Dulu, ketika Baekhyun membuka mata untuk yang pertama kalinya di dunia, ia mendapati dirinya berada dalam sebuah tabung raksasa. Tabung berisi cairan aneh yang terasa lengket di tubuh telanjangnya. Ada selang-selang asing yang menempel pada tubuhnya. Di pusar, di kepala, kedua tangan, kaki, dan satu lagi di dua lubang hidungnya yang mungil.

Kedua matanya mengerjap penuh tanya. Ada lima orang dewasa yang berbalut jas lab warna putih, saling berbisik meski berisik. Salah satu di antara mereka, yang bertubuh paling tinggi, memberi isyarat pada temannya di belakang. Mata hitam Baekhyun mengerjap-ngerjap pelan.

Buka, begitu katanya. Dan dalam sekejap, kaca di depan mata menghilang tanpa jejak.

Baekhyun terjerembab, tubuhnya jatuh menelungkup, rambutnya yang panjang sebahu menutup wajahnya yang kusut. Samar-samar ia mendengar orang-orang itu bicara kalut.

"CL NsrLJUIM. Usia 6 tahun. Detak jantung, tekanan darah, dan suhu tubuh normal." Tukas seorang pria berambut pirang. Tatapannya fokus, tangannya menari indah di atas kertas putih beralas meja bentuk kubus. "Sempurna."

Helaan napas yang terdengar angkuh mengudara, "Sempurna hanya suatu kefanaan kalau dia sama saja dengan sampah-sampah yang terdahulu."

Baekhyun dapat melihat seringaian samar terpatri. Rambutnya hitam dan tertata rapi, bibirnya setipis goresan pensil di buku gambar, sorot mata tajam seperti elang, hampir-hampir tak terlihat karena matanya yang sipit. Melihatnya membuat tubuh Baekhyun bergetar takut, tapi juga ada rasa rindu yang aneh tersangkut di dada, melelehkan rasa takut yang menggumpal.

Tapi saat itu Baekhyun tidak tahu apa yang dia rasakan. Dia seonggok daging bernyawa, namun dalamnya bagai dokumen kosong. Belum tercoreng-moreng.

"Hentikan! Jangan lagi—" kali ini suara seorang wanita di pojok ruang menginterupsi, ia terdengar frustrasi, wajahnya pucat pasi, "aku sudah—aku sudah—hentikan—aku tidak ingin melihat darah tumpah lagi—" isakan mulai mendominasi, "...henti—"

"Suzy! Tenanglah," sekarang seorang pria berambut coklat muda angkat bicara. Seseorang yang sangat Baekhyun kenal. Itu—Tuan Taehyung. Dengan telaten menepuk-nepuk punggung sang wanita, memintanya agar tetap tenang. "Sudah cukup, kawan-kawan, aku pikir kalian tidak harus bertindak sejauh ini—"

"Kami melakukan ini semua untukmu, Taehyung."

"Tapi—"

Pria di barisan paling depan memberinya tatapan tajam, wajahnya menyiratkan determinasi. Taehyung terdiam, hanya bisa gigit bibir dengan wajah pucat pasi.

Dengan satu gerakan, wanita tadi merengkuh tubuh Taehyung, menenggelamkan kepalanya di dada laki-laki itu, lalu menggeleng pelan. Taehyung mengelus kepalanya, menatap wanita itu penuh sesal.

"Haruskah aku?"

Ada cahaya putih. Ada tali yang berubah jadi pedang.

"Tentu saja, Himchan." Jawaban riang meluncur mulus dari si rambut hitam.

Si pirang mengangguk, menatap ke sosok lain di barisan paling depan. Hening. Hanya ada hembusan napas panjang, seperti menimbang-nimbang. Tanpa kata-kata, si pria mundur ke belakang; memberi jalan, matanya terpejam. Dengan itu si pirang tahu kalau dia juga setuju walau tanpa ucapan.

Kedua kaki ramping melangkah ke depan, pedang digenggam di samping kanan. Ekspresinya kosong tanpa guratan senyum menawan.

.

.

.

"Ayo kita lihat, seberapa berharganya dirimu."

.

.

CRAS

.

.

.

.

Jeritan mengambang di udara.

.

.

.

.

.

.


.

Tes. Tes. Tes—

.

Ada lengan yang terbujur kaku di tengah genangan darah.

.

