Halo guys~

Saya balik dengan cerita baru, yah, bener-bener nih. Baru pertama kali bikin ff yang keluar dari setting cerita asli. Tapi tolong baca dulu ya! ;D

Pokoknya baca, review, baca, review, baca, review, baca *bacok. Oke semua saya sebelumnya berterimakasih pada kalian yang mau baca ff karyaku, pokoknya kalian the best lah. Ini baru permulaan, kayaknya updatenya nggak akan lama-lama kok, kalau ada repon positif dari kalian pasti saya bakal update terus. Oke makasih semua!

Enjoy


Suara benturan keras membuat alunan suara lonceng raksasa itu terdengar sampai ke penjuru sekolah tua. Hujan deras sukses meredam sedikit gema dari suara lonceng. Langit telah berubah gelap dan kelam, di tambah hujan deras menjadikan malam ini lebih gelap dari biasanya. Angin berhembus kencang hanya sekejap, tapi berhasil membuat Gray Fullbuster merinding sedikit walau dia sedang berada dalam permainan panas. Padahal dia sengaja berada dalam ruangan yang paling sumpek sebagai tindakan pencegahan agar orang tak melihatnya. Tapi kemudian dia merasa menyesal karena gadis di bawahnya tidak bisa diam, bergerak terus-terusan hingga menimbulkan kardus-kardus berjatuhan dan malah membuat suara gaduh.

"Berhentilah bergerak berlebihan, Juvia," desis Gray.

Tapi gadis itu seperti menutup kedua telinganya, dia hanya fokus untuk merasakan setiap gerakan yang Gray tekankan padanya. Sebenarnya Gray agak pusing kalau mendengar teriakan wanita dalam keadaan begini. Tapi dia sudah hampir mendapat puncaknya, jadi apa pedulilah. Gray menahan bahu Juvia agar tak bergerak lebih dari ini, dan dalam satu hentakan kuat, Gray berhasil mencapai klimaks. Dalam sisa-sisa napasnya, mendadak dia teringat sesuatu. Gray menatap arlojinya. Matanya mendelik.

"Kau punya waktu 10 detik untuk mengakhirinya," kata Gray.

"T-tunggu, Gray! Biarkan aku–––"

"5 detik."

Gray mempercepat gerakannya, dia hanya kasihan pada Juvia. Dan benar dalam 5 detik semua diakhiri dengan jeritan Juvia yang melebihi frekuensi normal.

Hujan bertambah deras disertai petir yang menyambar-nyambar. Ketika Gray sibuk memakai kembali celananya, telinganya menangkap suara gesekan yang jauh dari tempatnya. Gray mengusap keringat di dahinya, kemudian mengancingkan satu-persatu kemejanya. Dia bisa telat.

"Gray jangan pergi dulu, bagaimana kalau antarkan aku kembali?" rengek Juvia sambil memeluk Gray dari belakang.

"Gunakan kakimu, baby."

Gray menenteng santai ransel kulitnya, dia segera beranjak dari gudang berdebu itu. Baru dia sampai pintu, dia menoleh sebentar dan melihat Juvia sedang bersusah payah memakai celana dalamnya dengan banyak gerakan menggoda (dia sengaja melakukannya). Gray menelan ludah, seandainya dia bisa bermain lebih lama lagi, Gray sungguh menginginkannya. Tapi sayang, bertemu dengan teman-temannya jauh lebih penting dari sekedar seks.

"Jangan lupa sumpahmu untuk tidak bicara apapun pada teman-temanku," ucap Gray sambil membuka pintu.

Juvia memandangnya jengkel, "Okee," jawabnya sekedar menjawab.

"Jangan pernah lupa–––"

Juvia membuka kedua kakinya lebar-lebar, menggodanya agar diam.

"Lupakan, pulanglah ke asrama."


Lucy Heartfillia berjalan cepat sampai dia hampir terpeleset di koridor utama. Padalah lantainya terbuat dari batu abad 70-an. Lucy agak jengkel karena seragamnya sedikit basah terkena hujan deras yang mengguyur sekolah. Dia menghela napas panjang, sebenarnya dia capek sekali hari ini. Dia bahkan tidak sempat mengganti seragamnya karena baru pulang jam 8 tadi. Setengah jam berbaring dengan mimpi terputus karena di kejutkan oleh sms dari Erza bahwa hari ini mereka harus berkumpul. Lucy memutar-mutar bahunya yang kaku, dia memandang malas ke arah hujan yang turun tiada henti.

Koridor paling tua di sekolah ini menghubungkan bangunan sekolah dengan taman belakang yang jika di teruskan menuju asrama para guru. Barulah di belakangnya berdiri kokoh bangunan asrama perempuan yang sedang dalam tahap renovasi. Sedangkan asrama laki-laki jauh berada di belakang tempat-tempat olahraga.

