tapi ini kan tugasku—"

"Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja pergi ke tempat Jean?" Eren kalah telak dan memilih diam seraya menundukkan kepalanya. Entah kenapa—hari ini Eren terlihat sangat jinak.

Bertholdt sama sekali tak bisa berkedip sesaat setelah sosok berambut coklat tanah itu muncul di hadapannya. Orang ini terasa sangat familiar, sangat sangat familiar. Terlebih sorot kedua zamrud yang cerah itu tidaklah banyak orang yang memilikinya. Masa ia—

SREK!

"Woah!" Eren tersentak saat merasakan pergelangan tangannya yang tertarik oleh lelaki raksasa bersurai raven itu.

"Hei, apa aku pernah bertemu denganmu?" Bertholdt bertanya spontan—masih belum mampu berkedip barang sedetik.

"H-Hah? E-Eh, Aku—" Eren membulatkan kedua matanya, bingung menjawab pertanyaan pria yang sempat menggoda versi wanita jejadiannya semalam.

"Aku—"

PLAK!

"Tidak pernah!" geplakan tangan demi memisahkan genggaman mereka berdua menginterupsi suasana dengan sukses. Kedua kepala hitam dan coklat berputar pada sosok yang menengahinya.

"Rivaille, aku kan bertanya padanya—" sorotan tajam dari sepasang mata sipit menantang sepasang mata obsidian lainnya.

"—maksudku, tidak jadi." Bertholdt langsung kicep.

"Eren, aku tak akan mengulangi perintahku lagi. Kembali ke ruang rapat." tanpa memalingkan padangannya dari mahluk jangkung di hadapannya, Rivaille melepaskan cengkramannya pada pergelangan tangan Eren.

"Baiklah." sang brunette hanya menghela napas panjang dan berbalik ke arah tempat yang di perintahkan tak menyadari sepasang batu pualam yang sedaritadi mengikuti tiap gesture-nya.

Bahkan nama mereka pun hampir sama. Tapi kok, rambutnya pendek? Lagipula, Erena yang dia kenal semalam itu lebih pembangkang- Yah, bukan berarti Bertholdt hobi dengan cewek yang tidak menurut, di matanya, Erena hanya tak pandai menyembunyikan rasa malunya-lain kata tsundere.

Itu di mata Bertholdt loh.

Padahal ya, memang aslinya Erena pembangkang.

.

.

Haha.

Lupakan.

-Apa mungkin Erena dan Eren itu saudara kembar?

"Reiner, panggil Jean sana." seenak jidat, Rivaille tiba-tiba memerintah Reiner yang daritadi hanya terkesima oleh pemandangan tak lazim barusan.

"Hah? Kok aku? Bukannya tadi kau bilang kalau kau saja yang memanggilnya?"

"Merepotkan. Aku tak sudi." kalimat pelit Rivaille ini memang terkadang menyakitkan; tapi toh, Reiner juga tak berani melawan balik. Bukannya Reiner punya nyali ciut di balik badannya yang gagah itu, hanya saja, ia malas berselisih dengan sosok yang belagu macam yang mulia ini. Bisa-bisa namanya tertera di headline koran besok tentang pembunuhan yang sampai kiamat pun tak akan diketahui siapa pelakunya.

Ekhem.

Ralat. Mungkin lebih baik dikatakan 'tak perlu tahu siapa pelakunya jika tak ingin menjadi korban selanjutnya'.

Yah, tenang saja. Bukan hanya kau yang merasa begitu, Rein.

Sosok berambut pirang cepak telah lenyap dari ruangan, kini hanya tinggal Bertholdt yang malang dan sosok bertubuh ramping 160 cm-terdiam tanpa kata.

"Orang yang bernama Erena atau siapapun itu. Lupakan dia." Rivaille berucap langsung tanpa pembukaan yang sopan seperti biasa.

"Memangnya kenapa? Bukankah itu hakku untuk menyukai siapa saja?"

"Kau lupa tentang peraturan perusahaan kita?" Rivaille memincingkan matanya dengan sarkatis.

