Disclaimer :: Shingeki No Kyojin Hajime Isayama. This Love Shinhwa. This Love English Lyrics PopGasa. Story based on Fan Video created by Naver 523_4 youtube :: watch?v=BTscV6yGr0Q&feature=youtube_gdata_player (Unofficial Video site) I do not own the characters nor copyright of the disclaimers, except for this story.
Genre:: Shonen-ai/Yaoi, Romance, Humor, AU, "POSITIVE OOC".
Rate::T
Pairing:: RiRen (Rivaille x Eren), Slight Jean x Eren, Slight Eren x Armin, Positive Harem!Eren.
Warning:: OOC! Typoo bertebaran! But Enjoy~ Don't Like, Don't Read!
.
.
The red light—In this stopped time,
Only your scent remains,
like a dream I'm not waking from,
I'm falling more and more into you.
—
We live for this love! (nanana nana nanana)
We live for this love! (nanana nana nanana)
We live for this love!
.
"Yak, cukup sampai disitu!" suara parau sang sutradara menyeruak ke seluruh penjuru sudut ruangan studio.
Bagai ucapan hal mutlak dari seorang raja, secara serentak, kemerlap lampu-lampu efek dari berbagai kamera yang menyorot sang bintang dipadamkan. Segerombolan manusia yang berjabatkan asisten manager sang bintang bergegas untuk memberikan layanan paling eksklusif agar sang tokoh utama dalam syuting ini merasa nyaman setelah kerja kerasnya di atas panggung—baik itu berupa minuman, makanan maupun penyeka peluh keringat yang bercucuran di atas pigmen kulit manusia yang terjual mahal di dunia entertain itu.
.
Earl Yumi
mempersembahkan
cerita fiksi ini hanya untukmu
.
.
~This Love~
Chapter 1
"Ah—Its You"
.
.
"Terima kasih, Petra," ucap manusia bersurai pirang terang—yang merupakan salah satu sang bintang.
"Anda bisa memanggil saya kalau ingin handuk yang baru, Erwin-san," wanita berperawakan mungil itu tersenyum manis—yah, sebenarnya itu hanya senyuman bisnis antar sesama rekan saja.
"Oi—Sasha. Ini minuman apa?" bintang lainnya yang bersurai coklat keabu-abuan mengeryit jijik setelah sesaat meneguk botol minuman tak bermerk di tangannya.
"Ah! Eeeh—anu….itu—aku baru membelinya di paman-paman depan gerbang!" sahut seorang gadis berkuncir kuda dengan panik—sungguh tak punya bakat untuk berbohong.
Sang bintang menautkan kedua alisnya dengan curiga,"Sasha—jangan bilang kalau minuman ini dari salah satu fansku yang menyogokmu dengan roti kentang yang kau makan itu," ucapnya sakartis seraya menatap sang objek pembicaraan di tangan sang gadis.
"Ahahahaha—ya ampun, Jean! Mana mungkin aku—"
Sang bintang melotot semakin tajam.
Sasha menunduk dengan takut,"I-Iya, habisnya onee-san yang tadi mengiming-imingiku dengan cake kentang olahan yang sedang populer dan langka di kalangan para perempuan," ia mengerucutkan bibirnya yang belepotan sisa kentang dengan imut.
Jean menepuk jidat,"Ya ampun! Kau ini bagaimana—kalau minuman ini berisi bius, jampi-jampi tak jelas, racun dan hal-hal berbahaya lainnya bagaimana, ha!? Kalau aku nanti mati atau diculik bagaimana!? Kalau kau ingin yang seperti itu aku kan bisa membelikanmu nantinya!" ia membanting botol minuman itu dengan ganas.
"Eh!? Benarkah? Kau akan membelikanku!? SEBANYAK YANG KUMAU!?" Sasha yang tadinya cemberut karena disalahkan langsung menggenggam kedua lengan Jean dengan penuh napsu kentang.
Sekali lagi, Jean menepuk jidatnya yang mulus—salah bicara rupanya.
"Oi—kau lupa tentang kesalahan besar yang kau lakukan tadi? Jangan menerima hal-hal aneh dari para fans lagi tanpa ijinku!"
"Apapun demi kentang! Aku tidak akan menerimanya lagi kalau kau memberiku cake kentang!"
—what the hell. Minta maaf kek, neng.
Jean yang tak mau ambil pusing karena perdebatan yang tak jelas ini hanya menghela napas panjang,"Oke. Kesepakatan kita berdua, ya. Ingat, jangan menerima apapun dari fans tanpa seijinku. Titik."
Sasha hanya manggut-manggut dengan antusias seraya menampilkan jempol kanannya sebagai tanda setuju—ini sebenarnya yang artis mana yang asisten mana, sih.
"Wah—seperti biasa, Jean dan Sasha ribut terus, ya. Kayak pasangan suami-istri saja," sang artis lainnya yang bertubuh atletis bak olahragawan terlatih tertawa renyah melihat kehebohan yang ditimbulkan partnernya, Jean Kirstein.