Lucy memutar bola matanya mengingat betapa jauhnya dia harus berjalan ke bangunan sekolah utama yang berupa kastil tua ini. Sepanjang koridor terbuka dengan kanan kiri halaman rumput dan batu marmer tertata rapi membentuk pola-pola nasrani. Tak hanya itu, sekolah ini begitu berlebihan dengan menempatkan patung-patung retak petinggi-petinggi nasrani dan bagian terbaiknya adalah berdiri sebuah salib besar terbuat dari obsidian berdiri di belakang kastil. Banyak anak-anak mengabaikan fakta bahwa salib itu mengeluarkan bau wangi menyerebak yang kabarnya adalah kekuatan agama mengeluarkan wangi yang menenangkan. Kenyataanya banyak orang hampir tersekat dan mendapat gangguan pernapasan karena minyak wangi super 'agama' itu terus-terusan di sihir oleh kepala sekolah supaya otomatis mengeluarkan bau wangi sepanjang waktu, nonstop.

Lucy teringat ketika dia di tingkat pertama dan lari terbirit-birit karena takut ada hantu gentayangan wangi di salib itu. Lucy tersenyum mengingatnya.

"Kenapa cengar-cengir sendiri?"

"Ya ampun!" seru Lucy hingga terlonjak menbrak tembok di belakangnya.

Dia berdecak pinggang, "Kau menyebalkan, kau tahu itu. Selalu datang tanpa suara," protes Lucy.

Gray terkekeh pelan, "Reaksimu yang berlebihan, awas belakangmu hantu."

"Ha-ha. Siapa yang dulu berlari naked karena Natsu menakut-nakutimu dengan hantu kepala putus?"

Wajah Gray merona, "Hei! Kau juga takut waktu itu!" seru Gray salah tingkah. Dia selalu saja begitu kalau malu, lucu sekali.

"Yeah, tentu aku takut karena Natsu memakai darah beneran. Tapi sayangnya aku tidak sempat berlari hanya dengan menggunakan celana dalam sepanjang asrama seperti kau, Gray~."

"Bar-bar."

Lucy tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Gray berwajah malu layaknya anak kecil ingusan.

"Hahaha, ayolah aku cuma bercanda," kata Lucy akhirnya. Tapi Gray tampak masih marah dan berbalik meninggalkan Lucy.

Lucy tersenyum, kemudian merangkul lengan Gray senang. Gray menunduk untuk melihatnya sebentar, Lucy membentuk tanda peace dengan tangan kanannya. Gray mendengus sambil tersenyum, kemudian mereka meneruskan berjalan melewati koridor yang sedingin es ini.

Mereka tiba di aula utama, satu-satunyaruangan yang teramat kasihan karena tidak memiliki fasilitas listrik. Hanya ada berjejer obor-obor temaram yang menjadi satu-satunya penerang ketika malam hari di sini. Lucy tidak habis pikir kenapa kepala sekolah mereka itu pelit atau memang kolot. Dia sangat berteguh pada prinsip bahwa keaslian adalah yang terbaik. Jadi dia sama sekali tak merubah bentuk dari aula ini.

"Jangan bengong."

Lucy menoleh dan melihat Gray sudah 5 langkah mendahuluinya, dia segera melangkahkan kakinya menyamai Gray. Mereka melewati kelas-kelas yang sudah gelap, sampai akhirnya mereka menaiki tangga menara tertinggi di sekolah ini. Lucy sebenarnya jengah untuk menaiki tangga berlumut ini, apalagi malam ini hujan deras. Dia merasa seperti memasuki automatic car wash. Tubuhnya nyaris basah semua sekarang.

"Lucy~!"

Lucy berusaha melihat dengan jelas di antara percikan-percikan air yang menghujaninya dari kanan kirinya. Dia melihat Natsu melambaikan tangannya semangat, dalam keadaan kering dan itu sedikit menyakitkan melihatnya. Dia nyaris terpeleset, dan untung saja Natsu sudah memeganginya sambil nyengir. Lucy tersenyum, dia menaiki anak tangga terakhir dan sampailah pada sebuah teras puncak menara yang hanya tertutupi atap melengkung.

Dia seperti berdiri menantang badai.

"Apa kita harus bertemu disini?" Tanya Lucy protes.

Erza mengangguk bangga, walau fakta bahwa angin kencang baru saja menyingkap dress-nya, dia selalu punya pendirian yang menyebalkan. Lucy memutar bola matanya, disana sudah ada Erza, Natsu, dan Wendy.

"Kenapa kau datang bersama kepala es?" sindir Natsu sambil merengut.

Gray menepuk-nepuk bahu Natsu, "Kau lupa istilah bahwa setiap lelaki tampan pasti ada cewek mengikuti? Itu mutlak lho," kata Gray meremehkan.

