A/N : Hm. Kayaknya fic dengan tema pembunuhan udah jarang ya di FHI. Tapi jari-jari ini lagi ngebet pengen bikin ginian, broh! Aih, gara-gara ide fic ini 'The NEWS' ampe terbengkalai #digebukin Ini pasti efek gara-gara kebanyakan main capsa di kelas #aib Dan main poker itu bikin ketagihan, broh, terutama jika kamu nge-raise uang taruhan dan kartumu ternyata yang paling tinggi dari antara semua pemain! HAHAHA! I'M THE BIGSTACK BULLY! #angkatgelasbir
Disclaimer : Cerita Hetalia: Axis Powers—sayangnya—punya abang Hidekazu Himaruya yang secara tidak langsung memaksa saya supaya berterimakasih pada emaknya yang udah ngelahirin manusia jenius macam dirinya! Oh, damn. Terimakasih uda munculin Prussia! Dan sayangnya saya nggak bisa ngambil keuntungan meteril dari cerita ini…
Warn : Gore. Too much villain in this story. Death minor chara. OCMale!Indonesia.
Listening to : 'Hotobashire Jounetsu (Overflowing Passion) – The Bad Touch Trio'! Oh, damn! Aihh ! INI LAGU! I-I-INI LAGU—Ini lagu awesome banget! X'D #bantingmeja AAAAHH! PRUSSIA! Gitarnya SPAIN! Musiknya, men! Kenapa sih kalian nggak bikin band aja? Kenapa harus jadi reporter?! #dibom
.
Joker, Poker, Blackjack © Raputopu
Hetalia: Axis Powers © Hidekazu Himaruya
Joker © The Fool from French Tarot
Poker / BlackJack © Card Games
Royal Flush © Hold'em Poker
.
Royal Flush—A straight flush consisting of the five highest cards of one suit, ranked as the highest hand in certain games of poker. (Kartu dengan nilai tertinggi dalam permainan Poker)
Bunyi alarm museum berkumandang nyaring ke setiap lantai. Membangunkan sekitar sepuluh petugas yang berjaga di pos mereka. Tergagap mendengar nyaring alarm dan cahaya merah yang berkedap-kedip cepat, sepuluh petugas museum itu buru-buru bergegas berlari mencari ruangan mana yang dihinggapi pencuri.
Tiga penjaga berlari menyisir museum bagian artefak kuno bangsa Mesir. Lampu senter dilayangkan ke segala arah. Ke peti mumi, hieroglif, dan patung-patung Obelix yang disandingkan di keempat sudut. Kemanapun senter diarahkan, disana tetap tak tampak sosok pencuri yang dicari-cari. Ketiga polisi itu memaki kesal. Ketiganya kemudian berlari menuju lantai dua.
Empat penjaga lainnya menyisir ke bagian sejarah Amerika Serikat. Dimana replika kuda-kuda perang dan senjata api pada abad ke-18 tertera rapi, sengaja diberi jarak dua meter, memenuhi ruangan. Sama seperti hasil dari tiga penjaga sebelumnya. Ruangan gelap itu benar-benar kosong. Tak ada apapun kecuali seekor laba-laba yang tengah membuat jaring di pojokkan.
Dua penjaga lain, yang merasa agak pintar, berlari menuju ruangan batu alam berharga. Ruangan paling sakral di seluruh gedung. Karena hanya disinilah barang-barang berharga milyaran euro tertumpuk pada satu area sempit seluas sepuluh meter. Sampai di depan pagar tali berwarna merah, dimana di depan mereka adalah kotak-kotak kaca dengan batu mengkilat dan menyilaukan, mereka segera melayangkan senter itu ke segala arah dengan waspada. Dan sialnya, dua penjaga sok pintar itu juga tak menemukan pencuri yang dicari-cari.
Sementara seorang penjaga lain, yang sudah lelah berlari mengelilingi gedung tak tentu arah, akhirnya kelelahan dan memutuskan untuk mematikan alarm. Disamping warna merah yang membuat detak jantungnya berdegup tiga kali lebih cepat dari sebelumnya, ia juga bernasib sama seperti sembilan penjaga lain. Tidak menemukan sosok si pencuri. Saling berkomunikasi lewat walkie-talkie, anak buahnya melaporkan tidak menemukan ada barang yang hilang atau bergeser sesentipun dari tempatnya. Bahkan tanda-tanda kehadiran seorang manusia juga tak terlihat di tiap lini gedung.
"Baik. Segera berkumpul di ruang tengah!" kata Ludwig, sang ketua penjaga museum, pada kesembilan anak buahnya.
Kesepuluh pria berseragam itu akhirnya tiba di lantai dua, tempat yang memang disediakan sebagai ruang pertemuan. Lantai dua yang hanya dikhususkan untuk penyimpanan arsip-arsip penting memang kurang dijamahi pengunjung, sehingga pria-pria gagah berani ini sering menghabiskan waktu senggang mereka di ruangan ini.
