CHAPTER 2 - AN ENIGMA BOY

(t/n : Enigma itu penuh teka - teki)

S.E.O.U.L , 18 Januari 1985

-o-

Kim Jaejoong terjepit dalam situasi yang sama sekali tidak pernah ia harapkan. Konsekuensi dari sikap cueknya terhadap pria - pria yang mengaku secara terang - terangan menaruh hati padanya selama ini akhirnya ia alami.
" Kim Jaejoong! Dengarkan aku terlebih dahulu! " bentak seorang anak lelaki berperawakan tinggi serta berambut kemerahan, seperti rambut anak layangan yang kerap dijilati teriknya sinar matahari.

" Jangan seenaknya kau membentakku! " geram Jaejoong, tangannya mengepal kuat hingga buku - buku jarinya memutih pucat.
" Kau pikir kau siapa, huh? Asal kau tahu, ibu atau ayah kandungku saja belum pernah membentakku seperti tadi " ketusnya, jujur ia sudah tidak sabaran melayangkan bogem mentah ke wajah Park Subie, anak lelaki ingusan yang menyeretnya secara paksa ke sudut gudang di belakang sekolah. Muslihatnya sangat pintar, memanfaatkan situasi saat Jaejoong keluar dari kamar mandi seorang diri.
" Itu bukan urusanku, Kim Jaejoong! " ia menyeringai iblis kemudian menjejalkan kedua tangan Jaejoong ke lipatan selangkangannya.

CUIH

Mengesampingkan rasa segan, Jaejoong meludahi wajah tampan Subie.
" Jangan berani - beraninya kau melecehkanku, brengsek! Lihat saja, aku akan menuntutmu dan aku akan membuat perhitungan denganmu " gertak Jaejoong sambil bersikeras menggeliatkan badannya. Hasilnya nihil, punggungnya terlalu lengket pada tembok. Subie sudah menjebak jangkauan gerak tubuhnya. Subie menyeka liur Jaejoong yang terciprat pada wajahnya.

" Kalau kau membalasku, aku tidak akan bertindak sejauh ini, Kim Jaejoong "

" Membalas apa, huh? "

" Membalas surat cintaku dan juga perasaanku terhadapmu "
Jaejoong membungkam mulutnya, tidak mampu berkelit lidah lagi. Bagaimanapun, ini tak luput dari kesalahannya, tidak pernah membalas surat - surat cinta untuknya yang kerap ditemukannya di loker, meja kelas atau di dalam tasnya. Tapi bukankah dia berhak atas itu? Ia berhak untuk tidak menggubris surat - surat yang membuat perut mual itu; sarat akan kata - kata puitis memuakkan dan gambar hati yang diwarnai semerah darah. Surat hanya sekedar simbolis formal, realisasi cinta si pengirim belum tentu setara dengan isi surat. Sudah ditegaskannya, dari dulu ia tidak terlalu tertarik dengan cerita cinta hebta. Ia merasa keputusannya tidak salah. Ibu dan kedua kakaknya juga merestui pola pikirnya mengenai penentangan merajut benang asmara untuk sementara ini. Jaejoong masih bau kencur dan mereka tidak ingin dampak negatif dari pacaran -dalam istilah anak muda-, berimbas pada Jaejoong.

" Aku belum berminat menjalin hubungan percintaan " lirih Jaejoong dan agak melembekkan Subie. Jaejoong tidak berdusta atas pernyataanya. Berpacaran tentu akan menyita waktunya dan membuat pekerjaanya terbengkalai. Paradigma demikian hanya berpusat pada dampak negatif. Jaejoong tidak pernah merumuskan dampak positif dari berpacaran. Subie menghela napas seraya melonggarkan tangan Jaejoong pada selangkangannya.

"Kenapa? Apa aku kurang tampan? Apa aku kurang pintar? Apa aku kurang kaya? Katakan di mana letak keruranganku? " tanya Subie lemas bertubi - tubi. Jelas semua hal di atas sudah dimilikinya. Nyaris sempurna; ia ahli dalam pelajaran sains; salah satu senior yang digandrungi para gadis di sekolah; ayahnya seorang dokter umum dan ia difasilitasi sebuah sepeda motor. Meski kepribadiannya petantang - petenteng. Hanya saja, bukan itu nilai tolak ukur Jaejoong dalam menyeleksi seorang pria untuk dijadikan pacar. Pemikiran Subie terlalu berlebihan. Satu yang pasti, Jaejoong bukan seorang matrealistis yang memandang seorang pria dari sudut pandang kekayaan dan kesempurnaan lahiriah saja.

" Bukan itu faktor penghambatnya "

" Lalu? "

" Aku tidak mau dikekang. Aku masih mau bebas "
"Kau bohong! "
Jaejoong mendesah dalam - dalam, ia sudah patah arang beradu argumen dengan Subie. Ia mengemukakan gagasan seperti apapun jugatetap tidak akan melunakkan Subie yang keras kepala. Sungguh, ini di luar perkiraanya; Subie yang bertindak nekad dan tanpa pikir panjang.

" Aku tahu wajahku tidak sebanding dengan kecantikanmu. Tapi aku yakin kita bisa bersama "

" Tidak. Sudah kutekankan bukan karena fisik atau latar belakang. Apa kau tidak mengerti? " Jaejoong menggigit bibir bawahnya. Jika ia dianugerahi kekuatan sihir, ia ingin melenyapkan dirinya sekarang juga dan melanglang buana entah ke mana rimbanya. Bibir bawahnya bergesekkan dan terjepit sensual oleh deretan gigi susunya. Tak pelak, Subie membasahi kedua bibirnya. Pandangannya meliar, menjarahi beringas setiap inchi bibir mencebil berwarna merah muda itu. Disuguhkan objek seindah di depannya, siapa yang mau menolak.
Detik berikutnya, Subie semakin anarkis. Sedikit lagi, bibirnya akan mendarat mulus di bibir cherry Jaejoong.

Tapi...