Dan seperti biasa lagi, mereka bertengkar sampai saling pukul dan gigit.

Lucy harus berteriak-teriak untuk berbicara dengan Erza karena suara derasnya hujan meredam nyaris semua suara yang mereka keluarkan. Dia hampir menyerah ketika tiba-tiba petir menyambar tepat di depan mereka, begitu keras sampai Wendy memeluk lengan Lucy tiba-tiba.

Lucy tak perlu berkata apapun pada Erza, yang jelas dia tahu sendiri bahwa tidak mungkin bertahan lebih lama sambil makan cemilan santai di atas sini. Jadi mereka memutuskan menyerah dan turun dari menara. Sayang juga sebenarnya, karena setiap mereka membicarakan sesuatu yang penting, mereka selalu akan berkumpul di menara tertinggi. Selain alasan bahwa menara itu sudah tak terpakai dan jelas tidak banyak orang suka berdiri di tempat itu, menara itu adalah tempat di mana mereka bertemu pertama kali.

Wuuush

Lucy menoleh, dia hampir berteriak 'panas', tapi dia tidak ingin menyakiti hati Natsu. Barusaja bocah naga itu meniupkan api kecil ke badan Lucy.

"Lihat! Bajumu kering 'kan!" seru Natsu bangga.

"Yei! Spektakuler sekali… tidakkah kau berpikir kalau kilutku juga hampir terbakar?" Lucy memukul kepala kosong Natsu.

Natsu merangkul lehernya, tetap nyengir. Dia selalu bangga akan sihir apinya, tak peduli apa perkataan orang lain terhadapnya. Natsu bersiul riang, tapi matanya menyipit menatap Gray yang juga sedang mendengus keki melihat tingkah Natsu.

Setelah berjalan cukup lama melewati lorong-lorong sempit, Erza memutuskan untuk mendobrak salah satu pintu di depan mereka. Lucy mendongak, dia ingat bahwa dia sering sekali ke sini waktu kelas satu.

"Kenapa kita masuk perpustakaan?" Tanya Gray mengangkat alis.

"Karena aku ingin," sahut Erza sambil tersenyum.

Mereka berempat memasang wajah poker.

Suasana di perpustakaan lebih horror ketimbang tempat manapun di sekolah, karena kabarnya dahulu banyak anak-anak meninggal karena saking stress-nya belajar untuk ujian akhir. Bukannya apa-apa, tapi yang pernah mati di sini adalah para penyihir. Karena dahulu penyihir boleh mencari referensi apapun, tak sedikit penyihir yang membaca buku sihir hitam. Dan mereka mati. Jadi sejak 10 tahun lalu, sekolah sudah mengunci rapat-rapat mimpi buruk masa lalu itu dan menempatkan semua buku sihir hitam pada sebuah ruangan yang di kunci secara sihir. Di tambah sihir penumbuh bisul bernanah bagi siapa saja yang berani memegang gagang pintu itu. Sejak saat itu kepala sekolah menjadi luar biasa ceria dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa seperti orang gila (Lucy yakin bahwa orang itu memang tidak waras).

Banyak orang heran mengapa buku-buku tersebut tidak dihancurkan atasu setidaknya di bakar untuk perapian jika memang terlarang. Tapi sekali lagi, kepala sekolah terlalu keras kepala untuk menjaga keaslian. Buku-buku tersebut serta semua buku yang ada di perpustakaan ini adalah milik pendiri sekolah ini dulu.

Lucy memandang jauh di antara rak-rak buku yang menjulang seetinggi 18 kaki, terlihat sebuah pintu berukirkan lambing-lambang dan kalimat yang tak bisa di baca. Mirip tulisan bangsa Rusia.

Erza menepuk bahunya sampai Lucy terlonjak kaget, "Kalian tahu…" mulai Erza. Dia manarik salah satu kursi dan duduk di atasnya.

"Akan ada anak baru," sambungnya.

Lucy dongkol, "Erza, kalau aku tahu kita hanya akan membicarakan ketampanan anak baru, aku tidak akan rela basah kuyup dan lapar begini!"

"Asik! Anak baru!" seru Wendy tampak riang, dia masih kelas satu. Sedangkan Lucy dkk ada pada kelas dua. Lucy memutar bola matanya, masa puber Wendy akan ketertarikan yang berlebihan tak membantu sama sekali di sini.

Erza tersenyum, "Dia penyihir. Dan itu menjadikannya layak untuk kita pertimbangkan."

Lucy yang tadinya duduk lesu, mulai tertarik.

"Lihat? Kalian selalu tertarik bila menyangkut penyihir," kata Erza.

"Bukannya aku tertarik, tapi memang harus peduli 'kan?" sambung Gray yang berdiri bersandar pada rak buku. Lucy heran mengapa dia tidak duduk padahal ada kursi di depan hidungnya. Memang, kebiasaan sok-keren-pemikat-ceweknya tak pernah ketinggalan.

