Naruto POV

Hari itu dalam mimpiku aku melihat seorang anak kecil berlarian mengejar kupu-kupu. Usianya kira-kira 3 tahunan. Gadis kecil itu tertawa riang, terdengar sampai ke tempatku berdiri. Rambutnya pendek berwarna lavender, kulitnya putih. Dan ketika ia memergokiku tengah memandangnya, barulah aku tau mata ametist-nya begitu indah.

Ah sepertinya aku mengenal gadis ini. Ya, Hinata. Aku tersenyum dan bergumam 'Hinata waktu kecil'

Aku terus memandangnya. Dan semakin lama senyumku semakin melengkung.

Hmm... Hinata kecil ternyata begitu menggemaskan.

Aku tertawa mengingat pemikiranku itu. Dan baru saja tanganku terangkat untuk memanggilnya, tiba-tiba

Drrrtt..

Drrtt...

Drrt...

Getaran ponselku di atas meja membuatku terbangun. Rupanya aku ketiduran di ruang kerjaku, di samping kue ulang tahun yang Hinata berikan padaku 2 jam yang lalu.

.

.

~Heart and Love~

.

.

"Kaa-chan, ayo kejal aku..."

Aku menoleh mencari asal suara itu. Dan Kudapati gadis kecil yang sama.

'Si Hinata kecil'

Aku tersenyum memperhatikannya dari kejauhan. Sepertinya kali ini dia sedang bermain dengan ibunya. Gadis kecil itu membawa bunga matahari. Berlarian sambil tertawa dengan riangnya.

Bruk

Suara tawa itu berganti menjadi isakan. Hinata kecil jatuh karena tersandung.

"Kaa-chan..., hiks hiks."

"Cup cup... sudah sembuh."

Dari tempatku berdiri terlihat seorang wanita yang bisa kupastikan adalah ibu Hinata kecil. Dan baru aku tau dari mana asal warna rambut lavender Hinata.

Wanita itu berusaha menenangkan Hinata kecil yang terisak. Dia membersihkan dan mengecup lutut putri kecilnya yang tergores.

Dan ajaib, isakan Hinata kecil berganti cekikikan.

Dia membisikkan sesuatu ke putri kecilnya. Beberapa detik kemudian cekikikan Hinata kecil semakin terdengar jelas. Mereka tersenyum dan tertawa lepas sampai mata mereka menyipit.

Oh Tuhan, mereka seperti anak kembar. Mereka berdua mirip... Hinata!

"H-Hinata?!"

"Ah, g-gomen, Naruto-kun," ucap Hinata yang tiba-tiba berdiri di samping tempat tidurku. Dia merasa bersalah karena mengejutkanku. Aku terkejut karena mimpiku Hinata, bukan karena kau.

"Gomen, Na-Naruto-kun. Aku kesini karena alarmmu terus berbunyi tapi Naruto-kun tidak bangun bangun."

Ia terus saja minta maaf.

"Tidak apa-apa, Hinata." Akhirnya aku bisa membuatnya berhenti mengucapkan kata maaf. Dia mengangguk dan bersiap untuk keluar sebelum panggilanku membuatnya kembali menoleh.

"Mungkin nanti malam aku akan pulang terlambat."

Kami bertatapan. Sebelumnya aku tidak pernah memberitahu hal seperti ini. Aku pulang kerja sesukaku. Ekspresinya seperti heran tapi tak lama kemudian dia tersenyum.

"H-ha'i."

Deg

Senyum itu.

Persis seperti dalam mimpiku!

.

.

Seperti yang sudah kukatakan, aku pulang terlambat malam itu. Selain ada rapat dengan klien, kantor juga sedang mengalami sedikit masalah sehingga aku yang harus turun tangan sendiri untuk menyelesaikannya. Sepulang dari kantor aku mengunjungi toko perhiasan. Ya, hari ulang tahun Hinata. Aku tidak tau banyak tentangnya, kesukaannya maupun hobinya. Tentang hari ini kaa-san lah yang memberitahuku dan menyuruhku untuk memberi Hinata hadiah.

Setelah kulihat berbagai perhiasan, akhirnya mataku menangkap gelang kaki berwarna putih. Aku seperti pernah melihatnya tapi entahlah aku lupa dimana.

Putih. Salju. Desember. Dan Hinata

Sepertinya kombinasi yang cocok.

Kusimpan kotak hadiah itu di dalam saku mantelku.