"Yah, biasalah, Reiner," Bertholdt Fubar, sosok bintang yang paling tinggi diantara lainnya ikut tertawa renyah di samping partner setianya, Reiner Braun,"Ngomong-ngomong, Annie—Kenapa kau tak ikut mendatangi kami ke sana? Malah kami yang harus mendatangimu," ia berucap seraya meneguk air mineral dari botol yang ia pegang.
Annie Leonhart, sang asisten dari kedua soulmate partner Reiner-Bertholdt hanya mendengus, menyampirkan helaian rambutnya ke belakang kuping,"Bukankah kalian berdua punya kaki yang bisa dipakai untuk berjalan kesini? Jangan manja."
"Oh—Ayolah, Annie. Kau tahu kalau kami sudah sangat lelah karena pengambilan video single terbaru kami yang berulang-ulang," Reiner menimpali.
"Hmph, itu kesalahan kalian sendiri yang terlalu santai. Kalau kalian melakukannya dengan sempurna tanpa ceroboh, sekali saja pasti langsung selesai kan," Annie melengos dengan santai—memalingkan wajah russian kentalnya dengan angkuh.
"Sudah, sudah. Annie ada benarnya juga kok, Rein. Dan Annie, abaikan saja soal status kita sebagai rekan kerja, kita bertiga sahabat sejati seperti biasa, kan." Bertholdt menengahi dengan senyuman bijaknya—yang akhirnya mampu membungkam keduanya.
Ah—ya, alasan mereka bisa bertiga bersama adalah karena sebuah ikatan.
Ikatan yang lebih penting dari cinta—
—sebuah ikatan perjanjian yang lebih kuat.
Lebih—
—persahabatan.
Bagai api yang akan semakin membara jika angin terus menyapunya, karena itulah air lahir ke dunia ini.
Annie, sosok gadis sebagai api, Reiner sang penjaga mereka, angin dan malaikat kecil mereka, sang air, Bertholdt —sahabat masa kecil yang dipertemukan secara tak sengaja oleh anugerah kecil sang Maha Kuasa.
—ah, sungguh ikatan berharga yang paling indah di dunia.
Lalu,
Erwin Smith, Jean Kirstein, Reiner Braun, Bertholdt Fubar—dan sosok terakhir yang sedari tadi hanya diam di kursi santainya seraya meneguk secangkir kopi kesukaannya, Rivaille.
—Adalah kumpulan penyanyi grup top ternama di chart musik setiap minggunya, yang diketahui sebagai—
—Scouting Breakmass Project.
atau sering disebut para penggemarnya sebagai 'SCREAM'
Sebuah grup penyanyi laki-laki yang dengan langsung melejit ke puncak pasaran musik hanya dengan satu single debut mereka. Tak hanya karena perawakan mereka yang mampu memikat para wanita segala usia, namun juga suara dan kharisma yang tak terkalahkan—bahkan tak jarang juga dari mereka yang memiliki penggemar lelaki—ah, tenang, hanya sebatas penggemar kok, tak lebih.
Lalu, sang leader dari kelompok tampan—Erwin Smith, menepuk pundak sosok yang paling dekat dengannya,"Levi, setelah ini kau akan kemana? Ingin ikut minum bersamaku?"
Rivaille, atau sosok penyendiri yang lebih sering dipanggil Levi hanya mendengus,"Aku mau pulang saja. Kopi jauh lebih nikmat daripada minuman busuk itu, lagipula—aku tak mau mengotori pandanganku yang harus melihat orang yang muntah-muntah tak jelas. Membuatku jijik saja," terangnya sakartis.
Erwin tersenyum lembut seperti biasa,"Ah—kalau begitu—"
"AAAAAAAAAAHHHHH!" dua kepala berwarna kontras berpaling ke arah sumber suara.
"Levi! Aku sudah mencarimu daritadi! Kesini!" sosok itu tiba-tiba menarik pergelangan tangan kurus Rivaille—memaksanya untuk melepaskan cangkir kesayangannya.
"Hanji. Bisakah kau membawaku dengan cara yang normal saja?" ia memrotes dengan galak—namun sosok yang dituju hanya meringis dengan jahil. Lalu melambaikan tangan pada Erwin—ucapan selamat tinggal.
"Aku hanya ingin menunjukkanmu sesuatu!"
"Kalau itu berhubungan dengan asistenku, aku tak mau,"
—benar juga, daritadi sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaan dari sang asisten Rivaille.
"Oh—Ayolah, Rivaille. Sebagai manager scream, aku tak mau meninggalkan salah satu aset berhargaku tanpa pendamping yang terpercaya! Aku sudah membawa beberapa asisten ahli yang kupesan khusus untukmu! Mereka telaten dan sudah berpengalaman semua lho!"
—Ah, Hanji. Kau malah terdengar seperti menawarkan hal-hal yang tabu.
"Tch, paling nanti sama saja. Tak akan ada orang yang bisa cocok dengan kehidupanku—"
Kedua manik keabuan terang Rivaille tertahan pada satu titik di sudut lorong utama.
Itu—Armin Arlert, seorang artis ternama yang menjadi tokoh perempuan dalam single terbaru scream. Armin adalah nama aslinya, di dunia entertain wujud dan sosoknya dikenal sebagai Christa—seorang gadis belia yang digemari karena kecantikan dan keanggunannya yang tiada tara.
