Semua orang pasti memiliki seseorang yang berarti di dalam hidupnya. Seperti halnya diriku. Aku sangat menyukainya, dan dia adalah cinta pertamaku. Hanya saja masalahnya, aku tidak tahu siapa namanya. Hahaha benar-benar menyebalkan bukan?Aku tahu aku ini aneh, bagaimana bisa mencintai seseorang yang belum dikenal. Tapi inilah kenyataannya. Aku mencintainya.


TITLE: BAKERY OF LOVE

PAIRING: SASUKE UCHIHA & SAKURA HARUNO

DISCLAIMER: MASASHI KISHIMOTO

AUTHOR: KAHO

RATED: T


WARNING

OOC (mungkin), TYPO, ABAL, Twoshot


.

.

.

"Hosh! Hosh! Hosh!"

Gadis berambut soft pink pendekitu memacu derap langkahnya semakin cepat, syal biru tua yang membalut lehernya terkadang terkibas, membuatnya harus berhenti dan membetulkannya. Kedua tangannya terbungkus dengan kaos tangan untuk mengelak udara dingin hari ini. Rona merah yang tercetak di pipinya tak bisa membohongi seberapa dinginnya hari ini. Namun seolah tidak menghiraukan, gadis soft pink itu terus saja berlari meskipun langkahnya begitu berat karena salju.

"Ah~ hosh—sudah sampai –hosh."

Gadis berseragam SMP itu berdiri di samping pohon. Tempat dimana dia menghabiskan waktunya sepulang sekolah. Bukan untuk piknik atau semacamnya. Namun dia sedang menunggu seseorang.

Manik emeraldnya menelusuri jalan setapak yang berada satu meter di bawahnya yang sudah tertutup salju.

"Oi! Teme! Kau ini bodoh atau apa?" ujar seseorang dari bawah sana.

Gadis itu bergegas untuk bersembunyi di balik pohon. Terlihat di sana dua orang pemuda SMA sedang berjalan bersama.

Pemuda itu...

"Hn?"

"Kau itu bodoh ya?" ulang pemuda berambut durian. "Sudah tau turun salju, kau malah tidak memakai sarung tangan, bahkan syal."

Pemuda raven di sampingnya mendengus, "Syal dan sarung tanganku hilang."

"Hah? Kok bisa?"

"Sudah jangan berisik!"

"Ah dasar teme!"

Di atas sana, di balik pohon. Gadis soft pink itu terlihat gemetar, perasaan senang meledak. Rasa dingin terganti dengan perasaan panas hatinya. Begini lah Sakura –nama gadis itu- sejak seminggu lalu mengawali hari-harinya. Hanya dengan melihat sosok yang dicintainya dari balik pohon telah mampu membuatnya merasa hangat. Terdengar bodoh memang, menyukai seseorang yang tidak pernah dia kenal sama sekali. Tapi dia merasa seperti ini saja sudah cukup. Sakura menerawang keatas, memperhatikan daun-daun pohon yang bergerak.

Drrrt drrrt~

"Eh?" Sakura meraih ponselnya dari saku, "Moshi-moshi?"

"Halo, Sakura-chan? Kau dimana? Kau tidak bekerja?"

Sakura melihat ke jam tangannya, "Ah, gomen! Aku akan segera kesana."

-Pip-

Sakura memasukkan ponselnya lalu segera berlari meninggalkan tempat dimana dia mematung cukup lama.

.

.

.

"Ah gomen, Ino! Aku lupa."

Ino, gadis berambut pirang itu menggeleng, "Kau ini, kenapa akhir-akhir ini selalu telat sih."

"Ehehehe." Sakura menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Maaf maaf, aku ada urusan."

"Iya, sudah sudah, cepat ganti baju sana. Para pengunjung sudah mulai berdatangan." Ujarnya sambil menata kue.

"Yosh!"

Namanya Ino Yamanaka, dia adalah anak pemilik cafe ini. Dia juga teman sekelas Sakura. Sudah sebulan ini Sakura bekerja di tempatnya, bukan apa-apa sih, hanya ingin menambah uang jajan saja.

"Ah, mereka terlihat bahagia." Ujar Sakura pelan sambil memperhatikan para pasangan pengunjung kafenya.

"Makanya kau cepat cari sana." Ujar Ino.

Sakura menoleh.

"Ngomong-ngomong kau akhir-akhir ini suka mengeluh ya?"

"Mengeluh apa?"

"Yah seperti, enaknya punya pacar, wah mereka romantis, blablabla." Kata Ino sambil meniru omongan Sakura.

"A—aku nggak pernah ngomong begitu." Bantah Sakura.

"Hahaha. Sudahlah." Ino mengusap rambut Sakura.

"Maaf, permisi boleh aku nambah untuk minumannya?" kata seorang pengunjung.

"Ah, tentu saja." Kata Sakura.

