Naruto's Masashi Kishimoto's, dan "In Rainy Town, Balloons Dance with Devils" itu punyanya Crypton, Yamaha, dan segala media yang mengembangkannya. I ain't gain any profit for making this fic. Hanya untuk memuaskan hasrat pribadi saja sih U_U
Disarankan untuk mendengar lagu diatas. Lagu bernada ceria dengan graphic super horor AwA
Warning: typos, karakter yang akan sangat OOC ( gomeenn! ) M untuk tema, ga ada lemon2an, masih kecil ah #hush.
Untuk memenuhi Challenge Exchange sama Chilla. Here you go, neng! Bukan bidang aye, tp aye bakal berusaha buat fic ini sesuai genre; spiritual! #sip
And Happy Reading! ^^
.
.
.
.
.
.
.
.
"Lihat … Merah …"
.
.
Kedua biji mata sebening karamel milik Sasori sedikit terbelalak melihat telapak tangan milik gadis di depannya berlukiskan darah. Rasa takut kembali menguasainya, apalagi saat suara yang terdengar hampa itu mengusik di dalam kepalanya. Ada rasa dingin sekejap ia rasakan pada tengkuknya.
"I-Iya… Merah, Sakura…."
Ia tidak yakin kalau gadis itu masih mendengar suaranya. Karena saat pandangannya kembali bersibobrok dengan tatapan mata milik si gadis berambut merah muda, ia tak lagi dapat menemukan bayang dirinya di sana. Hanya ada kekosongan yang menutupi keindahan manik mata viridian itu. Sepertinya Sakura sudah tidak lagi berada di dunia yang sama dengannya. Pikiran gadis itu kembali berkelana dalam dunianya yang entah ada dimana dan bagaimana wujudnya.
Akhirnya dalam diam, ia memutuskan untuk membersihkan tangan yang kotor terkena noda darah dengan tisu basah. Tangan itu seakan tak memiliki tulang saat ia mengangkatnya. Jemari milik gadis itu sama sekali tak bergerak saat ia mengusapnya dengan lembut. Tangan itu jatuh begitu saja saat Sasori melepaskan cengkeramannya.
Dengan agak ragu, pria dengan nama belakang Akasuna itu beranjak bangun dari posisinya. Berjalan perlahan hingga semakin dekat dengan pintu tanpa sekalipun melepaskan fokusnya dari sosok yang terduduk diam seperti robot yang kehabisan baterai. Namun tiba-tiba, kepala itu teralih dan sepasang biji mata itu tiba-tiba terfokus ke sana. Ia dapat melihat kegilaan, amarah, dan kepedihan pada sepasang bola mata itu.
"PERGI!"
Jeritan sopran itu sontak membuat terlonjak kaget. Jantungnya berdebar kencang saat gadis itu bangun dan memungut bola plastik yang berada di kakinya. Dengan sekuat tenaga si merah muda melemparkan mainan itu ke arah pemuda yang terasa asing dipenglihatan Sakura. Pemuda yang tak sampai lima menit lalu mengobati lukanya dan membersihkan darah dari tangannya. Lelaki yang saat ini berdiri kaku di depan pintu. Dengan ketakutan yang jelas terlihat pada sepasang bola matanya yang terbelalak.
"PERGI!"
Kali ini ada air mata yang mengiringi jeritan yang terdengar pilu. Kali ini keterkejutan itu bukan karena jumlah bola yang terus mengenai tubuhnya dengan kencang, melainkan karena cairan basah yang mengalir disepanjang wajah gadis di depan. Air mata yang baru pertama kali ini ia lihat sejak gadis itu mengisi hidupnya. Air mata yang amat putus asa.
Karena itu, walau bola terus dilemparkan. Walau gendang telinganya terasa sakit mendengar suara jeritan yang memekakkan. Ia meletakkan kotak P3K yang tadi ada di tangannya. Menyongsong gadis yang terus berteriak sambil melemparkan bola plastik berwarna-warni ke arahnya. Entah kegilaan apa yang merasukinya karena sekarang ini ia memeluk gadis yang masih menjerit di telinganya. Gadis yang terus memberontak minta dilepaskan namun gerakan itu semakin lemah.