"Lapor! Keadaan di ruangan sejarah Mesir dan lukisan reinassance masih aman! Tak ada mumi yang kabur dan semua lukisan masih di latar mereka masing-masing!"
"Bodoh! Memangnya ini Harry Potter?" maki Ludwig. Lelah, kemudian dilayangkannya pandangan ke empat penjaga lain yang berpatroli bersama-sama. "Kalian! Bagaimana?"
"Lapor! Ruangan di sejarah Amerika Serikat, patung Michaelangelo, dan koin emas Maya masih aman di tempatnya. Tidak ada kuda yang kabur, patung yang minta dimandikan dan koin emas Maya yang dibelanjakan!"
"Bodoh! Ini bukan Wonderland!" maki Ludwig untuk yang kedua kalinya. Kesal karena anak buahnya ini terlihat mengada-ngada, namun tersamarkan dengan sorot mata mereka yang teramat serius. "Lalu, kalian? Bagaimana?" tanyanya pada dua orang lain yang datang terakhir.
"Lapor! Batu alam masih aman! Tidak ada kotak-kotak yang pecah ataupun dilubangi. Semua permata dan berlian masih di kelompok masing-masing."
Ludwig mengangguk-angguk. "Baik." Merasa mendapat kejutan karena dua kawannya yang ini ternyata tidak sengawur tujuh orang sebelumnya.
Namun, tidak seperti kesembilan temannya yang kini justru bersenda gurau mengenai pertandingan bola semalam, merasa tidak ada masalah di museum ini, mata beriris biru itu masih sibuk menggerayangi langit-langit yang gelap dengan pandangan waspada. Disana memang tidak ada apa-apa kecuali lis atap yang berukir indah dan menggugah mata. Namun, kenapa justru rasa sepi ini yang kian menghimpitnya? Matanya kemudian menjalar liar ke sekeliling ruangan yang jelas-jelas sepi. Benar-benar sepi.
Walaupun semua laporan mengatakan tidak ada masalah di museum ini, Ludwig, entah mengapa masih teramat gusar.
Ada sesuatu yang tidak beres. Alarm jelas-jelas tidak mungkin berbunyi tanpa alasan.
Ludwig kemudian meninggalkan teman-temannya, dirinya berjalan menyusuri koridor sepi menuju pos keamanan. Ditemani sebuah senter dan balok panjang yang niatnya akan digunakan untuk menangkap si penculik.
Pemuda berdarah Jerman itu akhirnya berhenti di sebuah meja penjaga, mejanya juga. Ia merenggangkan tubuhnya yang kaku. Lelah dengan semua lelucon ini. Tiga hari berturut-turut mereka mengalami hal yang sama, tiap malamnya. Alarm akan berbunyi nyaring di jam yang sama, detik-detik dimana mata mereka nyaris terlelap. Dan hal itu akan memaksa mereka untuk langsung berpatroli. Memeriksa seluruh gedung yang diduga kebobolan maling.
Bukan masalah jika mereka berhasil menemukan perampoknya atau memang ada kesalahan di alarm yang berbunyi tiap malam. Tetapi mau diapakan juga alarm itu masih dalam kondisi bagus. Berarti memang tidak ada kesalahan pada alarm kecuali memang ada penyusup yang melewati garis-garis infrared. Namun, hingga hari ini, pencuri itu masih belum ditemukan.
Terlebih lagi, tidak ada barang yang diambil.
Pencuri macam apa yang setiap malam rajin mengunjungi museum ini? Iseng melewati garis infrared sehingga mengusik mimpi para penjaga. Kurang kerjaan sekali.
Mengabaikan segala caruk-maruk masalah yang diterimanya, Ludwig membuka laci, lalu seketika tersenyum cerah ketika dilihatnya sebotol beer yang sengaja ia sisakan untuk besok pagi masih berada disana. Diraihnya minuman beralkohol itu. Tangannya terhenti kala dilihatnya beberapa lembar kartu berceceran di bagian laci paling dalam.
Ragu, diambilnya kartu-kartu itu dengan tampang heran. Keningnya mengerut bingung. Seingatnya, dia dan beberapa penjaga lain memang sempat bermain kartu untuk mengusir kebosanan. Tetapi, itu dua hari yang lalu. Dan Ludwig sangat yakin dirinya sudah menyuruh seorang petugas untuk segera membereskannya sebelum ketahuan bos.
Ludwig menegak beer sambil mengamati lamat-lamat benda di depannya. Kartu ini hanya kartu sisa. Buktinya cuma ada lima. Coraknya sama semua pula. Mungkin tertinggal ketika dirapihkan.