BUGH

Sebuah pukulan telak menghantam pipi Subie. Hingga membuatnya tersungkur beberapa meter dan dari pipinya menyimbah cairan segar berwarna merah. Di sana, di sebelah Jaejoong, seorang bocah lelaki bermata kecil -mata yang paling menghanyutkan- mengepalkan kedua telapak tangannya ke samping. Gestur tubuhnya menghasut tatapannya yang memancarkan kemarahan luar biasa. Tatapan berkilat - kilat seolah ingin menghanguskan Park Subie; membakarnya hingga menjadi abu. Jaejoong terhenyak mendapati Yunho; tiba - tiba sudah berada di dekatnya, membaku hantam Subie. Kalau dikilas balik, ini tampak seperti kebetulan yang disengaja. Pertama; Yunho menemukan liontinnya, kedua; mengobati luka pada lututnya dan ketiga; membebaskannya dari jeratan biadab Park Subie. Yunho adalah malaikat pelindungnya, pemikiran klise namun Jaejoong sulit menangkisnya.

" Jangan kurang ajar pada perempuan! " katanya pada Subie dingin, terselip amarah yang mengganjal di intonasi suaranya, membekas luka di masa lalu. Park Subie meringis pelan lalu menjawab dengan tatapan menantang di matanya, " Jung Yunho, apa hakmu mencampuri urusanku? Ini hanya antara aku dan Kim Jaejoong "

" Memang aku tidak berhak mencampuri urusanmu. Tapi asal kau tahu, aku berhak menghentikan perbuatanmu yang melanggar nilai dan norma yang berlaku " omongannya persis ahli hukum.

" Oh yea? "

" Berhenti memprovokasi, bajingan! Kau laknat! "

" Persetan! Aku tidak peduli. Kau mengusikku dan Jaejoong. Memang kau pacarnya Jaejoong? Tingkah premanmu itu seolah kau sedang berusaha melindungi Jaejoong "
tukasnya sambil mengelus pelan pipinya sebab perih menjalar, mimiknya merengek seperti bocah laki - laki yang kalah bertarung dengan teman sepermainannya. Nyalinya sama sekali tidak tergugah. Melawan Jung Yunho secara fisik sama dengan ia menyabung nyawanya sendiri. Pukulan telak Yunho tadi sangat menyakitkan. Padahal ia yakin itu baru pukulan pemamanasan. Sementara itu, emosi Yunho yang sempat meradang perlahan menguap bergantikan segelintir pertanyaan di benaknya. Mengapa ia berada di sini? Mengapa ia merasa terpanggil ketika memergoki pelecehan Subie terhadap Jaejoong? Mengapa ia memukul Park Subie? Padahal ia sama sekali tidak turut campur dalam drama kehidupan Jaejoong. Yunho membisu, ia beralih melihat pada Jaejoong yang masih bergetar, terguncang karena perbuatan tak beradab yang dilakukan Subie. Bahunya naik turun secara berkesinambungan beserta napasnya yang tersengal - sengal. Tanpa skenario, tatapan mata mereka bersirobok untuk kedua kalinya. Jaejoong bertaruh akan meleleh dalam beberapa detik ke depan. Menatap mata Jung Yunho terlalu lama membuatnya terlunta tak bertenaga, diperdaya oleh mantra - mantra di manik mata kecil itu.

" Kenapa diam saja, huh? Memang kau pacarnya Jaejoong? " tuntutnya. Yunho kembali melempar pandangan pada Park Subie.

" Aku bukan pacarnya "

" Gotjimal! (*bohong) "

" Aku juga tidak mengenalnya "

" Huh? " Subie bersuara meledek, " Kau pasti ada rasa pada Jaejoong tapi kau menyangkalnya " Ia menaikkan sebelah alisnya, seakan mengolok - olok kesabaran Yunho. Tidak tinggal diam dan berpangku tangan, Yunho melangkah lebar mendekati posisi terkapar Subie.

" Brengsek! Tutup mulutmu! Jangan memojokkan aku seperti itu terus...atau.. " ia meremas kerah kemaja Subie hingga kusut tanpa ampun, "...kau mati di tanganku ", kecamnya kemudian kembali menghempaskan tubuh itu di timbunan tanah.

Subie tertawa sumbang, persis radio rusak - rusak yang sudah tidak layak diperdengarkan.

" Gertakkan konyol! Tidak akan mempan. Hahaha "

" K-kau! " suhu tubuh Yunho kembali naik drastis. Darah di sekujur tubuhnya seolah berada di puncak titik didih. Tangannya hendak lepas landas lagi ke udara dan mendaratkannya di wajah Subie agar bentuknya semakin tidak karuan. Urat - urat hijau kebiruan di lengannya nampak timbul, terpacu ayunan kencang. Otot - otot halus yang tempo lalu menarik perhatian Jaejoong, ikut membesar seiring kekuatan amarah yang saling berlomba untuk dilampiaskan. Park Subie betul - betul menyulut bara emosinya dan menumpulkan rasa toleransinya. Subie sudah menutup kedua matanya, bersiap merasakan kesakitan.

" Jangaaan! Jangan pukul dia! " pekik Jaejoong. Yunho lekas melihat pada gadis bermata besar serta berambut panjang sebahu itu.

" Wae? " pertama kalinya seorang Jung Yunho mengajak Jaejoong berbicara. Jaejoong menelan ludahnya susah-payah seirama matanya menatap lekat Yunho kemudian beralih pada Subie yang terkapar lemah di tanah.

" Perkelahian tidak menyelesaikan masalah " bijaknya.

" Kau sudah dilecehkan " Yunho bersuara dingin.
Jaejoong membasahi bibirnya sekilas, " Dia belum menyentuhku sejauh itu. Lepaskan dia "

" Kau gila, huh?! "

" Yunho-sshi " mohon Jaejoong.

Yunho menimbang - nimbang permintaan Jaejoong.

" Terserah kau "

-o-

.

.

Jaejoong melengos begitu saja, bergegas mengambil tas punggungnya di kelas. Langit senja semakin memekat, menunjukkan sisi gelapnya di malam hari.
" Kau tidak mengucapkan apapun padaku? " Yunho muncul tiba - tiba dari balik salah satu tiang berbahan dasar lapisan semen dan batu kali.

Gurat wajahnya sangat kaku, tanpa keluwesan ekspresif.

" Apa?! " Jaejoong bertanya ketus setelah membalikkan badannya, memastikan sumber suara lalu menghadap Yunho. Kekesalan masih tersisip di hatinya; kesal karena Yunho menolongnya tiba - tiba untuk ke sekian kalinya dan kesal karena masih mengingat mimik tidak bersahabat Yunho terhadapnya.