"Asalkan hal ini tak terdengar sampai pusat, kurasa tak apa." Bertholdt tak mau kalah. Memang biasanya dia orang yang kalem, tapi dia juga tipe orang yang keras kepala jika memang ia menganggap ucapannya benar.

Kini giliran Bertholdt yang menyipitkan mata sayunya,"Kupikir kau bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain."

"Kita sedang berada pada puncak karir kita, Bertholdt. Sedikit saja kau mengambil langkah yang salah, bukan hanya kau yang terkena dampaknya. Dan aku tak ingin repot hanya karena caramu yang kekanak-kanakan demi seorang wanita yang bahkan tak kau kenal."

"Kalau begitu kau hanya perlu menyembunyikan hal ini dari pusat. Lalu selesai."

Pik.

Ah, sejak kapan Bertholdt Fubar yang polos dan penurut itu jadi pembangkang begini? Apa sesuatu telah terjadi sehingga jiwanya tertukar dengan Eren yang tiba-tiba berperilaku layaknya anjing setia yang selalu menemani majikannya?

Tak ingin lepas kendali, Rivaille hanya menggeram pelan,"Ada baiknya kau tak mengabaikan nasihatku, Tiang listrik sialan." ia mendengus dan membalikkan badannya,"Segera ke ruang rapat." lalu ia menghilang dari balik pintu.

=================—Ө—=================

Sudah tak terhitung berapa kali Eren menghela napas panjang. Sambil menelusuri lorong lobby, ia menunduk lesu. Seumur hidupnya, baru kali ini ia merasa gundah sampai-sampai ia lupa jati dirinya yang suka membangkang dan berisik. Untung saja ia belum bertemu Mikasa hari ini, kalau tidak pasti wanita itu panik setengah mati sampai-sampai melupakan pekerjaannya yang menumpuk.

"Eren, kenapa kau tidak masuk?" suara khas yang familiar menyadarkan Eren dari lamunannya. Rupanya sejak tadi ia mematung di depan ruang rapat sambil memegang kenop pintu.

"A-Ah! sir Erwin! M-Maaf saya akan masuk sekarang!" seraya tertawa kaku, Eren buru-buru membuka pintu dan membantingnya dengan semangat setelah ia memasuki ruangan.

"..."

Erwin yang terlupakan di luar–yang di mana seharusnya ia juga masuk ke ruangan sambil dipersilahkan dengan sopan oleh Eren itu hanya terdiam, lalu tersenyum tipis.

"Anak ini kenapa lucu sekali." ia bergumam geli, lalu akhirnya menyusul masuk ke dalam ruangan yang ternyata masih kosong–hanya terisi oleh bocah 'lucu' barusan.

"Levi tidak bersamamu?" pria berbadan tegap itu melepaskan mantel hitamnya dan menggantungnya pada hook di sudut ruangan.

"Dia bilang ingin memanggil Je–maksud saya, ada urusan lain, sir." ia menjawab dengan gugup, sama sekali tak sadar akan kesalahan fatalnya barusan, "Kalau miss Petra? Tidak bersama anda juga?"

"Aku memintanya membelikan minuman untuk kita semua." Erwin menjawab dengan senyum manisnya,"Apakah kau ingin minum sesuatu? Aku akan menghubungi Petra kalau kau ingin minuman kesukaanmu."

Menggelengkan kepalanya dengan enggan, Eren menyahut,"Eh? Ah? T-Tidak usah, sir! Saya cukup mengikuti yang lain saja." ia mundur selangkah dari tempat asalnya berpijak setelah ia sadar bahwa Erwin berjalan ke arahnya.

Erwin kembali memulas senyum ramah, sampai pada saat matanya sadar akan suatu titik mencolok yang tertangkap oleh pandangannya, "...Eren, Ini bekas apa?" telapak tangan kanan pria yang hampir mencapai umur 30-nya itu tiba-tiba saja bertengger di leher sang brunette.

Tersentak kaget akibat kontak kulit yang secara mendadak itu, Eren refleks semakin menjauh seraya menutupi lehernya dengan tangannya sendiri–bergidik geli. Wajahnya serentak memanas hebat bersamaan dengan keringat dingin yang mengucur dari pelipisnya.

