Disclaimer: Semua tahu karakter disini bukan punya saya pribadi.
Ganre: Romance & Friendship
Warn! Boys Love, AU
THAT XX Chapetr 7 - END
.
.
.
"I would rather have eyes that cannot see; ears that cannot hear; lips that cannot speak, than a heart that cannot love."
― Robert Tizon
.
.
Keheningan tercipta saat ketiga pemuda itu mengambil tempat duduk masing-masing. Mereka menatap satu objek yang sama—nomor meja. Hanya helaan nafas pelan yang mengisi. Ketukan jari Sehun ikut ambil bagian. Dia menopang dagu lalu menatap dua kakak kelasnya bergantian. Diam. Mereka menutup mulut rapat-rapat. Seolah tak ada yang mau memamerkan suara padanya.
"Hahh.."
Suho dan Luhan menatap pemuda yang tadi mendesah.
"Apa?" Sehun bertanya saat menemukan ekspersi aneh di wajah keduanya.
Kening Luhan mengernyit. "Kau nampak bosan."
Sehun menyandarkan punggung. Meletakkan kedua lengan di belakang kepala. "Bagaimana tidak bisa kalau kalian berdua diam saja."
"Siapa suruh kau ikut?"
"Hyung..."
Sehun melirik Suho. "Jangan berlagak seolah kau tidak melakukan kesalahan."
"Siapa yang berlagak? Lagipula aku memang tidak melakukan kesalahan." Suho mengalihkan pandangan keluar jendela. Memperhatikan butiran salju yang turun.
Bibir Sehun mengerucut. Tak terima dengan jawaban malaikat pendek. "Tidak melakukan kesalahan bahkan kau merebut waktu kencanku dengan Lu—AW!"
Sehun bungkam saat mendapat delikan Luhan. Dia hanya meringis menahan sakit kakinya yang baru saja menjadi korban kejahatan Luhan.
"Jangan mengatakan yang tidak-tidak. Kita tidak kencan, Hun." Luhan melengos keluar jendela seperti yang Suho lakukan.
"Tapi kita jalan bersam—"
"Sudah kubilang itu bukan kencan!"
Kali ini Sehun benar-benar bungkam. Luhan mendesah lelah lalu kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. "Kita hanya disuruh mama membeli tepung teri—ASTAGA AKU LUPA!"
Tiba-tiba bishie itu berdiri dan menggebrak meja bersamaan. Tak hanya dua temannya yang kaget, seluruh pengunjung pun ikut menoleh ke arahnya dengan tatapan heran. Klise.
Merasa menjadi pusat perhatian tak epic, Luhan cengengesan lalu membungkuk minta maaf beberapa kali sebelum akhirnya kembali duduk tenang. "Cih. Ini semua gara-gara kau, Myeon!"
Suho mengernyitkan kening. "Kok aku? Apa salahku?"
"BANYAK!"
Dengan gerakan matriks Suho mengambil kertas tisu di meja setelah kena semburan gletser dari dua orang murka di depannya. "Iya, iya, aku tahu."
Luhan mendecih sebal. Dia menyandarkan satu sikunya ke sandaran kursi. "Cepat katakan apa yang ingin kau katakan, Myeon. Kami tidak punya banyak waktu."
Kali ini helaan nafas lelah dan raut masam menghiasi wajah Suho. Dia melipat lengannya sembari bersandar di kursinya. "Tentang Lay."
Mendengar nama sahabatnya, Luhan melunak. Raut tak terbaca mampir di wajahnya yang selalu nampak manis itu.
"Sudah lama, ya. Kenapa?"
Suho mengedikkan bahu. "Entah."
Pandangan matanya lurus ke taplak meja putih polos seolah benda itu lebih menarik daripada wajah lawan bicaranya. "Semakin hari, perasaanku semakin tak enak."
Dia mengangkat wajah pada akhirnya menatap Luhan yang tengah menatapnya. "Apa kau juga merasakan hal yang sama?"
Bola mata Luhan berputar malas. Dia menopang dagunya lalu menatap kelaur jendela lagi. "Well, tak hanya sekarang. Sejak dulu aku selalu merasakan hal yang tak wajar."
Dia melirik Suho. "Kau tahu? Kris."
Anggukan pelan dari Suho membuat Luhan kembali mendesah. "Orang itu. Cih."
Lalu keduanya terdiam. Sehun yang merasa dikacangi daritadi berdehem pelan. "Anu. Itu... hyung."
Dua kakak kelasnya menoleh. Dia gugup mendadak. "A-apa yang seharusnya kita lakukan?"
"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu,Hun." Jawab Luhan cepat. Dia memainkan uap nafasnya di kaca jendela. "Kau tahu, kan apa yang sudah kita lakukan akan menjadi sia-sia saat berhadapan langsung dengan Lay."
Setuju dengan pendapat Luhan, Sehun hanya bisa kembali diam. Dia menatap permukaan meja dengan khidmat sampai satu suara memecah keheningan mereka.
"Katanya kalian mau beli tepung ter—"
"BENAR! JAA, HUN! KAJJA!"
Entah karena Luhan telah malas dan lelah dengan kasus(?) Lay dan ingin segera melarikan diri dari pembicaraan ini atau bagaimana Suho tak peduli. Dia hanya membuang nafas dari mulut sepeninggal dua temannya pergi. Menopang dagu di meja dan memainkan papan nomor disana.
"Apa yang harus kulakukan?"
"Permisi. Ini pesanan—lho?" Kalimat pelayan yang membawa pesanan untuk tiga orang berbelok. "Dua orang yang lain kemana tuan?"
Suho menegakkan duduknya. "Letakkan saja. Aku yang akan menghabiskannya."
Dengan tatapan tak mengerti, pelayannya menurut saja. Dia meletakkan ekspresso, tiramisu, dan takoyaki di hadapan Suho lalu mengenyahkan diri.
"Aku harus menghabiskan ini semua?"
Mata sipit Suho menatap hidangan di depannya satu per satu. "Kenapa aku begitu sombong?"
Kecewa dengan kalimatnya barusan, dia mulai menusuk satu takoyaki dan melahapnya.