" Apakah kau tidak bisa menghargai kebaikan orang lain? "

" Aku berterima kasih padamu tetap saja kau abaikan. Aku malas mengajak patung berbicara " sahut Jaejoong dingin.

" Patung?! Hei, aku manusia. Kau jangan asal bicara! " nada suara Yunho meninggi, arogansinya mulai bergerilya mencuat. Bola mata kecil-namun menembus- itu membelalak menunjukkan ketidaksukaannya atas perkataan Jaejoong. Di lain pihak, Jaejoong sempat tertegun menangkap ekspresi Yunho. Demi Tuhan, itu merupakan pemandangan langka.

" Lalu?! " datar Jaejoong.

" Kau gadis menyebalkan "

" Aku tidak peduli opinimu " Jaejoong akan memutar badan tapi Yunho menahan pergelangan tangannya. Yunho menguasai kendali keadaan. Tubuh mereka saling berhadapan; mata mereka bertubrukan. Hati Jaejoong bergemericik nyaman merespon sentuhan Yunho; hangat, mendebarkan dan ia merasa ini benar.

" Ucapkan terima kasih. Semuanya dimulai dari hal kecil "

" Kau memaksaku, huh?! "

" Apa aku harus menjawabnya? "
Jaejoong mendesah dongkol. Yunho benar - benar menyusahkan dan berego tinggi.

" Baik. Gomawo Yunho-sshi " ucap Jaejoong agak dipaksakan. Yunho mengawasi dengan padangan angkuh, mimik wajah sedinging es dan dahi yang mengkerut halus.

" Kau tidak ikhlas " gumamnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Jaejoong, " Baiklah " putus Yunho.
Ia menghentakkan tangan Jaejoong agak kasar, melepaskan tautan tangan mereka. Kedua tangannya lalu dijejalkan ke dalam saku celana dan ia pergi dari sana sambil bersiul nyaring. Jaejoong terperangah sambil mengamati punggung tegap Yunho yang akhirnya lenyap di tikungan koridor gelap. Yunho seperti teka - teki. Mengungkap jati dirinya serasa seperti menyusuri labirin yang sempit dan panjang.

-¤¤¤ -

.

.

Tubuh Jaejoong menguar harum buah - buahan. Ia telah mandi, membebaskan kepenatannya sepanjang hari ini. Sudah diputuskannya, ia tidak akan membeberkan pelecehan Park Subie terhadapnya kepada ibu dan kedua kakanya. Sangat beresiko, bisa - bisa mereka membawanya ke meja hijau, menempuh jalur hukum dan atau lebih parahnya sang ibu memindahkannya ke asrama khusus perempuan di pedalaman Busan. Oh, itu adalah mimpi buruk. Ia tidak mau memperpanjang masalah tadi. Cukup berdamai dengan hati dan egonya saja, sudah lebih dari cukup dan semua sudah termaafkan. Lantas, ia menuruni tapak tangga menuju lantai bawah. Selintas, Kim Jaeyoo tengah duduk di kursi kayu sambil berkutat membaca buku sastra lama favoritnya. Lembaran menguning dan bau lapuk, bergoreskan hangul - hangul rumit beserta kumpulan majas tempo dulu yang membuat saraf - saraf di otak Jaejoong berbenturan satu sama lain jika membacanya. Kapok dan tidak mau lagi.

" Jaeyoo oppa " sapa Jaejoong santun. Berhadapan dengan Jaeyoo berbanding terbalik ketika bersama Jaein. Di depan Jaeyoo, suasana formal amat kentara. Jaeyoo menutup kembali bukunya sebelum menyelipkan karton kecil berwarna hitam sebagai tanda pengingat.

" Oh, Joongie. Ada apa? " tanya pria yang usianya terpaut delapan tahun dari Jaejoong sambil tersenyum. Wajahnya tampan, senyumannya menghanyutkan. Bisa dibilang ia merupakan Jaejoong versi pria, bedanya; mata Jaeyoo tidak sebesar mata Jaejoong, hidungnya tidak sebangir Jaejoong dan kulitnya kalah putih dari Jaejoong. Meski mereka tidak begitu akrab namun fisik tubuh mereka nyaris mendekati. Sedangkan Jaein cenderung mewariskan ras dari ibu mereka.

" Oppa sudah makan? "

" Sudah. Kau sendiri? "

" Sudah " singkat Jaejoong, kesepuluh jarinya beradu.

" Sudah mengerjakan tugasmu? "

" Umm " ia mengangguk. Hening beberapa saat, otaknya terasa macet saat akan mencari topik pembicaraan.

" Omma menghadiri pesta pernikahan anak kerabatnya malam ini. Tadi sore beliau sudah berangkat. Sementara Jaein pergi ke Jeolla-do, menghadiri acara seminar dari kampusnya " kata Jaeyoo mencairkan suasana. Mungkin ia juga merasakan kecanggungan adik perempuannya.

" Apa? Kenapa Jaein oppa tidak memberitahuku? " kesalnya. Karena biasanya, Jaein akan lebih dulu pamit padanya.

" Seminarnya mendadak. Tadi temannya menghubungi telepon rumah dan setelah mengangkat telepon ia langsung tergesa - gesa mengemasi barang bawaannya " jelas Jaeyoo.

" Ah Jaein oppa tetap menyebalkan. Awas saja kalau nanti pulang ke rumah " kekanakan Jaejoong meletup tiba - tiba, tidak sadar kalau ada Jaeyoo di dekatnya.

" Begitukah? "

" Eh?! "

" Coba, kau ancam oppamu yang satu ini seperti itu " Jaeyoo mengerling jahil pada adiknya. Jaejoong terhenyak, pertama kalinya.

" Oppa " manja Jaejoong, tahu oppanya menggodanya.
Jaeyoo tertawa renyah melihat wajah Jaejoong. Jarang ia berbagi tawa canda hangat bersama Jaejoong seperti saat ini.

" Tidak. Oppa bercanda " Jaeyoo mengelus poni Jaejoong, " Jaejoongie, malam ini kata makan bulggogi " (*bulggogi adalah kuliner khas Korea yang terbuat dari daging sapi yang disayat, dilumuri minyak, dicampur bawang merah dan bawang putih dan dibakar beserta kecap manis).

" Siapa yang mau memasak, oppa? "

" Memasak? Tentu tidak ada, Joongie. Maksud oppa, kita makan di luar. Oppa traktir. Kau mau tidak? "

" Siapa yang mau menolak, oppaku tersayang " Jaejoong mengulas senyum manis.

