Rasa nyaman dan hangat yang menyelimuti tubuh sungguh merupakan hal tersulit untuk disingkirkan begitu saja. Kegelapan yang menakutkan menjadi sebuah perubahan baru yang melingkupi mata terpejam tanpa perlawanan. Sebuah hal yang patut dirasakan setiap orang di dunia ini. Termasuk pria yang sedang tertidur lelap di sebuah ranjang berukuran besar—terlalu besar untuk dirinya sendiri, tanpa pendamping. Bukan berarti dia tidak memiliki pendamping yang selalu menemani tidur lelapnya. Tidak berarti pendamping itu hilang atau kabur begitu saja tanpa mengucapkan kata 'selamat tinggal' atau 'sampai jumpa' padanya.

Ini adalah hal yang sungguh berbeda, disaat sebuah ikatan yang mengikat tubuh dan jiwa pria itu kepada si pendamping hidupnya sudah tertanam begitu kuat. Suami dan istri. Selamanya? Mungkin. Bila hubungan mereka bisa berjalan baik-baik saja, walaupun dihantam oleh sebuah hantaman keras yang mengganggu kenyamanan masing-masing. Itu yang dikatakan oleh orang-orang. Kehidupan rumah tangga tidak semudah yang diperkirakan. Dan hal itu sedikit mengusik pasangan muda ini, yang terlalu muda untuk menikah. Bisa dibilang begitu. Terlalu terburu-buru? Atau karena terlalu cepat untuk mengambil sebuah keputusan? Sepihak ataupun tidak? Itu tidak bisa menjadi landasan sebuah ikatan yang terikat murni tanpa syarat bagi mereka. Karena satu hal yang berhasil mengikat hubungan mereka menjadi sekuat ini—seperti pengkait yang saling mengait. Cinta. Sedikit klise, seperti sebuah film romansa yang terlalu lama untuk ditonton. Munafik. Palsu. Cerita dongeng. Mungkin itu yang dipikirkan kebanyakan pasangan muda, ataupun mungkin tua, karena hubungan setiap pasangan yang tidak berjalan sesuai pandangan masing-masing. Idealisme yang berbeda. Kadang keputusan untuk berpisah dapat terucap dengan sendirinya dari masing-masing mulut setiap pasangan, disertai argumen keras kemudian.

Namun, percayakah bila cinta murni itu benar-benar nyata? Tidak seperti obsesi ataupun sebuah ketergantungan yang mengikat jiwa hingga membuatnya rusak. Tidak seperti overdosis karena obat-obatan yang memakan tubuh hingga ketulang. Ini adalah sebuah ikatan yang saling membutuhkan satu sama lain, saling mengikat janji dengan setia hingga akhir hidup. Sebuah mimpi yang menjadi nyata. Tidak pergi menjauh.

*~(..)

(..)~*

*~(..)

~***~Home Sweet Home~***~

By: Morning Eagle

Disclaimer :: Bleach belong to Kubo Tite ::

Cover by Morning Eagle

Just to warn you all :: AU, OOC, Misstypos...for this story

(..)~*

*~(..)

(..)~*

Tangan pria itu menjangkau kasur kosong di sebelahnya, mencari-cari sesuatu untuk diraih. Atau seseorang. Selain selimut kusut yang terlihat terlalu besar untuk menutupi tubuhnya, menyatu dengan ranjang besar itu. Mencari sebuah kehangatan lain yang menghilang dari jangkauannya. Tapi tidak bisa ditemukannya dengan mudah.

Sesuatu menghantam perutnya tiba-tiba, sentakan kuat yang hampir membuatnya mengumpat. Tapi diurungkannya kemudian, mengingat sebuah janji yang sudah dikeluarkan dari mulutnya itu kepada istri tercintanya. Tidak boleh ada umpatan yang keluar selama di dalam rumah, ataupun di luar rumah. Mungkin itu akan sedikit sulit untuk dilakukan pria keras kepala ini—sekedar memenuhi janji yang menurutnya tidak masuk akal itu.

"Bangun!"

Teriakan di telinganya membuat mata pria itu perlahan terbuka dan mengerjap. Namun, rasa kantuk yang terlalu berat sedikit menghambat otaknya untuk berpikir, juga gerak tubuhnya. Sebelah tangannya menepuk-nepuk ranjang di sebelahnya, mulai naik ke arah perutnya yang ditindih oleh sesuatu yang hangat, keras, juga sedikit ringan. Dia tahu hal ini.

"Bangun otou-channn (1)!" Suara itu bergema lagi, namun terdengar sedikit berbeda. Lebih melengking dan terdengar tajam. "Otou-chan! Otou-chan! Otou-chan—"

"Kau berisik Kotone! Kau mengganggu tidur otou-chan," bisik suara yang terdengar lebih lembut, membuat pria itu sedikit terkekeh geli. Sedikit mirip dengan dirinya.

"Aku mau otou-chan! Otou-chan!" teriak suara melengking itu—Kotone—seorang anak perempuan yang terlalu keras kepala untuk berhenti berteriak. Bahkan, untuk mengganggu tidur nyenyak ayahnya.

Tangan pria itu meraih tubuh Kotone dan menariknya mendekat, hingga ikut tertidur di sampingnya. Kotone sedikit terkejut dengan pelukan hangat ayahnya dan memberikan sebuah senyuman lebar yang ditunjukkannya—hanya kepada ayahnya. Sebuah kenyataan yang sedikit membuat saudara kembarnya menggerutu kesal. Si suara lembut seperti ayahnya. Bocah laki-laki yang terlalu lembut dan takut untuk menyentuh kelinci sekalipun. Tidak seperti saudarinya yang terlalu berani untuk meraih sekumpulan cacing dengan genggaman tangannya yang penuh.