Tes. Tes. Tes

Testestestetestestestes. Te—

.

es.

.

.


.

Characters © God
Animus © sebaekai
.

.


.

.

Bagi Park Chanyeol, Byun Baekhyun adalah teka-teki tanpa jawaban. Deretan pertanyaannya bagai tipuan, kolom-kolom jawaban yang terpampang seperti sarkasme. Membuat tameng kamuflase bagi opsi-opsi yang ada. Begitu rumit. Tidak terpecahkan. Hasil akhirnya tidak dapat dilihat.

Sedetik terlihat sederhana, sedetik kemudian terlihat rumit luar biasa.

Baekhyun itu sangat berisik. Suara tawanya seperti suara panci dipukul-pukul, membuat telinga sakit dan kepala berdenyut. Dia sangat suka bicara, tapi obrolannya terlampau random dan tidak bermutu. Bahkan menjelang tidur pun ia masih sangat menyebalkan. Chanyeol hapal betul dengan suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya sebelum ia menapaki alam mimpi. Padahal ada sekat dinding yang membatasi mereka (Chanyeol tidur di sofa ruang tv, sedangkan Baekhyun di kamar—ini atas permintaan Baekhyun dan Chanyeol terpaksa mengalah karena Baekhyun menyodorinya sebilah pedang).

Seminggu. Dan Park Chanyeol mulai terbiasa mencium wajahnya sendiri dengan telapak tangan. Facepalm. Pernah ia iseng menghitung berapa kali gestur dramatis itu dilakukannya dalam sehari, dan dengan statistik sederhana, ia berhasil mendapat 25 sebagai hasil.

Sebuah hasil yang fantastik.

Park Chanyeol tidak menyukai Baekhyun, namun dia juga tidak membencinya. Terkadang Baekhyun bisa menjadi sangat rapuh. Seperti kejadian minggu lalu, saat ia baru saja kembali dari menyelesaikan urusannya. Dia tiba-tiba berjalan dengan langkah berat menuju kamar, tidak menghiraukan Chanyeol yang memasang wajah penuh keingintahuan. Ketika sepenggal kalimat hendak keluar dari belah merah mudanya, Baekhyun menutup pintu kamar tepat di depan muka. Park Chanyeol hampir saja mengumpat sebelum empat detik kemudian terdengar suara isakan dari kamar yang lengang. Dari situ Park Chanyeol tahu Baekhyun sedang berduka.

Tidak berhenti sampai di situ. Ia kembali mengernyitkan dahinya ketika tahu bahwa keesokan harinya Baekhyun sudah tertawa lebar, tawanya serenyah keripik kentang yang biasa ia santap sebagai camilan siang. Bahkan saat itu Chanyeol nyaris meraih sofa terdekat dan berniat melemparkannya tepat ke wajah Baekhyun ketika pria pendek itu mengeluarkan kata-katanya yang penuh sarkasme dan keangkuhan bak seorang dewa. Hampir saja. Keadaan segera berbanding terbalik ketika Zelo menekan tombol ON pada televisi.

/…—bernama Kim Taehyung, 35 tahun, seorang ilmuwan muda. Korban diketahui menderita kanker sejak lama. Tubuhnya ditemukan tidak bernyawa dengan kondisi punggung yang tercabik. Diduga rumahnya yang terletak jauh di pinggiran Busan menjadi sasaran perampokan. Sampai saat ini, polisi masih belum menemukan pelakunya. Penyelidikan akan—/

Berita itu terpotong di tengah jalan, layar menjadi hitam. Baekhyun kembali mengunci diri di kamar, raungan yang memilukan kembali terdengar. "Tuan Taehyung sudah mati. Tuan Taehyung sudah mati," begitu rintihnya dalam tangis. Banyak pertanyaan berkelebat dalam kepala Chanyeol, namun Zelo dan Sehun tak banyak membantu, mereka hanya dapat menundukkan kepala dan ikut tenggelam dalam haru yang Chanyeol tidak tahu.

.

.


.

.

"Kupikir kau punya gangguan jiwa."

"Benarkah? Kupikir aku melihatnya dalam dirimu juga."

Pisau dalam genggaman nyaris meluncur, tapi Chanyeol menahan dirinya karena tidak mau berurusan dengan hukum dan aparatur.