¤¤¤

.

.

Dua puluh menit berlalu dan mobil VW Kodok berwarna hijau yang mereka tumpangi menepi di dekat kedai terpal pinggir jalan. Lokasinya bertetanggaan dengan semak belukar yang melata semerawut dan kedai makan itu hanya diterangi pendaran lampu putih. Kedai sederhana namun bersih itu cukup ramai, ada sekitar sepuluh orang. Sementara itu, sepanjang jalan sangat gelap, minim suplai penerangan. Jaejoong dan Jaeyo mengambil tempat duduk di dekat tungku pembakaran bulgoggi. Mencari celah kehangatan dari perapian tersebut. Hawa malam ini sangat dingin menusuk tulang. Mantel yang dikenakan Jaejoong tidak begitu mempan, nakalnya udara tetap menguntit setiap inci kulitnya.

" Kau mau minum appa Joongie? "

" Teh hijau hangat saja oppa "
Jaeyoo memanggil seorang pekerja, " Aku pesan dua porsi bulgoggi, semangkuk soondae (* sup sosis) dan dua gelas teh hijau hangat ".

" Nde " sahut pekerja itu.
Selang beberapa menit, pesanan mereka telah datang dan cacing - cacing di perut mereka sudah siap berpesta pora menstimulasi aroma makanan. Jaeyoo memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Rasa lapar memang sudah tidak bisa diajak berkompromi. Jaejoong mulai melahap nasi dan bulgogginya sendiri.

" Oppa, boleh aku minta kuah sup soondaemu? "

" Tentu boleh Joongie, mari oppa tuangkan ke piringmu " Jaeyoo membeceki seperempat piring Jaejoong.

" Gomawo oppa "

" Cheonmane "

Jaejoong bergumam dalam hati, ada baiknya ia dan Jaeyoo ditinggalkan berdua saja di rumah. Membuka kesempatan emas untuk mengakrabkan dirinya dan kakaknya. Salah satunya makan bersama di kedai ini. Terlebih, Jaeyoo sudah memiliki penghasilan sendiri, matang dan mapan. Jadi, Jaejoong tidak perlu merasa tidak enak hati.
Jaejoong terlalu semangat sampai nasi dan saus kecap bulgoggi menjejak di sudut bibirnya.

" Astaga, lihatlah. Adik gadisku makan dengan belepotan. Santai saja, tidak ada anjing yang mengejar "
Jaejoong mengerjapkan matanya tidak mengerti.

" Bibirmu sayang " Jaeyoo mengambil lembut dua butir nasi di sudut bibir Jaejoong dan mengusap noda saus kecap. Sungguh, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang tengah memadu kemesraan.

¤¤¤
.

.

Jaeyoo dan Jaejoong telah siap makan ketika Jaeyoo pamit ke toilet untuk buang air besar. Jaejoong sempat terbahak dan otomatis mendapat toyoran keras dari Jaeyoo. Kini ia terduduk sendiri, merenung tidak jelas.

"Dua kali " Jaejoong nyaris terjungkal dari kursinya kalau kedua tangan itu tidak menahan pinggangnya.

" Kau " desis Jaejoong memandang pria di sebelahnya. Ia kaget bukan main, tidak menyangka bertemu Jung Yunho di tempat ini dan di waktu yang sekarang. Sedikit janggal, Yunho mengenakan pakaian serba hitam hanya kausnya terdapat dua garis warna putih. Topi rajutan warna hitam menimpa kepalanya.

" Apa maksudmu 'dua kali?' " polosnya.

" Dua kali aku memergokimu sedang bersama pacarmu pada hari ini. Cuma yang sekarang tampak lebih dewasa, tampan dan kaya "

" Apa maksudmu? Aku tidak mengerti sedikitpun. Pacarku yang mana? Lalu kenapa kau bisa berada di sini " ketus Jaejoong. Kekesalan kembali memuncak memandang raut dingin dan kaku yang terpancar dari wajah Yunho.

" Memang aku tidak boleh kemari? " timpal Yunho tidak kalah ketus. Dahinya mengkerut, alisnya mengusut dan sebelah sisi bibirnya dinaikkan. Sinis.
" Bukan begitu " Jaejoong menciut takut dan agak gelagapan tapi berusaha membalikkan keadaan, " Jangan - jangan kau memata - mataiku ya? "

" Mwo?! Kau terlalu percaya diri. Aku kemari karena menemani seseorang membeli bulgoggi untuk makan malam kami "

" Seseorang? Siapa? "

" Rahasia "

" Nama yang aneh "

" Tsk " Yunho mengumpati Jaejoong pelan dengan segelintir makian kasar. Jaejoong berpura - pura tidak mendengarkannya.

" Yunho-a ayo kita pulang " suara seorang wanita memecah obrolan aneh mereka. Ya, bisa dibilang begitu. Karena mereka sendiri juga bingung apa yang sedang mereka perbincangkan tadi. Omongan tidak jelas dan tidak berisi. Wanita bertubuh semampai tersebut tidak menanggapi sama sekali ketika Jaejoong membungkukkan punggungnya sekilas lalu tersenyum ramah. Jaejoong menghela napasnya. Orang ini memang tidak melihat bentuk sapaannya atau memang sengaja tidak mau beramah-tamah? Semua yang berhubungan dengan Jung Yunho terasa aneh dan sulit dipahami.

" Ye. Semua pesanannya sudah lengkap aegya? Aku sudah lapar " kata Yunho pada wanita cantik tadi.
Jaejoong tertegun, ' aegya '? Kekasihnya Yunho?

" Sudah, tenang saja. Makanya, mari kita pulang agar kau bisa lekas makan. Cepat " ia melihat sinis pada Jaejoong, " Untuk apa pula berada di sini bersama orang aneh "

" Arraseo "
Wanita tadi pergi lebih dulu dan Yunho menyusul. Sebelum melangkahkan kaki, ia menatap Jaejoong dan tatapan mata mereka lagi - lagi bersirobok syahdu. Yunho menganggukkan kepala perlahan, entah apa maksudnya. Ia berbalik namun suara Jaejoong menghentikannya dan terpaksa ia kembali menoleh.

" Jung Yunho "

" Hm? " intonasi teramat datar.