Yah, pada kenyataannya—Armin adalah seorang manusia yang tumbuh besar sebagai sosok lelaki yang teramat cantik. Semua penggemarnya tahu akan kenyataan itu, namun tak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suatu cemoohan atau sejenisnya. Mereka memuja sang dewi Christa dengan penuh kasih sayang seorang penggemar setia.
Ya, Armin adalah Armin.
Christa adalah Christa.
Mereka berbeda.
—hanya berada dalam tubuh yang sama. Begitulah anggapan mereka.
Armin tampaknya sedang asyik berbincang pada managernya, Mikasa Ackerman.
Seorang wanita berdarah campuran asia yang berwajah datar.
Sosoknya benar-benar tak kalah cantik dengan Armin—maksudnya, Christa yang berdampingan dengannya. Berulang kali Mikasa mendapat tawaran kerja sebagai sosok pelakon di balik layar televisi dan dunia entertain, dari berbagai kalangan agensi ternama maupun tidak. Akan tetapi, Mikasa selalu menolak tawaran manis itu dengan tenang dan selalu berkata bahwa ia hanya nyaman bersanding sebagai seorang manager sahabat kecilnya, Armin.
Ah—sungguh wanita idaman. Bahkan, Jean pun diam-diam menaruh hati pada sang manager itu—meskipun Jean tak pernah sekalipun mencoba untuk menampakkan perasaannya.
—akan tetapi, bukan dialah yang memaku pandangan sang Rivaille.
Bukan Armin arlert.
—bukan juga sosok sang Christa.
Tetapi sosok asing yang sedang tertawa renyah bersama mereka.
=================—Ө—=================
"Jadi bagaimana, Levi? Mereka semua sesuai dengan seleramu kan?" Hanji Zoe—sang manager maha penguasa dengan penuh rasa 'paksa' tersenyum manis seraya melipat kedua tangannya di atas dada.
Rivaille yang pikirannya daritadi terbang ke dimensi lain memandang jejeran calon asistennya dengan malas,"Tidak. Buang mereka semua," sahutnya tanpa dosa.
Satu saja.
Satu saja kalimat dari seorang superstar scream—Rivaille, mampu membuat suasana ruangan ganti yang tadinya cerah dengan teramat berlebihan oleh sang manager langsung meredup dengan khidmatnya.
"Rivaille—" Hanji mengerucutkan bibirnya dengan kecut,"Kau tahu—sebagai seorang artis yang sedang naik daun, kau perlu seorang penjaga yang benar-benar terlatih agar disaat sedang genting, ia bisa bersamamu."
"Aku tak butuh asisten, Hanji. Aku tidak suka kehidupan privasiku terganggu,"
—Bukan, bukannya Rivaille tak mau seorang asisten.
Pada dasarnya, dalam waktu 1 bulan saja, Rivaille sudah harus direpotkan dengan bergonta-ganti asisten sebanyak 6-9 orang. Tak ada yang tahan maupun sanggup melayani sosok sang superstar yang satu ini.
Alasannya simpel saja, Rivaille adalah pecinta kebersihan yang tiada bandingnya di dunia.
Bahkan Rivaille pun tak sudi membiarkan sebutir atom debu mampir pada ujung kukunya.
Namun anehnya, tak ada satupun penggemarnya yang tahu tentang salah satu nominasi keajaiban dunia ini.
Semua mantan asisten yang kabur akan kedisiplinan Rivaille tentang kebersihan dan sebagainya pasti akan beralasan dengan hal yang sama,
'Aku tidak mau jadi budak pembantu'
'Bersama Rivaille sama saja dengan bersama penjaga gerbang neraka'
'Mau dibayar semahal apapun. Lebih baik aku menjadi seorang pembantu yang sebenarnya daripada menjadi asisten Rivaille'
—dan sebagainya.
Well, seperti yang telah disebutkan Rivaille, ia paling tidak suka privasinya terganggu oleh kehadiran sosok asing disekitar benda-benda pribadi kesayangannya yang bebas dari musuh laknat utamanya, debu.
"Kalau nanti tiba-tiba kau jatuh sakit bagaimana? Lalu saat kau pulang larut malam, terlalu lelah sampai kau tak kuasa membuat secangkir kopi kesukaanmu bagaimana?" Hanji berceloteh dengan dramatis, meliuk-liukkan kedua lengannya ke atas bak pemain opera professional.
Namun sosok sang raven bergeming—belum berhasil rupanya.
"—lalu disaat kau sedang sibuk-sibuknya, sampai-sampai tak ada waktu untuk membersihkan apartemenmu bagaimana?"
Alis Rivaille terangkat sepersekian mili.
"—toiletmu yang super clean itu jadi berlumut, penuh oleh jutaan partikel debu, dan sabun-sabun beraroma buah-buahan kesukaanmu jadi berubah menjadi cairan kuning yang menjijikan! Tak ada yang mengurusnya!"