.
.
.
"In order to understand each order, you have to be similar to one another. But to love each other, you have to have some differences." – Zuraduri
.
.
Terlihat dua orang pemuda berjalan beriringan dengan kecepatan tinggi. Masih dalam tahap berjalan kok belum lari. Mereka tergesa-gesa memasuki sebuah supermarket bahkan saking tergesanya membuka pintu yang jelas-jelas ada tulisan pull mereka buka dengan metode push. Sempat berdebat sampai seorang wanita paruh baya menghampiri mereka dari dalam dan membukakan pintu untuk dua orang udik itu.
"Sudah kubilang kan, pintunya ditarik, ge!"
"Hah? Siapa pula yang mendorong."
Bola mata Sehun berputar malas mendengar jawaban melarikan diri dari kenyataan Luhan yang sedang memilih tepung di rak dengan sebuah keranjang di lengannya.
"Yang ini atau yang ini?"
"Mana kutahu, ge! Aku bukan emak-emak!"
"Ah, yang ini saja." Seolah tak mendengar ucapan Sehun, Luhan meletakkan kembali tepung terigu yang bukan menjadi pilihannya ke rak sementara yang dikacangi mendecih sebal.
"Kenapa kau meminta pendapatku kalau begitu."
"Memangnya kau memberi pendapat?" Luhan berkata cuek sambil memilih minuman di lemari es.
Sehun mengedikkan bahu. "Setidaknya aku menjawab pertanya—bukankah kita hanya membeli tepung terigu?"
Kalimatnya melenceng jauh melihat Luhan mengambil beberapa botol cola dengan harga Rp. 3000 dan meletakkan ke dalam keranjang. "Ini hanya tiga ribu, Hun. Uangnya masih cukup."
"Tiga ribu kalau kau mengambil tiga botol sama saja bohong, ge!" Sehun mencak-mencak di belakang Luhan yang kini berputar ke rak permen dan coklat.
"Sisanya kau yang bayar."
Kampret memang orang ini.
Alis Sehun berkedut. Dia segera menarik Luhan yang hendak mengambil sebatang coklat segitiga dan membawanya ke kasir.
"Kenapa kau menarikku, cadel?!" hardik Luhan seraya melepaskan lengannya dari cengkeraman Sehun.
"Instingku mengatakan kau akan belanja lebih banyak lagi dengan porsi yang tidak manusiawi, ge." Pemuda tinggi itu mengeluarkan dompet. "Lagipula aku sudah tidak cadel."
Luhan hanya meng-iyes-kan perkataan Sehun. Dia mengeluarkan barang-barang belanjaannya dari keranjang.
"Semuanya 5200 won."
Sambil menelan ludah antara rela dan tak rela, Sehun mengeluarkan lembaran uang yang diminta oleh kasir.
"Ini kembaliannya."
Setelah menerima uang kembalian, mereka segera pergi dari sana. Berjalan menyusuri trotoar kota sesekali bercanda dan tertawa.
"Hmm, ge. Kurasa aku melupakan sesuatu di cafe."
Tiba-tiba Sehun bergumam. Dia menengadah menatap langit biru yang cerah secerah senyuman gegenya. Prêt!
Luhan melirik Sehun sekilas lalu kembali menghadap depan. Dia mengusap dagu. "Iya. Sepertinya aku juga melupakan sesuatu."
"Hmm. Apa, ya?" Keduanya berpikir keras sampai urat-urat di pelipis mereka muncul saat tiba-tiba suara alam menggema nyaring.
[Kruyuk~]
Luhan dan Sehun saling pandang dengan tatapan sedih.
"HUWEEEEE~ GAGAL MAKAN GRATIIIIIIS~!"
Sementar di cafe jauh dari mereka berada.
"Hik. Seperti ada yang membicarakan dompetku."
.
.
.
.
Hari semakin gelap. Matahari sudah kembali ke peraduan sekitar tiga jam yang lalu. Tak ingin mempercepat langkahnya, Suho berjalan pelan di trotoar kota yang tidak terlalu ramai. Sesekali dia menghembuskan nafasnya untuk menghangatkan kedua telapak tangan lalu kembali menyimpannya ke dalam saku jaket.
Pemuda itu berbelok ke sebuah gang. Mungkin jalan pintas yang selalu dilaluinya. Membawanya ke sebuah taman yang cukup sepi di penghujung gang. Suho menolehkan kepala ke kanan dan kiri lalu menyeberang jalan. Sepi. Hanya beberapa orang yang lalu lalang.
"Kenyang."
Dia mengusap perutnya lemas. "Hunhan sial pergi di saat yang tak tepat."
Bergumam sendiri sambil merogoh saku jaketnya. Jemari pucat itu menari di atas permukaan mulus ponselnya. Hembusan uap napasnya membuat layar ponselnya buram.
"Tak masalah. Toh aku yang membayar, aku sendiri yang makan."
Ternyata orang ini pelit dan perhitungan aslinya =,=
[Drrt]
Sebuah pesan masuk ke ponsel Suho. Berhubung dia sedang mengoperasikannya, tak butuh waktu lama bagi Suho untuk membuka.
"Kyungsoo?"
Sender: Do Kyungsoo
Sub: Maaf mengganggu
Hyung, bagaimana keadaan Yixing-ge? Ah, maaf sebelumnya jika aku bertanya kepadamu. Kurasa kaulah yang paham tentang Yixing-ge.
"Cih. Apa pula maksudnya anak ini?" gumam Suho sambil mengetik balasan untuk Kyungsoo.
Langkah kakinya terus menyusuri trotoar komplek perumahan yang sepi. Angin malam sedikit membuat jemari pucatnya kesulitan untuk mengetik.
Sent.
Dengan cepat Suho memasukkan ponsel beserta tangannya ke saku jaket. Sambil bergidik dingin dia mempercepat langkahnya. Salju memang tak turun begitu deras, tapi mampu membuat kepalanya beku. Rumah di depan mata. Selimut hangat menantinya.
Sekali lagi ponselnya bergetar.
"Pasti Kyungsoo. Nanti sajalah di rumah."