" Hati - hati di jalan "

Yunho tidak mengucapkan apapun dan bergegas melenggang pergi.

¤¤¤
.

.

" Oppa... "

" Ye? " sahut Jaeyoo sembari fokus mengemudikan laju mobilnya.

" Apa aku gadis menyebalkan? " Jaejoong mengutarakan pertanyaan yang mengganjalnya semenjak tadi.

" Mm? Apa?! Ckckck, kau adikku yang paling manis "

" Tapi di sekolahku ada murid lelaki yang tidak menyukaiku oppa. Aku tidak tahu apa alasannya. Namun aku berani bertaruh kalau aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun padanya " Jaejoong mengadu pada Jaeyoo. Yang ia butuhkan sekarang ini hanya tempat berbagi dan sandaran hati.

" Orang seperti apa yang tidak menyukai adik oppa? " sebelah tangan Jaeyoo mengusap lembut kepala Jaejoong.

" Entahlah. Ia sangat dingin "

" Oh, menurut oppa mungkin perangainya memang seperti itu. Jangan terlalu diambil hati. Mungkin tidak benar dia tidak menyukaimu "

" Ya. Semoga saja " lirih Jaejoong. Kadangkala ia seakan berada di persimpangan memikirkan sikap Yunho. Bocah itu terlihat jelas tidak menyukainya; dingin, ketus dan kaku. Tapi di berbagai kesempatan, Yunho tak luput menolongnya secara terang - terangan. Yunho tidak mau dan belum pernah terseyum untuknya. Padahal setelah pembacaan pidato waktu itu dan di koridor sekolah, ia melihat dengan mata telanjang, Yunho membalas hangat senyuman gadis - gadis yang mengeluk - elukkannya.

¤¤¤
.

.

" Jadi, Jung Yunho yang membacakan pidato beberapa hari lalu cukup populer ya " ujar Jaejoong pada Minyoung setelah menangkap dengar keributan yang diciptakan gadis - gadis di kelasnya. Topik mengenai Jung Yunho sudah menjadi santapan sehari - harinya di sekolah. Sayangnya, ia tidak terlalu tertarik terlibat mengetahui secara menyeluruh tentang bocah lelaki berwajah dan bermata kecil itu.

" Begitulah. Kenapa Jaejoong-a? Kau iri? Suaramu terdengar lesu " Minyoung berkelakar.

" Aish, jangan menggodaku Hwang Minyoung " Jaejoong menyimpan kepalanya di atas meja, " Aku hanya tidak habis pikir mengapa ia bisa menarik perhatian gadis - gadis di sekolah kita " Jaejoong melenguh panjang dalam hati. Yunho ibarat sebutir gula pasir yang disatroni semut - semut rakus. Tidak bisa dipungkiri juga kalau ia adalah salah satu korban konkret daya tarik Yunho. Otot - otot halus yang bersarang di lengan Yunho adalah biang keroknya, menyilang otak Jaejoong dan membuatnya berdecak kagum diam - diam. Bagaimana tidak? Di usia sebelia ini, Yunho sudah memiliki salah satu aset kematangan pria. Sekedar kekaguman sementara, karena ia sudah cukup hilang rasa karena

pemaksaan Yunho waktu itu.

" Kau berlebihan Jaejoong-a. Buktinya aku tidak tertarik " sanggah Minyoung bersungguh - sungguh. Benar pula, jika Minyoung sudah terjatuh dalam pesona seorang pria, ia tidak akan segan melangkah lebih dulu untuk mendapatkan pria itu. Sementara untuk Yunho, tidak ada komentar berarti yang pernah dilontarkannya.

" Emm, aneh juga. Kau benar tidak menyukainya? "
" Wajahnya terlalu kecil untuk ukuran pria. Tapi aku akui ia tampan " Minyoung mengerling penuh arti.

" Jadi? " alis Jaejoong bertaut penasaran. Mencoba menyelami pemikiran Minyoung sama dengan mengurai benang kusut. Gadis berwajah sensual ini gemar membuat orang lain bertanya - tanya liar.

" Di pertimbangan pikiranku yang kedua mungkin aku akan bersikeras mendapatkannya. Hahaha "
Bibir Jaejoong mengerucut, " Aku kira kau serius dengan perkataanmu "

" Hei, aku tidak setega itu meninggalkan pacarku "

" Pacarmu? Senior Yong? "

" Apa aku harus menjawabnya lagi? " Minyoung menggeleng - gelengkan kepalanya. Jaejoong mendengus.

" Hufh "

" Jaejoong, kau menyukai Jung Yunho ya? " tuding Minyoung lalu terkekeh pelang. Puas karena berhasil membuat raut wajah Jaejoong berubah masam. Alhasil, menuai kritik besar - besaran dari Jaejoong. Ia menyikut lengan Minyoung.

" Yah! Apa alasanku untuk menyukainya?! Sama sekali tidak ada alasan yang tepat, bagus dan sejenisnya. Aku masih waras Minyoung-a. Aku tidak mau berpacaran dengan batu. Tidak bisa berekspresi, tidak bisa tersenyum dan irit berbicara "

" Batu? Irit berbicara? Yang aku tahu batu tidak dapat berbicara malah. Kau ini, mengada - ada "

" Aish " Jaejoong mendecak. Baru kali ini ia kalah berdebat dengan Minyoung. Lantas, Minyoung terus mengolah tawanya hingga garis tawa di atas pipinya timbul menjalar. Membuat Jaejoong kesal memang menyenangkan, pikir Minyoung dalam hati. Pemikiran yang sama persis dengan Jaein, kakak Jaejoong yang nomor dua.

" Ngomong - ngomong, selama bersekolah hampir sebulan di sini aku tidak pernah melihat batang hidung Jung Yunho. Sekitar empat hari lalu aku baru melihatnya. Em, ia menemukan liontin emas putihku. Dari situ awal perjumpaan kami " Jaejoong menunjuk liontin bertatakan mata berbentuk hati di lehernya.

" Jinjayo? "
Jaejoong mengangguk pelan, " Perangainya sangat buruk. Pelit bicara, kaku, dingin dan membuat bulu romaku meremang " ingatan Jaejoong melayang pada peristiwa kemarin malam di kedai terpal bulgoggi. Jung Yunho yang misterius semakin menyeramkan dengan pakaian serbahitamnya.