"S-Serangga! Semalam saya tersengat serangga tak dikenal saat dalam perjalanan pulang! Hahaha!"

Eren dengan gaya khasnya yang sama sekali tak pandai berbohong, menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Ia menaikkan kerah kemejanya dengan kaku-mengancing bagian lehernya dengan rapat. Tak peduli mau dibilang penampilannya cupu atau apa. Yang pasti, jangan sampai tanda keramat yang ditinggalkan Rivaille semalam diketahui orang lain.

"Oh, serangga?" Erwin tersenyum semakin lebar, berpura-pura percaya pada perkataannya yang jelas tak masuk akal,"Apa kau sudah mendapatkan perawatan khusus? Siapa tahu serangga itu sangat berbahaya dan mematikan. Kau digigit sampai berbekas lama seperti itu." demi menghargai privasi orang lain, Erwin lebih memilih untuk bersikap santai dan duduk di kursinya.

"Lain kali, bawalah semprotan pembunuh 'serangga nakal'semacam itu, ya." ia mengimbuhi dengan santai-masih dengan wajah cerahnya.

"Ahahaha...Iya." Eren menjawab dengan kikuk.

Entah hanya perasaan Eren atau bukan, baru saja perkataan Erwin lebih terdengar seperti sindiran daripada saran.

Suara debaman pintu terdengar lirih, rombongan para anggota SCREAM dan asisten beserta manager Hanji memasuki ruangan secara berurutan sesaat setelah keheningan menyertai pemuda bersurai kayu dan Erwin Smith,"Oh? Kalian sudah di sini rupanya!" suara cempreng Hanji memenuhi sudut ruangan yang luas itu, "Maaf kami telat, kau tak lama menunggu, kan' Erwin?"

"Tak apa." kedua manik sapphire Erwin menangkap sosok Rivaille dari ekor matanya, "Lagipula, aku sudah puas ditemani anak semanis Eren, kok." lanjutnya seraya mengusap kepala Eren yang kebetulan sedang berdiri di samping kursinya, kedua sudut bibirnya kembali tertarik ke atas dengan lembut.

Yang dibicarakan kembali tertawa kaku. Bingung.

BRAK!

Suara timbunan berkas terlempar ke atas meja, cukup keras sehingga membuat meja oval berlapiskan kaca tebal itu bergetar. Semua pasang mata yang tadinya terfokus ke arah pria blonde itu kini teralihkan pada sosok yang tak lebih tinggi dari dada Erwin.

"Ayo, kita mulai saja rapatnya." suara alto Rivaille kembali menginterupsi suasana, mencoba untuk tak termakan pancingan Erwin yang jelas sedang menggodanya.

Jean dan Bertholdt mendelik tajam pada tangan Erwin yang tak kunjung lepas dari helaian rambut mahogani Eren.

Aura saingan bakal bertambah.

Hanji yang daritadi memperhatikan keadaan, terkekeh pelan dengan wajah yang meledek.

Yang lain memasang wajah bingung karena tak tahu pokok permasalahannya.

-dan lagi-lagi, mood yang mulia Rivaille terusik.

=================—Ө—=================

"—Karena kau adalah milikku, Eren Jaeger."

Eren sendiri sama sekali tak bisa kali ia mencoba untuk menatap sang raven yang kini sibuk berdebat dengan member lainnya, segala rentetan klise peristiwa menakjubkan tadi malam terputar kembali di otaknya. Kejadian menakjubkan yang mampu meruntuhkan harga dirinya sebagai seorang pria, tentu saja.

Eren tak mampu mengelak bahwa wajahnya tak berhenti bersemu merah setiap mengingat setiap sentuhan Rivaille yang memabukkan. Atau, memang mahluk itu sudah terbiasa dengan hal intim seperti itu?

–Ah, well, ada baiknya jika kalian tidak berprasangka buruk terhadap apa yang sebenarnya Rivaille lakukan tadi malam.

Tidak ada.