"Kau membangunkanku, Kotone," bisik pria itu lembut, menyunggingkan senyuman hangat untuk putri kesayangannya. "Dan kau memukul perutku?"

"Menendang!" koreksi Kotone, yang mendapat seringaian miris dari ayahnya. Putri yang terlalu pemberani. Cerminan dirinya sendiri.

"Otou-chan," bisik si bocah, yang ditinggal sendirian di samping ranjang oleh saudarinya. Matanya menatap nanar sosok ayahnya yang memeluk adik kembarnya itu, bukan dirinya. "Otou-chan—"

Sang ayah menatap sosok putra kebanggannya, yang sedikit nanar dan mungkin hampir menangis. Matanya mengingatkannya kembali pada sosok orang yang sangat dicintainya—seumur hidup. Istrinya. Mata besar yang memberikan kehangatan, juga kekuatan. Seperti permata yang terkubur di dalam timbunan tanah—harta karun. Kembali, seringaian pria itu tersungging begitu melihat putranya menatap penuh harap akan dirinya. Sepertinya bocah ini merasa terasingkan dari dirinya. Membuat pria itu sedikit menahan tawanya.

"Kemarilah, Kouta." Sebelah tangan pria itu yang bebas, kembali terulur untuk menjangkau putranya—Kouta. Dan tanpa pikir panjang bocah itu langsung meraih tangan ayahnya dan merangkak naik ke ranjang besar itu, ikut untuk bergabung.

"Kau cengeng!" teriak Kotone, lagi-lagi menyudutkan kakak laki-lakinya, yang terlalu lemah untuk mendengar kata-kata kejam seperti itu. "Lihat, kau menangis!"

"Aku tidak menangis!" bantah Kouta dan semakin memeluk erat tubuh ayahnya, menyembunyikan wajahnya dari adik perempuan yang sedikit ditakutinya. "Aku tidak menangis bukan, otou-chan?"

Pria itu kembali terkekeh geli dengan aksi putra-putrinya, sedikit menjadi hiburan di pagi hari. Suatu hal lucu yang menjadi penyegar di kehidupan kompleksnya. Dia mengelus-elus kepala putranya, berharap kepercayaannya bisa tersampaikan pada Kouta. "Tentu saja. Kau kuat dan hebat sepertiku, Kouta!"

"Betulkah—"

"Tidak!" sanggah sang adik, memotong kata-kata harapan dari mulut kakaknya. "Akulah yang seperti otou-chan! Otou-chan milikku!" Kedua tangan mungilnya kembali memeluk leher ayahnya, hampir membuat pria itu tersedak.

"Otou-chan…? Okaa-chan (2)…" ucap si bocah, mulai terlihat bingung, begitu ayahnya diambil oleh adik perempuannya. Dan satu-satunya peralihan bagi dirinya sekarang adalah sosok ibunya—yang dicintainya selama ini. Sosok nomor satu baginya. Nomor dua adalah ayahnya. Dan nomor tiga adalah Jiro—anjing Rottweiler yang selalu menemaninya bermain. Lalu, setelah itu adalah Kotone. Mungkin.

"Okaa-chan!" teriak Kouta, membuat ayahnya sedikit panik dengan perubahan emosi anaknya ini. "Aku mau okaa-chan!"

"Okaa-chan tidak suka anak cengeng," celetuk Kotone, membuat Kouta semakin merinding dan ketakutan. Matanya mulai berair. "Kau cengeng!"

"Aku…tidak cengeng—"

"Cengeng!"

"Hei…hei… Kotone," tegur sang ayah kepada putri keras kepalanya. Akhirnya. "Kau tidak boleh mengatakan hal buruk seperti itu pada kakakmu. Kouta tidak cengeng."

"Dia cengeng, otou-chan. Bahkan saat aku meminjam mainannya, dia menangis!" Tunjuk Kotone kepada sosok Kouta yang meringkuk dalam pelukan ayahnya. Terlihat ketakutan.

"Itu karena kau mengambil mainannya, Kotone. Bukankah sudah ayah bilang untuk tidak mengambil mainan milik Kouta?"

"Aku meminjamnya," ucap Kotone memberengut. Kata-kata ayahnya sedikit tidak ditanggapi oleh dirinya.

"Okaa-chan!" Kouta mulai memberontak dalam pelukan ayahnya dan berniat turun segera. Mencari sosok ibunya. "Aku mau okaa-chan!"

"Kouta—"

Kouta mendorong tangan ayahnya menjauh dan mulai merangkak untuk turun dari ranjang, sedikit membuat sang ayah takut. Tubuhnya terlalu kecil dan sedikit tidak stabil bila emosinya mengambil alih. Terakhir kali dia panik untuk mencari ibunya, Kouta berakhir dengan sebuah benjolan di dahinya—akibat terkantuk meja makan. Dan, mungkin kali ini dia akan terkantuk…pintu?

"Kouta, kemarilah!" bujuk sang ayah yang masih sedikit sulit untuk bangun, karena pelukan putrinya yang terlalu kuat melilit lehernya. "Kouta—"

"Okaa-chan!" teriak Kouta panik, berusaha menepis kata-kata ayahnya, yang kembali membuatnya kecewa karena sudah diambil oleh adik kembarnya. Dia tahu kalau ini merupakan hal yang sia-sia, untuk berusaha merebut ayahnya kembali kepadanya. Sekedar untuk memeluk dirinya.

"Rukia!" teriak pria itu putus asa, berusaha duduk sambil memeluk putrinya. Kotone tidak berniat untuk melepaskan pelukan manjanya, hingga dia merasa puas. "Rukia!"