" Setahuku ia baru masuk sekolah lima hari yang lalu. Dengar - dengar, ibunya mengalami kecelakaan lalu lintas dan tewas di tempat. Maka dari itu, Yunho-sshi izin lebih dari tiga minggu. Ia menguburkan jenazah ibunya dan mengikuti serentetan acara berkabung di rumahnya " jelas Minyoung panjang lebar.
Jaejoong termangu, matanya membelalak lebar, " Kau tidak bercanda Minyoung-a? "

" Astaga! Kau pikir aku manusia macam apa?! Tidak mungkin aku tega mengarang tentang kematian ibu orang lain! " sergah Minyoung cepat mengemukakan advokasinya.

" Tapi aku tidak pernah mendengar berita itu "

" Huh? Masa'? " Minyoung mendengus keras, " Makanya, perhatikan lingkungan sekitarmu dan peduli pada orang lain " Minyoung kembali menyerangnya dengan nasihat - nasihat orang tua yang selalu statis dari masa ke masa. Jaejoong hanya mengerucutkan bibirnya. Ia bergumul dengan lamunannya sendiri. Ibu Yunho sudah meninggal dunia? Kalau dihubungkan dengan watak Yunho sekarang, mungkin ada keterkaitan bermakna. Bisa saja Yunho merasa sangat terpukul dan tertekan, tidak bisa menerima kepulangan ibunya ke sisi Yang Maha Kuasa. Sehingga wataknya berubah sangat kaku dan dingin. Kalau ia berada di posisi Yunho pasti ia akan merasakan gejolak kepedihan batin yang sama, atau bahkan lebih parah. Karena ia seorang perempuan yang lebih payah mengendalikan emosinya. Ia tidak bisa membayangkan hari - hari yang akan ia jalani; banjir air mata dan keterpurukan mental. Beruntung, kedua orangtuanya masih utuh. Ayah dan ibunya yang saling melengkapi dan tak jemu - jemunya mencurahkan kasih sayang pada ia dan kakak - kakaknya. Entah kenapa, terpercik rasa iba untuk Yunho dari relung hatinya. Bocah itu tampak baik sebenarnya hanya saja ia kurang cakap mengekspresikan perasaannya.

" Yo! Guru Mael segera tiba. Cepat berbenah! " teriak seorang murid memberi komando. Seluruh murid lekas membenahi posisi duduk mereka yang acak kadut.

¤¤¤

.

.

Yunho membasuh wajahnya di aliran air kran yang mengucur deras. Ia butuh rehat. Ia lelah dan sudah berada di ambang batas. Tidak mau terjerumus ke lubangnya sendiri tapi itu sudah mutlak pilihannya. Rahangnya mengetat keras, urat - urat pada lehernya bermunculan.
" Yunho-a, jangan terlalu kau pikirkan " seorang gadis berparas cantik memeluknya dari belakang.

¤¤¤

.

.

¤ THE GOOD DAWNING
.

¤¤¤

Langit malam semakin menggelap murka. Bunyi petir yang saling sahut menyahut menabuhkan genderangnya kian memekatkan aura menakutkan. Tak pelak, bulir - bulir air mata langit menetes dan membasahi permukaan bumi. Bau khas debu dan tanah menguar sepoi - sepoi akibat guyuran air hujan. Dedaunan bergesekkan berlainan irama seiring angin kencang bertiup maraton tak menentu. Hujan deras melanda lingkup Kota Seoul. Berdiri seorang remaja cantik berpayung atap halte bus. Kim Jaejoong menanti tumpangan bus, namun yang dinantinya tak kunjung datang. Lelah ia menopang dirinya tapi ia tidak boleh menyerah. Karena kalau ia mendudukkan diri pada kursi kayu panjang di belakangnya, maka sosoknya tidak akan nampak oleh supir bus dan dengan santainya si supir tadi melanjutkan laju kemudinya tanpa berhenti. Tidak kurang dari tiga kali ia pernah mencicipi kejadian menyebalkan seperti itu. Jaejoong menggigil kedinginan, hawa dingin yang menusuk tulang dan kulit senang sekali menjahilinya. Jaket rajutan yang dikenakannya tidak mempan sedikitpun, sekedar pemanis tak berfungsi. Sepatu kulit kebanggannya tak ayal ikut menangis karena air hujan mengurangi performanya. Bibir delimanya membiru, wajahnya memucat pasi dan helaian rambutnya tertata berantakan. Jaejoong sangat tidak karuan. Sejauh memandang, ada seseorang berlari tunggang langgang menuju ke arahnya. Tidak terlalu jelas untuk mengenali orang itu. Pandangan Jaejoong merabun terkecoh oleh kabut nakal yang menari - nari di udara. Dalam beberapa detik saja, orang tadi sudah mencapai halte dan berteduh di sebelah Jaejoong.

" Yunho " suara Jaejoong tercekat. Ia mengira ini bunga tidur belaka dan begitu ia mencubit pipinya, ia meringis kesakitan. Bukan mimpi ataupun halusinasi. Bocah di dekatnya sekarang ini ialah Jung Yunho. Ia menjinjing tas sekolahnya. Pakaiannya basah kuyup. Penampilannya acak - acakan, sama seperti Jaejoong. Bedanya, ujung hidung bangir Yunho merona merah.
Tanpa tegur sapa, aneh. Mereka teman satu sekolah, sudah bertatap muka beberapa kali dan bercakap - cakap -walau topik pembicaraan mereka selalu ngawur-. Mungkin akan lain ceritanya kalau hubungan di antara mereka terjalin baik. Atau mereka adalah sepasang kekasih.

" Hatchim " Yunho menoleh tatkala Jaejoong bersin kecil. Ada secercah makna di pancaran mata kecilnya.

" Kim Jaejoong, kau flu? "

" Apa? Aku? " Jaejoong mengerjapkan matanya. Yunho mengajaknya bersua.

" Ya, kau. Memang siapa lagi orang yang bernama Kim Jaejoong di antara kita berdua?! " balasnya dingin.

" Aish. Aku tidak tahu. Mungkin karena aku terkena alergi dingin " Jaejoong mengedikkan kedua bahunya. Ia tidak yakin juga, suhu tubuhnya

"Kenapa baru pulang? " suara Yunho melunak.

" Aku mengikuti ekstrakurikuler memasak di sekolah. Hatchim! " Jaejoong menggosok hidungnya yang agak berair dari dalam, " Kau? Kau dari mana? Kau tidak memakai seragam sekolah ya " imbuh Jaejoong.