Dan kini Rivaille tersentak dari tempat duduknya, menatap sang manager dengan nanar. Sedangkan para calon asisten yang tadinya berdiri manis di tengan ruangan langsung mengeryit, bahkan ada beberapa yang meminta ijin untuk permisi ke toilet sekitar karena merasa jijik dengan ucapan seorang Hanji Zoe.
—Oh, Hanji.
"—dan juga, kasurmu yang seharusnya kau tiduri karena kelelahan ternyata juga ikut berlumut karena tak pernah sempat kau bersihkan akibat kesibukanmu, lalu—"
"Aku mengerti," Rivaille memotong nasehat Hanji dengan sadis,"Aku mau memilih asistenku sendiri sesuai keputusanku,"
"AH!" Hanji menepukkan kedua tangannya dengan gembira—mengira bahwa bujukannya berhasil juga,"Jadi—siapa yang kau pilih?"
=================—Ө—=================
"Armin, kerjamu bagus hari ini," Mikasa menyodorkan sekaleng minuman pengganti cairan tubuh pada sang kaum adam di hadapannya.
"Ah—sebenarnya aku rada gugup tadi," ia meneguk minuman itu dengan anggun seperti biasa.
"Bukankah kau memang selalu gugup, Armin? Oh ya, tidakkah menurutmu dress yang kau pakai itu terlalu tipis, Christa?" sosok lain yang merupakan seseorang yang teramat berharga bagi seorang Armin menatapnya dengan jahil.
"Astaga, panggilah aku Armin seperti biasa kalau aku sudah selesai bekerja. Jangan menggodaku terus," Armin mencubit lengan si brunette dengan pelan.
"Oh—Ayolah, Armin. Kau tahu kalau kau terlihat sangat cocok dengan penampilan Christa-mu," sosok itu tertawa renyah,"Ah—aku sama sekali tak menyangka kalau ide gilaku bisa membawamu menjadi seseorang yang sukses begini,"
Ya—kaulah yang membawa Armin menjadi bintang ternama seperti sekarang. Menjadi seorang Christa.
Hanya dari ide gila sekumpulan remaja menjadi sebuah fakta yang sama sekali tak terindahkan.
Armin tersenyum geli, lalu menatap sang manager tercinta yang ikut tersenyum tipis,"Mikasa—setelah ini ayo kita makan ke restoran favorit kita bertiga. Aku akan menraktir kalian semua,"
"UWOOO! Armin! Inilah yang kutunggu darimu!" sang brunettememekik dengan lantang seraya memeluk Armin dengan erat.
"A-Aduh, aku tak bisa bernapas, Ere—duhhh!" sang pemuda bertubuh mungil sibuk mengaduh seraya berusaha melepaskan diri dari lengan sang anak adam lainnya.
"Oke, setelah mengantarmu keruang ganti, aku akan menunggu kalian di tempat parkir mobil lantai dasar, Armin," Mikasa menaikkan syal merah favoritnya kedagunya yang lancip dan mengangguk perlahan.
"Baiklah, lebih baik aku segera mengganti bajuku ini," Armin menurunkan pandangannya pada gamis nyaris transparan yang membalut tubuh kurusnya dengan kikuk.
Ah—baju ini teramat sangat sexy untuknya.
=================—Ө—=================
"Jadi—siapa yang kau pilih?" suara cempreng khas Hanji kembali terdengar memenuhi ruangan ganti.
"Dia," Rivaille menunjuk ke arah pintu dengan sembarang.
"Eh? A-Aku? Ada apa?" sosok sang Christa yang baru saja membuka pintu mematung dengan bingung.
"Bukan kau, orang yang di belakangmu,"
Semua pasangan mata yang berbeda mengikuti arah telunjuk sang Rivaille dengan seksama ke belakang sang gadis cantik Christa lalu menautkan alis mereka dengan bingung.
Dia?
Yang benar saja?
Tidak—yang lebih penting lagi—
Siapa dia?
"Rivaille—kau yakin?" Hanji mengerjapkan matanya berulang-ulang seraya memperhatikan sosok asing di ruangan itu dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Kau meragukan pilihanku, Hanji?"
"Tidak—maksudku, kau tidak bermaksud untuk memilih secara asal lagi kan? Aku sudah menyediakan para asisten yang lebih berpengalaman dan ahli—"
"Harus dia. Aku tidak mau asisten lain selain dia. Kalau tidak, tak akan ada asisten baru untukku. Selamanya," ia menekankan kata akhirnya dengan tak kalah sadisnya dengan wajahnya sendiri.
—Aduh, Rivaille, berhentilah bertindak layaknya anak SD yang selalu merengek untuk dibelikan ini-itu.
.
.
.
—ah, lupakan. Anggap saja ucapan barusan sebagai angin lalu, Rivaille.
"TUNGGU—TUNGGU!" sang objek yang menjadi pokok permasalahan menengahi dengan horrornya.
"Apa maksudnya dengan asisten? Aku tidak mau menjadi asisten macam dia!" ia menunjuk sang maha egois dengan tanpa dosa—sungguh berani,
"Tunggu dulu, Eren. Jangan menunjuk orang dengan kasar begitu," Christa yang sedaritadi ikut bingung dengan keadaan yang heboh ini memeluk lengan sang pemuda—mencoba menahan amarah sahabatnya.