"Sudah sini biar aku yang mengambilkannya. Kau perhatikan saja para pasangan itu." Kata Ino terkekeh pelan.

"Dasar kau ini!" Sakura tersipu.

"Bisa nanti diantarkan ke mejaku?"

"Iya, silakan kembali ke tempat anda." Sakura membungkuk.

Sakura kembali menopang dagunya di tangan, memperhatikah pasangan muda mudi yang sedang makan di kafenya. Namun tak berapa lama setelah itu manik hijaunya menangkap seseorang yang sepertinya sangat dia kenal.

"Di—dia?" gumamnya.

Benar, Sakura melihat pemuda raven siang tadi kini sedang berjalan ke tempatnya.

Ah, ba—bagaimana ini. Kenapa dia bisa berada disini? Apa yang harus aku katakan? Bagaimana kalau dia –ah aku kenapa jadi gemetaran seperti ini sih.

Pemuda itu sekarang sudah berada tepat di hadapannya, dia menunduk memilah-milah kue yang sepertinya ingin dia beli. Disisi lain Sakura menahan perasaannya yang seakan ingin meledak. Mata hitam pekat serta kulit putih pucatnya terlihat serasi. Aroma maskulin yang terbawa angin juga sangat menenangkan. Rona pink samar tercetak di pipi pemuda itu, melihat dia hanya memakai sweater dan celana panjang saja.

"Aku mau cherry." Akhirnya setelah berdiam cukup lama, pemuda itu membuka mulutnya.

"Eh?"

Pemuda raven itu mendongak, manik hitamnya menatap langsung emerald indah di sana. "Aku mau cherry."

"Oh, iya." Sakura meraih sepotong roti dengan tiga cherry diatasnya lalu memasukkannya kedalam kardus. "A—apa ini untuk kau makan?"

"Tidak."

"La—lalu?"

Pemuda raven itu diam.

Apa kue ini untuk kekasihnya?

"Ku—kue ini untuk kekasihmu?" Sakura tersenyum kecut.

Pemuda raven itu masih diam, namun rona pink di pipinya semakin jelas terlihat.

"Bisa tolong tuliskan sesuatu?" ujar pemuda itu.

Kenapa jadi seperti ini.. Baru saja seminggu aku menyukainya. Tapi hari ini perasaanku terasa terhempas.

Sakura mengambil note dan bolpoinnya. "A—apa yang harus di tulis?"

"Aku menyukaimu."

Deg

Sakura mendongak. Lagi-lagi mata mereka bertemu. Entah kenapa saat pemuda raven tersebut berkata demikian rasa senang kembali menjalar ke hatinya, namun dia segera sadar, kata-kata tersebut bukan untuk dirinya. Yah.. mana mungkin anak SMA seperti dia menyukai anak SMP sepertiku. Apalagi kami tidak pernah saling mengenal.

Sakura menggigit bibir bawahnya dan lalu mulai menggerakkan bolpoin di tangannya, mencoba menahan getaran hatinya saat dia menulis keinginan pemuda tadi.

"Ini." Sakura memberikan kardus berisi kue dan ucapan tadi kepada pemuda di hadapannya.

"Terima kasih." Setelah menerima kue dan membayarnya, pemuda itu melenggang pergi.

Ini kah akhir kisah cintaku? Hanya seperti ini kah? Aku... patah hati bahkan sebelum aku mengatakannya.

Dan sejak saat itu Sasuke –pemuda raven tersebut- datang setiap hari, membeli kue yang sama dan ucapan yang sama. Sakura sangat sedih sebenarnya, namun dia bisa berbuat apa. Dia bahkan tidak berhak mengatakan rasa sukanya. Rona malu-malu yang terus di pancarkan pemuda itu semakin membuatnya terluka. Pepatah mengatakan melihat orang yang di sukai bahagia adalah hal yang terindah. Tidak bisa, bagaimana Sakura bisa bahagia. Dia bahkan semakin sulit untuk sekedar menarik nafas.

.

.

.

Sakura duduk di kursinya, sudah sejak tadi dia melamun menatap awan melalui jendela kamarnya. Kisah cinta yang bahkan belum dia mulai sudah hancur begitu saja tanpa memberikan dirinya kesempatan.

"Sakura-chan, kau mau kemana?" kata Ino saat melihat Sakura berjalan menjauhi tempat duduknya.

"Aku mau pulang."

"Eh, tapi masih hujan. Memangnya kau bawa payung?"

"Iya, ada di dalam tas. Aku duluan ya."

Bohong! Sakura berlari menerjang hujan lebat siang ini, musim memang sedang tidak bersahabat, kemarin-kemarin salju, sekarang hujan lebat mengguyur. Bunyi kecipak dari sepatunya terdengar dari riuhnya hujan yang turun. Sakura berhenti, bersandar di pohon tempat dia bisa menatap pemuda raven itu. Benar, dia tidak perduli apakah pemuda itu sudah memiliki kekasih atau belum. Yang dia butuhkan hanyalah melihatnya setiap hari untuk mengembalikan semangatnya. Dia tidak butuh lebih dari itu.