Ia tak melakukan apapun selain mengecup nyaris setiap permukaan kulit kecoklatan Eren dan sesekali mengigitinya. Jika teliti, kau bahkan dapat menemukan bercak kemerahan yang terukir manis di paha bagian dalamnya.

Alasan utama kenapa seorang Eren Jeager memakai baju yang amat sangat rapat meskipun sekarang sudah waktunya memasuki musim panas di mana para kumbang menyanyi keras setiap harinya.

Paranoid level, dewa.

Alasan kedua kenapa seorang bocah berisik ini menyimpan segala jenis jarum terasah di balik garmen tebalnya, sebuah antisipasi jika Rivaille kembali menyerangnya. –yang mana sebenarnya ia takut mengakui bahwa ia menikmati hal itu.

Denial level, tak terhingga.

"Hoo, tak kusangka bocah sepertimu memiliki suara yang lumayan saat berada di ranjang,"

TIDAK. TIDAK. TIDAK.

Eren tak merasa mengingat apapun.

"Bocah. Kedua kakimu mengganggu, buka yang lebar."

Bulu roma Eren meremang kuat, merasa tergangggu.

Tidak.

"Jangan pasang wajah seakan-akan kau menginginkan lebih, aku tak akan segan menyerangmu kalau kau tetap melakukan itu, Eren."

TIDAAAAAAAK!

" ̶ EREN!" suara bisikan Petra Ral mengudara bersamaan dengan sikutan keras yang sukses membuat cherry boy Eren memekik kesakitan.

'Apa? Ternyata aku hanya bermimpi barusan?' Eren mengerjapkan matanya berulang-ulang, setengah sadar bahwa ia masih berada di tengah-tengah rapat.

"Sudah puas dengan mimpi indahmu, bocah? Lihat apakah selangkanganmu sudah basah atau belum. Kalau kau lebih memilih untuk memenuhi napsu birahi sialanmu daripada pekerjaanmu, keluar saja sana." Rivaille menyeletuk tanpa rambu-rambu. Vulgar seperti biasa.

Eren Jeager merengut.

"Levi, bu-bukankah itu pelecehan seksual!?" Jean menyela dengan wajah yang memanas sesaat setelah ia berhasil mencerna perkataan Rivaille.

"Astaga, Jean. Tentu saja Levi hanya bergurau, kau lupa dengan sense humor-nya yang mengasyikkan?" Hanji tertawa lepas, memegangi perutnya yang bergetar hebat.

Mengasyikkan dari Hongkong. Sakit hati mah yang ada.

Sambil mengelap air liur di bawah bibir ranumnya, Eren menundukkan kepalanya dengan sopan–beserta wajah yang tidak ikhlas,"Maafkan saya, saya akan lebih serius lagi."

Untuk yang kesekian kalinya, Eren Jeager merasa terbodohi. Bermimpi hal yang tidak senonoh di siang bolong itu rasanya sangat memalukan, tentu saja.

Well, setidaknya celananya tidak benar-benar basah seperti yang Rivaille harapka–maksudnya, katakan.

"Oke, dengan begini, kita hanya perlu menyusun daftar lagu-lagu baru yang akan kita masukkan ke dalam album terbaru SCREAM dan memulai rekaman. Jadwal selanjutnya akan kuberitahukan kepada assisten kalian," Hanji menghela napas panjang, menutup rapat yang cukup panjang dan melelahkan itu dengan senyum lebar seperti biasa.

Satu-persatu anggota rapat mulai meninggalkan ruang rapat, berbincang leluasa tanpa ada tekanan dan pikiran yang berarti, meninggalkan Hanji dan Eren berada dalam ruangan yang lapang itu.

"Eren, kau tak pergi menyusul Levi, hm?" Hanji Zoe, sang manager super licik menatap manik zamrud Eren dengan manis.

"Err –mau saya sih begitu, tapi, anda menahan tangan saya, manager Hanji," Eren balik menatap Hanji dengan wajah cemas, mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan Hanji dari pergelangan tangannya yang kurus.

"Wah, begitukah? Maafkan aku ya, aku tidak sengaja. Hahahaha." sang penanya tertawa lepas, dan justru malah menguatkan genggamannya.