"Rivaille—kau kenal dia?" Hanji memincingkan sebelah matanya dengan heran.
"Tidak," Rivaille menjawab singkat.
"Lalu kenapa—"
"Kubilang buang mereka yang ada di sini. Biarkan aku memilih asistenku sendiri. Dan aku hanya mau orang itu yang menjadi asistenku. Kalau tidak, selesai," ia beranjak dari kursinya dan berlalu pergi ke arah di mana Armin dan Eren berada—mendengus pelan, lalu berangsur menghilang dari balik pintu.
—meninggalkan semua mahluk serupa tapi tak sama yang terbengong-bengong di ruangan itu.
=================—Ө—=================
'GYAAAAA! YANG BENAR SAJA! Kenapa orang yang punya tinggi dan tampang pas-pasan seperti dia tiba-tiba memintaku jadi asistennya!? Menjijikan!"
Eren Jaeger—pemuda yang sama sekali tak ada hubungan dengan dunia entertain, menggeliatkan tubuh seraya memeluk dirinya sendiri—lebay.
"Kenapa kau tidak mau, Eren? Menjadi asisten seorang artis tidaklah buruk, upahnya pun lumayan mengingat artis itu sendirilah yang menggajimu," Christa—tidak, Armin yang sudah lepas dari sosok sang bintang Christa menyeruput milkshake rasa coklat favoritnya.
"Astaga, Armin! Yang benar saja! Kau tahu kalau aku dari dulu sangat benci dengan penyanyi grup macam boyband seperti mereka! Bahkan sampai hari ini pun aku terus-terusan merajuk karena kau dipilih sebagai model dalam video klip mereka, kan?" kedua manik zamrud sang Eren melotot pada Armin dengan nanar.
Namun sang objek yang dipermasalahkan hanya mengerjapkan mata dengan polos,"Yah—tapi pekerjaan yang satu ini penting untukku, mengingat aku punya hutang budi yang besar pada pak Keith, sutradara video klip ini,"
"Grrr—bahkan si cebol itu berani sekali memegang-megang pinggangmu berulang-ulang. Pasti dia sengaja. Modus! Dia mahluk modus! Apalagi orang yang bertampang playboy itu—yang model rambutnya macam tak jelas warna abu-abu dan coklat itu! Dia pasti homo!" Eren menggerutu kesal, melampiaskan amarahnya pada pancake strawberry yang tak berdosa.
"A—Anu, Eren tunggu dulu—"
"Itu lho, yang namanya siapa? Ja—James? Jazim? Jojo? Jo….Jo? AH! JEAN!"
"Lho, Mikasa?" suara asing tiba-tiba menyelimuti sosok 3 pemuda pemudi itu.
Sang brunette menoleh ke belakang secara perlahan, serasa mendapat firasat buruk.
—what the fu—
"Oh— Kebetulan sekali bisa bertemu denganmu di sini—"
"AHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!" Eren sang pemuda yang tingkahnya 'sedikit' berlebihan tiba-tiba berdiri dari kursinya, menunjuk sang mahluk baru di belakangnya dengan histeris.
"KAU JEAN KIRSTE—" dan sepasang tangan kekar melapisi mulut Eren.
"IDIOT—Jangan menyebut namaku di tempat umum begini!" sang bintang yang grupnya sedang naik daun berbisik dengan kasar di telinga sang brunette—merutukinya dengan berbagai macam kosa kata,"Kau ingin membunuhku!?" dua pasang iris yang bertempelan melirik ke segala penjuru sekitar yang mulai berbisik-bisik dan menatapi mereka.
—gawat, kalau penyamaran Jean terbongkar di restoran umum begini, bisa-bisa dia bakal pulang tanpa keadaan yang utuh.
Jean langsung menyeret Eren ke kursi di sebelahnya—masih dengan kedua tangannya yang membekap sang brunette dan dengan sengaja menurunkan topinya dengan maksud menyembunyikan wajah tampannya barang sedikit saja.
"Mmmfhhh!?" Eren yang sedaritadi kekurangan oksigen yang layak sebagai asupan relung paru-parunya, menepuki wajah 'mahal' sang artis dengan ganasnya—meminta untuk dilepaskan dengan segera.
"Jean—lepaskan Eren," Mikasa mendelik tajam pada kepala monochrome di hadapannya.
"Ah—maaf," Jean melepaskan genggamannya tanpa dosa dan duduk di samping Eren yang wajahnya sedikit memerah.
"Tch, dasar artis sialan," Eren merutuk.
"Apa kau bilang?" Jean mengangkat sebelah alisnya.
"Eren, hentikan," gadis bersurai hitam menyipitkan kedua matanya.
"Mikasa! Kau tahu kan orang ini anggota Scream yang selalu keganjena—hmmph!" lagi –lagi Eren terbekap dengan sengaja oleh sang artis penyamaran yang mulai menjadi bahan bicaraan orang di sekitarnya.
—mampus.
"Eren—" si gadis raven mulai terlihat panik tatkala melihat keadaan Eren yang semakin tersengal—kehabisan napas.