.
.
.
.
Ini sudah yang kesekian kali Lay berguling di ranjangnya. Sesekali mengecek ponselnya lalu mengerang kesal dan kembali berguling.
"Kemana perginya anak itu?" gumam Lay. Dia mengecek ponselnya sekali lagi sambil memeluk guling.
[Drrrt]
Nyaris saja dia tertidur saat ponselnya bergetar. Secepat kilat, Lay mengisi kode layar dan mengusap-usapkan jarinya.
Sender: Junmyeon-hyung
Sub: Maaf
Aku tadi dijalan. Maaf baru membalas lagipula kukira tadi itu pesan dari Kyungsoo. Ada apa?
Entah kenapa ada perasaan aneh yang dirasakan Lay saat membaca nama Kyungsoo disebutkan. Bola matanya bergerak ke arah lain, berpikir.
"Kyungsoo?"
Dia segera mengirim pesan balasan lalu melempar ponselnya sembarangan. Mengubah posisi terlentang, Lay menatap langit-langit kamarnya.
"Kenapa aku jadi penasaran?"
Memejamkan matanya sejenak sembari membuang nafas. "Apa yang kira-kira mereka bicarakan?"
Kini Lay beranjak duduk. Dia meraih ponselnya lagi saat getaran halus mulai terasa.
Sender: Junmyeon-hyung
Sub: -
Kalau ada yang ingin diceritakan, cerita saja. Aku tidak sibuk
Jemari Lay bergerak cepat kemudian mendekatkan ponselnya ke telinga. Dia berbaring kembali sambil sesekali bersenandung sampai suara seseorang terdengar dari seberang sana.
[Halo?]
"Ah, Junmyeon."
[Ya?]
Lay menggigit bibirnya sebentar. "A-aku mau minta maaf."
[Maaf kenapa?]
Kini Lay memainkan ujung kaosnya. "Waktu di Lotte World. Tiba-tiba aku jadi mengacuhkan semuanya dan langsung pulang."
Jeda.
"Ah... maaf jika ini begitu terlambat, Myeon."
[Oh, tak masalah. Memangnya ada apa?]
Lay menelan ludah. Bola matanya bergerak tak nyaman. "I-itu... sebenarnya karena aku seperti melihat Kris dan anak yang pernah aku temui di perpustakaan."
[...]
"—Myeon?" Lay melihat layar ponselnya.
Masih tersambung.
"Halo?"
[Ah, maaf. Kau yakin itu Kris?]
"Kurasa. Mata kami sempat bertemu." Setelahnya Lay menghela nafas.
[Siapa? Kau dan Kris?]
Lay menggeleng. "Bukan. Aku dan anak itu. Dia seperti terkejut dan langsung menarik Kris pergi."
[Kau tak mengejarnya?]
"Boro-boro mengejarnya. Berjalan saja aku tak sanggup."
Dia memiringkan badan lalu memeluk guling. "Aku membatu cukup lama di tempat."
[Bodoh.]
Lay menatap layar ponselnya dengan mata melotot. "YA!"
[Heheh. Maaf, maaf. Lalu?]
Laki-laki manis itu membenamkan wajahnya ke sela antara guling dan ranjang. "Aku tak tahu."
[Kalau itu benar Kris, apa yang akan kau lakukan?]
Lagi, Lay menggeleng. "Tak tahu."
Terdengar suara desahan dari seberang.
"Apa yang harus kulakukan, Myeon?"
[Dengar, Xing. Bukannya aku tak mau membantu, tapi kalaupun pada akhirnya kau menyuruhku untuk menyelidiki apa benar itu Kris, kau tak akan percaya padaku.]
Jeda cukup lama. Lay Nampak mengerutkan keningnya. Yang dia tangkap dari ucapan Suho adalah mengenai teman-temannya yang sering kali mengatakan bahwa Kris itu tidak benar... dan dia yang tak pernah mau menerima apa yang dikatakan teman-temannya padanya.
Lay memejamkan matanya. Dia membuang nafas pelan.
[Xing, aku—]
"Lakukan, Myeon."
[...]
"Lakukan itu untukku."
.
.
.
"Pain has it's limit, however fear doesn't have it's limit." – Prainus
.
.
Angin malam bercampur salju berhembus saat suara di seberang sana sampai di gendang telinganya. Pemuda pucat itu menunduk dalam. Pandangannya tertuju pada rumput (yang seharusnya) hijau tertutup salju nampak gelap di bawah sana. Tangannya masih berada di sisi kepala menahan ponselnya yang masih terhubung dengan seseorang. Mata kelamnya terpejam erat seiring dengan hembusan nafas yang terbuang kuat. Menghiraukan butiran salju yang mendarat di atas kepalanya. Entah kehilangan kekuatan di ototnya, perlahan ia menjauhkan ponselnya. Tangan yang menyangga melemas di sisi badan.
"Kenapa... jadi begini?"
.
.
.
"World is like an ocean. Things that cannot swim will drawn." – Spain proverb
.
.
"Oi, oi."
Luhan mengibaskan tangannya di udara membuat perhatian temannya tertuju padanya. Setelah itu dia menghela napas dengan wajah malas. "Sebentar lagi libur musim dingin."
"Aku tahu, ge." Chen menyahut santai. Dia menyedot jus alpukatnya dengan wajah tak kalah malas.
Luhan mendengus. Dia memijit keningnya dengan gaya sok. "Jongdae, Jongdae. Kenapa tanggapanmu dingin begitu?"
"Memangnya kenapa?" Kali ini Chen mengangkat gelas jus lalu menggoyang-goyangkannya di depan wajah.
"Cih, tidak romantis." Decih Luhan.
"Chen memang seperti itu, Lu." Xiumin menepuk-nepuk pundak Luhan dengan senyum maklum.
Bibir Luhan maju satu senti. " Kenapa kau mau dengan orang seperti dia, Ge!?"
Chen membuang muka saat telunjuk Luhan tepat di depan hidungnya. Sedangkan Xiumin hanya tersenyum kucing sambil mengangkat pundak. "Entah. Memangnya perlu alasan?"
