XiuMin dan Kris bertemu keesokan harinya. Kris tahu cafe tempat XiuMin bekerja setelah bertanya pada LuHan. Dan setelah ia menarik XiuMin yang sempat menolak untuk duduk di salah satu meja di sudut cafe, kini keduanya berhadapan.

Mereka saling menatap, berpandangan tanpa kata. Masih ada yang belum mau angkat bicara. Bibir mereka saling mengatup dalam diam.

"Apa–apa hubunganmu dengan LuHan sebenarnya?"

"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu, Kris."

"MinSeok... maafkan aku." Suara Kris mengembalikan perhatian XiuMin. Ia masih menatap XiuMin. Ada sesuatu di dalam matanya.

"Semudah itukah? Setelah semua yang terjadi?"

"Aku...Aku..." Kris merasa takut dengan kalimatnya sendiri. Ia menolak menatap ke dalam mata XiuMin dan memilih menatap meja di depannya.

"Apa hubunganmu dengan LuHan?" ada yang bergetar dalam pertanyaan tajam XiuMin. Bukan. Bukan ia yang menyebabkan ini semua. Bukan ia yang pergi. Tidak seharusnya ia yang merasakan ketakutan seperti ini. Tapi, menatap mata tajam Kris, membuat bernapas menjadi sangat sulit. Ayolah. Kris! Ini semua salahmu. "Kris?"

"LuHan...dia," Kris terdiam untuk beberapa saat, seperti berat untuk mengatakan sesuatu. Lidah Kris terasa kelu. Ia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Ia tidak bisa mengeluarkan satupun suara dari dalam mulutnya, namun pada akhirnya dia harus mengatakannya, "dia...anakku."

"...anak?" XiuMin merasa ia bisa mati karena mendengar jawaban Kris, saat itu juga. Ia lupa bagaimana cara bernapas. Ia lupa bagaimana harus berpikir.

"Ya. LuHan adalah anakku, MinSeok..."

.

.

.

.

.

.

.

"Jadi," MinSeok menelan gumpalan menyakitkan di lehernya. "—kenyataan inilah yang harus kudapatkan setelah sepuluh tahun berlalu?"

"Maafkan aku, MinSeok."

XiuMin terdiam. Menolak memandang pria di depannya ataupun meja yang menjadi jeda di antara mereka. Dingin yang aneh menelusup pelan di antara mereka—dingin yang tidak berasal dari suhu ruang tempat mereka berada sekarang.

Mata XiuMin memilih memandang YoungJae rekannya yang tengah membalik tulisan di kaca depan coffee shop menjadi 'open'. Pengunjung akan segera datang setelah ini, dan boss-nya pasti akan memasang muka 'ramah'nya mengetahui salah satu barista-nya masih duduk di salah satu meja layaknya pengunjung seperti ini. XiuMin mencoba tak peduli. Sama halnya ia mencoba tidak peduli dengan sosok Kris yang mulai bergerak gelisah di depannya.

"MinSeok, aku—!"

XiuMin memberi isyarat agar Kris menahan kalimatnya. Ia sudah cukup menerima serangan jantung untuk dua hari ini. Kesehatan jantungnya benar-benar terancam.

"Sudahlah, Kris. Setidaknya dengan begini aku bisa memutuskan bagaimana harus melanjutkan hidupku."

"Tapi—!"

"Aku harus ke dalam." XiuMin memundurkan kursinya dan berdiri. Ia membungkuk singkat. "HimChan tidak akan suka jika aku terus-terusan di sini."

"MinSeok, tunggu!"

'PRANG!'

Langkah XiuMin tertahan. Ia berbalik dan menunduk menatap cangkir yang kini pecah menjadi tiga bagian dengan cairan berwarna kelamnya yang kini tertumpah di bawah kaki Kris.

"Ah...ma-maaf." Kris sontak berjongkok. Berusaha mengumpulkan pecahan cangkir. Dua pengunjung pertama di ujung menatap mereka, begitu juga pemuda dengan name tag Moon JongUp yang berdiri di balik meja kasir. YoungJae dan DaeHyun yang tengah memegang pel juga berdiri bisu. "Aku akan menggantinya."

"Tidak perlu," ucap MinSeok dingin. Ia tahu DaeHyun akan membersihkan kekacauan ini nanti. "Kau hanya perlu minta maaf pada cangkir itu."