Baekhyun bersandar di pintu kulkas, matanya melirik Chanyeol dari sudut mata, memperhatikan pemuda yang sedang sibuk memotong-motong lobak untuk makan malam mereka. Katanya ia akan membuat sup.

Baekhyun hanya dapat diam menonton karena belum pernah sekali pun menjamah dapur, apalagi memasak, seumur hidupnya.

"Kukira ayahmu hanya bisa melarikan diri dari para debt collector itu, ternyata dia juga mengajarimu hal-hal lain untuk bertahan hidup." Kekehan, tangannya aktif menggapai-gapai benda yang ada dalam kulkas.

Kegiatannya sempat terhenti beberapa detik, "Dia tidak pernah mengajariku memasak," Chanyeol mengerling ke arah Baekhyun yang sedang menenggak jus jeruk, "tapi dia terampil dalam hal Pertolongan Pertama."

"Oh," Baekhyun mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, tangannya mengusap sisa-sisa jus yang menggantung di sekitar bibir. "Tidak heran kau cekatan dalam mengobati luka-lukamu." Katanya sambil menusuk-nusuk luka kering yang ada di lengan Chanyeol dengan ujung jari. Membuat yang bersangkutan meringis sakit lalu meluncurkan sebuah kepalan tinju ke kepala. Sayangnya meleset.

"Aku heran kenapa kau sama sekali tidak luka."

Keheningan mengudara.

"Itu—"

Chanyeol menunggu jawaban, kontur wajahnya berubah serius.

"Itu karena aku hebat dan sangat kuat."

"Menjijikkan."

Tawa Baekhyun pecah jadi serpihan.

.

.


.

.

Sup yang ada di depan mata tampak menggoda. Aromanya menguar, bergelantungan di kedua lubang hidung. Baekhyun menelan ludah, matanya penuh kilau bintang yang bersinar. Kedua tangan yang tidak sabar meraih mangkuk raksasa dengan segera, membuat Chanyeol melempar sendok sayur ke arah Baekhyun dengan dingin.

"Sudah berapa kali kukatakan. Siapkan meja makan kalau kau ingin menikmati jatahmu."

Kedua tangan Baekhyun terlempar ke udara tanda menyerah. Kalah, dia kalah, mohon ampun yang kuasa. Dari dulu Baekhyun memang bermasalah dengan hal masak memasak. Daripada dia harus mati kelaparan, dia lebih memilih membereskan meja makan walau terus menggerutu dalam hati.

Chanyeol tersenyum puas. Pemandangan Baekhyun mengelap meja dan menata piring beserta perkakas makan adalah hal yang paling membahagiakan baginya. Itu karena Baekhyun terlihat seperti budak.

Sudut mata Chanyeol menangkap sosok yang sedang mengamatinya dari sofa di depan televisi.

Android cilik berambut blonde dengan tatapan sedingin es. Kalau tidak salah, namanya Sehun.

Sejak pertama kali bertemu hingga sekarang, Sehun terus menatapnya dengan ekspresi itu. Memperlakukan dia layaknya kriminal yang baru saja membunuh kerabatnya. Hal itu menghantam Chanyeol bagai ribuan bata.

"Hei."

Chanyeol berceletuk. Di sampingnya ada Baekhyun yang sedang sibuk mengelap mangkuk dan gelas.

"Hm?"

"Kenapa bocah sialan itu—maksudku Sehun—terus menatapku seperti itu? Apa aku melakukan suatu kesalahan?"

"Jangan berbicara seolah-olah kau orang suci dari gereja. Dosamu banyak."

Chanyeol melempar tutup panci dan—hap! Baekhyun berhasil menangkapnya.

"Kau bedebah. Seharusnya aku tidak bertanya kepadamu." Ia bersungut-sungut, Baekhyun memamerkan cengiran.

Ada sekumpulan pertanyaan yang berloncatan di dalam kepala Chanyeol. Semakin dia memikirkannya, semakin beranak pinak pula pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Apakah Sehun membencinya?
Apakah dia telah melakukan kesalahan?

Dan segelintir 'apakah' lain, membuat pikirannya dipenuhi hal-hal yang belum pasti. Nyut nyut begitu denyut kepala yang terasa begitu sakit.

Meski dia hanyalah sebuah robot, namun Baekhyun pernah berkata bahwa Sehun dan Zelo diprogram agar dapat berpikir dan merasa layaknya manusia. Walaupun—tetap saja—mereka tidak butuh tidur, makan, dan buang air seperti manusia pada umumnya.