Benar. Mereka harus peduli karena mereka penyihir. Sebenarnya, sekolah ini bukan sekolah sihir apalagi Grey School of Wizardry yang ada di California. Ini hanya sebuah sekolah berbasis internasional biasa, SMA Winterfall, bangunan kastil tua yang berdiri di barat kota Wolverhampton, Inggris Raya. Tapi sekolah ini juga menerima penyihir, walau penyihir hanyalah minoritas di sini. Malahan, sihir di anggap hal yang tak layak dan tak penting untuk di pamerkan secara terang-terangan. Ada ujian sihir tapi mereka juga wajib untuk ujian akhir biasa. Jadi bila di singkat kata, para penyihir (mereka) hampir selalu di-bully.

Penyihir di sekolah ini bukan cuma mereka saja, masih banyak penyihir-penyihir lain tapi mungkin mereka tak sepemikiran. Jadi, hampir seperti acara promosi klub-klub ekskul di universitas. Lucy punya teman-temannya sendiri, di dalam ruangan ini, orang-orang inilah keolmpoknya. Masih banyak kelompok lain seperti Sabertooth yang sangat keras, atau Blue Pegasus yang cenderung banci. Tapi Lucy adalah Fairy Tail, selalu dan sampai kapanpun. Jadi, bukankah peduli pada anak baru yang seorang penyihir adalah hal wajar? Bertindak agresif tak selamanya buruk.

"Siapa namanya?" Tanya Natsu bego.

Lucy memukul kepalanya, "Kita tidak tahu, Natsu. Dia anak baru!"

"Ya, kurasa besok di masuk. Kelas dua, berharap saja dia suka salah satu di antara kita," kata Erza sambil melipat tangan di depan dada.

Lucy terkekeh kecil, menyibakkan rambutnya bak terterpa angin. "Siapa sih yang tidak kena pesonaku?" tanyanya percaya diri sambil mengedipkan sebelah matanya.

Gray mengangkat tangannya, "Aku!"

Detik berikutnya terdengar suara jatuh yang keras, Lucy menjegalnya hingga jatuh. Gray mengusap-usap kepalanya yang banjol––semoga! Dia duduk di atas marmer yang dingin, "Well, kau pamer!" serunya.

Lucy menjulurkan lidahnya, "Kau hanya iri," balas Lucy. Dia tahu Gray selalu membuat Lucy bad mood karena dia iri. Lucy sudah tingkat dan kesepuluh dalam judo, bela dirinya orang Jepang. Dia sudah mendapat sabuk hitam, sedangkan Gray hanya bertahan hingga tingkat kyu pertama dan di keluarkan karena terlalu sering membolos dengan alasan tak masuk akal.

Gray mendengus, kemudian tubuhnya di tarik paksa supaya berdiri oleh Natsu. Natsu berpura-pura mengapit leher Gray sampai wajah Gray memerah. Natsu tertawa puas sedangkan Wendy berusaha melerai mereka.

Lucy yang melihatnya mendadak lebih memilih duduk pasrah, jika di lihat kembali, dia ragu anak baru itu mau memilih Fairy Tail yang bertingkah lebih konyol dari seekor babi. Lucy memijit-mijit kepalanya yang mulai pening.

Seseorang menepuk bahunya, "Kau bisa masuk angin," kata Erza sambil menunjuk seragam Lucy yang basah.

"Yeah," jawab Lucy lemas, dia memang sangat lelah hari ini. Dia dipaksa menjadi panitia prom night senior mereka. Menyebalkan, brengsek, fucking god! Karena Lucy seorang penyihir, mereka menyuruhnya melakukan segala sesuatu hingga hal yang paling sepele seperti membalikkan halaman majalah diet untuk kakak kelasnya.

Lucy mengutuk keputusannya mengatakan 'iya' untuk menjadi panitia, waktu itu dia berpikir bahwa kalau menjadi orang yang sosialis akan membuktikkan bahwa penyihir bukanlah hal menjijikkan. Dua tahun bersekolah disini tak membuatnya berpikir rasional. Dia berpikir para manusia biasa bisa menerima mereka walau perang antara manusia dan penyihir sudah terlampau 1000 tahun yang lalu. Tapi ternyata perkiraannya salah, entah apa yang ada dalam otak udang mereka, mereka terlalu bodoh untuk menganggap jaman sudah berubah. Mereka hanya sakit hati yang terlanjur di tanamkan karena penyihir menang.

"Sepertinya kau menderita sekali?" Tanya Natsu yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingnya.

Lucy hampir jatuh dari kursi saking kagetnya, dia berdehem. "Kau tahu Minerva Orland? Aku rela menyerahkan apapun untuk melihatnya mati obesitas," jawab Lucy sambil menghela napas.