Kris mendongak menatap XiuMin tak mengerti. Ia berpikir lelaki itu tengah bercanda. Meminta maaf pada cangkir? Yang benar saja. Tapi, wajah XiuMin terlalu serius.

"Apa...maksudmu?"

"Lakukan saja."

Kris merasa ia menjadi orang yang paling bodoh di dunia ketika ia akhirnya menunduk dan menatap pecahan cangkir di tangannya. "Maaf."

XiuMin masih terdiam. Pun ketika Kris menahan napas. Ia tahu ini belum cukup. Ia tidak mengerti apa maksud XiuMin dengan menyuruhnya melakukan hal bodoh seperti ini. Tapi, kali ini Kris mencoba mengalah dan kembali meminta maaf pada porselen yang rusak di tangannya. "Maafkan aku telah membuatmu pecah."

Hening. Kris lelah menunggu.

"Kau lihat?" XiuMin akhirnya bersuara. Dingin.

Kris masih berjongkok dan menunduk. Ia mencoba mendengarkan kata-kata XiuMin selanjutnya.

"Apakah kata 'maaf'mu lantas membuat cangkir itu kembali utuh?"

Pria bersurai dirty blonde itu membatu.

.

.

.

.

.

.

Seoul tengah berada di dalam pertengahan halaman dari lembaran musim yang buruk. Hujan tak pernah berhenti mengeroyok bumi, tiap pagi hingga sore, dan terkadang berlanjut hingga malam hari. Atau datang tanpa bisa diprediksi membuat manusia yang masih mendetakkan jantung mereka di bumi mengeluh dalam cuaca seperti ini.

Para peramal cuaca pun seolah tak bisa lagi dipercaya, melihat berkali-kali melesetnya tebakan cuaca hari-hari ini. Seperti saat ini, peramal cuaca semalam mengatakan bahwa hari ini akan cerah. Dan kata-kata dari pria berjas rapi dengan kacamata di balik layar televisi itu memang nyaris benar. Nyaris, karena pada kenyataannya monokrom biru langit hanya bertahan hingga jarum jam berada di angka sebelas. Setelahnya, hidrogen dioksida kembali mengeroyok bumi memaksa manusia berlari untuk menghindari likuid yang langit tumpahkan.

Dan XiuMin berkali-kali menahan dirinya agar tidak mengumpat, karena ia kini terjebak di depan sebuah toko besar. Setelah kedatangan Kris tadi pagi, HimChan menghukumnya dengan menyuruh satu-satunya barista coffee shop itu untuk pergi berbelanja. XiuMin yang pergi saat cuaca masih cerah tadi tidak berpikir untuk membawa payung sehingga sekarang ia benar-benar terjebak.

Sebenarnya, ia bisa saja memanggil taksi untuk kembali ke coffee shop, tapi entah kenapa ia merasa bahwa ia harus sedikit menghukum HimChan atas keputusannya yang menurutnya tidak tepat ini.

Bagaimana tidak? XiuMin adalah satu-satunya barista di coffee shop yang walau berukuran kecil tapi selalu ramai itu dan HimChan telah berpikir sangat cerdas dengan menyuruhnya pergi belanja sebagai hukuman.

XiuMin tidak yakin siapa yang akan menggantikannya.

Mungkin Bang YongGuk bisa menggantikannya, tapi sesaat kemudian ia sadar jika YongGuk adalah bartender yang lebih suka mencampur wine daripada menyeduh kopi.

JongIn, ChanYeol, atau JunHong? Tidak mereka sudah lelah dengan pekerjaan mereka di bar. Jika karena tidak sangat terpaksa dan untuk menghindari aegyo HimChan, tiga anak itu tidak akan mau menginjakkan kaki mereka di coffee shop. Lagipula, mereka harus lebih menjaga image mereka. Satu-satunya harapan HimChan hanyalah Byun BaekHyun, pemuda berwajah cantik dan menyenangkan, rekan XiuMin yang bertugas sebagai koki.

Well, di balik coffee shop milik Himchan memang terbangun sebuah bar—yang juga milik HimChan.

Bang YongGuk yang XiuMin curigai adalah kekasih HimChan bekerja sebagai bartender di bar, sementara Kim JongIn dan Choi JunHong adalah dua pub dancer dengan stage name 'Kai' dan 'Zelo'. Park ChanYeol sendiri adalah DJ. Dan ketiganya sudah terlalu lelah bekerja saat malam, sehingga tidak mungkin untuk membantu coffee shop keesokan harinya. Dan ya, Byun BaekHyun-lah satu-satunya teman kerja XiuMin di dapur.