Dan bukannya Chanyeol peduli, tapi semua perlakuan yang ia dapat membuat sedikit geli.

"Sehun tidak banyak bicara. Dia juga tidak mudah akrab dengan orang."

Kepala tertaling sedikit, masih mencoba menyembunyikan keping hitam."Tapi dia mengintimidasiku."

"Entahlah, kadang dia juga hanya diam di dekatku. Meski begitu, ada seseorang yang bisa mengobrol lama dan nyaman dengannya."

Tangan lentik menyapu mangkuk dengan serbet, di sampingnya dua tangan bersarung karet menggosok-gosok pantat panci dengan busa.

"Dia pasti orang yang sangat aneh."

Kekehan, "Kurasa kau benar."

Mata mereka spontan beralih pada Sehun. Sehun masih menatapnya ngeri. Sebal, merasa diintimidasi, Chanyeol memutar tumit dan berbalik, meletakkan panci di dalam rak yang paling atas. Sungguh, dia tidak habis piker, orang macam apa yang betah mengobrol dengan makhluk sedingin es batu dalam kulkas itu. Chanyeol lebih memilih berbicara dengan cicak yang menmpel di dinding.

"Omong-omong," Chanyeol memberinya jeda sebentar, memikirkan harus dan tidaknya ia memuntahkan pertanyaan yang sudah lama terjejal dalam diri, "berita yang lalu, tentang ilmuwan muda itu… dia…apa kau mengenalnya?"

Dari balik punggung Chanyeol bisa lihat bahu Baekhyun berhenti naik-turun, menunjukkan bahwa dia tidak lagi melakukan kesibukannya. Seperti sedang memikirkan sebuah jawaban atau kata apa yang harus ia rangkai.

"Kau tidak harus menjawabnya kalau kau tidak ma—"

"Dia orang yang sangat aku cintai."

Semua terdiam. Mata hitam Chanyeol mengerjap-ngerjap.

"Pacarmu?"

Trak ada suara gelas jatuh, tapi tidak sampai pecah. Chanyeol menoleh hanya untuk mendapati bahu Baekhyun ber-uhu-uhu. Detik berikutnya suara tawa mengisi dapur yang sunyi.

Baekhyun tertawa lagi.

"Bukan."

.

.


.

.

Semuanya berkumpul di meja makan. Zelo dan Sehun juga ada di sana meski mereka tidak mengunyah dan melumat makanan. Di atas meja ada semangkuk besar sup dengan aroma sedap menguar. Park Chanyeol memang payah dalam semua hal, kecuali memasak dia ahlinya. Baekhyun bahkan mengakui bahwa rasa masakan Chanyeol sekelas koki bintang lima. Bukannya melebih-lebihkan, tapi memang rasa yang dicipta bikin air liur keluar.

"Selamat makan."

Suara perkakas yang saling berbenturan mulai terdengar. Park Chanyeol dan Byun Baekhyun tenggelam dalam kesibukannya masing-masing, meraup habis semua yang ada di depan mata.

"Siapa yang memasak," Baekhyun menelan nasi dalam mulut dengan bernapsu, "siapa yang sering memasak di antara kalian berempat?"

Chanyeol menuangkan air putih di gelasnya, "Ibuku, tentu saja. Tapi, itu dulu. Setelah dia meninggal, aku menggantikan posisinya."

"Oh," sebuah anggukan. "Omong-omong, kau punya seorang kakak laki-laki, dimana dia?"

Lilitan jari-jemari di gelas berisi air mineralmakin erat, membuat tubuh Chanyeol bergetar hebat. Peluhnya mulai keluar dari pori. Baekhyun jadi khwatir, dia hendak melipir ketika Chanyeol mulai menggerakkan bibir.

"Sejak ayahku mati dihabisi sekawanan berbaju hitam itu, kakakku lah satu-satunya yang berjuang melindungiku, kami berdua. Lalu, dua bulan lalu," terpotong. Gigi-giginya bergemelutuk. Ada rasa kesal. Ada ketakutan. Dan ada sebuah kekhawatiran. Semuanya menjadi satu, membuat Baekhyun ikut membatu.

"Chanyeol…"

"Ketika kami sedang melarikan diri, kakakku berusaha memblokir mereka agar aku bisa kabur," matanya terpejam. "Sejak saat itu, aku tidak pernah melihatnya lagi."