"Haha... ha... Ma-Manajer Hanji?" Eren tertawa kaku, dan sedikit meringis menahan rasa sakit akibat genggaman tangan manager freak itu.

"Ne, Eren," Hanji tiba-tiba berhenti tertawa, mendekatkan mulutnya ke daun telinga sang brunette,"Apa kau mau mendengarkan sebuah cerita menarik tentang masa lalu Rivaille?"

"...Eh?"

=================—Ө—=================

"Eren!" sebuah tangan kekar menepuk bahu Eren dengan lembut. Sang empunya nama memalingkan badannya ke sumber suara dan mendapati pria setinggi 190 cm terengah lelah –mungkin karena ia baru saja berlari kencang mengejar Eren.

"Apa... kau ada urusan denganku?" Eren bertanya dengan bingung.

"Katakan!" Bertholdt Fubar, pria yang ditanya Eren tiba-tiba mencengkram kedua bahu Eren dengan kuat,"Katakan bahwa kau itu gadis yang waktu itu! Kau Erena kan? Aku tidak mungkin salah orang!"

"Hah? Eh... Kenapa bisa begitu?" Eren menghindari tatapan Bertholdt yang penuh dengan rasa ingin tahu.

Bertholdt tersenyum cerah,"Lihat, kau tidak bisa berbohong padaku."

"H-Hah? Aku tidak mengerti apa maksudmu, lepaskan aku, bodoh!" Eren menampik kedua tangan Bertholdt dan menjauhkan dirinya dari jangkauan manusia super tinggi itu.

"Bahkan cara kalian marah sama persis, tak salah lagi. Aku sama sekali tak menyangka kalau rambutmu pende-"

"Oi. Dengar ya, tak ada yang namanya Erena. Aku Eren Jeager dan aku laki-laki!"

"Hah," bukannya terkejut, pria berambut hitam klimis ini malah tertawa kecil,"Aku tahu kau sangat tidak menyukaiku, tapi bisakah kau memakai alasan yang lebih logis? Tidak baik untuk seorang wanita mengaku bahwa dirinya itu laki-la-!?"

Well, untuk kali ini, Bertholdt benar-benar terkejut. Bagaimana bisa ia tidak terkejut bila tiba-tiba saja gadis yang ia sukai memaksa kedua tangannya menyentuh dada gadis itu sendiri?

"U-Uwaa!" menarik kedua tangannya dengan sigap, Bertholdt menjauhkan dirinya dari Eren dengan wajah yang memerah sampai ke daun telinganya,"D-Dengar, aku bukanlah pria yang menilai wanita dari ukuran d-d-da-dadanya!" ia mengeja kata-kata tabu untuk seorang gadis dengan gugup,"Jadi, m-meskipun kau begitu kau tidak akan bisa membuatku menyerah!"

"Astaga! Kau ini-!" Eren menggeram marah, habis sudah kesabarannya. Maka dengan tanpa rasa malu maupun ragu, sekali lagi, Eren memaksa tangan Bertholdt menyentuh bagian tubuh terlarangnya dengan penuh amarah. Kali ini, tentu saja bagian yang menjelaskan gendernya secara nyata.

"..." Bertholdt Fubar, pria yang sedang jatuh cinta, membeku dengan indahnya.

"Kau mengerti sekarang!? Erena atau apapun itu yang kau cari, tidak ada. Yang ada hanya aku, Eren Jeager dan seorang Laki-laki!"

Laki-laki.

-LAKI-LAKI.

Bagai sebuah kata kutukan, kata terakhir Eren terngiang jelas di telinga Bertholdt.

Apa pedulinya dengan hati.

Tentu saja hati Bertholdt sudah hancur lebur sebelum ia sempat merasakan sakitnya patah hati.

"T-Tunggu dulu. Maaf, aku sedikit –pusing." lama terdiam, akhirnya Berrholdt memberanikan diri untuk membuka mulutnya. Yang sebelumnya ia menatap sang brunette dengan antusias kini justru mengalihkan pandangannya kemana pun selain sang objek yang berdiri di hadapannya.