XiuMin juga ingat jika pertemuan pertamanya dengan LuHan adalah di bar. Saat itu, XiuMin terpaksa mengikuti rayuan BaekHyun—yang juga XiuMin duga menjalin hubungan tidak sehat dengan sang DJ, Park ChanYeol untuk pergi ke bar. XiuMin tak menolak, toh usianya sudah cukup dewasa untuk masuk ke bar dan mencoba cairan fermentasi yang ada di dalamnya. Dan saat itulah ia melihat pemuda yang tengah duduk di sudut, pemuda yang wajahnya belum cukup usia untuk berada di dalam ruangan pengap itu.

"Gege..."

Sebuah suara terdengar di telinga XiuMin, suara yang diikuti tarikan di sisi mantelnya.

"Gege!" Suara yang mencoba bersaing dengan melodi hujan itu menyadarkan XiuMin. Ia menoleh dan memandang ke sisinya, sisi bawahnya. Matanya menemukan sosok lelaki kecil berwajah manis. Topi wool berwarna cokelat susu menutupi surai tembaga gelapnya, syal yang sewarna dengan topinya mengikat lehernya, nyaris menutupi mulutnya. Di tangannya yang terbungkus sarung tangan, ia menggenggam payung besar. Bocah laki-laki dengan pipi memerah itu manis. Xiumin tebak usianya berada di antara sembilan atau sepuluh.

"Ada apa?"

"Ayo antarkan aku ke halte dan aku akan meminjamimu payung."

Netra XiuMin membulat. Berani sekali bocah kecil ini menawarkan dengan nada memerintah seperti ini.

"Tapi, aku membawa banyak barang." XiuMin menggoyangkan kantung belanja yang kini memenuhi dua tangannya. Ia benar-benar tidak tahu sejak kapan bocah ini ada di sisinya. "Payung itu tidak cukup lebar untuk melindungi kita dari hujan."

"Kau bisa menggendongku." Bocah itu bersikeras. "Dan aku akan membawa barangmu."

XiuMin memandang bocah itu dengan raut bertanya. Tapi, sesaat kemudian ia mengerti maksud bocah itu.

.

.

.

.

.

Hujan masih menyisakan rintik yang belum benar-benar berhenti. XiuMin berjalan dengan bocah manis yang berada di punggungnya. Bocah itu membawa belanjaan XiuMin di tangannya yang tengah melingkari leher XiuMin. Sementara tangan Xiumin memegang payung dan menahan bocah itu. Ternyata bocah itu benar-benar cerdas untuk memikirkan cara seperti itu.

"Jadi, siapa namamu?"

"Jeno."

"Jeno?"

Bocah itu mengangguk.

"Namaku XiuMin. Lalu kenapa kau memintaku untuk mengantarkanmu ke halte terdekat?"

"Aku pikir gege sebenarnya buru-buru. Dan aku kasihan."

"Sok tahu." Keduanya tertawa.

"Tapi, aku pintar bukan? Gege hanya perlu mengantarkanku ke halte dan aku akan meminjamkan payungku padamu."

"Ya, kau pintar," puji XiuMin samar. Gelombang longitudinal tercipta saat kedsnya tak sengaja menapak di atas genangan air.

"Gege, berhenti."

"Ada apa?"

"Kita sudah sampai."

XiuMin mengangkat wajahnya dan menemukan satu halte yang terbangun permanen di depannya. Halte ini adalah halte terdekat dengan coffee shop tempatnya bekerja.

"Kau yakin ingin naik bus sendiri?" tanya XiuMin ketika akhirnya ia menurunkan bocah itu di dalam halte yang sepi. Jeno mengangguk.

"Aku sudah sering naik bus sendiri."

"Baiklah." XiuMin tersenyum. "Oya, coffee shop-ku berada di ujung sana. Aku akan menunggumu di sini besok untuk mengembalikan payungmu."

"Terima kasih, XiuMin-ge."

"Aku yang seharusnya berterimakasih."

.

.

.

.

.

.

"Aku pulang dulu," pamit XiuMin pada DaeHyun yang masih membersihkan meja kasir, di sisinya YoungJae menunggunya dengan sedikit tidak sabar. Dua pemuda itu mengangguk kompak. "Selamat malam."