"Halo? Dobe?" tak selang berapa lama pemuda itu muncul sendirian sambil membawa payungnya.

Sakura diam tidak bergeming, menepis rasa dingin yang menusuk tulangnya. Rasa hangat yang dulu terasa kini kian pudar.

"Ini aku Sasuke?" pemuda itu berhenti tepat di depan pohon dimana Sakura bersembunyi. "Bisa kau catat nomor baruku ini? 081xxxxxxxxxx. Kau bisa menghubungiku di nomor itu. Aku akan membuang yang lama."

.

.

.

Sakura duduk meringkuk dengan selimut menutupi tubuhnya, ia menatap kertas setengah basah di sana. Apakah dia harus menghubungi nomor yang tertera di sana?

Sakura mendesah, dia sebenarnya senang bisa tahu nama pemuda tersebut, juga mendapatkan nomor ponselnya. Tapi apa tidak apa-apa kalau dia menelponnya? Nanti apa yang harus dia katakan? Ini kan nomor baru, kalau bilang Cuma acak mana dia percaya.

Sakura meraih ponselnya dan menekan nomor-nomor tersebut.

Apakah ini tidak apa-apa? Tapi aku ingin mendengar suaranya.

-Pip-

Truuruuruuruu~

Truuruuruuruu~

Truuruu~

-pip-

"Moshi-moshi?"

Di—diangkat.

"Moshi-moshi? Siapa? Naruto?"

Ba—bagaimana ini, a—apa yang harus aku katakan? Kenapa suaranya begitu membuatku tenang.

"Oi Naru, bagaimana menurutmu dengan si cherry itu?"

Deg

"Dia cantik kan? Aku harap dia juga menyukaiku."

Jadi, dia sedang menyukai gadis lain? Jadi kue kemarin untuk gadis cherry yang di sebutnya tadi.

"Apa jika aku mengutarakannya -."

-pip-

Sakura menutup telponnya sepihak lalu membantingnya di kasur. Sial! Padahal baru sebentar tadi dia merasa sangat bahagia, tapi sekarang hatinya terasa remuk lagi. Sakura mengusap airmatanya cepat, terdengar dia terisak pelan. Kenapa jatuh cinta itu menyakitkan? Rasanya ingin mati saja.

.

.

.

Siang ini seperti biasa Sakura berdiri menunggu pemuda itu untuk lewat, namun sudah dua jam dia berdiri di sini pemuda itu tak kunjung lewat. Apakah dia akhirnya bisa mengutarakan isi hatinya? Apakah gadis itu menerimanya? Kalau memang begitu bukankah seharusnya aku merasa senang? Bukan malah menangis seperti ini.

"Ugh!" Sakura meringkuk memeluk lututnya, berusaha menahan tangis yang kapan saja bisa mengeras.

.

.

.

Hari-hari berikutnya Sakura datang, namun dia tidak juga melihat Sasuke lewat. Dan ini tepat 10 hari dia tidak juga bisa melihat pemuda itu lewat. Ini kah akhirnya?

Sakura menunduk menatap kardus berisi kue dengan toping cherry serta sebuah kartu di sana.

Mungkin ini adalah salah diriku sendiri tidak berani mengatakannya.

Sakura menggantung kardus berisi kue buatannya tersebut di salah satu ranting yang rendah. Ia menoleh sebentar ke jalan setapak di bawah sana.

"Aku senang meski hanya melihatmu dari sini, meski hanya sebulan kau mampu memberiku semangat. Sasuke-kun, aku menyukaimu." Sakura menggigit bibir bawahnya. "Sasuke-kun... Sayonara."

.

.

"Apa?! Kau mau pindah?" Ino berdiri dari kursinya, menatap tak percaya ke arah gadis soft pink dihadapannya.

"Iya."

"Kapan?"

"Hari ini."

"Apa?! Ya Tuhan! Sakura." Ino memijit pelipisnya, "kenapa mendadak seperti ini? Kau tidak menunggu sampai lulus?"

Sakura menggeleng, "Ayahku mendapat panggilan kemarin. Mau tidak mau kami sekeluarga harus pindah."

"Sakura.." Ino menatap miris. "Kita tidak akan bertemu lagi kalau begitu.."

"Kalau ada waktu aku akan datang berkunjung kok." Sakura menepuk bahu Ino.

"Kau janji?"

"Iya."

.

.

.

Sakura menggeret koper besarnya, terkadang dia berhenti hanya sekedar menatap awan di atas sana.

Sebentar lagi semuanya akan benar-benar berakhir. Aku mungkin tidak akan kembali kesini lagi. Aku akan merindukan semuanya.

"Sakura-chan, taksinya sudah datang! Ayo cepat."

"Iya."

Sayounara~


To be continued