Mereka tertawa, Erza menggumamkan kata setuju yang keras sekali. Hampir satu sekolah tahu perseteruan antara dua perempuan hebat itu, mereka sama-sama penyihir. Dulu Minervalah yang mengeklaim kalau dirinyalah penyihir terkuat. Tapi setelah Erza berhasil melemparkan kloset toilet padanya, pangkatnya berubah. Dan mereka terus menjadi rival sejati setelah Natsu dan Gray.

Natsu ikut tertawa, "Hahaha… ha," kekehnya lama-kelamaan mereda. "Obesitas itu apa ya?"

Lucy mendukung Gray menghajar Natsu kali ini.

Mereka keluar dari perpustakaan jam 12 malam, setelah menghabiskan 20 bungkus cemilan yang sebagian besar di makan Natsu, dan berbicara sambil terawa nonstop sampai akhirnya mereka tak kuat lagi tertawa. Kemeja Lucy hampir kering, tapi efek dinginnya masih terasa pada kulitnya.

Lucy sekamar dengan Erza, Wendy, dan Mavis. Setelah Lucy tahu kalau Wendy dan Erza harus ke toilet apapun yang terjadi, Lucy lebih memilih pulang duluan apapun yang terjadi. Tubuhnya sudah memprotes untuk istirahat, perutnya entah mengapa menjadi sakit tak terkendali. Dia harus tidur.

Lucy berjalan melewati lorong-lorong gelap dan mengabaikan bau wangi yang menyerebak kembali, dia tidak berpikir akan bertemu hantu penjaga kastil atau apapun. Dia hanya berpikir tentang ranjangnya setiap kali berkedip. Dia hampir sampai pada jalan setapak menuju asrama guru, jalanan itu terbuka, tak ada atapnya. Lucy mendongak, hujan hanya tinggal tetesan-tetesan air tak berarti. Dia tidak peduli, kepalanya sudah pening setengah mati.

Lucy merasa seragamnya mulai basah karena lambatnya dia berjalan, kepalanya terasa berat hingga kakinya tak kuat menopang tubuhnya sendiri. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti sedang mabuk, tapi Lucy tahu itu sama sekali tak membantu. Jika dia pingsan di sini, besok dia akan menjadi bahan tertawaan orang-orang yang lewat dan dia pasti akan masuk angin. Lucy merogoh katongnya, tangannya bergetar untuk sekedar memencet kontak Erza. Perutnya seperti dicengkeram kuat sekali, ah, dia tidak bisa lagi.

Lucy merasa tubuhnya terjatuh keras pada jalanan, kepalanya pusing berkali-kali lipat, dan pandangannya menjadi kabur. Tapi dia tahu, dia merasa seseorang menyentuh pipinya, memaksanya untuk membuka mata kembali.


Gray memandang Lyon dengan mata terbelalak lebar, keringat dingin mulai membanjiri seluruh tubuhnya. Berusha mengatur napas, Gray menggerakan tangannya untuk menyentuh sesuatu pada pipinya. Darah yang masih hangat… ugh, matanya berair mendadak. Jantungnya berdetak begitu kencang sampai nyaris tak bisa bernapas. Tangannya bergetar hebat. Dia tak bisa mengendalikan tubuhnya lagi.

Lyon menonjok kepala Gray keras sekali hingga dia jatuh tersungkur di tanah yang dingin. Dia jatuh tepat di hadapan tubuh seseorang. Gray tak sanggup melihatnya, darah Ul merembes sampai padanya.

"Arrggghhhh!"

Dong…dong…

Gray membuka matanya terlalu cepat, napasnya terengah-engah. Gray menyentuh dahinya, oh ya ampun, dia berkeringat. Dia berusaha duduk, mengatur napasnya hati-hati, berusaha mengembalikan pikirannya. Matahari tepat di atas kepala, dan bunyi lonceng raksasa di sebelah tempatnya tidur memaksanya terbangun dari mimpi buruk. Gray memandang langit tanpa awan di depannya, dia mengingat kalau dia tertidur di menara tertinggi setelah sarapan. Sial, dia melewatkan banyak waktu. Dia mungkin ketinggalan akan anak baru itu.

Gray menuruni tangga yang berputar-putar dengan cepat, dia melihat arlojinya, jam 12.30. Hampir jam makan siang, dan dia akan di cap sebagai orang yang paling tidak update hari ini. Gray memelankan langkahnya ketika sampai di koridor utama yang ramai dan penuh sesak. Mencoba menerobos kerumanan anak-anak, namun dia tidak berhasil melewati pagar betis cewek-cewek yang cekikikan apalgi ketika mereka melihat Gray. Anak-anak kelas satu itu sepertinya memang sengaja menggoda Gray. Gray menggerutu, dia bisa sesak napas jika terlalu lama ada di koridor yang sesak dan bau wangi dari salib sama sekali tak membantu. Akhirnya dia memutuskan untuk ikut terhanyut dalam lautan manusia berseragam.