"Oh—Sasha-san, kenapa daritadi diam saja?" Armin yang mengabaikan keributan orang-orang dalam kelompoknya menatap pada gadis yang berdiri di belakang Jean—yang sedang sibuk dengan asupan kentang mania-nya.
"Huh? Aku—grauk grauk hanya sedang—slurp slurp dan —kraus kraus,"
Armin sweatdrop.
—Sasha ngelawak, ya
..
..
.
—yah, hanya dirinya sendiri yang tahu jawaban dari perkataannya.
"Ngomong-ngomong, ini kebetulan yang langka sekali ya, bisa bertemu begini seusai kerja," Jean Kirstein yang tadinya sibuk bergulat dengan pemuda biasa—Eren Jaeger, melahap makan malamnya dengan tampan—meskipun penampilannya seperti seorang stalker professional tingkat dunia dengan wajahnya yang hampir sepenuhnya tertutup dengan kacamata, topi dan syal amburadulnya.
"Iya juga, sungguh suatu kehormatan bisa makan malam bersama anda," Mikasa mengangkat sudut bibirnya sepersekian detik lamanya—hampir tak kasat mata. Yeah, karena Jean sama sekali tak berkedip begitu melihat gadis pujaannya itu, maka tertangkaplah momen terindah yang hanya bisa didapatkan oleh orang-orang penuh obsesi sepertinya—senyuman terpaksa seorang Mikasa.
—wah, Jean bahagia.
"Padahal tadi Jean mengamuk dan ingin langsung pulang, tapi setelah melihat kalian entah kenapa dia—OHOK!" Sasha, sang gadis belia yang innocent dan ceria terbatuk begitu merasakan ujung sepatu ketsnya yang tertindih sol sepatu Jean—dengan sengaja pastinya.
"Lho—Sasha?" Armin membelalakan mata sapphire-nya dengan kaget.
"Maaf, itu kebiasaan buruknya. Makanya, jangan makan sambil bicara lantang begitu, Sasha," Jean tersenyum manis—saking manisnya, Sasha Braus merasakan bahwa bulu kuduknya berdiri secara berjamaah.
"Oh—" kedua kepala raven dan british hanya ber-oh ria.
—sama sekali tak menyadari siasat licik nan kejam dari seorang Jean Kirstein.
.
.
..
—ah, tidak. Ada satu orang yang daritadi sadar akan maksud dan tujuan Jean.
Ya.
— hanya satu.
"Hah, alasan apalah itu. Aku tahu maksud dan rencana licikmu, Janed!" sang pemuda brunette menunjuk sang kepala monochrome dengan sarkatis.
Janed?
.
.
JANED ITU SIAPA?
Yah, sebenarnya ini kesepakatan antar kedua sejoli anjing dan kucing itu saat mereka setelah berdebat selama setengah jam lamanya.
Eren dilarang memanggil nama Jean di tempat umum.
Padahal Sasha saja boleh kok, well—namanya juga perbedaan pita suara. Tahulah Eren suaranya secempreng apa kalau sedang cerewet. Mana hobinya teriak-teriak lagi.
—huft.
"Hah? Maksudmu apa, Eren?" Jean yang pura-pura tak tahu memincingkan sebelah matanya.
"Orang-orang macam sepertimu pasti mendekati Armin hanya untuk kesenangan sesaat saja kan!?"
Astaga.
—Ternyata Eren sama saja lemotnya.
"Ap—"
"Asal kau tahu saja, Armin bukan orang yang bisa kau sentuh dengan tangan kotormu itu!"
"Oi—"
"Ternyata anggota boyband itu sama saja dimana-mana! Playboy dan seenaknya sendiri! Menjijikan!"
"WOI! DENGARKAN DULU, KAMPRET," Janed—eh, Jean akhirnya panas juga setelah mendengar ocehan Eren yang kelewat sensi layaknya gadis perawan yang kena menstruasi.
"Heh, Jangan menyebutku kampret dong! Aku punya nama tahu!"
"Makanya dengarkan dulu kalau aku sedang bicara!"
"Nggak sudi!"
—urat kesabaran Jean putus dengan rapinya.
Maka—terjadilah perang dunia keempat di restoran keluarga pinggir jalan kota tersebut.
—kenapa bukan perang dunia ketiga, karena sudah mainstream.
well, Lupakan.
=================—Ө—=================
Rivaille, member SCREAM yang paling terkenal diantara keempat anggota lainnya baru saja menapakkan kakinya di lantai apartemen kesayangannya.
Well, bukannya member lainnya tidak terkenal, hanya saja, Rvaille sedikit berbeda dari yang lainnya. Penggemar Rivaille tidak hanya dari kalangan muda maupun tua, lelaki atau perempuan, tetapi juga para balita dan anak -anak.
—dan entah itu suatu kebanggan atau bukan.
Tapi yang pasti, Rivaille memiliki aura yang mampu menarik pasang mata siapapun yang melihatnya.
—padahal sang objek tidak terlalu perduli dengan hal seperti itu, yang ia pedulikan hanya satu.
Kebersihan.
Baik jasmani maupun rohani.