Sepertinya alarm di pagi hari ini sedikit menyulitkan pria itu, suami sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Ini seperti menghentakkannya dengan sengatan listrik mendadak, sedikit membuatnya panik diselang waktu istirahatnya. Tapi, rasa cinta dan kasih sayang pada keluarganya tidak bisa membuat pria itu berkeras hati. Dia terlalu menyayangi keluarga kecilnya ini, yang kadang menjadi sumber dari sakit kepalanya karena beban berlebih. Dari seorang dokter muda yang sedikit keras kepala—Kurosaki Ichigo.

*~(..)~*

"Sudah kukatakan untuk tidak mengganggu tidur ayahmu, bukan?" omel si wanita bermata besar dan tajam, terlalu takut untuk dilirik oleh Kotone. Ibu yang sedikit galak untuknya.

Kotone tidak bisa berkata apa-apa, selain melirik tajam Kouta yang sedang memeluk erat kaki ibunya—seperti sebuah pegangan hidup. Sementara dirinya duduk di pangkuan ayahnya sambil membenamkan wajahnya pada kaos sedikit kebesaran milik ayahnya, menyembunyikan wajah memberengut dari tatapan tajam ibunya. Ini terasa tidak adil untuk dirinya, diadili di depan ayahnya.

"Kotone," bujuk ayahnya—Ichigo—untuk melepaskan pelukan terlalu eratnya itu dari tubuhnya. "Kau ingat apa kata ayah, bukan?"

"Tidak!"

"Kotone!" omel ibunya—Kurosaki Rukia—yang terlalu emosi untuk mengajari sopan santun pada putri keras kepalanya itu. "Minta maaf pada kakakmu?"

"Tidak!"

"Kotone," bujuk Ichigo lagi, mengelus-elus kepala putrinya lembut, berharap dia mau mengerti dirinya. "Kau sudah mengatakan hal buruk pada kakakmu. Dan sudah seharusnya kau meminta maaf."

"Tapi dia memang cengeng!" tunjuk Kotone pada sosok Kouta yang semakin bersembunyi di balik kaki ibunya.

"Kotone!" Rukia berjalan mendekat pada sosok putrinya yang masih terduduk nyaman di pangkuan ayahnya—di kursi meja makan. Matanya melirik Ichigo tajam, meminta izinnya untuk sedikit mendidik putrinya ini. Tapi sepertinya tidak bisa. Ichigo menatap Rukia lembut, berusaha meyakinkan istrinya untuk tidak memarahi putri mereka dengan cara yang sedikit keras. Mungkin membujuk bisa membantu.

"Biar aku saja," ucap Ichigo pada Rukia, sedikit tersenyum lemas menghadapi sikap keras kepala kedua perempuan di rumah ini. Hampir membuatnya sedikit gila. Tapi tidak sepenuhnya. "Kotone?"

"Otou-chan tidak akan memarahiku, bukan?" Kotone terlihat memohon, menatap ayahnya penuh harap. Kedua mata terangnya, yang sama seperti milik ayahnya, kembali membuat Ichigo luluh. Seperti menghipnotis dirinya. "Otou-chan tidak akan menghukumku, bukan?"

Ichigo menghela napas sebentar, berusaha untuk tidak terbujuk rayuan Kotone. "Ah, tentu saja tidak. Tapi, kau tetap harus meminta maaf kepada kakakmu."

"Tidak mau!"

"Kalau begitu, kau tidak boleh tidur lagi bersama ayah, kau mau?"

Kata-kata itu seperti sebuah sentakan untuk Kotone, membuat matanya berkaca-kaca karena takut. Dia tidak mau meninggalkan ayahnya, apalagi dipisahkan darinya. "Aku…minta maaf…"

"Kepada Kouta," tunjuk Ichigo, memiringkan kepalanya ke arah Kouta bersembunyi.

Kotone menatap Kouta ragu-ragu, sedikit tidak yakin dengan tindakannya. Namun, kata-kata ayahnya kembali terngiang-ngiang dalam benaknya, kembali membuatnya takut. "Maaf, Kouta…"

Kouta hanya mengangguk sebagai jawaban dan kembali memeluk erat kaki ibunya. Dan, akhirnya Rukia bisa menghela napas lega, melihat suaminya lebih bisa membujuk putrinya dibandingkan dengan dirinya. "Dia selalu mendengar kata-katamu, Ichigo."

"Karena kau selalu membentaknya, Rukia. Dia tidak suka dengan suara tinggi yang memerintahnya," jelas Ichigo, mengelus-elus kepala putrinya. Matanya menangkap sosok Kouta yang menatap nanar dirinya, kembali membuatnya tersenyum lebar. "Kemarilah, Kouta."

Dan sepertinya Kouta tidak mau mendekati ayahnya—untuk saat ini. Lebih memilih memeluk Rukia erat. Sedikit membuat Ichigo kecewa dengan penolakan putranya. "Dan sepertinya Kouta lebih memilih dirimu," ucap Ichigo.

Rukia hanya tersenyum lebar mendengar kekecewaan di dalam suara Ichigo dan memeluk putranya ke dalam pelukan hangatnya. "Ahha—Kouta takut dengan alis berkerutmu," balas Rukia, terdengar mengejek.

"Tapi, aku tidak membuatnya takut, Rukia."

"Hmm… tentu, sampai kau melepaskan Kotone dari pelukanmu. Kouta tidak suka hal itu," jelas Rukia yang mengecup kening putranya lembut, memberikan senyuman lebar pada wajah murung Kouta. "Dan, Kotone, ayo turun dari pangkuan ayahmu!"

Entah karena suara sentakan yang datang tiba-tiba, atau karena kemauan yang tidak disetujui oleh ibunya, Kotone menangis. Isakan terdengar dari dada Ichigo, kembali membuatnya panik. "Kotone?"