Duuk!

Dia tak sengaja menyikut seseorang hingga ia terjatuh, tapi entah Gray terlalu refleks atau dia memang tanggap jika menyangkut seorang gadis, dia menangkap pinggang gadis seketika juga Gray merasa menyesal, "Hai," sapa Gray sembari membantu Juvia berdiri.

"Aaah, Gray~" kata Juvia sambil memeluk erat lengannya seperti lintah, Gray heran darimana Juvia mendapat kekuatan super seperti ini. Juvia memang penyihir, dan dia adalah fairy tail. Tapi dia adalah anak baru, seminggu lalu ia di keluarkan dari Phantom Lord setelah Fairy Tail mengalahkan kelompok ingusan tak bermutu itu. Mereka bubar, lebih memilih menjadi penyihir tanpa kelompok, berbaur dan menyatu dengan manusia biasa. Tapi Juvia memiliki potensi dan personal yang di butuhkan mereka. Apalagi ambisinya yang besar terhadap Gray, tak mudah untuk melepaskan gadis itu dari Fairy Tail (dirinya).

Gray membiarkan Juvia menggelayuti lengannya sepanjang koridor, memang rasanya risih namun ada sensasi menyenangkan ketika itu. Ketika orang lain melihatmu di gelayuti seorang gadis, ada sepercik rasa bangga. Bisa di bilang Gray menikmatinya, dia suka cara orang-orang menganggapnya hebat, keren, kuat. Walau terselip dalam pandangan itu, merendahkan, sekali lagi; dia penyihir.

"Oh, great."

Gray menoleh, dia nyaris tak sadar telah melewati dua gumpalan rambut pink dan kuning di sampingnya. Lucy memandangnya dengan pandangan lelah, "Mau ke kelas, Gray?" sapa Lucy sinis.

Gray mengangkat alis, sebelum Gray sempat mempertanyakan emosi Lucy yang aneh, gadis itu sudah memotongnya. "Ah lupa, cewek selalu nomor satu di kamus seorang Gray Fullbuster."

Gray mencoba melepaskan kaitan kuat dari Juvia, "Tunggu, tunggu…" kata Gray seraya melangkah mendekati Lucy. Dia bisa melihat Lucy berdiri menantangnya, Gray mengusap-usap dagunya, pura-pura berpikir. "Bukankah hal pertama yang kau katakana ketika melihatku hari ini seharusnya adalah 'terimakasih?'"

Lucy mendengus tak percaya, "Apa kau sedang mengerjaiku?" tanyanya agak marah. Kemudian dia berjalan melewati Gray begitu saja, dengan sebelumnya membenturkan bahunya keras-keras pada bahu Gray. Tapi tentu saja, Gray tak akan membiarkan suatu masalah yang tak jelas berlalu begitu saja. Dia menahan pergelangan tangan Lucy.

"Apa maksud––––"

Lucy bergerak sebelum Gray sempat berkedip, wajahnya mendadak hanya tinggal beberapa senti saja dari wajah Gray. "Seharusnya kau yang mengucapkan terimakasih padaku, dan tentu saja Porlyusica kita tersayang," desis Lucy menahan gejolak untuk meneriakinya. Lucy mengangkat pergelangan tangannya yang di genggam erat oleh Gray, dia melepaskannya dengan penuh sarkasme. Dia sempat memberikan tatapan aku-tak-ingin-melihatmu-selama-lamanya sebelum akhirnya Lucy benar-benar berbalik dan meninggalkan Gray yang meruntuki semua yang telah terjadi.

Duuk!

Gray menoleh cepat, memegangi bagian belakang kepalanya yang berdenyut keras. Dia melihat Natsu masih dengan tangan terkepal di belakangnya, "Wah, kali ini memang salahmu, idiot," kata Ntsu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Natsu memegang pundak Gray setengah meremas, "Kau tak lihat mukanya tadi, dia di habisi Porlyusica–maksudku benar-benar habis."

Gray menelan ludah, "Apa dia–––?"

"Ya, ya! Dia di hina sampai batas titik harga dirinya hancur. Nenek tua itu bahkan menyinggung tentang kedua orang tuanya, sihirnya, bahkan kita juga di libatkan. Bagaimana cara Lucy bergaul dengan kita, atau hal sepele sekali seperti cara kerja Lucy menjadi panitia."

Gray membuka mulut, tapi dia tak tahu harus berkata apa.

"Satu minggu penuh detensi, dan kau tahu kenapa dia bilang kau yang seharusnya berterimakasih padanya?"

Gray menggeleng bego.