" Kau memang flu. Kau pilek " bukannya menjawab, Yunho mengalihkan -mungkin tidak bisa disebut mengalihkan juga- pembicaraan. Entah faktor asa Jaejoong yang terlalu membuncah, tapi raut wajah Yunho menyiratkan kekhawatiran.

" Aku- " pengelakkan Jaejoong terhenti ketika telapak tangan Yunho mendarat di dahinya. Nafasnya tertahan. Kakinya seakan tidak berpijak pada permukaan tanah. Ingin mengedipkan mata tapi seakan lengket. Kehangatan tangan Yunho menyalur kemudian menjalar pada Jaejoong.

" Tubuhmu panas. Kau demam "

" Aku juga merasakannya "

" Lalu kenapa kau bilang alergi dingin?! Kau membohongiku " ketus Yunho.

" Aku tidak ada maksud membohongimu. Mana kutahu tubuhku demam " Jaejoong sebenarnya masih ingin menyanggah tuduhan Yunho namun mendadak kepalanya bergejolak aneh. Pusing menderanya. Ia mengerjapkan matanya pelan - pelan berulang kali, berusaha membuatstabil pandangannya yang mengabur buram.

" Kau kenapa, Kim Jaejoong?! " panik Yunho tanpa sadar.

" Aku tidak tahu. Aku merasa semuanya berputar - putar. Kepalaku sakit " ia memegang pelipisnya. Tubuhnya sempoyongan, bergerak layaknya orang di bawah pengaruh minuman beralkohol. Nyaris ambruk ke tanah jika tubuhnya tidak lengser ke pelukan Yunho. Mengandalkan naluri manusianya, dengan gesit ia menangkap tubuh ramping gadis itu dan meraupnya ke dalam pelukannya. Tangan panjangnya mengelilingi pinggang Jaejoong. Jaejoong terhenyak bercampur kesakitannya. Tanpa jarak, tubuhnya dan Yunho menyatu padu; basahnya tubuh dan pakaian Yunho, nafas hangat yang menyapu kepalanya dan degup nyaman jantung Yunho. Pertamanya sedekat ini dengan pria. Pengecualian untuk kedua kakaknya. Sepatutnya ia berterima kasih pada keadaan sehingga ia bisa merasakan kehangatan salah satu murid lelaki yang digilai gadis - gadis di sekolahnya.
Yunho membimbing Jaejoong duduk pada bangku halte. Dalam posisi menyamping, ia tetap mendekapnya.

" Kau masih sadar, bukan? " tanya Yunho berbisik.
Jaejoong menganggukkan kepalanya yang berada di lekukan leher Yunho. Tenaganya menguap entah ke mana, ia seolah tidak berdaya dan tidak memiliki gairah hidup. Suaranya pun terkurung oleh sakit kepala yang menjangkitnya.

" Seharusnya kau bawa payung dan mantel yang lebih tebal. Bawa juga syalmu. Kau kan tahu, akhir - akhir ini musim hujan tengah mewabah "

" Mmh " gumam Jaejoong, kembali mengangguk menciptakan gesekan pada lekukan leher Yunho. Bibir mencebilnya ikut bergerak, tidak sengaja bersentuhan sekilas pada leher Yunho. Menimbulkan sensasi aneh pada Yunho. Ingin berjengit, tapi segera ditahannya karena malu. Hampir setiap hari mitos bibir Kim Jaejoong, siswi X-3 menjadi buah bibir para bocah lelaki di kelasnya. Ia tidak pernah sekali pun melibatkan diri di dalamnya; bualan tidak berisi yang tidak berguna sama sekali. Tapi mau tidak mau ia akan menangkap dengar ocehan - ocehan tersebut. Dan barusan ia telah merasakannya dalam keadaan sadar. Persis seperti yang diperdebatkan teman - temannya, baik, malah lebih menggila. Sialan, rutuknya dalam hati.

" Yunho-sshi " Jaejoong memanggil namanya serak. Terdengar sensual serta membangkitkan hal tertentu.

" Ya "

" Kenapa kau selalu dingin, selalu ketus dan tidak pernah hangat padaku? Aku berpikir kau membenciku tapi tidak mungkin kukira. Kau selalu menolongku di bermacam situasi yang mengimpitku aku jadi sangsi. Aku tidak mengerti. Kadang ini mungkin akan lebih baik jika kita berteman tapi aku juga tidak tahu " Jaejoong mengoceh berantakan tapi Yunho bisa memahami maksud perkataan Jaejoong. Sungguh, ia tidak mampu membeberkan semuanya. Karena kalau ia melanggar komitmennya sama dengan membunuh dirinya sendiri.

" Jaejoong "

" Mmh "

" Di mana rumahmu? Aku akan membawamu pulang. Keluargamu pasti, emm khawatir "

" Mmh " hanya gumaman, bukan jawaban berarti. Yunho agak menundukkan kepalanya ke bawah, mata Jaejoong telah terpejam rapat seiring nafasnya berpacu teratur. Ia menatap lekat pada wajah polos itu. Cantik sekaligus manis. Yunho tidak bisa menarik kembali pujiannya. Bibir tebal merekah itu agak terbuka, menampakkan dua gigi susunya. Yunho merasa dikendalikan oleh insting prianya kala jari telunjuknya berpindah untuk mengusap bibir bawah Jaejoong. Ia menekan jarinya ketika terhenti di tengah bibir itu. Kenyal dan cukup basah. Segera ia melonjak begitu terlintas sebuah bisikan di benaknya. Ini tidak benar. Sentuhan pipi Jaejoong di lehernya kian menghangat. Kondisi Jaejoong nampaknya semakin memburuk.

" Aku akan membawamu ke rumahku " ujar Yunho ragu. Ia jadi serba salah. Mengantarkan Jaejoong pulang tapi ia tidak tahu alamat rumah Jaejoong, di samping itu ia tidak tega membangunkan Jaejoong. Sinar lampu yang berpijar lurus dari jalan raya menyadarkan Yunho. Bus sudah datang dan ia ingin menuntaskan semuanya.

¤¤¤

.

.