Mata biru itu terlihat terkejut. Disamping coraknya yang sama, angka-angka yang tertera disana tersusun berurutan. Dimulai dari nomor sepuluh, berlanjut ke kartu Jack, kemudian terus hingga As. Kartu tertinggi.
Irisnya bertautan. Dirinya merasa ingat dengan susunan ini. Susunan yang tidak mungkin terjadi tiba-tiba kecuali disusun secara sengaja. Pola sakral yang kemungkinan besar membantunya menang dalam setiap permainan poker.
Royal Flush.
Kenapa kartu-kartu ini bisa ada di lacinya? Mungkinkah penjaga lain sengaja menyembunyikan kartu-kartu ini agar bisa mengeluarkannya kala kepepet? Ludwig tidak yakin. Namun, jika itu memang benar, Ludwig akan menyuruh mereka untuk membelikannya beer selama seminggu.
Belum sempat Ludwig memasukan kartu itu kembali ke laci, dari kejauhan terdengar senandung nyanyian sendu yang berdengung pelan. Not-not tinggi dan sumbang, diharmonisasikan dengan melodi yang bergelombang halus. Mengalir bagai sungai yang menghilir ke muara. Beresonansi dalam tegangan pelan ke seluruh langit-langit. Saling bergema terpantul ke permukaan marmer berdebu. Bersahut-sahutan dari setiap sudut. Di depan, belakang, bahkan tepat di atasnya kepalanya.
Nyanyian itu kian nyaring. Lebih tepatnya meningkat dari sisi volume. Namun senandung yang dibawakan tetap sama. Lirik yang tidak jelas, terdengar seperti lagu perang abad pertengahan.
Suara itu terasa begitu dekat, membuat kepala Ludwig pusing. Menggerogoti pikiran dan urat sarafnya. Bagai karlmeyer yang digunakan untuk menyiksa tahanan penjara.
Ludwig melayangkan pandangannya ke sekelilingnya, kalap. "SIAPA DISANA?" tanyanya garang. Berusaha memberi perlawanan dan ancaman. Sialnya sekarang seluruh antek-anteknya tengah berada di lantai bawah. Sementara Ludwig sendirian di lantai tiga. Ruang pengawas. Tidak ada kawan.
"Hei, bung. Kartu itu milik kami…"
Jantung Ludwig tersentak. Dilirknya pandangan ke samping. Sumber suara itu berasal. Anehnya tak ada apapun disana. Ludwig mengeryitkan keningnya. Aneh.
"Joker, ini semua salahmu. Menjatuhkan kartu sembarangan…"
Kali ini suara itu terdengar di hadapannya. Suara yang berbeda dari yang tadi. Tepat di palang besi yang melintang di langit-langit. Terdengar dari sana, seolah-olah suara itu menguar dari lapis atap. Bergema mengikuti arah angin.
Ludwig mengerang. Tak ada siapapun disana! Dari mana asal semua suara-suara ini? Ludwig meletakkan botol beer-nya ke meja. Tangannya sudah bersiap-siap di balok hitam miliknya. Siap memukul siapapun yang membuat suara-suara ini.
"Oh, Pirate Yang Agung, sudahlah. Kartu itu miliknya. Biar dia yang mengambilnya kembali."
"Aku muak dengan kata-katamu, Blackjack. Pedangmu tak cukup kuat untuk melawan kapakku."
"Dua temanku yang menakjubkan, kenapa kalian justru bertengkar? Kalian lupa tujuan utama kita kesini?"
"… Diam kau, Joker."
"Kau cari mati, Pirate."
"Kau juga diam, Blackjack."
Sementara Ludwig hanya bisa menganga mengikuti alur pembicaraan suara-suara itu. Siapa itu Pirate? Siapa Joker? Dan siapa itu Blackjack? Mengapa tiga nama yang disebut-sebut itu justru membuat keributan sedahsyat ini? Mereka bertengkar? Sebenarnya mereka ini apa? Manusia atau…
PRAANGG!
Tiba-tiba terdengar suara kaca yang pecah tepat di belakang sang penjaga museum. Ludwig segara balik badan dan terpana. Di sebuah dinding, yang awalnya berupa monumen kaca mozaik besar yang menghiasi dinding museum, kini pecah terburai. Diduga tertabrak sesuatu. Menyayat telinga dengan bunyi serpihannya yang meluncur cepat ke lantai marmer. Kaca itu pecah, menganga dalam ukuran besar.
Ludwig bagai tersihir.
Di bingkai yang bergerigi tajam itu, seseorang berdiri.