Dengan cepat Chen mengalihkan pandangannya ke pemuda imut di sebelah Luhan yang sedang tersenyum ke arahnya.
'Kau malaikat, Hyung.' Begitulah isi pandangan Chen kepada Xiumin yang ditanggapi juluran lidah oleh Luhan.
Kyungsoo yang sedari tadi jadi pendengar setia menoleh ke arah Lay yang diam saja. Entah bagaimana itu justru menarik perhatian teman-temannya yang lain. Luhan, Chen, dan Xiumin saling senggol siku mereka.
"Ge?"
Lay tersentak. Ia menatap teman-temannya yang tengah memandangnya intens satu per satu.
"A-apa? Kenapa kalian melihatku seperti itu?" Tanya Lay yang mulai merasa risih.
Kyungsoo menghembuskan nafas. "Daritadi gege diam saja. Ada apa?"
Ia sendiri tak tahu kenapa. Pikirannya justru terpaut ke obrolannya dengan seseorang tadi malam. Lay memainkan sedotan di dalam gelasnya seraya menopang dagu. Menghiraukan teman-temannya yang mulai saling berbisik mengira-ngira apa yang telah terjadi.
"Gege baik-baik saja?" Kyungsoo bertanya lagi.
Lay menggeleng. "Kurasa aku sedikit tak enak badan."
Ia beranjak berdiri. "Aku ke ruang kesehatan dulu."
Lalu pergi meninggalkan Kyungsoo yang mengernyitkan kening dan yang lain makin berisik—kecuali Luhan. Dia menatap punggung Lay yang main menjauh dalam diam.
.
.
.
"Friendship is like a silent moon, the sun doesn't exist, the sky beyond myself is invisible. However once love meets like the light, it's color start fade away." – Ryunale
.
.
Langkah kaki Lay membawanya menuju ruang kesehatan. Ya, setidaknya dia masih jujur pada teman-temannya kalau dia ingin ke ruang kesehatan. Memutar kenop pintu coklat dan melongok. Lay memperhatikan sekelilingnya—sepi, hanya ada satu tirai yang menutupi salah satu bilik. Tanpa memperdulikannya, Lay berjalan menuju salah satu ranjang kosong setelah menutup pintu lalu merebahkan tubuhnya.
Manik hitam kecoklatan Lay menatap langit-langit ruang kesehatan. Meletakkan kedua lengannya di belakang kepala di atas bantal.
"Hahhh..."
Ia mendesah lelah lalu memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap langit-langit.
"Merepotkan."
"Apanya?"
Lay tersentak. Sebuah suara menanggapinya dari bilik sebelah.
Suara itu.
"J-Junmyeon?" Tanya Lay memastikan.
"Hm?"
Lay mengubah posisinya ke samping. Ia menatap pembatas bilik seolah matanya dapat melihat orang di baliknya.
"Kau Junmyeon?"
"Kalau kau ragu kenapa tidak kemari?"
Pemuda manis itu terkekeh pelan. "Itu tak perlu. Apa yang kau lakukan disini?"
"Tidur siang. Kau sendiri?"
Lay mengangguk meski Junmyeon disana tak melihatnya. "Sama."
"Kenapa tak berkumpul bersama yang lain?"
"Aku ingin sendiri." Jawab Lay lirih. Ia memainkan sprei ranjang.
"Tumben. Ada masalah?"
Lagi—Lay menggeleng. "Tidak. Hanya saja aku merasa tidak suka dengan topic yang dibawakan Lu-ge."
"Apa itu?"
"Libur musim dingin."
"Bukankah menarik?"
Sebuah senyum terulas di bibir Lay, namun sinar matanya tak tersenyum.
"Ya, bagi mereka."
"Bagimu?"
"Entah." Lay mengedikkan pundaknya. Ia terlentang, kembali memandang langit-langit.
"..."
"Hey, Myeon..."
"Hm?"
Lay bertanya, "Apa yang harus aku lakukan saat liburan?"
"Kok Tanya aku? Itu terserah padamu, Xing."
Sekali lagi, Lay menghela napas. "Aku ingin menghabiskan liburan ini bersama Kris, tapi..."
"..."
Tak ada sahutan.
"Dia tak mengatakan apa-apa sejak kemarin."
"Kenapa kau tak mengajaknya saja?"
Lay memejamkan matanya seraya menggeleng." Tidak. Aku takut dia sibuk."
"Sibuk, ya?"
"Uhum." Lay mengangguk. "Akhir-akhir ini dia sering sibuk."
"Kenapa kau tak mencobanya dulu? Dia pasti punya waktu luang."
Tiba-tiba Lay tertawa pelan. "Hm. Kenapa aku begitu pesimis."
Ia beranjak turun dari ranjang. "Myeon, aku ke kelas dulu."
Tak ada sahutan dari yang bersangkutan. Lay menghela nafas maklum sebelum keluar dari ruang kesehatan.
Sepeninggal pemuda itu ruang kesehatan kembali sepi. Tak ada kata-kata yang memenuhi sudut-sudutnya. Hanya hembusan nafas pelan dan teratur dari satu-satunya orang disana.
"Pesimis, ya?"
.
.
.
"It's better to hope than despair. It's possible to go over the limit, but nobody can do it easily." – Gete
.
.
Entah. Suho tak tahu kenapa sekarang ia menyusuri trotoar kota. Dan satu hal lagi—
"Myeon~ disini ada diskon."
Dia bersama Lay.
Suho menoleh ke belakang dimana temannya itu sedang mencondongkan tubuhnya ke depan membaca papan pengumuman berisi diskon barang-barang tertentu. Lay menegakkan tubuhnya sebelum melambaikan tangan member isyarat agar Suho mengikutinya masuk ke mini market.
"Hmm... Mocca atau jahe?"
Suho melirik Lay dari ujung matanya. Pemuda itu tengah berkutat dengan dua pilihan antara bubuk mocca dan jahe.
"Memangnya untuk apa benda-benda itu?" Tanya Suho sambil menunjuk belanjaan Lay di keranjang.
"Ini?"