XiuMin mengayunkan kakinya keluar dari pintu keluar-masuk coffee shop-nya dan berada di pertengahan anak tangga ketika netranya menangkap sosok yang berdiri dengan memunggunginya tepat di depan coffee shop. Tanpa melihat wajahnya XiuMin tahu jika sosok itu adalah LuHan.

"Lu?"

Pemuda yang ternyata memang LuHan itu menoleh. "Baozi!" Wajahnya cerah ketika menemukan XiuMin yang kini berada di belakangnya.

"Apa yang kaulakukan di sini?" sambut XiuMin dingin dan itu langsung memudarkan goresan senyum di wajah tampan pemuda berusia tujuh belas tahun itu.

"Aku menjemputmu seperti biasa." LuHan berusaha mati-matian menjaga agar suaranya tetap tenang. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan XiuMin sejak XiuMin bertemu dengan ayahnya.

"Lebih baik kau berhenti melakukan hal bodoh ini, Lu." XiuMin mulai melangkah, meninggalkan LuHan yang setengah berlari mengejarnya, berusaha untuk menjajari langkahnya. "Setiap pagi kau harus sekolah tapi malamnya kau malah sibuk menjemputku."

"Aku tidak peduli," jawab LuHan cuek. Ia meletakkan tangannya di belakang kepala. "Kau terlalu penting bagiku."

"LuHan!" XiuMin berhenti, oktafnya meninggi dan hal itu juga membuat LuHan terkejut. Mata rusa pemuda itu menatap XiuMin bertanya. "Berhentilah mengurusku dan mulailah mengurus dirimu sendiri!"

"A-apa maksudmu, Baozi?"

"Urus dirimu sendiri dan panggil aku dengan benar mulai sekarang," ucap XiuMin tegas. Wajah bulat itu merona oleh kesal dan amarah. "Aku sepuluh tahun lebih tua darimu."

LuHan terdiam. Ia tak mengira jika pertemuan ayahnya dengan XiuMin akan berbuntut seperti ini. Apakah Kris telah melarang XiuMin untuk berhubungan dengan LuHan? Tapi, kenapa? Apakah karena mereka sesama pria?

Tidak. Satu-satunya yang LuHan suka dari Kris adalah karena sosok yang berstatus sebagai ayahnya itu tidak peduli dengan orientasi anaknya. Lalu, apa? Apa karena XiuMin terlalu tua untuk LuHan?

Atau karena hal yang lain? Hal lain yang disembunyikan keduanya? Yang tidak diketahui LuHan. Tapi, apa?

"Bao—XiuMin-ge..." panggil LuHan hati-hati pada sosok yang kini berdiri di depannya. Xiumin bergeming. "Ada apa sebenarnya? Apa yang Kr—Appa katakan padamu?"

XiuMin belum menjawab. Bus berhenti di depannya. XiuMin melangkah, mulai memasuki pintu bus yang terbuka.

"Jangan temui aku lagi setelah ini, LuHan." Pintu bus menutup pelan dan mulai bergerak membawa XiuMin pergi di depan hidung LuHan.

Pandangan kosong LuHan menatap bus yang bergerak semakin cepat.

"SIAL!"

.

.

.

.

.

.

Apartemen XiuMin terletak di lantai dua puluh satu. Ia tidak sendirian menempati kamar luas itu. Masih ada tiga orang lainnya yang tinggal bersamanya.

Sosok pertama adalah pemuda Cina bernama Zhang Yixing, yang lebih dikenal sebagai dokter Lay. Yixing bekerja sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit kecil di Seoul. Pria yang setahun di bawah XiuMin itu adalah pemuda yang menyenangkan. Walau ia terlihat sebagai orang yang paling beruntung di antara yang lainnya, tapi ia tetap ramah.

Pemuda ke dua adalah Do KyungSoo. Ia bekerja sebagai koki di restoran yang terletak di sisi tempat Kim JongDae, kekasihnya bekerja. Kim JongDae bekerja sebagai pengacara.

Tentang bagaimana JongDae—yang sering memaksa dipanggil 'Chen'—bisa berpacaran dengan Kyungsoo itu masih misterius. Mereka sangat berbeda. JongDae adalah pemuda yang jahil walau tidak cukup hiperaktif dan senang dengan lelucon, sedangkan KyungSoo sendiri cukup pendiam.