Ia memeluk Sakura… Semakin erat hingga rasanya bernapas pun menyesakkan.
Gadis itu tak lagi menjerit. Hanya menelan ludahnya untuk menahan isakan. Mungkin tenggorokannya serak atau sakit, ia tak tahu. Karena gadis itu tak lagi mengusirnya pergi. Hanya bergerak ke sana kemari minta dilepaskan namun Sasori tak menurutinya. Sampai tangan yang menggenggam bola berwarna merah dan kuning ditangannya, jatuh disamping tubuhnya. Bola di tangannya menggelinding ke lantai yang dingin.
Dalam diam gadis dengan rambut sebahu itu menangis. Menangis dengan suara raungan yang tertahan. Menangis di dada pemuda yang mengusap kepalanya dan membenamkannya pada dada yang tertutup pakaian berwarna putih. Meninggalkan jejak-jejak basah yang terlihat amat jelas di sana.
Sasori tidak tahu mengapa ia melakukan ini. ia bahkan tidak mengerti kenapa rasa takut yang tadi ia rasakan seperti hilang dibawa lari. Saat melihat air mata itu seakan ada yang menariknya untuk menenangkan gadis yang sekarang ada dipelukannya. Ada sekelebat rasa sakit yang mengganggu saat ia dapat melihat keputusasaan pada sepasang mata senada dengan dedaunan musim semi itu. Saat ia mendengar ketakutan yang bercampur dengan jeritan si gadis musim semi yang masih menangis dalam pelukannya.
Dalam diam, tak ada suara yang mengudara. Hanya ada rasa dingin dari lantai yang mereka pijak, dan lembutnya hembusan angin yang masuk dari ventilasi kamar. Serta suara isakan samar yang terhalang.
.
.
.
.
.
Fragment
Nana Bodt
Bagian dua: Bayangan
.
.
.
.
.
Makan malam berlangsung dengan tenang. Sang kepala keluarga Akasuna dan istrinya sudah pulang setelah seharian mengurus proyek besar yang menyita waktu bersantai mereka. Sang anak semata wayang sibuk memainkan makanannya. Pikirannya terfokus pada kejadian tadi siang yang mengganggunya.
Setelah gadis itu tenang dalam pelukannya, Sasori berniat untuk melepaskan pelukannya. Namun batal karena berat tubuh gadis itu semakin membebaninya. Ia baru sadar Sakura tertidur setelah melihat kedua bahu yang naik turun dengan gerakan yang pelan.
Dengan hati-hati Sasori menggendong tubuh sang adik angkat yang ternyata lebih ringan dari yang ia duga. Sasori tak heran karena gadis itu jarang makan dan baru bisa makan setelah ia dengan susah payah menyuapinya. Ia merasa Sakura amat percaya padanya sehingga gadis itu membiarkan ia mendekatinya, tidak seperti kedua orangtuanya yang langsung diusir dengan lemparan bola plastik.
Ia tak mangerti kenapa kepala Sakura bisa terluka. Terkena benda tajam kah? Rasanya tidak mungkin karena tidak ada di sana. Ujung kotak-kotak Sakura pun sudah diberi bantalan agar kalau tak sengaja Sakura terantuk, gadis itu tidak akan kesakitan. Atau gadis itu jatuh dari lantai? Pikiran itu sekejap muncul dalam kepalanya. Mungkin benar karena itu. Ah ia akan meminta ayahnya untuk membelikan karpet baru untuk adik angkatnya itu.
"Sasori-kun, kenapa kau hanya memainkan makananmu?"
Suara ayahnya membuyarkan suara lamunannya. Kepala yang tertunduk langsung terangkat dan menoleh ke arah si pemilik suara yang umurnya dua puluh delapan tahun lebih tua darinya. Sasori memberikan seulas senyum.