Lay mengangkat dua benda di kedua tangannya. "Aku berencana membuat coklat untuk Kris, tapi dia bilang dia tak suka yang manis-manis. Jadi aku tambahkan rasa saja."
"Yang mana?"
Suho memperhatikan dua kotak yang disodorkan Lay. "Kurasa kau harus memilih kopi."
"Tidak terlalu pahit?"
Suho menggeleng. Lay mengembalikan dua kotak tadi ke tempat semula kemudian mengambil sebuah kotak bubuk perisa kopi. Sempat menimbang-nimbang pilihannya sebelum akhirnya menarik Suho ke kasir.
"Jadi, kau sudah punya rencana?"
Keduanya kini berjalan menuju rumah Lay. Beda arah, tapi Suho memutuskan mengantar temannya ini sampai ke rumah. Tanggung jawab, dong.
Lay mengangguk. "Kami akan ke festival musim dingin."
Suho diam menanggapi. Ia memasukkan tangannya ke saku mantel. Udara dingin cukup untuk membekukan jemari.
"Semoga menyenangkan."
Pemuda di sebelahnya tersenyum hingga lesung di pipinya Nampak. Suho segera mengalihkan pandangannya.
"Kau tak punya rencana?" Tanya Lay yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Suho.
"Tidak. Hanya menunggu para kutu menganggu liburanku."
Tawa renyah terdengar memenuhi pendengaran Suho. Lat tahu siapa yang dimaksud Suho. Adik kelas itu memang terlihat sering menyusahkan temannya ini.
"Pasti menyenangkan?"
Satu dengusan terdengar bersamaan dengan decihan. "Menyenangkan? Jika diganggu adalah hal menyenangkan aku tak perlu repot-repot melarikan diri dari mereka, Xing."
Temannya ini memang sedikit ketus. Lay tahu itu. Ia menepuk pundak Suho pelan.
"Sabar. Mereka menyukaimu."
"Hm. Terlalu menyukaiku."
Dan setelahnya tawa Lay mengiringi obrolan mereka.
.
.
.
.
"Hah~ ini terlalu ramai, hyung."
Kyungsoo melirik Kai yang menggaruk belakang kepalanya malas. "Namanya juga festival. Mana ada festival sepi."
Kai menghela nafas. Bukannya ia tak suka tempat ramai, tapi Kyungsoo mengatakan akan mengajaknya ke suatu tempat yang sepi dan menyenangkan.
Bohong.
Tipuan.
Kai ditipu karena Kyungsoo tahu dia akan menolak.
"Hei, kau mau permen apel?"
Kai menoleh ke arah yang ditunjuk Kyungsoo kemudian mengangguk malas. Ia berjalan mengikuti kakak kelas sekaligus pacarnya itu.
"Ini."
Kemudian menerima satu permen apel yang disodorkan Kyungsoo.
"Kau tahu, hyung. Kalau saja kau bukan apa-apaku mungkin aku sudah menendangmu sekarang."
Kyungsoo memandang Kai dengan tatapan tak mengerti. Lama-lama dipelototi seperti itu membuat Kai risih.
"Sudahlah, hyung. Lupakan." Kata Kai sambil mengibaskan tangannya di udara. Ia menggigit permen apelnya dan—
"Uhuk!"
Melihat orang kesusahan, Kyungsoo yang memang pada dasarnya baik (kalau ada maunya) segera tanggap cepat. Ia menepuk-nepuk punggung Kai pelan sembari memberikan botol minuman yang sempat ia beli tadi.
"Ada apa?" Tanya Kyungsoo setelah batuk Kai reda.
"I-itu bukannya Kris sunbae?" tunjuk Kai pada seorang pemuda tinggi (daripada yang lain) di antara kerumunan pengunjung festival.
Mendengar nama orang itu Kyungsoo langsung menoleh dan benar saja itu Kris. Dari tinggi badannya yang mencolok meski saat ini dia sedang memakai sebuah topi rajut dan siapa itu di sebelahnya? Lay?
"Hmm... Sepertinya dia sedang bersenang-senang, hyung." Ujar Kai penuh selidik. Dia mengusap dagu tipikal orang tengah berpikir.
Kyungsoo mengangguk dengan tatapan yang masih menatap target. Mungkin jika pandangan mata bisa mengeluarkan anak panah mungkin saat ini Kris sudah mati bersimbah darah dengan punggung penuh tusukan.
"Sepertinya begitu." Sahut Kyungsoo dengan nada misterius. Mata lebarnya sedikit memicing.
"Tapi dengan orang yang salah."
Mendengar perkataan Kyungsoo, Kai memusatkan perhatian ke orang yang sedari tadi berbincang ria dengan Kris.
"Itu kan Tao?"
"Kau mengenal anak itu?" Tanya Kyungsoo.
Kai menggeleng. "Sebenarnya aku tak kenal dengan dia. Dia teman sekelas Baekhyun. Selain itu aku tahu dia gara-gara kasus Lay sunbae."
Keduanya kembali pada target.
"Cih. Tingkahnya memuakkan." Komentar Kai.
"Aku tak yakin dia melakukan hal yang sama Lay sunbae, hyung."
Kyungsoo diam. Tangannya bergerak merogoh saku. Kai menoleh mendapati kakak kelasnya sedang mengetik sesuatu.
"Berkirim pesan?" tanyanya.
"Hm." Jawab Kyungsoo singkat kemudian menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku mantel.
Tiba-tiba Kai meraih kedua pundaknya. Raut wajah anak itu berubah drastic. Sok dramatis.
"Hyung jangan bilang kalau kau memberitahukan hal ini pada Lay sunbae!?" katanya sambil mengguncangkan kedua pundak Kyungsoo.
Diperlakukan seperti itu membuat yang bersnagkutan pening. Dengan sedikit tenaga, Kyungsoo menyingkirkan tangan Kai dari pundaknya.
"Jangan lakukan itu, bodoh. Sakit. Lagipula aku tidak segegabah itu memberitahu Lay apa yang kita lihat. Kau mau diseruduk banteng?"
Kai menggeleng. Kyungsoo mendengus pelan.