Baekhyun memiringkan kepala, rasa khawatir hilang diganti heran. Alis pemuda itu naik sebelah.

"Dia tidak pernah kembali?"

Klak klak, duk duk duk tap tap tap dari arah atas terdengar suara benda berat diseret dan ada suara gaduh menjadi latar musik. Membuat Baekhyun mendongak dan memicingkan mata. Dalam kepalanya berkelebat berbagai spekulasi.

"Beberapa bibi menggunakan atap untuk menjemur pakaian ketika hari sedang cerah. Mungkin mereka lupa mengangkat jemuran dan tergesa-gesa."

Baekhyun tampak berpikir, menggaruk-garuk kepala. Alisnya bertumpuk seakan menyadari suatu fakta—fakta yang sempat terlewat telinga. Setelah beberapa lama, dia menggerakkan tangannya, mengisyaratkan Zelo dan Sehun agar mengekor di belakang.

"Baju tidak akan seberat itu sampai mereka harus menyeretnya dengan sekuat tenaga."

"Maksudmu?"

"Kau tunggu saja di sini."

"Hey!"

Baekhyun sudah melesat secepat kilat, meninggalkan Chanyeol yang terpaku di tempat.

.

.


.

.

Di sudut Seoul yang terasing dari rutinitas kota, di situlah berdiri sebuah bangunan kokoh.

Balok-balok bata merah tersusun rapi jadi rumah yang megah. Tidak bisa dibilang kastil, namun ukurannya terlalu jauh untuk disebut kecil. Terlampau mewah untuk menampung beberapa orang penghuninya.

Ruangan itu berada di lantai dua. Sekilas seperti ruang kerja, ada rak-rak kaca, ada satu set kursi-meja, ada pula seperangkat sofa. Dindingnya batu, lantainya pualam. Permadaninya agak berdebu, namun ada benang-benang emas tersulam. Jelujur kuning berkilauan disepuh cahaya lampu, merangkai garis jadi lingkaran, di tengahnya ada jelujur kuning membentuk huruf A besar.

"Karpetmu sangat mencolok." Pemuda berambut ungu memperhatikan karpet di bawah kaki. Kakinya mengetuk-ngetuk karpet.

Namanya Bang Yongguk, si pemuda, baru pertama kali masuk ke kamar ini, walaupun dia hampir mengenal Himchan 10 tahun terakhir.

"Itu kebanggaan kami, 10 tahun yang lalu. Dan sampai sekarang adalah harta kami yang paling berharga." Si pemilik kamar mengisap rokoknya. "Keberadaannya bagai harta karun bajak laut yang diincar semua orang."

Si pria ungu menatap Himchan jengah, menghempaskan pantat pada sofa hingga berderik. "Jadi yang selama ini kita cari adalah sebuah karpet sialan?"

"Bukan karpet. Karpet ini hanyalah sebuah demonstrasi dari sistemnya. Yang tentu saja, cuma sebagian kecil dari apa yang kita cari."

Yongguk mengernyitkan dahi.

Kim Himchan tersenyum sambil memantik korek, dan biang apinya dibuang tepat di karpet. Karpet itu terbakar dan berlubang, namun serat-seratnya langsung tumbuh sendiri seperti sulur akar tanaman. Abrakadabra dan lihatlah semua, permadani itu kembali jadi sedia kala, tanpa bekas maupun noda. Ajaib.

Apa ini sihir?

Yongguk terhenyak, tapi Himchan terlihat bosan.

"Astaga—"

"Hebat, 'kan? Karpetnya dibuat dengan kemampuan alami manusia dalam menyembuhkan luka. Self healing."

Yongguk melotot. Bisa-bisanya dia berkata dengan nada tenang setelah apa yang ia pamerkan di hadapannya. Orang macam apa dia?

"Kalian benar-benar sekumpulan bajingan yang gila sains."

Asap rokok melenting. Himchan tertawa geli.

"Tidak sepantasnya kau berkata seperti itu pada orang yang lebih tua, Yongguk-ah~" Kim Himchan memejamkan mata, bibirnya masih membentuk bulan sabit, "Itu hasil kerja keras kami yang nantinya juga akan kau nikmati."