"Hanya memikirkan sesuatu, ayah." Jawabnya dan akhirnya ia menyuapkan nasi yang bercampur dengan potongan daging ke dalam mulutnya. Rasa gurih bercampur manis bercampur jadi satu.
"Memikirkan Sakura kah?"
Kali ini ibunya yang bertanya. Sasori menganggukkan kepalanya sambil mengunyah makanan. Menelannya sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan.
"Begitulah. Tadi siang kepalanya berdarah, entah kenapa. Mungkin ia terjatuh dan kepalanya menyentuh lantai duluan." Ia dapat melihat air muka ayah dan ibunya berubah.
"Kalau begitu, besok ayah dan ibu akan mencarikan karpet yang bagus untuk kamar Sakura." Ibunya menyuarakan pendapatnya. Sang ayah mengangguk tanda setuju.
"Aah benar juga. Sekalian gorden baru, dan sprai ranjang baru untuknya. Ah ya baju baru juga." timpal ayahnya.
"Cari yang motifnya manis." Tambah ibunya.
Sembari kedua orangtuanya mendiskusikan kira-kira apa saja yang akan mereka belikan untuk Sakura besok, Sasori menghabiskan makanannya. Ada senyuman yang menghiasi wajahnya mendapati kepedulian orangtuanya terhadap gadis musim semi itu walau Sakura menolak mereka. Walau takut, ternyata baik ayah dan ibunya masih sangat menyukai gadis itu.
"Oh ya bu. Aku sekalian titip sprai ranjang baru ya. Warna biru gelap, jangan ada motif apapun."
.
.
.
Suara rinai hujan yang membentur jendelanya samar terdengar, menemani ia yang sibuk mengerjakan tugasnya. Menjadi mahasiswa tingkat tiga di Universitas Konoha dengan jurusan arsitektur membuatnya harus sering begadang. Hanya untuk menyelesaikan tugas yang terus membanjirinya dan tak habis-habis itu.
Jam sudah menunjukkan angka dua belas lewat delapan menit saat ia meregangkan tubuhnya yang terasa agak kaku. Padahal tiap hari ia sebisa mungkin menyicil tugas di sela-sela waktu belajarnya, namun tak kunjung selesai. Apa ini kutukan mahasiswa Universitas Konoha, ya? Hah, seharusnya ia mendengarkan kata teman-temannya untuk kuliah di Universitas yang lebih kecil saja.
Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia sudah sampai disini dan tidak bisa berhenti. Ia hanya bisa bersabar dua sampai tiga tahun lagi. Pokoknya sampai ia lulus dan bisa keluar dari Universitas terkutuk ini. memang UK berada dalam peringkat 1 Universitas paling bagus di Konohagakure yang amat luas ini. Namun tetap saja kalau tugasnya sebanyak sekarang…. Mahasiswa mana yang betah?
Ia memutuskan untuk istirahat sebentar sebelum mengerjakan kembali tugasnya. Untung besok ia tidak kuliah dari pagi. Kalau iya… pasti ia bisa sakit kepala sepanjang kelas dan pada akhirnya tak bisa berkonsentrasi saat belajar. Sasori beranjak dari kursi yang sudah empat jam ia duduki. Ia mengangkat tangannya ke atas, lalu menarik tangannya ke belakang, ke kanan dan kiri diikuti oleh tubuhnya. Ada suara 'krek' pelan dan suara geraman tertahan lolos dari bibir Sasori.
Sasori memutuskan untuk keluar kamar, ganti suasana dan mengambil cemilan. 'Susu hangat atau cokelat panas kelihatannya enak. Ah pakai biskuit juga.' Batinnya sambil berjalan menuju tangga. Namun belum sempat ia menginjakkan kaki pada anak tangga, ia mendengar suara jeritan bercampur suara gaduh yang amat familiar untuknya. Suara yang berasal dari balik pintu diujung lorong lantai dua rumahnya. Membuatnya terlunjak kaget dan dadanya terasa ngilu karena terkejut.