Ludwig sangat terpana. Angin malam yang berhembus di luar gedung seketika mengibarkan jubah biru tua yang melekat pada sosok misterius itu. Berkibar bagai gelombang bendera bajak laut yang tergulung badai. Kian memperjelas sosok yang berdiri tegap di sana. Orang itu berpakaian layaknya serdadu perang tentara Eropa. Lengkap dengan sebilah pedang di tangan kanan. Teracung lurus sepanjang tiga puluh inchi. Tegap dengan jubah kolonial perang abad pertengahan. Terombak dikibar angin. Memainkan bulu-bulu angsa putih bersih di sekitar topi panglima perang pada masa kerajaan yang menyiratkan simbol mistis dan anggun pada saat yang bersamaan. Samar namun dapat dirasakan. Ludwig menangkap segurat seringai mengerikan di wajah orang itu. Yang menunggu untuk dilawan. Dilawan lalu dikalahkan.
Ludwig mengumpulkan keberanian untuk melawan ketakutannya. "SIAPA KAU? DAN MAU APA KAU DI SINI?"
Sosok yang dituju sebagai objek makian Ludwig itu justru tertawa. Menganggap pertanyaan Ludwig teramat lucu untuk tak ditertawai. Padahal Ludwig sama sekali tidak bercanda.
"Kau tidak mengenaliku? Menyedihkan sekali..."
Ludwig tersentak. Sosok itu bersuara. Suara itu lah yang memang pertama kali Ludwig dengar. Ludwig bergidik. Suara itu terlampau mengerikan dalam ukuran suara manusia. Seperti suara psikopat gila yang hendak membunuh semua manusia di seluruh jagad bumi.
"Tentu saja dia tidak mengenalimu, Joker." Ludwig menoleh cepat. Ada suara lain lagi. "Kau masih kalah pamor di antara kami berdua."
Kali ini Ludwig dapat melihat jelas. Lautan biru itu membelalak lebar. Berdiri di atas palang aluminium yang melintang di sepanjang langit-langit museum. Seorang pria lain berpakaian biru cerah. Senada dengan warna langit. Berdiri tegak dan anggun. Berkostum layaknya serdadu. Terlihat mempesona dari atas sini; jika saja di tangannya tidak tergenggam sebilah pedang mengkilat dengan ujung yang tajam. Samar dalam kegelapan, seulas senyum tipis nan polos tersungging di wajahnya yang tersamarkan helaian rambut emas.
"Tutup mulutmu, Blackjack. Kau lupa siapa pemimpinnya disini?" Suara keras menggelegar itu bersumber dari bingkai jendela. Ia memainkan pedangnya ke udara. Seakan-akan hendak memenggal sosok lain yang berdiri di palang besi itu.
"Kau hanya kartu biasa, Joker. Ace adalah pemimpin kita yang sesungguhnya." Suara orang yang dipanggil Blackjack itu kemudian tertawa. Menertawakan kesombongan dan kebodohan Joker.
Joker terlihat menggeram tertahan. Tak suka dengan cercaan Blackjack. Dirinya terlihat siap-siap hendak menerjang sosok itu. Padahal jarak di antara keduanya mendekati jarak satu lapangan basket.
Ludwig terbengong-bengong. Ini sebenarnya ada apa? Apa yang mereka bicarakan? Dan apa tujuan mereka kesini?
"Kalian berdua tidak berguna…"
Sebelum Ludwig sempat menerka, di belakangnya terdengar bunyi kaki manusia yang menapak keras. Seketika Ludwig balik badan dan terpana. Di belakangnya, sosok lain muncul dalam posisi berlutut, posisi mendarat dari tempat yang tinggi. Wajahnya tertunduk, tersembunyi di balik helaian rambut berwarna kayu mahoni. Pakaiannya berwarna merah darah. Seperti warna mawar mati. Di kedua bahunya tertera tameng kecokelatan. Menambah kesan kuat dan perkasa. Postur bajak laut penguasa lautan pada abad penjajahan. Tangannya yang kekar dan tangguh, memegang sebilah balok panjang; dengan kapak besar di ujungnya. Tidak mengkilat seperti dua rekannya yang lain; permukaan peraknya sudah ternodai darah sana-sini. Seakan sengaja tak pernah dibersihkan oleh sang pemilik; menegaskan sudah berapa banyak nyawa yang melayang akibat sambitannya.
Ludwig berdiri takut-takut di tempatnya. Tubuhnya menggigil ketakutan. Matanya memandangi horor sosok misterius yang berdiri di belakangnya. Dia meraih balok kayunya dengan tangan gemetaran. Ludwig tak mengenali siapa sosok di hadapannya ini, tapi Ludwig berani taruhan, nyawanya tak akan selamat jika berada di dekat sosok itu lebih dari satu menit.
Ludwig tak sempat berkedip ketika kapak raksasa itu diangkat tinggi-tinggi ke udara. Teracung lurus tepat ke arahnya. Pirate berucap pelan dengan nada mengancam yang dalam.
"... Kembalikan 'teman-teman' kami, sialan..."
Dan kemudian kapak itu menghunus cepat tepat di depan wajahnya.
Tanpa ampun.
.
Chapter I: —Royal Flush
.
DOR!