Dan Kotone berakhir dengan tangisan, kembali membuat Rukia harus memijit dahinya yang berdenyut, sementara putranya sedikit bergetar dalam pelukannya. Jangan bilang kalau dia—"Kouta?"

Menangis. Kouta mulai mengeluarkan isakan tangisnya—sedikit lebih lembut daripada suara merajuk adiknya. Dan lagi entah karena Kotone yang menangis, atau karena dirinya yang tidak lagi mendapat perhatian dari orang tuanya, walaupun hanya lima detik ditinggal menjauh.

*~(..)~*

"Pulang larut lagi?" tanya Rukia, masih sibuk membereskan meja makan sementara Ichigo sibuk membereskan kemeja lengan panjangnya—siap untuk pergi bekerja.

"Ah, ada operasi dadakan malam ini, dan Ukitake-sensei mengharapkanku untuk ikut hadir," jelas Ichigo, yang langsung memeluk istrinya mesra, sedikit membuat Rukia tersentak kaget. "Gomen."

"Hmm…tidak apa-apa," balas Rukia, terkesan tidak peduli. Rukia mulai memberengut kesal karena Ichigo, yang lagi-lagi harus meninggalkannya di tengah malam. Tidur sendirian. Itu bukanlah hal yang disukai Rukia, bahkan mungkin membencinya. Atau mungkin ada hal lain yang mengusik pikirannya?

"Kau marah."

"Aku tidak marah."

"Lalu, mengapa tidak mau menatapku?" tanya Ichigo lanjut, berusaha membujuk istrinya. Sekedar untuk menatap hangat dirinya.

Rukia hanya bisa mendesah pasrah dan membalikkan tubuhnya untuk menatap Ichigo—masih dalam pelukannya. Dan tanpa pikir panjang, Ichigo langsung melumat bibir Rukia cepat, tanpa sempat wanita itu memprotes. Ichigo hanya ingin Rukia mengerti dirinya, dan mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai istrinya itu. Namun, kata-kata kadang tidak bisa mewakilkan perasaannya yang terasa mendesak ini. Tindakan adalah jalan keluar terbaik, menurut dirinya. Sebuah ciuman yang berusaha meyakinkan Rukia, untuk terus berharap pada dirinya.

"Euuhh…gross," celetuk suara tinggi yang membuat Ichigo tersentak kaget. Spontan dia melepaskan pelukannya dari Rukia.

Tatapan Ichigo jatuh ke arah si gadis mungil, yang menatap dirinya dengan kerutan tajam di matanya. "Darimana dia belajar kata itu?" tanya Ichigo tidak percaya, menatap Rukia panik.

Rukia terdiam sesaat, menatap Kotone dalam diam. Alisnya mulai mengkerut bersalah, bercampur sedikit kekesalan. "Dia selalu mengikutiku di saat aku menonton serial drama Amerika di televisi. Sepertinya…dia menirukannya?"

Ichigo mengerang pasrah, sedikit takjub dan kesal dengan kelakuan putrinya. Di usianya yang masih di awal pertumbuhan, bukan hal aneh dia masih beradptasi dengan keadaan sekitar. Termasuk mencontoh. Hal baik maupun hal buruk.

Ichigo berjongkok dan mengamati putrinya dalam diam. Sementara Kotone masih memandang ayahnya dengan perasaan tidak suka. Lagi-lagi ibunya mengambil perhatian ayahnya dengan cara yang tidak begitu disukai gadis mungil itu. Aneh. "Kotone, kau tidak boleh mengatakan kata itu lagi, mengerti?"

"Kenapa? Orang-orang itu selalu mengatakan kata itu disaat mereka melihat sesuatu yang menjijikkan, otou-chan!"

Oke, ini di luar batas pemikiran Ichigo. Dirinya yang mencium Rukia dikatakan sebagai hal yang menjijikkan, oleh anaknya sendiri. Ini buruk.

*~(..)~*

It's time for…

The birthday's present

*~(..)~*

"Okaa-chan! Ayo kita buat kue!" teriak Kotone semangat, mengangkat kedua tangannya ke udara. Sementara Kouta tersenyum lebar di belakangnya, menatap harap pada ibunya yang sedang membersihkan counter dapur.

"Kue ulang tahun! Yang besar!" ucap Kouta, menambahkan.

Rukia mendesah pasrah melihat kelakuan dua anak kembarnya, terlihat mirip dan menggemaskan hanya disaat tertentu. Dan sekarang adalah saat itu, dimana mereka terlihat baik-baik saja tanpa sebuah pertengkaran. "Hmm…tapi ayah kalian akan pulang larut malam ini, mungkin setelah kalian sudah tertidur."

"Tidak! Kami tidak akan tertidur! Benar kan, Kouta?" tanya Kotone pada saudaranya.

"Iya! Kami tidak akan tertidur!" jawab Kouta antusias.

Ah, tentu saja Rukia tidak bisa menolak lagi, mengingat hari esok adalah hari yang sangat spesial. Ulang tahun Ichigo. Dan Rukia sudah berjanji pada anak-anaknya untuk membuat kue ulang tahun di pergantian hari ulang tahun suaminya—ucapan pertama baginya. Tentu saja si kembar sangat antusias mendengar kabar itu, dan terlalu tidak sabar untuk menyentuh sebutir telur dan mencampurkannya pada tepung di dalam mangkuk besar.

"Aku yang mengocok telurnya!" saran Kotone, menarik-narik celemek kelincinya dari laci dapur.

Kouta mengikuti tingkah adik kembarnya, mengambil celemek birunya dan berusaha mengikatnya di tubuh mungilnya. "Aku yang memanggangnya!"