"Tenang saja. Aku hanya mengirim pesan pada Suho hyung."
.
.
Sender: Kyungsoo
Sub: GAWAT!
Hyung ada dimana? Aku melihat Kris bersama Tao di festival. Pastikan Lay hyung tetap dirumah karena aku ingat dia mengatakan akan pergi datang kesini.
Suho menatap layar ponselnya dengan kening berkerut. Kadang dia bingung. Kenapa orang-orang selalu menyerahkan urusan Lay padanya? Memangnya dia pengasuh atau penasehat Lay? Mendengarkan curhatan orang saja dia tak sanggup, tapi untuk Lay itu pengecualian. Selain Lay itu someone special, dia juga agak kepo tentang hubungan Kris dan Lay.
"Sayang sekali. Aku sedang ada di festival saat ini." Gumam Suho. Ia mengunci ponselnya lalu menyimpan benda flat itu. Langkahnya kembali berjalan menyusuri keramaian jalanan festival.
Sesekali ia menguap malas. Kenapa ia sampai kesini itu karena permintaan sang ayah yang aneh-aneh. Ingin kue beras kenapa tidak datang dan beli sendiri? Yah, sebagai anak yang baik dan dermawan Suho harus rela melakukannya demi ayah (karena takut ancaman ATM akan diblokir).
"Kris lagi. Kris lagi. Kenapa hidupku akhir-akhir ini selalu bertemu dengan orang itu? Membosankan." Omel (yang katanya) malaikat tanpa sayap itu.
"Segera temukan stand yang menjual kue beras dan pergi."
Bukannya Suho ingin melarikan diri. Hanya saja dia terlalu malas mencampuri urusan orang untuk saat ini. Iya untuk saat ini kalau mood-nya tidak juga membaik. Namun pikirnya melayang pada pemuda disana yang mungkin saat ini sedang menyiapkan apa-apa saja yang perlu ia bawa untuk kencannya. Suho tak bisa menyebutnya kencan juga sih. Lebih tepatnya kematian. Kejam? Memang. Suho memang kejam.
Kematian hati yang terbunuh oleh cinta itu sendiri. Siah, belajar dari mana anak ini. Seingatnya dia sendiri tak punya prestasi dalam sastra apalagi tentang cinta. Namun bukankah cinta memang seperti itu? Membuat yang mustahil menjadi mungkin.
Cinta memang sihir.
Dia mikir apa sih?
Suho menggaruk kepalanya. Di tangan sudah ada barang yang diminta sang ayah. Kue beras dua pak meski ayahnya hanya meminta satu pak karena di stand tadi beli satu gratis satu meski harganya dinaikkan. Strategi penjual memang licik tak pernah habis.
Kakinya terus membawa Suho menjauhi festival. Dia tak kepikiran tentang pesan Kyungsoo lagi. Saat ini yang dia inginkan hanyalah segera pulang dan tidur. Tak tahu lah sejak kapan dia menjadi lebih malas dari kemalasannya sebelumnya.
"Oh, Junmyeon."
Langkah Suho terhenti oleh sebuah suara tak asing di telinganya. Ia segera mengangkat wajah.
"Kris?"
"Yo. Lama tak bertemu." Sapa pemuda tinggi itu sok ramah. Ia mengangkat tangannya.
Ekspresi terkejut Suho berganti raut keras. Ia menatap Kris tajam sampai pemuda yang tadinya hendak melangkah maju itu mengurungkan niatnya.
"Wo, jangan seperti itu, brother. Kau menakutiku dan Tao."
Mata Suho beralih pada pemuda lain yang berdiri di sebelah Kris. Adik kelasnya yang lain tengah menatapnya datar tanpa ekspresi yang berarti. Sepertinya itu merasa tak apa-apa jika bertemu dengannya.
"Kau... kau sudah punya janji dengan Lay, tapi kenapa pergi bersama dia, brengsek!?"
"Woho~ Turunkan tanganmu, brother. Menunjuk-nunjuk seperti itu tidak sopan kau tahu." Ujar Kris tenang sambil membuat gerakan supaya Suho menuruti kata-katanya.
Cih. Penipu.
"Ngomong-ngomong aku ketahuan, ya?"
Nada bicara itu sungguh merendahkan Suho. Tak ada kepanikan sedikitpun yang Suho temukan dari pemuda tinggi di hadapannya ini.
"Aku sudah tahu."
Satu sudut bibir Kris terangkat, meremehkan. "Benarkah? Kenapa tidak lapor saja?"
Sialan orang ini. Apa yang diarencanakan? Kenapa justru menantang seperti itu.
"Lapor? Kau pikir aku anak kecil?" dengus Suho. "Lagipula aku tak ingin menyakiti Lay." Satu desah nafas Suho Nampak berat setelahnya.
"Owh." Kris melepas rangkulan Tao. Mendekati pemuda yang jauh lebih pendek darinya. Ia menepuk pundak Suho. "Kalau begitu bukankah kau membiarkannya terluka?"
Benar. Tak memberitahu sama dengan membiarkan, tapi bukan itu maksud Suho. Ia teringat usaha Luhan, Chen, Xiumin, dan Kyungsoo.
Suho menepis tangan Kris dari pundaknya. "Ya. Benar. Tapi apakah dia akan terluka selama dia tak tahu?"
Terdengar kejam memang.
"Junmyeon, Junmyeon. Kenapa malah kau yang jadi naïf begini?" Kris melipat lengan. Pandangan matanya begitu tajam merendahkan. "Dengan begitu kau ingin Lay terluka di akhir cerita?"
Akhir cerita? Orang ini memang berniat mengakhiri hubungannya dengan Lay. Tapi kapan?
Suho terdiam. Matanya lurus menatap Kris.
"Jujur saja sebenarnya aku tak ingin melanjutkan hal ini. Terus menikam Lay dari belakang dan Lay yang bodoh tak sadar punggungnya berdarah, tercabik cukup dalam." Dia melirik Tao sekilas lalu kembali pada Suho. "Kukira kau yang akan membongkar semuanya. Ternyata kecoa-kecoa tengik yang berusaha. Meskipun usaha mereka sia-sia. Menyedihkan."