Sang pemuda Asia menyaksikan tubuh pria yang awalnya bos pengedar ganja dari Kamerun itu jatuh terjerembab begitu saja dengan lubang di dada kiri. Tepat di jantung; sumber kehidupan. Darah segar kemudian mengucur dari sana, menggenangi lantai marmer apartmen ini. Matanya masih membelalak lebar. Seakan tidak terima kematiannya. Tapi, dia sudah mati. Kini Cameron hanya seonggok mayat tak berharga. Menunggu untuk dimakamkan atau sekedar dibuang ke laut penuh hiu pembunuh.
Senapan laras panjang Van der Decken masih mengeluarkan asap dari moncongnya. Itu adalah peluru terakhir. Sengaja disisakan untuk mengakhiri hidup pria brengsek ini. Mau membunuh orang lemah seperti ini saja dirinya harus menerima luka sabetan di pundak kiri. Padahal jelas-jelas orang itu tak memanggil penjaga atau bodyguard. Dia dan ketiga temannya hanya perlu menelepon orang ini ke apartmennya dalam rangka pendiskusian investasi ganja di Eropa. Jelas semuanya hanya bohong belaka.
Dan sialnya Ned, sapaan singkat dari sang Willem van der Decken, lupa bila dirinya meletakkan sebilah pisau dapur di meja ruang tamunya. Parahnya lagi si Cameron cukup ahli dalam menggunakan pisau.
Ned melemparkan senapannya ke kursi. Kemudian dihempaskannya tubuh lelah itu ke sana. Dia menarik napas panjang sebelum kemudian berbicara. "Cepat buang dia. Aku muak melihat wajahnya."
Ned kemudian menoleh kepalanya perlahan pada seorang pemuda Asia yang berdiri tak jauh dari suspek pembunuhan. Matanya mengikuti plot pelenyapan Cameron dari muka bumi sejak Ned menarik pelatuknya untuk yang pertama kali. Ned tak membuang banyak waktu demi membunuh orang itu; demi terpenuhinya janji klien. Jantung Airlangga serasa berhenti sesaat ketika melihat pembunuhan di depan matanya.
"Maaf kau harus menyaksikan ini, APB."
Airlangga Putra Brawijaya yang memiliki inisial nama APB, khusus untuk Ned, hanya tercengang, terdiam amat dalam menyaksikan pembunuhan ini pertama kali dalam hidupnya. Dia tak habis pikir mengapa housemate -nya ini memiliki pekerjaan hina seperti ini; pembunuh bayaran. Dia yang tak pernah terlibat dalam segala seliweran masalah antara klien dan Ned, terpaksa harus menyaksikan beberapa aksi keji yang Ned lakukan pada targetnya. Ned memang tak pernah mengijinkan Airlangga untuk menyaksikan pekerjaannya secara langsung. Tapi untuk yang kali ini, kelihatannya Ned ingin memberikan kesan betapa lihainya mereka dalam aksi kriminal yang terselubung seperti ini.
Sadik yang awalnya berkeinginan untuk menjadi penembak terakhir; yang akan mengakhiri hidup si bos ganja ini, malah keduluan Ned. Dipandanginya pemuda Belanda itu tak terima. "Hei, bisakah aku diberikan kesempatan untuk membunuh?"
"Silahkan tembak dia." ucap Ned malas-malasan. Menunjuk pada mayat Cameron yang tergeletak di sebelah meja.
Sadik menaikkan alisnya. Ned pasti bercanda, pikirnya. "Dia sudah mati!" jerit Sadik tak terima. Buat apa ditembak lagi? Itu tidak berguna. Hanya buang-buang peluru untuk mayat tak berharga.
"Ini jauh lebih cepat dari batas awal yang ditentukan. Vash Zwingli memberikan kita waktu seminggu untuk membunuhnya. Dan Ned sudah bertindak jauh dari batas yang ditentukan. Kelihatannya kita harus meminta bayaran tambahan untuk ini." Nada pelan yang bergumam di sudut ruanan adalah suara milik Heracles Karpusi yang tengah mengetik sesuatu di laptopnya. Wajahnya datar dan tak memperlihatkan sebersit ekspresi yang berarti. "Akan lebih baik jika kasus Casino Familia juga bisa diselesaikan seperti ini secepatnya."
Ned mengerang. Rasanya dia sudah mendengar nama itu ratusan kali hari ini. Di televisi, radio mancanegara, pembicaraan santai para pengunjung café, di jalan raya, bahkan pelayan di rumahnya juga selalu membawakan topik yang sama. Sangat memuakkan bagi orang yang mudah terserang vertigo seperti Ned.
Pemuda Belanda itu memijat kepalanya pelan. "APB, suruh Natalia membuatkan kopi untukku."