Sampai di rumah sudah larut malam. Hinata sudah tertidur begitu aku masuk ke kamarnya. Ya, itu juga kamarku, kamar kami. Kamar kami yang hanya ditempati oleh Hinata. Kami belum pernah tidur satu tempat tidur di kamar ini. Kami berbagi kamar, lemari, kamar mandi, meja makan, tapi tidak tempat tidur.

Aku tau kami sudah menikah, aku adalah suaminya, dan dia adalah istriku. Tapi aku tidak mencintainya. Tidak bisa. Belum. Atau tidak akan pernah?

Memikirkan itu entah mengapa sangat menyakitkan. Dan aku tau Hinata juga pasti lebih sakit. Gadis ini begitu baik, cantik. Kenapa dia mencintaiku dan rela menahan sakit demi menanti cintaku selama ini? Bahkan aku sendiri tidak tau aku bisa mencintainya atau tidak. Yang aku tau aku peduli padanya, aku tidak ingin melihatnya menangis. Aku ingin selalu melihatnya tersenyum seperti tadi pagi.

.

.

~Heart and Love~

.

"Tentu saja sudah."

"Iya iya kami akan pulang."

"Baiklah, Kaa-san..."

"Aku juga mencintaimu."

Tuuutt...

Hah selalu berakhir seperti ini. Ibuku hobi sekali menggodaku. Ia menyuruh kami pulang ke Konoha padahal pekerjaan disini belum selesai. Kami memang belum pulang sejak pertama kali pindah ke Tokyo setelah menikah. Sampai sekarang memasuki tahun baru berarti kami belum bertemu dengannya selama hampir 5 bulan. Aku tidak bisa meninggalkan perusahaan disini sebelum benar-benar stabil. Jiraiya ojii-san sudah tua, tidak bisa menanganinya sendiri.

Tok tok tok

"Naruto?"

Terdengar suara Shikamaru beberapa detik setelah ketukan pintu.

"Masuk saja, Shikamaru," sahutku.

Shikamaru, sahabatku sejak kecil sekaligus partner kerjaku yang sangat bisa diandalkan. Dia membantuku mengurusi perusahaan disini.

"Mau tidak mau kau lah yang harus meninjau daerah ini," katanya sambil menjatuhkan setumpuk berkas di atas mejaku.

Oh tuhan, baru saja aku berjanji pada ibuku untuk pulang dan sekarang aku harus membatalkannya lagi.

Aku menarik rambutku frustasi. Kenapa di saat aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan Hinata dan keluargaku, ada saja masalah ini.

"Shikamaru, apa kau mau menemaniku minum?" Shikamaru masih berdiri di depan mejaku. Ekspresinya seperti heran. Dan kemudian dia tersenyum licik.

"Maaf sekali Naruto, untuk mengatasi setiap masalahku, aku butuh istriku, bukan alkohol."

Sial! Apa maksud perkataannya barusan? Dia mengejekku karena aku tidak pernah menyentuh alkohol sebelumnya? Atau apa?

"Kau sudah menikah Naruto, kau pasti mengerti maksud-"

"Tidak. Aku tidak mengerti," jawabku kesal. Dan apa hubungannya dengan pernikahan?

"Kau bisa berbagi setiap masalahmu dengan Hinata, Naruto. Itulah gunanya pernikahan."

Berbagi masalah ini dengan Hinata? Jangan bercanda. Hinata mungkin tidak akan tau dan tidak akan peduli pada hal seperti ini.

"Kau pernah melakukannya?"

Aku menatapnya semakin kesal. Melakukan apa?

"Kau pernah berbagi masalahmu dengan Hinata?"

Ngobrol saja jarang apalagi berbagi masalah? Dan apa aku memang ingin membaginya dengan Hinata? Aku tidak menjawabnya karena dia pasti sudah tau apa jawabanku. Ya, Shikamaru satu-satunya orang yang tau bagaimana kehidupan pernikahanku.

Kulihat Shikamaru sudah tidak ada di depanku, dia pasti pergi ketika aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Haruskah aku menceritakan masalah ini pada Hinata? Apakah aku butuh Hinata dalam masalah pekerjaan? Apakah aku butuh Hinata untuk mendukungku dalam setiap masalah hidupku? Selama ini aku mengabaikannya. Apakah dia mau dan bisa mendukungku? Kepalaku seperti mau pecah. Aku butuh tidur. Ya, aku hanya butuh tidur.

.

.

Heart and Love

.

.

"Hihi ayo kaa-chan, tou-chan, kejal aku,"

Tap

Tap

Tap

"Hihi."