Kini keempatnya tengah menghadapi meja makan. Bisa makan malam bersama adalah hal yang jarang untuk mereka akhir-akhir ini.

JongDae berkali-kali mendesak agar XiuMin bercerita kenapa wajahnya terlihat begitu murung. Yixing mencoba menyelamatkannya dengan sesekali mengelus pundaknya agar XiuMin tak terpengaruh desakan JongDae, sementara KyungSoo berkali-kali menginjak kaki JongDae.

Pada akhirnya, XiuMin melempar padangan terima kasih kepada Yixing dan JongDae mendengus keras. Ia mencoba bersikap perhatian agar XiuMin mau terbuka dan menceritakan masalahnya, tapi Yixing menggagalkannya.

"Kenapa kau tidak pacaran dengan XiuMin-ge saja, Lay-ge? Kalian cocok dan kau juga begitu perhatian dengannya," sindir JongDae sarkastis, antara memuji dan mencela.

Tangan Yixing yang berada di bahu XiuMin terangkat. Mata pemuda Cina itu membola. Terkejut dengan kata-kata JongDae barusan. "A-aku straight."

"Eh?" Kali ini KyungSoo yang tengah menyendok kimchi menghentikan gerakannya. Ia mengangkat wajahnya dan menatap XiuMin. Suasana menjadi benar-benar canggung. Ya, di antara mereka berempat memang hanya Yixing yang merasa dirinya straight—hanya merasa, karena sampai sekarang pun ia tidak pernah membawa wanita pulang atau terlihat dekat dengan seorang wanita.

"Ah...maaf aku tidak bermaksud."

XiuMin tersenyum maklum. "Tidak apa-apa."

Tangannya bergerak untuk meraih mangkuk kimchi ketika mendadak terdengar suara bel dari luar.

Ke empatnya saling berpandangan. Xiumin mengalah. "Biar aku saja."

Pemuda itu meletakkan sumpitnya sebelum menarik kursi makannya mundur dan berdiri untuk melihat tamu mereka.

.

.

.

.

.

"Kris?"

"LuHan kabur."

XiuMin terkesiap, tapi tak bertanya sekali lagi. "Aku ambil mantel dulu." Ia segera kembali ke dalam dan meraih mantel sewarna kayu oak di gantungan terdekat. XiuMin keluar dari apartemennya dengan berusaha mengabaikan pandangan bertanya Yixing dan KyungSoo serta teriakan JongDae.

.

.

.

Satu menit di lift menjadi suasana yang sangat tidak menyenangkan bagi XiuMin. Ia mengutuk sosok JongDae dalam hati, mengutuk sosoknya yang memilih kamar di lantai paling atas. Hingga kini ia merasa terjebak dalam waktu semenit yang bisa membunuh bersama Kris Wu.

Jantung XiuMin berdetak terlalu cepat dan ia berani bertaruh itu lebih karena sosok yang kini tengah berdiri di sampingnya dan bukannya sosok Luhan yang kabur meninggalkan rumah.

Jika saja boleh jujur, XiuMin tidak terlalu khawatir dengan LuHan. Ayolah, dia bukan anak kecil lagi. Lelaki tujuh belas tahun yang belum pulang ke rumah hanya untuk semalam itu wajar.

Tapi, XiuMin merasa aneh di sudut hatinya.

XiuMin merasa harus melompat dari lift saat itu juga karena ia merasa ternyata Kris benar-benar telah tumbuh menjadi seorang ayah yang baik—terlalu baik karena ia terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan LuHan.

Mungkin hal ini jugalah yang membuatnya meninggalkan MinSeok dulu.

Membuat hubungan mereka tidak jalan. Lagipula Kris sudah bersikap sangat kebapakan dan ia hanya perlu satu orang yang bersikap keibuan. Hubungannya dengan XiuMin akan membuatnya tidak nyaman. Kris tidak perlu ada dua orang yang bersikap kebapakan.

"Cih!" XiuMin mendecih. Ia menyadari jika menjadi bottom dan bisa memasak tidak lantas bisa membuatnya mendadak menjadi seorang wanita—menggantikan peran seorang wanita.

"Kau tidak apa-apa?" Kris menyadari wajah masam pemuda di sisinya dan menoleh.

"Apa maksudmu?"