Rukia hanya bisa tersenyum pasrah melihat rasa antusias dari anak-anaknya dan mulai membantu mereka untuk memasang celemek mereka. "Ya. Tentu saja. Kau bisa mengocok telurnya Kotone, sementara Kouta memasukan adonan ke dalam oven. Nah, apakah kalian siap untuk memberi kejutan pada ayah kalian?"

"Ryoukai (3)!" ucap si kembar bersamaan dan memberikan sikap hormat layaknya prajurit perang yang ditiru mereka dari sebuah acara televisi. Dan lagi-lagi Rukia tertawa karena hal menggelikan tersebut.

*~(..)~*

"Apa otou-chan akan memakan otou-chan?" tanya Kouta bingung, memperhatikan strawberry yang tersusun rapi di atas kue ulang tahun yang sudah dipanggangnya—lebih tepatnya ditaruhnya di dalam oven yang sudah disiapkan oleh ibunya.

"Ini buruk! Otou-chan tidak boleh memakan otou-chan!" balas Kotone, mengikuti ekspresi Kouta, hanya saja lebih mendramatisir.

Rukia hanya bisa tertawa lebar melihat kepolosan si kembar, bersandar pada meja makan sambil menaruh strawberry di atas kue satu per satu. "Tentu saja tidak. Arti nama ayahmu bukanlah buah strawberry." Sebenarnya Rukia sedikit tidak sabar untuk melihat ekspresi Ichigo, begitu melihat strawberry tersusun rapi di atas kuenya.

"Lalu?" tanya si kembar bersamaan. Mata mereka berair, karena antusias sekaligus takut rencananya gagal. Berharap ayahnya tidak kecewa pada mereka.

"Arti namanya adalah pelindung, sayangku," ucap Rukia sambil mengecup pipi putranya yang kotor oleh tepung dan adonan kue. Sementara Kotone meraih pinggang ibunya dan memeluknya erat. "Orang yang melindungi."

"Aku lebih suka strawberry," ucap Kotone bingung begitu mendengar penjelasan dari ibunya, sambil menunjuk buah strawberry. "Itu terdengar lebih manis!"

Rukia tidak bisa menahan tawanya, menyadari putrinya memang lebih suka hal-hal manis dan menggemaskan—seperti dirinya. Rukia tertawa terbahak-bahak, sementara si kembar menatap ibunya bingung, tidak mengerti maksudnya. "Kau…harus mengatakannya sendiri pada ayahmu, Kotone. Itu hal yang bagus!"

"Benarkah?"

"Aku lebih suka pelindung!" balas Kouta tidak setuju, menatap tajam Kotone. "Itu terlihat lebih keren!"

"Tidak! Otou-chan lebih cocok dengan strawberry!" balas Kotone marah, mulai memelototi kakaknya.

"Otou-chan laki-laki! Dan strawberry adalah untuk perempuan!"

"Tidak! Otou-chan milikku!"

"Okaa-chan! Otou-chan…otou-chan…" rengek Kouta, lagi-lagi terlihat kebingungan. Ayahnya lagi-lagi direbut adiknya. Dengan paksaaan.

"Ayolah! Kalian jangan bertengkar lagi! Dan Kotone, ingat kata-kata ayahmu, hmm?" jelas Rukia, berusaha untuk tidak memakai amarahnya pada Kotone. Mungkin ini akan berhasil.

"Tidak! Otou-chan milikku!" gerutu Kotone marah, menatap nanar ibunya. Dia tidak suka dinasehati oleh Rukia, dan memang benar. Hanya Ichigo lah yang bisa menegurnya. Sementara Kouta berusaha menahan tangisnya untuk tidak keluar, memperhatikan kue di depannya dengan alis mengkerut. Suatu hal yang memiliki kesamaan dengan ayahnya, alis mengkerut.

*~(..)~*

"Otou-chan belum pulang?" tanya Kotone untuk kesekian kalinya, dan menguap lebar. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Dan belum ada tanda-tanda untuk kepulangan Ichigo.

Kouta sudah tertidur lelap di samping adiknya, dengan kepalanya yang bersender pada bantalan sofa. Kotone masih terus berjuang untuk membuka matanya, bersender pada bahu Kouta dan sesekali menggeleng kuat. Melawan rasa kantuknya. "Okaa-chan?"

Rukia hanya menatap simpati kedua anaknya itu, yang sudah kelelahan untuk menunggu kepulangan Ichigo. Dirinya sudah berusaha untuk membawa si kembar kembali ke kamarnya, tapi tidak berhasil. Berkali-kali mereka lari dari kamarnya dan lebih memilih duduk di sofa ruang tengah bersama Jiro di samping sofa—berbaring di lantai. Bahkan, anjing kesayangan keluarga Kurosaki pun sedikit mengantuk menunggu kepulangan majikannya. Membuat Rukia semakin frustasi.

"Ayah masih bekerja, sayangku. Mungkin sebaiknya kau tidur dan menunggu besok hari. Kuenya sudah ibu masukkan ke dalam lemari es."

"Tidak mau, aku mau menunggu otou-chan," rengek Kotone, bergerak-gerak gelisah. Dan karena itu, Kouta ikut terbagun, dengan setengah mata terbuka.

"Otou-chan?" tanya Kouta bingung, memandang sekeliling ruangan tapi tidak bisa menemukan sosok ayahnya.

"Ayah belum pulang, Kouta. Kau bisa melanjutkan tidurmu—"

"Tidak mau," balas Kouta, juga ikut merengek. "Aku mau otou-chan."

Rukia mendesah pasrah dan beringsut mendekat kepada si kembar, duduk menemani mereka. Kotone meraih tubuh ibunya dan memeluknya kuat, diikuti oleh Kouta. Kadang, si kembar sangat ingin dan merindukan kehangatan ibunya. Sangat nyaman dan membuat mereka merasa aman. Sosok Rukia menjadi hal yang tidak bisa lepas dari pandangan si kembar, bila menjelang malam tiba. Dan pagi hari digantikan oleh sosok ayahnya. Seperti matahari dan bulan. Saling mengisi bergantian.