Tap

Tap

Tap

"Jangan berlari, Hima."

"Ayo, tou-chan...hihi."

Suara-suara orang tertawa samar-samar terdengar di telingaku, mungkin karena jauh. Tapi waktu kuikuti asal suara, terlihat sangat jelas gambaran anak kecil sedang berlarian. Ya, anak itu lagi, si Hinata kecil. Ah lincah sekali anak itu. Terlihat juga Hinata dan seorang laki-laki. Dan pria itu memanggil Hinata kecil Hima? Apa anak itu bukan Hinata? Atau jangan-jangan sebenarnya anak itu adalah anaknya Hinata? Hinata sudah punya anak?

Deg

Dan laki-laki itu suaminya?

"Ah haha ampun, amp-hun kaa-chan..."

Hinata menggelitikinya saat anak itu tertangkap. Meskipun anak kecil itu meminta berhenti karena geli Hinata terus saja melakukannya.

"Putrimu gelian sepertimu, Anata," bisik Hinata pada pria di sampingnya.

Dan benar, itu Hinata dan suaminya. Tapi bagaimana mungkin? Hinata istriku. Dia mencintaiku. Dia sudah menikah denganku bulan september lalu. Cincin pernikahan yang ia pakai pun sama dengan yang kupakai ini.

"Ayo kita pulang, gadis nakal," ucap pria itu lalu menggendong anaknya.

"Dia nakal sepertimu, Naruto-kun. Hihi."

"Tidak, nakal sepertimu, Hinata."

Naruto? Hinata?

Pria itu Naruto? Pria itu aku?

Apa sebenarnya ini? Dimana aku hidup dan dimana mereka hidup? Aku dan Hinata punya anak? Aku dan Hinata bahagia? Kenapa Hinata selalu tersenyum bahagia disini? Dan... oh Tuhan, anak kecil itu anak kami?

Tiba-tiba aku merasakan beban di lenganku. Seperti ada yang merangkak diatasnya. Dan telingaku mendengar suara isak tangis. Tangisan yang begitu pedih. Siapa? Siapa yang sedang menangis.

"Gomen."

Kata itu berulang kali terdengar. Semakin lama semakin jelas. Seketika aku merasakan cengkraman erat di lenganku. Aku terbangun. Dan yang kulihat pertama kali adalah istriku,

Hinata.

Dia.

Menangis.

Kepalanya tertunduk, matanya terpejam dan sembab, air matanya berjatuhan, bibirnya terus saja mengucapkan maaf. Tuhan, Hinata kau kenapa? Apa aku menyakitinya? Apa orang lain menyakitinya? Oh Tuhan, aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika akulah yang menjadi penyebab gadis ini menangis.

Tangisannya begitu menyakitkan. Itu tangisan derita. Sakit yang teramat. Ada apa denganmu Hinata? Berkali-kali aku berusaha menyadarkannya tapi tak satupun berhasil. Suara tangisannya tidak keras, tapi terdengar begitu menyesakkan. Wajahnya seperti memohon padaku, seperti meminta maaf sekaligus menahan kesakitan. Dia terlihat seperti depresi. Dia menatapku tapi tatapannya kosong.

"Hinata, kau bisa mendengarku?!"

Aku mencengkram bahunya. Untuk beberapa saat akhirnya dia menghentikan tangisnya dan fokus padaku. Aku menatapnya iba. Kau kenapa Hinata? Jangan membuatku khawatir.

Dan baru saja kukira dia sudah tenang, dia menjerit. Sontak jeritan itu seperti menyayat seluruh tubuhku. Dia terus menjerit seolah mengeluarkan semua sakit yang ia rasakan.

Aku tidak sanggup lagi melihat kesakitannya. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Jeritannya sungguh terasa menyayat tubuhku.

Aku mendekapnya, berusaha meredam jeritan itu. Dia masih menjerit.

"Berhentilah, ku mohon." Semakin kueratkan pelukanku. Tubuh kecilnya masih bergetar seperti ketakutan. Tapi sesungguhnya aku lebih takut. Aku tidak pernah melihat Hinata menangis dan menjerit seperti ini.

"Aku mencintaimu!" Di sela-sela jeritan itu ia mengatakannya. Ya, aku tau, Hinata. Kau tidak perlu mengatakannya.

"Aku mencintaimu."