Panik, Sasori langsung berlari menuju pintu yang mengunci gadis merah jambu itu dari dunia. Rasa takut yang kerap mengusiknya tiap mendengar suara itu sirna, digantikan oleh kekhawatiran saat memikirkan gadis itu. Apa Sakura kembali terluka? Atau gadis itu mimpi buruk? Berbagai pertanyaan terangkai dalam kepala sampai ia tiba di depan pintu berwarna coklat gelap.
Ketika ia membuka pintu di depannya dengan agak keras, ia dapat melihat ruangan yang gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari jendela yang entah kenapa bisa terbuka. Gorden berkibar-kibar ditiup angin hujan yang mengamuk. Lantai di bawah jendela sedikit basah karena ada air yang masuk dari lubang besar berbentuk persegi panjang tersebut. Daun-daun jendela menimbulkan suara gaduh dimainkan oleh hembusan angin yang bergemuruh.
Ada gumpalan besar tertutup selimut di atas ranjang berlapis sprai berwarna putih polos. Ia dapat mendengar suara jeritan dari sana saat petir menyambar. Tanpa sempat menutup pintu, Sasori berjalan cepat menuju gadis yang meringkuk dibalik kain yang menyembunyikannya dari rasa takut. Suara isakan bercampur dengan jeritannya.
"Sakura….."
Gadis itu tak menyahut. Sasori yang bingung pun menyingkap selimut yang menutupi adik tirinya itu, memperlihatkan kepadanya sosok yang begitu rapuh. Sosok yang tengah memeluk kedua lututnya seakan hal itu adalah satu-satunya yang dapat menopangnya.
Ada ketakutan yang amat sangat terlihat pada sepasang biji mata sewarna viridian itu. Tubuh gadis itu bergetar, entah karena kedinginan atau ketakutan… atau keduanya… ia tak tahu… Ia dapat mendengar suara tercekat dan bunyi ludah yang ditelan dari leher Sakura.
Jemari kurus Sakura menunjuk kea rah jendela yang terbuka. Seakan mengerti maksud gadis itu, Sasori berjalan menuju jendela dan dengan agak susah payah berhasil menutupnya. Lelaki itu segera berjalan menuju gadis yang masih meringkuk namun kali ini tubuh si merah muda tidak lagi bergetar.
"Sudah kututup, Sakura. Tenang, semuanya baik-baik sa―"
Ucapan itu terhenti saat ia merasakan tubuhnya seakan ditarik gravitasi menuju lantai yang dingin. Saat rasa sakit menyerang belakang kepalanya mendadak ia merasa pening. Saat ia merasakan bobot lain di atas tubuhnya dan membuatnya tak dapat bangun dari lantai. Saat ia merasakan kedua tangan mencengkeram lehernya dan rasa sesak tak dapat bernafas menguasainya.
Di antara rasa takut, panik dan juga sakit, Sasori dapat melihat kegilaan dan murka yang membakar manik mata milik gadis yang mencekiknya. Ada sekelebat bayangan besar yang tertangkap ekor matanya di pojok ruangan, namun langsung hilang saat tak sampai sedetik ia mengedipkan matanya di sela-sela rasa kelu yang membuat kepalanya semakin kosong.
.
.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
.
.
A/N: Aih setelah setahun lebih akhirnya fic ini diupdate. Maaf atas keterlambatannya #ojigi apa ada diantara dari kalian yang menunggu fic ini?
Ide untuk fic ini sempat hilang entah kemana. Namun saat mulai nulis lagi, tiba-tiba mengalir begitu saja hingga seperti ini. yakin sih ini pasti beda banget sama jalan cerita yang dulu uda saya susun… tapi ya sudahlah yang penting nyambung /dikepret/
Berkenankah untuk meninggalkan review? Terima kasih (/ ^ o^)/