"T-tunggu!"
Kali ini benar-benar menyebalkan. Kris memiringkan kepala, "Apa?"
Suho maju satu langkah. "Kau berkata seperti itu seolah kau tahu bahwa aku mengetahui semuanya?"
"Cih." Kris menggelengkan kepala. Ekspresinya menampakkan kekecewaan yang dibuat-buat.
"Kukira kau cukup cerdas mencerna kata-kataku. Ternyata bodoh juga, ya?"
Ugh. Tangan Suho terkepal erat. Kris melihat itu malah tersenyum licik.
"Kau menyukai—ah, tidak. Kau mencintai Lay aku tahu itu. Aku tahu kau diam-diam memperhatikanku dan Lay saat pertama kali aku menyatakan cinta padanya. Kau yang diam-diam mengikutiku dan Lay kemanapun kami kencan. Kau yang memperhatikan gerak-gerik Lay apapun yang anak itu lakukan." Kris mengedikkan bahunya.
"Ternyata cintamu pada anak itu hanya dipermukaan saja. Menyedih—"
Buagh!
"Gege!" Tao mendekati Kris yang jatuh terduduk. Pukulan Suho cukup kuat hingga merobohkan pemuda jangkung itu.
"Jangan berkata seolah kau tahu segalanya, berengsek!"
Nafas Suho memburu. Dadanya naik turun menunjukkan emosi yang sangat kentara. Ia mendekati Kris yang meringis menahan nnyeri di pipinya kemudian berjongkok. Mengusap darah yang sedikit mengalir dari sudut bibir Kris yang robek. "Aku tidak sepertimu, Wu
Yifan."
.
.
.
"I know that there's tragic behind forbidden." – Ahovinel
.
.
Tidak bisa menuduh Kris adalah penipu sepenuhnya. Dia memang menepati janjinya dengan Lay saat itu, tapi—
Mata Lay membulat tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kris tersenyum penuh kemenangan dengan merangkul seorang pemuda lain yang sangat Lay ingat wajahnya.
"K-Kris?"
"Ya. Ada apa, Lay?"
Pemuda itu tak percaya dengan apa yang ia dengar. Nada bicara Kris tak ada rasa bersalah sama sekali.
"Kau..."
"Seperti yang kau lihat. Kenapa?"
Senyum di wajah Kris makin melebar. Namun bukan senyum menyenangkan, sebaliknya. Itu sungguh menyebalkan ditambah Tao yang memandangnya dengan tatapan merendahkan seperti itu.
"Kenapa? Kenapa harus kau yang bertanya seperti itu?"
Satu alis tebal Kris terangkat. Ia melepaskan rangkulannya pada Tao lalu berjalan mendekati pemuda dengan status "kekasih"nya itu. Dia menepuk-nepuk puncak kepala Lay pelan.
"Lalu siapa yang harusnya bertanya seperti itu?"
"Tentu saja aku." Jawab Lay cepat sambil menepis tangan Kris.
Ia menenuduk dalam. Menggigit bibirnya sebelum berkata, "Kau janji akan menghabiskan waktu liburan bersamaku, tapi kenapa bersama di—kh!"
Sinar mata Kris sedikit meredup melihat gerakan tak beraturan pundak Lay.
Lay meremas tali tas kecil berisi kue yang ia buat tadi. "Padahal aku ingin. Ingin bersamamu. Liburan dan merayakan tahun baru bersama, tapi kau—kh! Kau malah—"
Satu helaan nafas dan dengusan terdengar bersamaan. Lay mendongak menatap Kris. Ia sedikti terkejut melihat raut wajah pemuda tinggi di hadapannya ini. Datar.
"Lupakan itu."
Kris berbalik. "Kau tak perlu repot-repot menghabiskan waktumu bersamaku. Kau tahu kenapa?"
Lay tak menjawab. Otaknya sibuk mencerna ucapan Kris barusan.
"Sejujurnya aku masih ingin melanjutkan permainan ini, tapi aku sudah muak."
Tao melihat pemandangan tak mengenakkan di depannya dengan tatapan nanar. Ia tak tahu harus senang atau kasihan pada kakak kelasnya.
"Muak harus berpura-pura baik kepadamu. Muak harus berpura-pura mencintaimu padahal semua itu palsu."
Seakan dingin membekukan lidahnya, Lay tak mampu berkata apa-apa.
"Yah, aku memang tak benar-benar mencintaimu dari awal. Namun setelah menjalani waktu bersamamu aku sedikit tersentuh dengan tingkahmu. Sedikit. Kau tahu, hanya sedikit."
Kris menoleh. Melirik Lay dan wajah kacaunya dari ujung matanya.
"Sampai disini."
.
.
.
.
Tak ada yang tahu kejadian itu. Lay sendiri tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia masih terlalu bingung menanggapi semua ucapan Kris. Antara tidak percaya dan kecewa prosentasenya sama besarnya. Pikirnya melayang pada ucapan sahabat-sahabatnya. Terus berusaha menyadarkannya, tapi malah ia abaikan.
Cinta itu buta.
Mata Lay tertutup oleh abu-abu cinta.
Cintanya yang abu-abu perlahan menghitam. Menghitam dan terus kelam sampai memudar.
"Ternyata sangat sakit."
.
.
.
"People get fooled by relation and become miserable by scar of love. But we still love." – Myunse
.
.
Suho berlari melawan arah jalan pulangnya. Perasaan tak enak terus menjalar ke seluruh benaknya bahkan sampai ke seluruh tubuhnya. Nyaris membuatnya lumpuh. Di pikirannya saat ini adalah segera menemukan Lay.
Dan entah apa yang membawanya kemari. Sebuah taman dekat daerah rumah pemuda itu. Di tengah gelapnya taman yang hanya diterangi sebuah lampu, Lay duduk di bangku seorang diri.
"Sial."
Kenapa perasaannya begitu peka sekali?
Suho kadang tak suka ini.
"Lay!"
Tak ada jawaban. Pemuda itu terlihat menunduk dalam. Mata Suho beralih ke sebuah tas kecil di samping Lay yang pemuda itu sandarkan pada bangku.