—tak lupa juga dengan parfum semerbaknya yang sangat memikat hati. Bahkan jika kau berada pada jarak sekitar 15-30 meter darinya, kau sudah dapat menangkap aroma khas sang maha Rivaille.
—ah, kalau Mikasa adalah wanita idaman, maka Rivaille lah yang cocok untuk menjadi gelar lelaki idaman.
Tak buruk.
Rivaille menyeduh kopi hangat pada cangkir coklat yang ia letakkan pada ujung bar dapur minimalisnya.
Masih seperti biasa—dengan ekspresinya yang teramat pelit.
"Hm?" Rivaille menangkap wujud smartphone slim-nya di atas sofa yang bergetar dengan ekor matanya.
"Hanji, huh," ia mengamati layar ponselnya yang menampilkan nama sosok yang paling ia hindari selama ini.
—namun untuk sekarang, tidak. Justru ia membutuhkan Hanji.
"Levi—kau benar-benar yakin soal keputusanmu tadi? Kau tahu, Eren Jaeger bukan orang pihak dari agensi kita dan perusahaan manapun, kita tak bisa seenaknya memperkerjakan seseorang yang bukan hak milik kita—"
"Kalau begitu buat saja dia menjadi hak milik kita,"
"Hah? Oi—tapi dia jelas-jelas tak mau—"
"Paksa. Atau aku tak akan mau menerima asisten manapun,"
"Kenapa kau ngotot sekali sih dengannya? Memang ada ap—"
Mulai deh, aksi kepo dari sang Hanji Zoe.
Rivaille yang tak mau pusing menjelaskan, maka ia menggeser panel end call pada layar ponselnya tanpa ada rasa yang berarti dengan kilat.
Mengakhiri perdebatan yang tak penting. Padahal bukan berita itu yang ia tunggu dari orang menyebalkan seperti Hanji.
"Tch, menyerah sajalah, bocah. Cepat kesini sebelum aku sendiri yang akan turun tangan dan mengikatmu," Rivaille melipat kulit dahinya dengan kesal, membanting ponsel mahalnya kembali ke sofa dan menyeruput kopi hangatnya.
—sial, rasanya hambar.
"Tch," ia kembali mendecih—kehilangan mood bersantainya dan memilih untuk bersedekap dengan air dingin pada shower kamar mandinya—berniat untuk membasuh diri setelah aktivitas melelahkannya seharian ini.
TING. TONG.
—ah, tamu yang kurang beruntung.
Siapa mahluk yang berani mendatanginya tengah malam begini serta dengan mood-nya yang berantakan ini?
Pasti orang itu cari mati.
RIvaille bersumpah akan membunuh orang itu jika memang Hanji Zoe-lah yang mengetuk pintu apartemennya.
=================—Ө—=================
"POKOKNYA AKU TIDAK MAU!"
"Ayolah, Eren. Kau tak akan mati meskipun kau harus mengurus orang itu,"
"Bukan itu masalahnya, Armin! Kau tahu kan apa alasanku membenci mereka?"
"Tapi itu adalah masalah lalu dan berbeda dengan yang sekarang, Eren. Berhentilah untuk berpikir kekanak-kanakan. Kau juga butuh uang untuk mewujudkan cita-citamu kan,"
Eren dan kedua sahabatnya yang sudah selesai berkutat pada makan malam penuh perdebatan dengan Jean Kirstein berjalan di tengah kota bersama—berniat untuk berpulang kerumah mereka masing-masing.
"Tidak. Sekali tidak tetap tidak. Aku punya dendam kesumat yang tak bisa dipungkiri lagi. POKOKNYA, AKU TAK AKAN KESANA KECUALI APARTEMENKU HANGUS TERBAKAR API!"
Ya, jika Eren berani bertaruh begitu, maka ia akan selalu benar.
—selalu.
=================—Ө—=================
Alis sang maha Rivaille berkedut, menatap sosok di balik pintu apartemennya dengan heran,"Lalu, kenapa kau di sini?"
"J—Jangan salah paham! Aku di sini bukan berarti aku setuju untuk menjadi asistenmu! Kalau saja apartemenku tak kebakaran, aku tak akan sudi berada di sini tahu!" Eren Jaeger, yang termakan sumpahnya sendiri beberapa jam yang lalu datang dengan baju seadanya—menenteng 2 tas koper pakaian pada kedua tangannya.
"Masuklah," Rivaille tak terlalu menanggapi ocehan sang bocah dan membalikkan badannya seraya berjalan ke sofa di ruang TV.
—ah, entah kenapa perasaannya sedikit membaik.
"Darimana kau tahu tempat ini, Eren Jaeger?"
Si surai coklat gelap memalingkan wajahnya dengan gugup,"Ha—Hanji-san menghubungiku,"
Oh—Great job, Hanji
Baru kali ini Rivaille harus merasa sedikit berterimakasih pada mahluk maniak aneh itu.
"Kupikir tadinya kau cukup bodoh untuk menolak keinginanku yang menjadikanmu sebagai seorang asisten,"
Kedua bola emerald melotot kepada sang silver.
"Aku memang berniat untuk menolaknya tahu! Mana sudi aku jadi pembantumu!"