Benar. Tujuannya mengekor pada si brengsek di hadapannya tidak lain demi kakak yang paling ia cinta. Kakak yang keberadaannya bagai sosok seorang ibu. Kakak yang saat ini terbujur lemah di atas tempat tidur ruangannya. Hanya itu, bukan karena alasan lain.

"Kau tidak perlu merasa berhutang budi."

"Siapa yang—"

Tawa Himchan meledak. "Aku hanya bercanda. Ah~ Yongguk kecil sekarang sudah semakin besar saja." Si lelaki bermata coklat kembali berdiri. Di wajahnya ada senyum tak terbaca, senyum yang tidak pernah gagal membuat Yongguk ingin menekan pelatuk bazooka kesayangan. Rokoknya dibuang ke permadani dan diinjak agar mati.

Yongguk menatap tajam.

(( …

.

"Jangan bergerak! Pendarahanmu harus dihentikan!"

"—ak! Kakak! Tolong selamatkan kakakku!"

"HIMCHAN MENYINGKIR!"

))

.

"Oh ya, karena keributan yang kau buat minggu lalu, Master menyuruhku untuk menahanmu di rumah. Kau tidak akan bisa kemana-mana tanpa pengawasanku."

Hanya suara decihan yang terdengar.

"Sebagai gantinya, kami mengirimkan Jessica."

"Jessica?"

Himchan melangkahkan kedua kaki rampingnya keluar pintu.

"Gadis cantik dengan kaki kayu yang tinggal di kamar paling sudut lantai satu." Di wajahnya ada seringai, bisa dibilang terlihat keji.

"—Tadi dia keluar rumah membawa sabit raksasa sambil tertawa-tawa senang."

.

.


.

.

Tes.

Cras cras.

Testestestestes—

Cras.

.

Mata Park Chanyeol membulat sempurna. Kakinya baru bertahta di atas atap apartment untuk mengecek Baekhyun yang tak kunjung kembali. Di depan mata ada sebuah scene mengerikan. Seperti potongan adegan dalam film thriller yang sering ia tonton di waktu senggang.

Ada potongan-potongan tubuh berceceran. Ada banyak darah bermuncratan. Dan ada seseorang di tengah-tengah lautan darah, seorang perempuan, menyeringai lebar bagai serigala lapar. Parasnya ayu tapi eksistensi bagai hantu. Matanya terfokus pada sosok di sudut atap.

Itu Baekhyun.

Itu Baekhyun tanpa tangan kanan.

Dan potongan-potongan tubuh yang tergeletak pasti milik beberapa tetangganya yang juga penasaran akan suara gaduh di atas atap.

"Ba—"

"Chanyeol lari!"

Chanyeol jadi batu. Gadis berlumur darah mulai mengganti fokusnya, matanya berkilat melihat Chanyeol di dekat tangga.

"Park—

"—Chan—

"—yeol?"

Tap.

"BRENGSEK! AKU BILANG LARI PARK CHANYEOL!"

Tap tap tap.

"Hihihihihihihihihihi—

"KE-TE-MU."

Yang Park Chanyeol tahu, ia melihat seringaian setajam belati dan tubuh berbalut darah yang terhuyung-huyung melangkah ke arahnya. Dan sebuah sabit raksasa, menggantung di udara, menyeringai keji mengejeknya.

"—hahahahahaHA—"

Klak klak klak.

"Ap—"

Traaaaaaaaaak.

.

"HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!"

.

.

SLASH!

.

.

"CHANYEOL!"

.

.


.

.

Lampu-lampu kristal bersinar cantik dan terang. Cahayanya yang jalang menyorot Himchan dan membuatnya telanjang.

Himchan berada di sebuah ruangan. Ruangannya besar, lantainya licin, atapnya tinggi dan perabotnya mewah menawan. Kamar itu didominasi merah, merah yang membara di mana-mana, membakar tempat tidur berlapis sutera sampai tirai di jendela, segalanya dijejali merah sesuai dengan selera si pemilik kamar.

Ya, dia menyukai warna merah. Hangat dan indah, mengingatkannya pada sekepal batu mirah, mengingatkannya pada rumah dan bunga merekah

—mengingatkannya pada darah dari daging terbelah.

Di tengah-tengah tempat tidur ada seorang laki-laki berbalut selimut sutera. Tubuhnya telanjang bulat. Matanya tertutup rambut hitam yang berantakan. Meski begitu, Himchan tahu kalau orang itu tengah menatapnya.