Airlangga kemudian tersadarkan dari lamunannya. Mendengar namanya disebut, pemuda Asia itu bergegas ke dapur, mematuhi perintah Ned. Terlihat terburu-buru dan terserang ketakutan. Kelihatannya sosok Ned yang teramat dingin dan berkarakter kuat serta tak bisa ditentang oleh siapapun berhasil membuat pemuda itu takut.
Sadik menggurutu karena tangannya terkena noda darah. Dengan dua tangan yang tergamit di pundak kemeja Cameron, pemuda Turki itu mengerahkan kekuatannya untuk menyeret Cameron menjauhi karpet ruang tamu Ned.
"Kenapa selalu aku yang mendapat tugas jelek?" jerit Sadik frustasi. Saking kesalnya, bahkan jika ia bisa melemparkan tubuh tak bernyawa ini ke wajah Ned, dia akan melakukannya.
"Heracles, bacakan ulang informasi mengenai Casino Familia itu." ucap Ned datar. Sama sekali tak terdengar menanggapi penuturan protes keras dari Sadik, rekannya sendiri.
Heracles yang belum mengalihkan pandangannya dari layar LCD laptop kembali melanjutkan interupsinya. "Casino Familia, organisasi pembunuhan keji yang sudah terjadi sejak tujuh tahun lalu… kembali membuat ulah."
Ned memaku pandangannya lurus-lurus pada pot bunga di layu di seberang ruangan, tetapi telinganya tetap terpancang pada suara Heracles yang kemudian kembali membacakan informasi yang didapatkan.
"Organisasi ini sempat vakum dan tak terlihat lagi di media pemberitaan selama dua tahun. Diduga karena kematian seseorang di organisasi mereka. Awalnya semua pihak mengira organisasi ini sudah punah, tetapi setahun belakangan terakhir, mereka kembali muncul ke publik."
Wajah Ned mendadak serius dengan kerutan-kerutan di kening. Sementara Sadik yang kelelahan menyeret mayat ini, kemudian mengistirahatkan tangannya sambil mendengarkan penuturan Heracles seraya menyeka keringatnya.
"Organisasi ini terdiri dari tiga orang misterius. Yang gila, sinting, tak berperasaan, dan tak punya otak. " Heracles kemudian berjalan menuju meja di dekat Ned lalu menebarkan beberapa lembar foto yang dicetak besar ke hadapannya.
"Yang ini namanya Pirate. Salah satu anggota yang terkenal akan kesadisan dan keberingasannya." Heracles menunjuk pada foto pertama. Terlihat agak kabur karena diambil pada waktu malam hari.
Ned memungutnya kemudian memandangi sosok yang terdapat di foto. Sosok yang terlihat disana adalah seorang pria yang berlutut di sisi gedung dengan satu kaki. Terlihat jelas bila di ambil dari dasar gedung. Wajahnya tersamarkan karena posisinya membelakangi cahaya bulan. Wajahnya tersamarkan. Beberapa helai dari rambutnya yang berantakan terlihat berkibar karena angin, begitu pula dengan baju bajak lautnya yang berkibar di belakang. Di sampingnya terlihat teramat jelas kapak raksasa miliknya yang menjulang tinggi ke udara, seakan-akan hendak membelah langit. Darah yang yang selalu melekat di tubuhnya adalah ciri khas utama Pirate.
Ned merinding. Ia bahkan bisa merasakan sensasi mencekam dan aura-aura bengis yang kuat dari sosok di foto itu. Pirate termasuk satu dari daftar puluhan pembunuh di dunia yang menjajaki peringkat tiga besar. Bahkan jika diukur dari tingkat kesadisannya, Pirate mungkin menempati pembunuh nomer satu untuk selamanya.
Sadik yang awalnya jengah mengurusi jasad ini, akhirnya menyerah dan membiarkan mayat Cameron tergeletak di lantai begitu saja lalu menghampiri Ned. Lebih baik ia menyuruh Natalia, maid di rumah ini untuk mengurus Cameron. Kabarnya wanita itu punya tenaga sekuat tiga gajah.
Tiba di sebelah Ned, diliriknya foto yang berada di tangan sang pemuda Belanda.
"Pirate selalu menyerang terang-terangan di depan umum. Dialah yang membuat Casino Familia menjadi begitu mengerikan di mata setiap orang. Pirate terkenal akan kebengisannya. Kabarnya dia adalah reinkarnasi bajak laut gila yang suka memburu harta dan hobi membunuh orang." tutur Heracles, membaca lanjutan hasil observasinya.
Sadik mengerutkan keningnya. Menangkap kejanggalan dari foto itu dengan dua foto lain yang masih tertera di meja.
"Pakaiannya berwarna merah sendiri."
"Ya. Kabarnya jubah berwarna merah itu berasal dari darah korbannya yang menyembur ketika kapaknya memenggal kepala mereka, lalu dibiarkan mengering untuk beberapa waktu. Dan jadilah baju itu sepenuhnya berwarna merah darah. Sekaligus mengisahkan berapa banyak korban yang mati akibat kapaknya."