"Lalu untuk apa kau di sini?"
Merasa dongkol, Eren mengalihkan pandangannya lagi,"A—Aku tak punya tempat tinggal lagi sampai asuransi apartemenku dapat dicairkan—La, Lagipula…kelihatannya kau sangat membutuhkanku yang hebat ini, A-Aku hanya kebetulan saja sedang baik hati kok—Hahahaha!" Eren tertawa garing.
—dasar bocah.
"Aku bisa merekrut siapapun yang kumau hanya dengan menyuruh orang-orangku,"
Eren tambah dongkol.
"Y-Ya sudah! Kalau kau memang tak mau menerimaku! Aku pergi saja!" ia menyahut seraya kembali menenteng tasnya.
"Tunggu, bocah. Tak ada yang bilang kau boleh meninggalkan tempat ini tanpa seijinku. Kau harus bertanggung jawab karena telah mengotori sofaku dengan kaus yang belepotan asap hitam begitu,"
—RIvaille sukanya nggodain anak orang deh.
"Huh, Bilang saja kau memang membutuhkanku!"
"Terserahlah, aku mau mandi dulu. Kau tunggu saja di situ," dan Rivaille pun berlalu ke kamar mandinya dengan santai.
—lagi-lagi Eren ditinggal. Kasian kan.
.
.
..
.
Eh, tapi ternyata Eren baik-baik saja tuh. Malah ia sibuk mengagumi segala macam barang perabotan yang so wow mahal milik Rivaille—dasar orang desa..
"Astaga—kenapa kasur ini nyaman sekali? Kasurku yang dulu selalu membuat punggungku sakit punggung karena terlalu keras!"
—Oi, Eren. Sadar. Kau telah menginjak ranjau paling berbahaya dalam hidupmu.
.
.
Itu kasur keramat milik yang mulia Rivaille, tahu.
Kalau kau kepergok bermain-main dengan benda itu maka kau—
"Kurasa mencobanya sedikit tak akan ada masalah. Sedikit saja, kok!"
Ah—sudahlah. Percuma.
=================—Ө—=================
"…"
"…"
"Bocah keparat ini—" Rivaille yang baru saja keluar dari ruang shower-nya kini kembali dihadapkan pembuat onar yang seenak jidat memutuskan untuk tinggal di apartemennya.
—dasar anak kurang ajar.
"Beraninya tidur di kasurku—mana dia belum mandi—" ia bergumam pelan seraya memijit keningnya yang mulai panas.
"Kalau saja ini bukan kau, aku pasti sudah mencincangmu, Eren." Ia mendesah pelan—merasa lelah.
Rivaille yang hanya bermodalkan selembar handuk putih yang disampirkan pada pinggang rampingnya duduk di pinggir kasur single bed miliknya pula—memandangi sang pemuda bermargakan atas nama Jaeger.
.
The green light – I have gone crazy,
Should I rush to you?
My heart sounds like it'll burst,
It races only for you
.
Maka tangan lembut sang bintang itu mengusap surai coklat yang terlelap di bawahnya, merasakan sentuhan lembut pada ujung jarinya yang menekan kulit kecoklatan pada pemuda yang berwajah tampan itu.
—Ah, ya. Kaulah orang itu.
Lalu ia menyadari kedua belah tangannya yang sudah menangkap wajah sang brunette, dengan perlahan menempelkan bibir pucatnya pada bibir ranum pemuda yang sedang bermimpi dengan indah di bawahnya.
—ciuman ringan yang teramat lembut, namun memiliki arti yang sangat mendalam.
.
The firelight –
the moment I'm trapped in your burning eyes
One kiss from you will wake me up,
I feel like I can have the whole world
—
We live for this love
.
—Kaulah orang yang selama ini kucari.
=================—Ө—=================
~TBC~
A/N::
FFFFFFUUUU— pada akhirnya aku juga yang kegatelan buat nulis fic ini. asdsfsfagasafsafh.
Gila, ini panjang banget. ;;;;;;;w;;;;;;; semoga kalian tak bosan.
Dan rencana fic ini akan kupersingkat, jadi mentoknya hanya 5-6 chapter saja~
Yang kufokuskan hanya fic-ku yang Endless Love Story dan satu di fandom lain~ wwwww /
Seperti biasa, Alur plot ceritaku gaje dan terlalu cepattttt~~
DAN YANG PALING PENTING. ;;;;;;;;w;;;;;;; aku minta maaf kalau ada yang gak terima kalau Armin kubuat menjadi crossdresser disini~ ;;;;;;;;; sebenarnya dia berbuat begitu karena suatu alasan~ entah akan kubuat cerita tentang masa lalu Armin di fic ini atau di fic lainnya namun masih berhubungan dengan fic ini~ atau tidak usah saja? Ahh~ tapi aku memang jatuh cinta dengan Armin~~ kalau jadi cewek aku malah membayangkan sosoknya seperti Christa~~ MEREKA MIRIP KAN? IYA KAAAN? #plak
Ah—aku juga masih bingung akan membuat Fic ini tetap rate T atau ke M saja? Kalian pilih yang mana? Hahahahah! X"D