"Kenapa, hah? Kalau kau sudah sadar, seharusnya kau merasa jijik dan meninggalkanku sekarang. Lupakan soal gadis pujaanmu itu. Kau hanya bermimpi di siang bolong," Eren menautkan alis tebalnya, menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan mulai berbalik meninggalkan manusia 190cm itu.

Suatu hal yang sangat langka bagi seorang Bertholdt Fubar, bintang yang terkenal ramah pada siapapun berani menaikkan suaranya, bahkan tidak untuk soulmate Reiner-nya sekalipun.

"Bukan begitu!" ia menahan pergelangan tangan Eren, mencegahnya untuk beranjak dari tempat itu,"Aku... tentu saja belum bisa menerima kenyataan ini, tapi tetap saja –" memijit keningnya yang mulai berkedut, Bertholdt kembali menatap Eren dengan segala keberaniannya,"–Aku tidak bisa melupakan cinta pertamaku begitu saja!"

Kini giliran Eren yang tak sanggup berkedip maupun mengatupkan mulutnya dengan sempurna.

"...hah?"

"Aku tidak bohong! Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya, jadi –uh,"

Well, terlalu banyak hal yang mengejutkan dan informasi yang harus Eren cerna hari ini, wajar saja Eren banyak bengong maupun kurang kompatibel dengan pembicaraan semua orang.

"Tunggu. Kau sudah percaya bahwa aku laki-laki kan?"

Bertholdt mengangguk lemah.

"Dan kau bermaksud untuk–?"

"Aku tidak tahu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya. Tapi, kalau memang...um, sebenarnya aku tidak keberatan meskipun kau laki-laki."

Eren meneguk ludah, seketika kerongkonganya merasa gatal.

"Kau tahu, kau bilang kau belum pernah jatuh cinta. Jadi kurasa ada baiknya kau memikirkan hal itu dengan baik-baik?" Eren memperlembut suaranya, mencoba untuk meyakinkan Bertholdt.

Sambil menutupi rasa canggungnya dengan tawa yang kaku, Eren kembali bersuara,"Yaa, setidaknya kau bisa anggap ini tak pernah terjadi? Kau tahu, bagi seorang pria, hidup mereka akan lebih bahagia jika cinta pertama mereka adalah seorang wanita idaman mereka! Haha...ha?"

Hening.

Tak ada sahutan.

Bertholdt hanya menatap Eren dengan wajah lesu seraya mengendurkan genggamannya.

Astaga, entah kenapa Eren menjadi kasihan dan merasa sangat bersalah. Kenapa orang ini cerdik sekali membalik senjata yang ia hujamkan kembali kepada sang pemiliknya?

Hey, bukankah tadi Eren yang menang dan dengan mudah ia melontarkan trendmark-nya layaknya begundal pasar tradisional?

"Oi–"

"Aku benar-benar melihatnya! Astaga, ini benar-benar mengejutkan!" belum sempat Eren kembali berucap, tiba-tiba sepasang wanita yang saling berjejer menelusuri lorong tempat Eren dan Bertholdt berada. Refleks Eren melepaskan tangannya dari cengkraman Bertholdt dengan paksa.

Eren menengok ke arah para wanita yang sepertinya sedang asik mengobrol itu, sepertinya mereka para staff yang biasanya ia lihat di studio.

"Whoa, apakah menurutmu ini akan jadi berita yang besar?"

"Tentu saja! Hubungan Rivaille dan Christa yang terlarang –uh, memikirkannya saja sudah membuatku berpikir hal macam-macam!"

Hah? Rivaille? Christa? Hubungan terlarang? Maksudnya–

"Bayangkan saja, berciuman di tempat umum seperti ini... Apa mereka tidak takut dengan peraturan perusahaan kita?" wanita berambut hitam dengan kepang anyam di sisi pipinya itu tiba-tiba menutupi wajahnya yang memerah.

Ber... ciuman?

"Kau yakin bahwa mereka benar-benar melakukannya?" tanya wanita yang lainnya.