Yunho membaringkan tubuh Jaejoong di atas kursi rotan panjang yang telah dialasinya menggunakan kasur tipis. Yunho menuju dapur lalu kembali lagi beserta sebaskom air es dan handuk putih. Ia menanggalkan mantel Jaejoong secara perlahan dan mematung kaku tatkala ragu harus melakukan apa. Ia mengerang pelan. Di sana, Jaejoong terbujur dengan seragam tipisnya yang basah karena air hujan. Menembus dan tercetak lekuk - lekuk tubuh khas remaja perempuan dan segala sesuatu yang tersembunyi di balik seragam tersebut. Bentuk tubuh ideal dan idaman. Yunho tidak sadar bahwa wajahnya kini memerah padam. Demi Tuhan, ini sangat menyulitkan dirinya. Bagaimanapun, ia bukan jenis pria yang memanfaatkan kesempatan di tengah kesempitan. Walau Jaejoong sedang dalam kondisi tidak sadar, ia masih tahu batasan dan tidak ingin berbuat macam - macam. Jaejoong menggigil di dalam tidurnya, serasa meriang kejang. Sangat dingin. Yunho terkesiap keras seketika menempelkan telapak tangannya pada kening Jaejoong.

" Omona! Panasmu sangat tinggi. Jaejoong-sshi? " Yunho kebakaran jenggot di tempatnya.

" Nggg " gumam Jaejoong lemah.

Yunho membeku patah arang. Sungguh, tidak ada gagasan yang berarti. Ia tidak ingin berperkara akibat kondisi Jaejoong yang nantinya semakin memburuk bila tidak segera ditangani. Jalan pintas ditempuhnya. Lantas, ia membuka kancing seragam Jaejoong satu per satu. Tidak butuh pertimbangan matang - matang, hanya berpikir panjang untuk ke depannya. Sumber segalanya terletak pada seragam yang basah ini. Yunho tercengang beberapa saat dan menelan air liurnya susah payah ketika mendapati suguhan penggoyah iman di depannya. Indah, tanpa cacat dan tampak fiktif.
Lebih sempurna ketimbang tubuh beberapa bintang panas wanita yang pernah ia saksikan dari balik layar kaca. Shit, ayolah.

-

.

.

" Aegya, ayolah " tatapan Yunho memohon kala ia mencoba membujuk seorang gadis cantik bertubuh semampai. Tak pelak, ketika tadi menginjakkan kaki di rumah dan menemukan seorang penghuni asing terkapar tak berdaya di rumahnya, gadis tersebut naik pitam. Rasa itu, kembali menghasut kesakitan hatinya.

" Tidak " desisnya.

" Aegya, jebalyo "

" Aku tidak mau. Bawa dia pulang. Aku tak sudi menampung gadis benalu seperti dia. Aku benci melihat wajahnya yang cantik sok memelas itu

" kata gadis itu ketus. Matanya berkilat - kilat penuh amarah. Seperti ada dendam tersendiri yang tersisip di dadanya. Ia tidak mempermasalahkan siapapun bermalam di kediaman mereka, asalkan bukan gadis bernama Kim Jaejoong.

" Ia deman, Aegya. Apa kau tidak menaruh rasa iba sedikit saja? Di mana peri kemanusiaanmu? "

" Jangan memojokkanku! Kau membelanya ya sekarang? " suaranya naik satu oktaf, sedikit membentak sehingga Yunho terusik.

" Jung Aegie! Kau lancang sekali terhadap kakakmu! " balas Yunho, tidak kalah geram. Ia sudah kehilangan kendalinya juga karena sedari tadi mereka seolah tidak menemukan kesepakatan dari perdebatan mereka yang tidak berujung. Bahu gadis itu naik turun cepat seiring deru nafasnya yang tidak teratur, menahan desakkan amarah. Biasanya, ia selalu sependapat dengan Yunho atau Yunho tidak pernah menolak permintaanya. Tentu, karena ia adik semata wayang kakaknya tercinta, sudah pasti Yunho selalu berusaha mengabulkan keinginannya. Tapi kali ini kenyataan berseru lain. Ini bukan kakaknya.

" Kau kenapa?! Kau tidak memihakku, huh? Kau lebih membela gadis sialan itu?! " Jung Aegie tidak akan menyerah begitu saja. Walau masih menginjak usia remaja, ia berani menentang apapun yang bertolak belakang dengan hatinya secara terang - terangan. Wataknya sama saja, keras seperti Yunho.

" Aku memikirkan keadaannya. Aku mana tega membawanya pulang di tengah hujan deras begini. Tidak ada lagi bus yang beroperasi " Yunho lebih lunak, mengalah.

" Alasan! Jangan - jangan, oppa sengaja menampungnya di sini karena oppa tidak mau berjauhan darinya. Kau menyukainya, huh?! "

" Aku? " ia mendecakkan lidah, " Kau jangan ngawur! Omonganmu sama sekali tidak berdasar! Terserah, aku tetap akan membiarkannya tidur di sini malam ini " Yunho mengalihkan wajahnya ke bangku kayu di sebelahnya. Menatap Jaejoong sekilas yang sedang terlelap dengan baju kebesaran miliknya. Mimiknya seakan tidak berdosa dan tidak terusik dengan perdebatan Yunho dan Aegie. Pipi Yunho menghangat kala ingatannya ketika menukarkan pakaian Jaejoong kembali menyergap. Segera ia menepis pikiran itu.

" Aish! Oppa menyebalkan! " gerutu Aegie sambil menghentak - hentakkan kakinya persis sindrom bocah lima tahun. Ia kalah tapi ia tidak sudimenerimanya. Bagaimanapun, Yunho lebih berkuasa dan berhak atas semua keputusan dibanding ia.

" Aku mengantuk. Kalau kau mendengar ia rewel, temui aku di kamarku. Aku akan mengatasinya " baru beberapa langkah, suara Aegie menghentikannya, ia berbalik " Kenapa kau harus mengatasinya? " tanya Aegie ketus.

" Karena... aku peduli padanya, mungkin. Sedikit "

" Kau gila, oppa! "

" Jangan bicara sembarangan "

" Oppa, aku ingatkan kau. Jangan pernah kau menghancurkan komitmen yang pernah kita buat "
Yunho merasa lidahnya kelu, tidak ada kekuatan membalas perkataan Aegie. Komitmen? Kenapa ia lupa akan hal penting itu?

- o-

.

.

tbc

hahaha
apaan ni? RnR plese ^^ This fic is nothing without you, guys!^^