"Jadi, dia tak pernah mencuci baju selama ini, hah?" seru Sadik tak percaya.
"Itukan hanya mitosnya saja." Ned berdecak tak sabar, menatap singkat sang pemuda Turki dengan tatapan merendahkan.
"Aku tak bisa membayangkan bagaimana baunya…" sahut Sadik pelan.
Ned menghela napas berat.
"Lanjutkan, Heracles."
"Lalu, yang ini namanya BlackJack."
Heracles menyerahkan foto lain. Kali ini segera disambar duluan oleh Sadik.
Sadik mengamati foto itu lamat-lamat.
BlackJack. Sosok itu anggun. Setidaknya begitulah pendapat setiap orang yang pertama kali melihat sosoknya yang tegap dan mempesona. Bajunya yang sederajat dengan serdadu perang Eropa Selatan terlihat indah dan mengkilat bersama lampu-lampu gemerlapan di tengah malam. Warna biru langit yang indah bersanding kuat dengan rambut emasnya yang tergerai angin. Foto ini diambil ketika ia berdiri di atas mobil sesorang, terlihat membelakangi kamera. Tengah memegangi sebilah pedang panjang dengan wajah setengah menunduk. Tak lupa senyuman khas BlackJack yang selalu tersayat indah di wajahnya.
Dia selalu terlihat bersih. Bersih dalam artian tak pernah ikut campur dalam aksi bengis Pirate maupun tindak pengerusakan dari Joker. Dia termasuk anggota Casino Familia yang terlihat cukup waras ketimbang dua rekannya yang lain.
"BlackJack kabarnya adalah satu-satunya anggota Casino Familia yang tak banyak membunuh orang. Itu untuk yang terlihat. Tapi untuk yang tak terlihat, ia terlibat kasus pembunuhan yang jauh lebih banyak ketimbang dua yang lain."
"Maksudnya tak terlihat itu seperti apa?" potong Sadik kebingungan dengan maksud kalimat Heracles.
"Tidak membunuh terang-terangan di tempat umum seperti Pirate. Biasanya korban ditemukan di toilet atau lemari pakaian; dengan usus terburai. Ia selalu meninggalkan selembar kartu Jack Spade untuk memberitahu bahwa itu adalah perbuatannya. BlackJack benar-benar tak kalah bengis dari dua temannya yang lain."
Sadik meringis sesaat. Lalu dibuangnya foto itu kembali ke meja dengan tatapan jijik.
"Lalu bagaimana dengan si Joker? Kabarnya dia adalah pemimpin Casino Familia." tanya Sadik lagi.
Dari kejauhan Natalia datang membawa secangkir kopi, ketika dilihatnya selembar foto asing yang tertera di meja Ned, gadis itu berujar dengan nada bingung. "Siapa lelaki gila dengan topi berbulu itu?"
Heracles meraih foto terakhir yang berada di meja. Kemudian diangkatnya foto itu, memperlihatkan pada kedua temannya yang lain dengan tatapan datar. "… Joker."
Foto itu terlihat jauh lebih istimewa dan kelewat menakjubkan untuk ukuran foto seorang pelaku kejahatan. Joker selalu terlihat jauh lebih 'wah' dari dua temannya. Sosok itu kerap terlihat berdiri gagah berani dengan seringai lebar yang tak pernah hilang dari wajahnya. Dia selalu terlihat percaya diri dan tak pernah takut untuk melakukan aksi. Joker selalu hadir dalam balutan seragam tentara perang serdadu Eropa. Topi lebar dengan bulu-bulu angsa pada satu bagian seakan menegaskan jiwa bangsawan yang menyeruak dari dirinya. Kali ini Joker tertangkap kamera tengah berdiri di sebuah palang dari menara tinggi. Kedua kakinya menganga lebar dengan dua tangan yang dilipat angkuh. Seakan-akan hendak memberitahukan pada dunia bahwa dia adalah sang penguasa.
"Joker memang tak pernah memperlihatkan kasus pembunuhan akibat ulahnya; seperti dua anggota lain. Tetapi Pirate dan BlackJack terlihat begitu menghormatinya. Kurasa Joker akan jauh lebih mengerikan jika sedang serius. Lihat saja wajahnya... seperti psikopat gila yang tak takut penjara." rutuk Heracles.
Ned mendengus lelah. Dibuangnya foto dengan sosok Pirate yang awalnya masih di tangannya itu ke meja. Diraihnya kopi hitam yang awalnya diberikan Natalia. Gadis itu sudah menghilang entah kemana. Mungkin bergosip dengan Airlangga. Entah mengapa pemuda tersesat yang baru ia pungut selang beberapa bulan itu sudah teramat akrab dengan pelayan-pelayan di rumah mewah ini. Padahal jika bersama Ned, pemuda itu seakan-akan langsung menutup diri dari dunia.