Entah karena emang typical perempuan yang memang suka bergosip dengan suara yang lantang atau karena memang lorong itu sangat sepi, suara mereka terdengar sangat jelas. Bahkan mereka sama sekali tak menyadari keberadaan Bertholdt dan Eren yang notabene merupakan partner dan asisten pribadi Rivaille.

"Aku yakin sekali! Awalnya kulihat mereka berbincang-bincang seperti biasa, tapi terlihat serius. Lalu saat Rivaille melihatku, ia malah menarik paksa Christa untuk masuk ke dalam ruang ganti. Christa menolak, lalu tiba-tiba Rivaille menciumnya! Setelah itu Christa menurut dan akhirnya mereka masuk ke dalam–"

Itulah kata terakhir yang bisa Eren dengar sebelum kedua wanita itu menghilang di balik dinding ujung lorong.

...apa yang sebenarnya terjadi?

Rivaille dan Christa...

Kenapa mereka bisa...

Tidak. Lebih dari itu, Apa yang sebenarnya Rivaille lakukan? Apa hubungan mereka berdua? Apa yang sebenarnya Rivaille inginkan dari Eren?

Tadi malam, Rivaille terus saja memaksa Eren untuk hanya melihat dirinya, memonopolinya.

Atau, ia hanya sedang dipermainkan?

Hah, lucu sekali. Ini sangat lucu.

"Eren–?" Bertholdt yang menyadari perubahan drastis Eren seketika mencoba menyadarkannya. Ia menepuk pundak Eren berulang kali, memusut kulit tangannya yang memucat dan basah oleh keringat dingin.

Namun tak ada respon yang berarti.

Eren tak dapat merasakan apapun, tak dapat mendengar apapun.

Yang terlihat hanya padangannya yang semakin kosong dan redup.

=================—Ө—=================

"Bocah," Rivaille menegur sosok yang seharian terdiam di wastafel dapur, mencuci piring yang yang sama dalam setengah jam lamanya hingga piringnya terasa sangat berkilauan akibat terlalu banyak digosok sabun.

"Eh, ya?" Eren tersentak, melepaskan cengkramannya dari piring itu dengan tidak sengaja,"Uwaa!" tentu saja, dengan terlepasnya piring itu dari kedua tangan Eren, berarti tinggal menunggu waktu hingga piring itu selesai melawan gravitasi bumi dan menghantam lantai dengan indahnya.

PRANG!

"Oi. Bisakah kau berguna untukku meskipun hanya sedikit?" suara Rivaille terdengar kesal.

Eren mengernyit seraya merunduk untuk membersihkan pecahan piring yang berserakan,"Maaf saja kalau aku tidak berguna sama seka –Ouch!"

"Ada apa?" jeritan Eren kembali mencuri perhatian sang raven, ia meletakkan cangkir kopinya ke atas meja makan dan berjalan mendekati sumber rasa penasarannya.

Rivaille mendapati Eren yang sibuk menghisap jarinya dengan wajah yang masam,"Bodoh, kau melukai dirimu sendiri?"

Eren tak menyahut, malah memelototi Rivaille dengan ganas sambil terus menghisap jarinya yang berdarah.

"Jangan hisap lukamu seperti itu," Rivaille menarik paksa lengan Eren untuk beranjak dari lantai,"Ke sini." ia memandu Eren menuju wastafel dan membasuh jarinya dengan air yang mengalir deras dari keran.

"Apa yang sedang kau pikirkan, bocah? Lebih baik kau kembali ke kamarmu dan ganti popok basahmu daripada kau merepotkan orang lain seperti in–,"

"Bocah ini, bocah itu, berhenti memanggilku begitu! Aku punya nama dan aku sudah dewasa, bisakah kau memikirkan perasaanku sedikit saja!?" Rivaille memperkecil irisnya, takjub dengan respon Eren yang sedikit diluar dugaan.

"Sesuatu telah terjadi padamu hari ini," Rivaille menyimpulkan dengan akurat, kedua pasang iris yang berlawanan saling beradu dalam keheningan.

.

.

"Katakan. Apa yang terjadi padamu, bocah?" rasa nyeri kembali menyerang ulu hati Eren, begitu perih sehingga Eren merasa mual.