Rukia mengelus lembut rambut Kotone yang tergerai panjang sebahu, berwarna gelap seperti dirinya. Berbeda dengan milik Kouta, yang terang seperti ayahnya. Selalu membuat Rukia mengingat jelas wajah Ichigo, di saat dia ditinggal di rumah bersama kedua anaknya. Seseorang yang selalu dirindukannya.

Suara pintu berderit pelan membuat perhatian Rukia teralihkan, dari si kembar yang sudah tertidur lelap di pelukannya. Suara langkah perlahan mengisi ruang tengah, memperlihatkan sosok Ichigo yang masih memakai pakaian lengkapnya, dengan jas yang tersampir di bahunya. Jiro terbangun karena suara majikannya dan memilih menghampiri Ichigo dengan ekor mengibas—menyambutnya. Ichigo mengelus kepala dan leher Jiro semangat, memberi perhatian terima kasih karena anjing itu mau menunggu kepulangan dirinya. Dan matanya menangkap sosok Rukia yang terduduk di sofa, membelakangi dirinya. Perlahan Ichigo berjalan mengendap ke arah istrinya dan memberikan kecupan singkat pada puncak kepalanya.

"Tadaima (4)," bisik Ichigo yang tersenyum lebar, lega melihat istrinya masih menunggu kepulangan dirinya. Juga sedikit rasa bersalah.

"Okaeri (5), Ichigo."

Dan Ichigo menangkap sesuatu yang ganjil pada pelukan Rukia—kedua anaknya. Si kembar yang tertidur pulas dan melupakan kepulangan ayahnya yang terlalu larut. "Mengapa mereka tidur di sini? Tidak di kamarnya?" Tanya Ichigo bingung.

"Mereka menunggumu, untuk mengucapkan selamat ulang tahun," jelas Rukia, tersenyum lebar melihat si kembar masih tertidur lelap dalam pelukannya. "Dan mereka tidak bisa menahan rasa kantuknya. Untung saja besok hari minggu."

"Maaf," kata Ichigo, merasa bersalah telah membuat anak-anaknya menunggu dalam kebosanan dan jatuh tertidur. Ichigo melangkah mengitari kursi dan duduk di sebelah Rukia—di samping Kotone. "Seharusnya aku pulang lebih awal."

Rukia melirik jam di dinding, menandakan pukul sebelas malam lewat lima puluh lima menit, hampir berganti hari. "Tapi kau belum terlambat, untuk menunggu ulang tahunmu tiba. Lima menit lagi."

Ichigo mendesah sesaat, menyadari dirinya akan bertambah umur. "Aku semakin tua, ya?"

Rukia menyenderkan pipinya di atas kepala Kouta lembut dan melirik Ichigo jahil. "Hmhm.. lalu? Ketampananmu memudar?"

Ichigo menatap Rukia dengan tatapan tidak percaya, mengatakan 'yang-benar-saja?', "Rukia."

"Hanya bercanda. Kau masih terlihat tampan di umur dua puluh delapan, suamiku," goda Rukia, memberikan senyum jahilnya lagi. Ini sungguh membuat Ichigo frustasi.

"Kalau saja si kembar sudah kembali ke tempat tidur mereka," pikir Ichigo.

Tiba-tiba saja Kotone bergerak dalam tidurnya dan mengerjap perlahan. Dia terbangun, mungkin karena suara kedua orang tuanya yang berbisik lembut di telinganya. Sebelah tangannya mengusap kelopak matanya, sebelum melihat sosok ibunya yang tersenyum padanya. "Okaa-chan?"

Ichigo langsung meraih tubuh putrinya dan membuat Kotone tersentak kaget—hampir berteriak. "Apa yang kaulakukan disini, Kotone? Mengapa tidak segera tidur di kamarmu?" Goda Ichigo, berpura-pura tidak tahu rencana si kembar untuk mengagetkan ayahnya.

"Otou-chan!" teriak Kotone, membuat Ichigo dan Rukia tersentak kaget. Putrinya memang memiliki suara yang tinggi sekaligus besar. "Otanjoubi omedetou (6)!"

Dan Kouta terbangun dari teriakan adiknya itu, mengerjap sebelum mendapati sosok ayahnya yang sudah pulang. "Otou-chan?"

"Kouta," panggil Ichigo, dengan senyuman lebar terpatri di wajahnya.

"Otanjoubi…omedetou…" ucap Kouta bingung, masih terlihat mengantuk. Rukia kembali tertawa melihat tingkah putranya dan memberikannya pada Ichigo di sampingnya.

Dengan sayang Ichigo mengecup Kotone dan Kouta secara bergantian, memberikan kebahagiaan bagi kedua anaknya tersebut. "Terima kasih, Kouta, Kotone. Ayah sungguh menyayangi kalian."

Dan tiba-tiba Kouta teringat akan kuenya, yang masih tersimpan di dalam lemari es. Dia mendorong tubuhnya menjauh dari pelukan ayahnya dan beringsut turun dari sofa. "Kouta? Kau mau kemana?" tanya Ichigo bingung.

"Kuenya," ucap Kouta sambil berjalan limbung menuju dapur. Rukia memperhatikan gerak gerik putranya yang sedikit membuatnya takut. Dia bisa saja terjatuh atau mungkin kembali terkantuk meja.

Benar saja, dalam beberapa langkah yang diambil Kouta secara asal, kakinya tersandung sesuatu yang kasat mata—atau mungkin tidak ada—dan membuat tubuhnya terjatuh ke lantai. Rukia yang terkejut dengan hal itu, langsung terbangun dari duduknya dan menghampiri sosok Kouta yang tidak bergerak.