Tanpa ragu-ragu, Kim Himchan melangkahkan kedua kakinya. Ia berhenti tepat di depan sang figur.

"Master."

Sang pemilik nama bergerak pelan menuju ke arahnya. Mencengkeram kemeja Himchan dengan jari-jari lentik, lalu menenggelamkan wajah ke dada bidang. Samar-samar suara isakan terdengar.

"Taehyung tidak mencintaiku."

Himchan menatapnya dengan pandangan yang menerawang jauh. Sorot matanya seperti bunga layu.

"Itu bukan kesalahanku kalau sekarang dia hanyalah bangkai tidak berguna!" ia terisak makin keras, "Bukan kesalahanku kalau Taehyung mati! Dia yang memintanya sendiri! Ini semua karena apa yang dia lakukan!"

Isakannya kini kembali samar. Ia mendongak. Menatap keping coklat Himchan, menarik yang ada di dalam dengan kepingan hitam menawan.

Jari-jari lentik yang terasa dingin mulai menapaki wajah si pria blonde. Membelainya pelan. Himchan tetap tak bergeming. Kontur wajahnya tidak berubah.

"Kau mencintaiku, 'kan, Himchan?"

.

.

.

(( "Sekuntum mawar? Untuk apa ini?"

"I-itu—"

"Mukanya Himchan merah! Hahahahaha!"

"Diam kalian!"

.

"—mu."

"…—eh?"

.

.

))

"Aku mencintaimu. Sangat sangat mencintaimu."

.

.


.

.

Park Chanyeol jatuh terkulai, hal terakhir yang ia lihat hanyalah punggung Sehun. Dan—

dan Baekhyun.

.

Pandangan Park Chanyeol mulai kabur.

Baekhyun.

"Aku heran kenapa kau—"

"—ku hebat dan kua—"

.

.

"at—…."

.

.

Tangan Byun Baekhyun kembali tumbuh.

.

.


.

next: capitulum iv

.


.

.

Author's note:

Wow, maaf ya lama sekali update-nya. Biasalah saya kena writer block. Sama akhir-akhir ini sibuknya tidak manusiawi o_o

Ada yang masih ingat cerita ini?

Btw, terima kasih untuk yang sudah mereview, membaca, memberi kritik dan saran, dan yang sudah menebak-nebak. Wah, kalian sangat aktif ya X'D /terharu.

Hoho, untuk setting saya ambil tempat Korea, soalnya nama-nama mereka nama Korea, 'kan. Dan untuk tahun mungkin 20xx ya, gak tahu pastinya tapi tahun segitulah, sesuaikan saja sama keadaan dimana robot2 seperti android mulai bermunculan. eue /plak. Untuk umur, saya sudah kasih gambaran sedikit di chapter ini dan chapter yang lalu. Chanyeol 16 tahunan, Taehyung 35 tahun, yang lain silakan dikira-kira, ya XD /plakplak. Thanks to Kim Jongmi for giving advices.

Karena chapter ini cukup panjang, saya gak bisa balas review satu-satu, takut beberapa kepotong gara-gara kebanyakan word. Jadi, saya akan membalasnya secara global.:'D

Btw, yang kena kanker itu Tehyung bukan Himchan. Maaf kalau kurang jelas (v). Lalu seperti yang sudah saya bilang, ini sci-fi jadi hal-hal yang menurut anda supranatural, belum tentu supranatural 8D
Ada yang sudah bisa nebak-nebak Baekhyun itu makhluk
macam apa?
Dan, ya, "lima untuk satu satu untuk lima" itu semboyan si lima sekawan di sini. Ehehehe. Yang dokter gak termasuk ke lima sekawan itu, lho. Dia cuma kesorot waktu lagi meriksa si Taehyung. Walaupun peran si dokter rada penting juga 8D *sok misterius* *digampar*

Dan maaf banget saya membunuh Taehyung di chapter lalu ;A; gak papa, dia juga bias saya, kok. #teruskenapa

Dan emang ff ini rada anime-ish dan manga-ish. Yang pernah lihat atau baca anime/manga se-level Pandora Hearts dan Fruits Basket pasti ngerti deh model cerita ini hehe. Thanks for reading. Luvyu~!

Thanks to:

BBHPCYXOXO, bmagnae, Baek, chenma, enchris727, H, Kim Kumiko, 13ginger, Kim Jongmi, Heraluv, Anonymous.