Kris tak menjawab.

Lift berhenti. Mereka telah tiba di lantai dasar. Dan keduanya lagi-lagi melanjutkan perjalanan untuk keluar apartemen dalam diam.

.

.

.

.

.

.

"Kris!" XiuMin mencoba memanggil pria yang tengah berjalan tergesa di depannya. Kris tak mendengar. "Kris! Wu YiFan!"

"Apa?" Kris berhenti. Ia menoleh ke arah XiuMin yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

"Kau sudah memutuskan ingin mencari LuHan di mana?"

Kris menggeleng.

"Bodoh." XiuMin tidak bisa menahan diri untuk tidak mendecihkan komentar sarkastis. "Kebodohanmu ternyata tidak berubah."

Kris menelengkan kepalanya tidak mengerti. Tapi, ketika obsidian kembarnya menatap punggung lelaki yang kini berjalan di depannya, lengkung senyum terpahat kecil di sudut bibirnya. Perasaan tak wajar kembali menelusup samar.

"Kita mau mencari LuHan di mana?"

"Di suatu tempat yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya."

XiuMin melempar isyarat agar Kris diam dan pria berambut pirang itu menyetujuinya. Kris merasa jika mereka menuju ke arah coffee shop tempat MinSeok bekerja. Apakah LuHan bersembunyi di coffee shop? Merasa bahwa XiuMin tidak akan menjawab pertanyaan bodohnya itu, Kris memilih diam.

Langkah mereka terdengar seirama saat menapak di atas aspal beku di bawah mereka. Jalanan begitu lengang. Tak ada suara serangga malam. XiuMin yang menolak untuk berbicara lebih jauh menyempurnakan kebekuan di antara mereka. Saat itulah, Kris merasa harus berterimakasih kepada suara sepatu mereka. Setidaknya keheningan tidak benar-benar menemani mereka.

"Tunggu, Kris."

XiuMin berhenti dengan mendadak, membuat Kris yang berjalan di belakangnya nyaris menubruk tubuh mungil lelaki itu.

"Ada apa?"

XiuMin tak menjawab. Ia kembali mempercepat jalannya dan setengah berlari menuju halte yang berada di dekat coffee shop-nya tempatnya bekerja. Seseorang tengah berada di sana. Sendirian.

"Jeno-ya?" XiuMin memanggil sosok bocah lelaki yang kini duduk di dalam halte.

Bocah itu mengangkat wajahnya. Matanya menemukan netra hitam XiuMin. "XiuMin-ge?"

"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara serak Kris terdengar begitu ia sudah berhasil mengejar langkah XiuMin.

Mata Jeno melebar begitu melihat sosok Kris yang berdiri di samping XiuMin. "Dad?"

"Eh?"

"A-aku mau mencari LuHan-ge," jawab Jeno gugup.

Kris tersenyum lembut. Mengabaikan XiuMin yang mendadak menjadi manekin, ia berjalan mendekat ke arah Jeno. Berjongkok di depan bocah itu dan mengelus surai gelapnya dengan sayang. "Kita cari LuHan-ge bersama-sama, okay?"

Bocah berusia sembilan tahun itu mengangguk sebelum kembali mengalihkan binernya pada XiuMin dan mengajukan pertanyaan polos yang membuat XiuMin semakin membatu. Ia tidak tahu harus menangis atau tertawa melihat kenyataan lain yang kembali terbuka di depannya.

"XiuMin-ge, kenapa kau bisa bersama daddy-ku?"

.

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG...

NOTE[!]: Kris: 30 years old. LuHan: 17 years old. Jeno: 9 years old. MinSeok: 27 years old.

A/N: Sebelumnya, aku minta maaf karena kalau berdasarkan vote seharusnya aku melanjutkan Luminude yang jelas-jelas menang vote. ._.)v Tapi, ide untuk chappie dua fiksi ini muncul begitu saja dan sebelum lupa, maka aku langsung lanjutkan fiksi ini dulu. Maaf, sekali lagi maafkan aku. QAQ Btw, aku pas nulis bagian akhir itu ngakak lho. :lol *info penting*

P.S: Oya, note tentang usia itu semoga membuat readers bisa menebak apa hubungan sebenarnya dari KrisXiuHanJeno, tapi kalau belum, next chappie bakal ada penjelasannya kok. :)

P.S.S: Jeno itu member SM Rookies.