"Kouta?"

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Ichigo panik, ikut bangun dari duduknya bersama Kotone di pelukannya, sudah kembali jatuh tertidur dalam pelukan hangat ayahnya.

"Astaga—"

"Kenapa, Rukia?"

"Dia…tertidur," jawab Rukia tidak percaya, melihat Kouta mendengkur halus tanpa rengekkan sedikitpun. Putranya sudah terlalu lelah untuk berjalan beberapa langkah sekalipun. "Dia benar-benar membuatku takut."
Ichigo tertawa kecil melihat tingkah putranya, lagi-lagi di luar akal sehatnya. Kouta yang selalu menangis bila terjatuh, kali ini tertidur pulas tanpa bergerak. Benar-benar menggemaskan. "Dia seperti dirimu."

"Apa katamu?" tanya Rukia tajam, sambil menggendong Kouta dalam pelukannya. "Aku tidak tidur sambil berjalan!"

"Ya, tapi langsung jatuh tertidur pulas tanpa bergerak," balas Ichigo, berusaha menggoda Rukia. Kini mereka mulai melangkah ke arah kamar si kembar, dengan perdebatan baru di antaranya.

"Kau tidur mendengkur," balas Rukia sambil tersenyum lebar, berhasil membuat Ichigo panik.

"Aku tidak mendengkur!" bisik Ichigo, berusaha untuk tidak membangunkan si kembar. "Kau tahu itu, Rukia!"

Rukia hanya bisa tersenyum lebar, melihat Ichigo panik karenanya. Sungguh tidak bisa bertumbuh dewasa. Semakin membuat Rukia tidak bisa melepaskan dirinya menjauh dari Ichigo, membuatnya ikatan mereka semakin kuat. Sebuah memori yang akan selalu mereka kenang hingga bertambahnya umur tahun demi tahun. Menjelang masa tua mereka, duduk berdua dan saling berbagi kasih dan candaan satu sama lain. Tidak pernah berubah.

Setelah mereka membaringkan si kembar di ranjang masing-masing, yang terpisah satu sama lain dan tidak lupa untuk memberikan kecupan selamat malam, mereka segera keluar dari kamar si kembar perlahan. Ichigo menggandeng Rukia di sampingnya dan kembali ke kamar mereka untuk beristirahat.

"Ah!" ucap Rukia, hampir mengagetkan Ichigo lagi.

"Ada apa?"

"Aku lupa!" Rukia menatap Ichigo khawatir, melupakan sesuatu yang sudah dilupakannya sesaat tadi.

"Apa?"

"Otanjoubi omedetou, Ichigo," ucap Rukia lembut, memberikan senyuman hangatnya pada Ichigo. "Aku belum mengatakannya."

Ichigo tersenyum lebar mendengar pengakuan istrinya, yang lagi-lagi mengagetkannya tanpa alasan yang jelas. "Terima kasih, Rukia."

Ichigo segera mengecup bibir Rukia lembut, mencari kehangatan yang dirindukannya. Dan akan selalu menemaninya hingga tahun-tahun berikutnya. Selalu ada di dekatnya, membuatnya merasa semakin hangat di pertengahan musim panas. Dan tangannya meraih tubuh Rukia untuk mendekat, ke dalam pelukan posesifnya. Mendekap dalam kebutuhan yang sangat diinginkannya sekarang. Yang akan selalu menjadi rumah untuknya.

"Rukia," bisik Ichigo di sela-sela ciuman lembut mereka, memberikan sensasi menggelitik dari ujung jari.

"Hmm?"

"Aku ingin hadiahnya," lanjut Ichigo, tersenyum lebar pada bibir Rukia.

"Aku dan anak-anak sudah menyiapkannya untukmu, tunggulah pagi hari—"

"Bukan yang itu," potong Ichigo, pandangannya menuntut dan meminta lebih dari Rukia. "Tapi, malam ini—"

Rukia melotot mendengar kata-kata suaminya, sedikit bergidik kaget. "Ichigo!"

"Ini ulang tahunku." Ichigo mulai memprotes sikap istrinya dan memilih mengangkat tubuh mungilnya dalam dekapan hangat, membuat Rukia hampir salah tingkah.

Perlahan pintu kamar mereka tertutup rapat, pukul dua belas malam lebih sepuluh menit. Malam tiba dan akan berganti pagi, menjadi hari baru dan sebuah lembaran yang baru. Bagi keluarga kecil Kurosaki.

*~(..)

(..)~*

*~(..)

~Thanks for my playlist! Happy Ending by Mika! Sunshine by Monkey Majik!~

(..)~*

*~(..)

(..)~*

"Ta—da—!" teriak Kotone semangat, memberikan kue ulang tahun pada ayahnya dengan wajah menyeringai. Begitu pula dengan Kouta di sampingnya, menatap harap pada ayahnya. "Ini kue otou-chan!"

Ichigo menatap diam kue yang sudah tergeletak di atas meja makan, krim putih yang menyelimuti dihiasi hiasan strawberry di atasnya. Strawberry. Ichigo. Ya, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Rukia yang merencanakannya. Kini Ichigo menatap tajam Rukia yang menghindari kontak mata dengannya, berusaha untuk tidak tertawa.

"Kami yang membuatnya!" ucap Kouta semangat, berusaha menarik perhatian ayahnya.

"Ah—begitukah? Terima kasih," ucap Ichigo terlihat bingung, antara strawberry di atas kuenya dan si kembar yang antusias.

"Karena itulah ini kue otou-chan! Ada banyak otou-chan di atasnya!" jelas Kotone yang langsung membuat Rukia tidak bisa menahan tawanya. Terlalu lucu untuk melihat kepolosan Kotone, dibandingkan dengan raut memberengut Ichigo.