"Kau... kenapa datang kesini?"
Tak tahu harus bereaksi bagaimana, Suho memilih mendekat. Diam saja tak akan menyelesaikan ini semua.
Dengan jarak beberapa langkah dari Lay, Suho berhenti. Matanya terus memperhatikan orang di hadapannya.
"Kau datang untuk menertawakanku?"
Ha?
Alis Suho terangkat satu. Ia tak mengerti. Kenapa ia harus menertawakan Lay? Bodoh apa.
"Kau datang untuk menertawakan kebodohanku?"
Ingin rasanya berteriak di depan wajahnya. 'Kau memang bodoh. Baru sadar sekarang, hah?'
Yang pasti akan dibalas dengan tamparang dahsyat dari yang bersangkutan.
"Aku tak mengerti apa yang kau bicara—"
"Jangan pura-pura bodoh, Myeon." Potong Lay.
Yang membuat Suho khawatir saat ini adalah nada bicara Lay yang dingin.
Apa dia baik-baik saja?
"Tentu saja tidak. Aku tidak bodoh, bodoh."
Lay Nampak membuang nafas lelah sebelum akhirnya mengangkat wajahnya menatap Suho. "Lalu apa?"
Suho berjalan lebih dekat. "Kalau aku adalah orang lain, mungkin saat ini aku akan mengataimu dan menertawakanmu. Lihat betapa bodoh dan naïfnya kamu."
Jangan Lay, Suho sendiri mendengar ucapannya adalah hal terkejam yang pernah ia keluarkan.
"Tapi nyatanya kau adalah kau." Sahut Lay lirih.
Seulas senyum tertarik di bibir Suho. Ia berlutut di hadapan Lay. "Maka dari itu. Mungkin kau sendiri menganggap dirimu adalah orang terbodoh, tapi maafkan aku."
Suho menunduk. "Maafkan aku tak pernah memberitahumu yang sebenarnya."
Mata Lay membulat untuk sekian detik. Ucapan Suho berputar di kepalanya.
"Kau..."
"Orang bodoh yang melindungi orang bodoh lainnya. Aku terlalu naïf membiarkanmu bersama orang itu tanpa mengatakan apa-apa."
"Kenapa kau tak mengatakannya?"
Kerongkongan Suho terasa serak mendadak. "Kau pasti akan mengabaikanku juga."
Lay terdiam sejenak.
"Mungkin kalau Junmyeon yang mengatakannya aku akan percaya."
Suho mendongak. Ia tak mengerti dengan ucapan Lay barusan. Berusaha meminta penjelasan melalui ekspresi wajahnya.
"Aku tak tahu bagaimana, tapi kurasa akan seperti itu yang terjadi."
Ingin rasanya Suho tertawa keras. Jika ia tahu Lay akan seperti itu kenapa tak ia katakana dari dulu?
"Yah, aku manusia biasa. Aku tak bisa menebak apa yang terjadi di detik setelahnya."
Suho tak tahu ia hanya menghibur diri atau apa. Yang jelas saat ini Lay tersenyum padanya.
"Jadi, kau menyukaiku?"
E?
Apa?
Suho bangkit berdiri membuat Lay mendongak menatapnya.
"Iya. Apa. Kau. Menyukaiku?" Lay mengulai pertanyaannya. Kali ini lebih jelas dengan penekanan disetiap suku katanya.
Suho tergagap. Lidahnya kelu padahal kata-kata sudah ada di ujung.
"A... Itu... Aku..."
Lay tertawa renyah. "Hahaha... Tak perlu malu seperti itu, Myeon. Setelah apa yang kau lakukan untukku apa itu kurang jelas?"
Benat juga. Tindakannya lebih ceroboh dan mudah terbaca dari yang ia kira.
"Selain itu..." Lay bangkit dari duduknya. Mengambil posisi sejajar dengan Suho yang mundur beberapa langkah.
"Luhan-ge yang mengatakannya padaku."
He?
Luhan?
Cih, si sialan itu.
Suho mendecih pelan sebelum menghela nafas. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Mau disembunyikan bagaimanapun juga kau akan tahu dengan sendirinya, Lay."
Ah, senyum itu. Memang senyuman yang menyenangkan.
"Aku sudah tahu."
Lay maju satu langkah. Hampir saja Suho mundur sebelum ditahan Lay yang mendaratkan kecupan di pipinya.
"Nah, sekarang sudah jelas. Ayo pergi. Antar aku pulang, Myeon."
Pemuda itu menarik tangan Suho yang masih menggenggam bungkusan plastik.
"Ya, sebelumnya mampir ke rumah Luhan dulu."
"Untuk apa?"
"Aku akan membunuhnya."
.
.
.
"To love, to be loved, that's all. That is the rule. That is why we exist. A person who find comfort in love is afraid of nothing." – Bososal
.
.
"LUHAN-GE ADA APA?"
Tiba-tiba Sehun berteriak keras melihat Luhan terkulai lemas di karpet ruang tengah rumahnya. Pemuda manis itu nampak seperti orang sekarat sambil meremas dadanya.
"Se-sepertinya aku akan meregang nyawa, Hun."
"JA-JANGAAAAAN! LUHAN-GE KITA MASIH BELUM BIKIN ANAK!"
Dan malam itu berakhir dengan Sehun yang sekarat dibantai Luhan. Penuh luka tusuk di perut dan mulut yang berbusa.
.
.
.
"Who can make a rule for people who are in love. Love itself is the greatest rule of all." – Voetius
.
.
The End
.
.
Note: kamvret ini apa-apaan teman-teman? langsung ngejos tanpa feel yang berarti begitu aja. maafkan sayah :"( yah, tapi akhirnya selesai juga. berapa kali nyoba ngelanjutin tapi nggak dapet-dapet idenya. cih padahal ending udah terkonsep, eh akhirnya ilang juga. menguap begitu saja. ini cerita yang tiba-tiba diantara menguap dan lapar tengah malam. menyedihkan.
tapi... yauda gitu aja.
akhir kata. wassalam.