"Karena dia tidak melibatkanmu dalam hukumannya. Aku tahu kalian satu kelompok untuk ujian sejarah ini, tapi dia tidak mau buka mulut alasan kenapa kau tidak datang pada ujian hari ini," jelas Natsu lagi. Dia tampak benar-benar mengintimidasi Gray dengan caranya meletakan kedua tangan di pinggang.

"Jadi…"

"Jadi kalian beruntung dapat kesempatan ujian lagi setelah prom night jangan lupa kali itu," saran Natsu menyebalkan. Dia menyapa Juvia sebentar kemudian ikut terhanyut dalam arus manusia.

"Shit," gumam Gray sambil memegangi pelipisnya. Terngiang kilas balik mengenai Lucy malam itu.

Gray nyaris berlari sangat cepat ketika melihat seseorang berambut pirang tergeletak di antara batu dan rumput. Jalan setapak itu bgeitu gelap, namun Gray bisa melihat dengan jelas paras cantik gadis yang kini tak membuka matanya sama sekali itu. Gray menepuk nepuk pipi Lucy yang terasa dingin, "Hei kau kenapa, Luce?" Tanya Gray hampir susah bernapas saking khawatirnya.

Gray berusaha menenangkan pikirannya, dia menghela napas panjang sekali. Kemudian dalam satu hentakan, Gray mengangkat tubuh Lucy. Baru satu langkah, tiba-tiba hujan yang tadinya sama sekali tak berarti berubah menjadi hujan lebat. Sama seperti sebelumnya, hujan sialan itu di sertai angina yang sama brengseknya. Apa mereka tak mengerti ada yang sedang pingssan di tangannya?

Gray berusaha keras setidaknya menutupi wajah Lucy agar tak basah sambil berlari menerobos hujan yang sangat deras. Ketika dia sampai di asrama putri, jantungnya yang sedari tadi berdegup kencang khawatir akan bagaimana pandangan cewek-cewek melihatnya menggendong Lucy yang sedang pingsan, hilang sudah. Asrama sudah sangat-sangat sepi mengingat mereka berkumpul hingga tengah malam. Gray bersyukur tak ada satupun orang yang melihatnya sampai dia mengetuk pintu kamar Lucy.

Mavis membukakan pintu dengan mata masih merah, dia tampak sebal ketenangannya terusik. Tapi ini lebih penting, jauh lebih penting ketimbang tidur.

"Hei! Kenapa dengan Lucy?" Tanya Mavis ketika Gray menerobos masuk tanpa permisi.

Mavis mengikutinya dengan pandangan penuh tanya sekaligus cemas. Gray meletakan Lucy pada sofa yang penuh dengan kertas sejarah sebelumnya. Tapi dia tidak peduli, dia bingung harus melakukan apa.

Macia meneliti setiap senti tubuh Lucy, matanya melebar sebentar ketika melihat rok Lucy. Tapi Gray tak ambil pikir, dia sibuk mengelap wajah Lucy agar kering.

"Tunggu, aku akan mengambil sesuatu," kata Mavis sambil berjalan pergi, Gray hanya mengangguk bodoh.

Dia tidak berbuat apa-apa kali ini, Gray merasa tegang. Lucy baik-baik saja saat mereka di perpustakan, dan kurang dari 30 kemudian dia sudah pingsan tak berdaya. Gray membayangkan, kalau saja dia tak ada di sana menemukannya, Lucy akan teronggok di sana semalaman. Kehujanan. Dan dia tidak bisa membayangkan hal yang lebih mengerikan ketika manusia-mnusia biasa idiot iitu akan mengatainya. Gray memejamkan matanya rapat-rapat, dia khawatir.

Lucy merintih, membuat Gray kaget dan mendekatinya. Dia mengamati air muka Lucy ketika itu, Lucy tampak menahan sakit yang dalam. Gray semakin cemas, apa yang membuatnya begitu kesakitan. apa yang membuatnya bisa menunjukkan wajah yang seperti itu. Tanpa sadar Gray menjulurkan tanganya, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Lucy perlahan. Memang pada awalnya Gray mengamati Lucy hanya karena khawatir, tapi entah mengapa dia bertindak lain. Tujuan lain. Hal yang absurd untuk di lakukannya pada Lucy Heartfillia. Dia merasa… dia telah menatapnya. Gray menatap Lucy, dia benar-benar melihatnya.

Bagaimana gadis itu menutup mata, bagaimana wajahnya yang begitu putih, begitu sempurna. Semuanya, wajahnya, lehernya, hingga pada saat Gray menatap tubuhnya. Seragam Lucy yang basah kuyup membuatnya menjadi terawang.

Gray menelan ludah.

Tidak. Jangan––Fuck no.

Dia terlarang. Sangat tidak boleh untuk di sentuh, di tatap, atau bahkan hanya sekedar di pikirkan. Lucy Heartfillia adalah yang paling tidak boleh. Jadi, memang tidak boleh. Tidak bisa.

"Apa yang kau lakukan?"