"–napa,"

"Huh?" Rivaille mendekatkan wajahnya ke pemuda yang menundukkan kepalanya itu.

"Kenapa... kau tak mau memanggil namaku?" Rivaille dapat merasakan dengan jelas tangan Eren yang berada dalam genggamannya bergetar hebat. Ditiliknya wajah Eren yang memerah padam. Bukan karena perasaan malu ataupun marah, melainkan wajah seakan ia akan menjerit dalam tangisan. Kedua zamrud indah favorit Rivaille itu berkaca-kaca.

"Bocah, kau harus menjelaskan dulu padaku–"

"Cukup. Aku sudah muak." lagi, Eren memotong ucapan yang mulia Rivaille dengan sakartis. Dihentakkannya tangan Rivaille dengan kasar dan mulailah ia berlari ke arah pintu utama.

"Eren!" usaha Rivaille untuk mencegah Eren mencapai pintu berhasil berkat refleks yang kuat, ditariknya Eren kembali ke dalam rumah dan mendudukkannya pada sofa classic di ruangan tengah.

Eren bungkam dan membuang mukanya dengan cuek. Rivaille duduk di sebelah Eren dengan santai, menginterogasi sang surai kayu mahogani dengan tatapannya.

"Dengar, aku tak tahu apa yang membuatmu begini, tapi kalau kau diam saja aku tidak akan mengerti, bocah. Katakan padaku dengan jelas apa yang kau inginkan. Aku bukanlah pria yang berhati sabar." ia menumpukan tangannya pada lengan sofa dan menyangga kepalanya seraya terus menatap Eren.

"Itu kata-kataku," akhirnya Eren mulai angkat bicara.

"Apa maksudmu?"

"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Rivaille? Aku tahu bahwa kenyataan kau memilihku menjadi asisten pribadimu bukanlah suatu kebetulan belaka."

Levi terdiam.

"Kalau kau berniat untuk bermain-main denganku karena kau sedang merasa butuh hiburan–"

Rivaille menanggapi dengan dingin,"Jangan pernah menganggapku remeh, Eren."

Suara Eren kembali meninggi seiring dengan dirinya yang berbalik dan menghadap Rivaille,"Lalu kenapa!? Kau selalu mempermainkanku, mempermalukanku, sampai mengekangku dari segalanya! Mau bagaimanapun juga, aku tidak akan pernah bisa menghapuskan rasa dendamku pada SCREAM, aku sangat benci dengan kalian–sangat benci! Tapi kenapa–"

Setitik kristal bening menetes dari peluk mata Eren,"–kenapa dengan mudahnya kau mempermainkanku setelah apa yang kau lakukan semalam? Aku sama sekali tak mengerti!"

Sudut mata Rivaille berkedut,"Kapan dan di mana aku pernah mempermainkanmu?"

"K-Kau dan Armin– kalian berhubungan kan? Aku mendengarnya sendiri dari seseorang bahwa kalian berciuman–"

"Tunggu dulu, bocah. Aku dan siapa katamu?"

"Armin!"

Rivaille kembali memasang wajah takjub, mengerjapkan matanya berkali kali,"Well, ada baiknya kau jangan mempercayai orang lain yang bahkan sama sekali tak tahu kejadian sebenarnya."

"Tapi jelas sekali kalau–"

"Eren." suara rendah Rivaille mampu membuat Eren terdiam sesaat.

Didorongnya tengkuk Eren mendekat pada dirinya. Sangat dekat sehingga Eren dapat merasakan napasnya yang saling beradu diantara mereka. Tak bisa lepas dari sepasang mata silver yang menatap lekat padanya, Napas Eren tercekat.

.

.

"Kau... benar-benar tidak mengingatku?"

=================—Ө—=================

~TBC~

A/N::

Yea, I know my update just the waaaaay too late. Semoga kedepannya akan lebih baik. Terimakasih sudah menunggu selama ini, guys. ;;;v;;; I love youuu Orz. Dan Seperti biasa, kalau ada koreksi soal kata yang salah atau typoo, tolong konfirmasi yaaa. 3