"Ya, aku tau aku tau." Aku mengeratkan pelukanku. Aku lega dan entah kenapa aku bahagia mendengarnya mengatakan itu saat ini. Hidungku tenggelam dalam rambutnya yang lembab dan kusut. Tuhan, lindungilah gadis ini. Hinata kumohon, berjanjilah perasaanmu itu tak akan pernah hilang. Tunggu aku.

Jeritannya perlahan melirih. Aku tetap memeluknya tanpa berkata apa-apa. Sampai ia mengangkat kepalanya, menatapku dengan air mata menggenang. Aku menatapnya dan berusaha tersenyum agar ia merasa aman. Tapi apa yang ia ucapkan setelah itu, membuatku berhenti bernafas.

"A-aku sudah si-siap jika N-Naruto-kun ingin m-menceraikanku."

Ia mengatakannya. Sesuatu yang tidak pernah aku sangka-sangka. Ia mengatakannya dengan tersenyum. Dan aku tau pasti, itu senyum paksa. Siap untuk aku ceraikan? Haha. Kau bahkan baru saja mengatakan kau mencintaiku Hinata.

Ia bersiap mau berkata lagi.

"Gomen, aku ti-tidak bisa menunggu sampai September."

Sambil menghapus linangan air matanya ia kembali tersenyum.

"A-aku tau aku egois, aku m-minta maaf."

Ya. Kau memang egois. Dan pembohong.

"Aku tau Naruto-kun pasti akan bahagia setelah kita berc-cerai."

"Kalau Naruto-kun bahagia, aku juga ikut bahagia."

Tanganku mengepal. Dia kembali menampakkan senyum palsunya. Aku menatap benci senyum di bibirnya itu.

"N-Naruto-kun, pas-"

Dan sekarang bibirnya tidak bisa lagi berbohong.

Aku benci.

Aku benci bibir ini. Aku membenci bibirmu ini Hinata. Kenapa kau mengatakan itu? Kenapa kau ingin meninggalkan aku saat aku membutuhkanmu? Kau bilang kau mencintaiku dan setelah itu kau bilang kau akan meninggalkanku. Mana yang benar Hinata? Katakan. Aku ingin mendengarnya Hinata. Kenapa kau diam? Katakan.

Katakan dengan bibirmu ini.

Aku tidak akan menghentikannya sebelum kau menjawab, Hinata.

Naruto POV End

Pria itu marah. Sangat marah. Kemarahannya tergambar jelas dari ciuman kasarnya. Hinata ingin pergi darinya justru di saat dia membutuhkan dukungan seorang istri. Hinata meminta cerai setelah beberapa detik sebelumnya berkata bahwa gadis itu mencintainya. Naruto benci. Ia merasa dibohongi tapi tidak tau mana perkataan Hinata yang merupakan kebohongan.

Ia terus mendesak Hinata dalam ciuman itu. Tangannya membawa gadis itu lebih dekat. Tubuh yang sempat ia peluk erat sebelum kalimat cerai itu terdengar. Lekukan tubuh yang sama. Kehangatan yang sama. Tapi sekarang ia benci. Nuraninya mengatakan ia benci, tapi tubuhnya melakukan hal sebaliknya. Tubuhnya tak rela melepaskan apa yang telah ia rengkuh. Ada dorongan aneh dari dalam tubuhnya. Ia tidak mampu mengendalikan itu dan membiarkan tubuhnya bergerak melawan akal sehatnya.

Ia merasakan cengkraman kuat di lengannya ketika bibirnya berpindah ke leher gadis itu.

"Hen-tikhan..."

Ia tak mempedulikan suara dan tangan Hinata yang mendorong kepalanya menjauh. Ia terus menciumi leher gadis itu dan menggigitnya hingga gadis itu memekik.

"S-sakit... hiks."

Naruto mengangkat kepala. Dilihatnya gadis itu menangis dan ketakutan.

Sakit? Ya, aku juga sakit, Hinata.

"Kau tau, Hinata?"

Ia menatap gadis itu lekat-lekat. Matanya yang sembab dan berair, juga bibirnya yang membengkak.

"...aku membencimu."

~T B C~

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Wkwkwk ada yang nungguin cerita ini?

Gak ada ya? Ywd gpp kok :"v

Hm... udh chapter 5 nih, kira2 ni cerita end di chapter berapa ya? dr kmren tbc tbc mulu :"v

Oke see you di chapter selanjutnya :*

Makasih buat yg udah baca dan review. Juga yg udh fav dan follow :D

Buat hinata hime, Della, Xiao yuli, dan Yasmin makasih atas reviewnya, sangat membangun.

Kasih kritik dan saran lg ya :'v