"Tidak! Otou-chan bukan strawberry. Itu buruk!" sanggah Kouta yang langsung mendapat tatapan tajam Kotone. Dia tidak menyukainya. "Otou-chan adalah pelindung!"

Ichigo tersenyum mendengar pernyataan putranya, sedikit membuatnya bangga. Kouta tahu hal itu. Pria kuat yang akan menjadi seperti dirinya. "Kouta—"

"Itu tidak manis! Otou-chan tidak terdengar manis!" bantah Kotone, kembali membuat Ichigo melongo. Dirinya disamakan dengan strawberry, oleh putri kesayangannya. Sedikit membuat harga dirinya tertarik mundur. "Otou-chan adalah strawberry! Benar bukan, okaa-chan?"

Rukia hanya bisa tertawa terbahak-bahak sambil mengangguk dan memeluk putri manisnya itu. Hal ini membuat Ichigo memelototi istrinya, bersama dengan Kouta di sampingnya—yang lagi-lagi berubah nanar. Bukan hal mudah untuk menyatukan keluarga Kurosaki menjadi kesatuan yang utuh, tanpa perdebatan.

"Ini tidak lucu, Rukia—"

"Otou-chan tidak suka?" tanya Kotone memelas dalam pelukan Rukia, lagi-lagi menatap Ichigo penuh harap.

"Otou-chan tidak suka," tambah Kouta yang berubah murung, menarik-narik celana ayahnya. "Sudah kukatakan kalau otou-chan tidak menyukai kuenya."

"Bukan. Aku menyukainya…sungguh," ucap Ichigo, mengoreksi. Tangannya menepuk-nepuk kepala Kouta lembut, memberi semangat.

Begitu Ichigo menyetujui, Kotone langsung bersemangat dan mengambil satu buah strawberry dengan tangannya. Kotone tersenyum lebar sambil menyodorkan buah itu pada wajah sang ayah diatasnya, berharap Ichigo menyukainya. "Kalau begitu, ini untuk otou-chan! Aaaa~"

Ichigo hanya bisa menuruti perkataan putrinya, sementara Rukia kembali tertawa tanpa bisa menghentikan dirinya—menepuk-nepuk meja makan.

Ah, mungkin untuk saat ini Ichigo akan menurutinya, membiarkan keluarganya berbahagia di hari bahagianya ini. Ichigo melahap strawberry yang disodorkan Kotone dalam sekali lahap dan tersenyum lebar begitu melihat kedua anaknya tersenyum puas akan hasil kerjanya.

"Otanjoubi omedetou, otou-chan!"

Ichigo langsung menarik kedua anaknya dalam pelukannya, merasakan kehangatan dan masa depan kecilnya yang mulai berkembang. "Ahh, terima kasih Kouta, Kotone."

Mata Ichigo menatap Rukia yang tersenyum lebar kepadanya, merasa bahagia melihat keluarganya terasa begitu sempurna. Uluran tangan Ichigo terlentang untuk menjangkau Rukia, yang langsung disambut oleh istrinya itu. Rukia memeluk leher Ichigo dan mengecup kening suaminya, tanpa melepaskan pandangannya pada anak-anaknya yang masih tersenyum bahagia.

"Hei, bukankah kalian sudah mempersiapkan hadiah untuk otou-chan?" Tanya Rukia, melirik si kembar yang mulai melongo menatapnya.

"Ada lagi?" tanya Ichigo, memperhatikan anak-anaknya mulai melepaskan pelukannya dan turun bersamaan.

"Tentu saja ada!" teriak Kouta berlari ke arah kamarnya, diikuti oleh Kotone di belakangnya.

"Sweater pink! Sweater pink!" tambah Kotone antusias, yang langsung membuat Ichigo mengkerut ngeri.

Ichigo mengeratkan pelukannya pada pinggang istrinya, terlihat takut untuk menghadapi anak-anaknya. Kali ini. "Rukia—"

Rukia hanya bisa mengalihkan pandangan, lagi-lagi berusaha menahan senyumnya. "Mereka yang memilih, bukan aku."

*…*…*…*…*おわり *…*…*…*…*

Author's note:

Dictionary (Japanese):

(1) Otou-chan: Ayah

(2) Okaa-chan: Ibu

(3) Ryoukai: berarti Roger, yaitu siap, laksanakan.

(4) Tadaima: Aku pulang

(5) Okaeri: Selamat datang

(6) Otanjoubi Omedetou: Selamat ulang tahun

Arti nama:

Kouta: 康(kou) "peace" and 太(ta) "thick, big".

Kotone: 琴(koto) "harp, lute" and 音(ne) "sound".

It's too cute to write! XDb Pertama kali membuat fic yang dimana ada anak kecil di dalamnya, apalagi ini anak dari Ichigo dan Rukia… Membayangkannya saja sudah membuatku senyum-senyum sendiri. Kawaii~ (m)b Dan..arti nama Kotone menjelaskan mengapa dia memiliki suara lantang yang tinggi, seperti suara harpa..wkwkwkkw XD

Cerita ini diketik spesial untuk merayakan ulang tahun Ichigo yang jatuh pada tanggal 15 Juli! Happy birthday for our hero! Yeeayy~ Otanjoubi Omedetou~ (=m=)b

Hope u all like this story~ XD

And…ada yang berminat untuk melihat lanjutan cerita ini? Mungkin beberapa chapter mengenai kehidupan keluarga kecil Kurosaki..thehehehe…Atau hanya diselesaikan sampai disini saja? XD Aku tunggu pendapat kalian..XDb

Terima kasih sudah mau membaca fic ini! Love u all~

*~(..)

(..)~*

Love, Morning Eagle