Gray tersentak, dia berdiri begitu cepat hingga hampir terpeleset. Nayaris lupa bahwa dia sendiri juga basah kuyup. Mavis kembali dengan setumpuk baju, handuk, dan Sesutu yang jarang Gray lihat. Seperti err… pembalut?

Mavis mengikuti arah pandangan Gray pada benda yang di pegangnya. Dia tersenyum, "Jangan khawatir. Lucy hanya sedang tahu, semua perempuan pasti menstruasi," ujarnya sanatai-santai saja membicarakan itu pada Gray.

Gray tahu Mavis dari dulu orang yang aneh, Fairy Tail pula.

Gray mengangguk bego lagi, dia di buat bingung di sini. "Apa semua cewek pingsan ketika darah keluar dari kemaluannya?"

Mavis menoleh sambil terkekeh kecil, "Kalu itu bukan darah bulanan, aku juga akan pingsan. Pokoknya, mungkin karena Lucy terlalu lelah dan ini hari pertamanya, jadi dia tidak kuat dan pingsan."

"Oh," respon Gray sekedarnya. Well, itu lumayan menenangkan. Hanya siklus bulanan, tak ada yang perlu di khawatirkan, benar?

"Tapi jika dia sampai pingsan, berarti gawat. Ada yang tidak normal," Mavis menambahi.

Brengsek, gadis kecil pendek itu selalu berhasil membuatnya emosi.

"Jadi dia tidak baik-baik saja?" Tanya Gray.

Mavis mengangkat bahu, "Kita lihat besok, jika Lucy kembali ceria seperti biasanya maka tak ada yang perlu di khawatirkan."

Jelas sekali tak ada yang pelu di khawatirkan, sangat jelas mengingat bagaimana Lucy yang sepertinya terlalu ceria hingga sanggup mendamprat Gray sebelum makan siang tadi. Emosi Lucy tak mereda bahkan sampai pada makan malam. Dia yang biasanya duduk satu meja dengan Gray, lebih memilih untuk meneruskan pertengkaran akbarnya dengan duduk bersama Mavis. Hanya berdua. Dua pirang idiot.

Gray tidak sembarangan berkata, setelah jam sekolah berakhir dia mendengar sedikit pembicaraan menarik. Bahwa Lucy berterimakasih pada Natsu karena telah menggendongnya kembali ke kamarnya. Tapi mungkin karena Natsu sedang sibuk mendapat hukuman push-up 200 kali, dia tidak begitu mendengarkan dengan hanya bergumam seadanya. Lucy terus saja tersenyum pada Natsu, sesekali menggelonggonginya seperti sapi.

Jadi, ini salah Mavis. Gray yakin gadis itu belum memberitahu Lucy siapa yang sebenarnya menolongnya.

Atau jika dia tahu bahwa yang menolngnya adalah Gray, itu tidak akan merubah apapun. Lucy terlanjur marah padanya, dan dia selalu bersikap seperti itu pada Natsu. Selalu. Selalu tentang Natsu. Segalanya hanya tentang Natsu.

"Hey jangan menyiksa makanan!" seru Natsu membuyarkan lamunannya.

Gray menunduk dan melihat paha ayamnya sudah rusak tak berbentuk oleh pelakuknya yaitu garpu yang di pegang Gray sendiri. Dengan sigap Natsu merebut paha ayam itu dan memakannya seperti bianatang. Gray tertawa meremehkan, entah Natsu itu rival atau bukan. Dia tetaplah sahabatnya apapun yang terjadi.

"Apa tempat duduk ini kosong?" Tanya seseorang membuat Natsu, Gray dan Gajeel menoleh. Seorang pria berperawakan tampan dan memiliki tato aneh di wajahnya (apa dia boyband yang gemar mandi bareng?) berdiri dengan nampan penuh berisi makanan.

"Kelihatannya bagaimana?" sahut Gray agak dingin.

Orang itu tersenyum, dia duduk di sebelah Gray, kemudian dia mulai melahap satu demi satu makanan di hadapannya.

"Kau anak baru itu ya?"

Orang itu mengangguk sambil tersenyum tipis pada Natsu. Apa ini? Gray merasa kharisma orang di sebelahnya lebih kuat dari siapapun di ruangan ini. Mungkin Gray harus rela menyisakan sedikit kepopulerannya untuk orang baru ini.

"Kalian Fairy Tail bukan?" tanyanya.

Mereka bertiga saling menoleh, lalu Natsu melepas kemejanya sembarangan. Mempertontonkan mark Fairy Tail-nya yang ada di lengannya. Natsu nyengir menyenangkan, sedangkan Gajeel hanya tersenyum sinis seperti 'kau harus masuk fairy tail atau mati'.

Orang itu tersenyum, sambil mengulurkan tangannya. "Jelall Fernandes."

TBC

RnR?