Sadik mendesah berat. "Aku masih bingung dengan mereka. Selain nama yang aneh-aneh, nama organisasi mereka jauh lebih aneh lagi. Kenapa harus Casino Familia? Bukankah terlalu ambigu? Kata di belakangnya mengingatkanku pada La Sagrada di Spanyol. Mungkinkah mereka ada hubungannya dengan tempat itu?... Atau orang-orang Spanyol?"
Ned segera memotong. "Kurasa itu tidak masuk akal. La Sagrada Familia sendiri adalah tempat suci. Tidak mungkin orang tanpa malaikat pelindung seperti mereka mau mengadaptasi nama organisasi dari tempat yang disakralkan seperti itu."
"Yaa, kalau casino sih sudah jelas kan? Mereka selalu menebar kartu dimanapun mereka hadir. Nama Joker dan BlackJack sendiri sudah membuktikan kecintaan mereka pada Poker..." Sadik menarik napas sesaat sebelum melanjutkan kembali kalimatnya. "Tapi yang lagi-lagi tidak kumengerti adalah kenapa harus ada nama Pirate? Aku heran kenapa dua nama yang lainnya identik dengan kartu sementara Pirate tidak. Lihat saja bajunya, sangat kontras dari dua yang lain. Bahkan dia menggunakan kapak, tidak seperti dua temannya."
"Sadik. Bisa hentikan segala curcolanmu mengenai Pirate?" sergah Ned, lelah harus terus-terusan bersabar dengan segala kalimat yang meluncur dari mulut Sadik.
Heracles mengabaikan pertengkaran dua rekannya sambil terus membacakan hasil penelitiannya dengan serius. "Aksi penebaran kartu ini terjadi semenjak pembunuhan seorang pengusaha kaya tambang emas dari Indonesia. Dari sanalah berita Casino Familia kembali bermunculan di media setelah vakum dua tahun. Dan semenjak saat itu, kehadiran mereka selalu identik dengan penebaran kartu di tempat kejadian."
Ned menggerak-gerakan jemarinya gelisah dengan rahang yang mengeras. "Korban pertama mereka adalah ayah Airlangga." Suaranya tertahan. Dendam yang membara tersorot jelas dari dua matanya. Membuatnya kian tersulut untuk segera menuntaskan perkara ini.
Dengan tangannya sendiri.
"Kartu apa saja yang pernah dikeluarkan selama ini?" tanya Sadik, kian penasaran.
"Biar kulihat." Heracles melihat-lihat lembaran kertas yang menumpuk di depan wajahnya. Kemudian ditemukannya selembar kertas yang menampilkan foto-foto korban. "Hm… Ada delapan sekop, dua hati, lima keriting, sepuluh wajik, tiga—"
"Stop." potong Sadik tiba-tiba. "Terlalu banyak. Aku tak bisa mengingat semuanya."
"Biasanya mereka membuang kartu di samping mayat korban. Terkadang ada juga kartu Jack Spade. Ya, itu tandanya BlackJack yang membuat ulah."
"Lalu bagaimana dengan Pirate? Kartu apa yang dia buang?"
Walaupun Ned sudah lelah dengan segala pertanyaan Sadik mengenai Pirate, Heracles masih mau membagikan informasi untuk sahabatnya itu.
"Orang itu tak pernah membuang kartu di tempat kejadian, karena selama ini ia selalu membunuh di depan banyak orang."
"Menarik. Lalu bagaimana dengan Joker? Sudah jelas dia akan membuang Joker, kan?" Sadik menaikkan alisnya, yakin dengan penuturannya.
"Tidak. Dia tak pernah membunuh. Setidaknya begitu yang dikabarkan. Pirate lah yang selalu menjadi sorotan media dari antara mereka bertiga." kata Heracles.
"Leader yang aneh, anggota yang aneh." sahut Sadik seraya menghela napas. Semakin bingung dengan semua informasi yang dituturkan oleh Heracles. Semakin kesini fakta yang hadir kian membingungkan. Dia yang awalnya mengira sudah mendekati titik terang, kini malah terombang-ambing di badai berkabut tebal. Joker, Pirate, dan BlackJack. Sosok buronan yang kini selalu menghiasi media dengan aksi pembunuhan mereka. Tak pernah diketahui identitasnya. Membuat jalanan metropolitan tak sedamai dulu lagi. Membuat keselamatan penghuni kota selalu berada di ambang kematian. Menimbulkan benih-benih ketakutan di jiwa setiap warga. "Sebenarnya organisasi gila macam apa ini?" jerit Sadik frustasi.
"Organisasi pembunuh yang tergila-gila pada kartu nampaknya." kata Heracles seraya membereskan berlembar-lembar kertas berisi informasi mengenai organisasi Casino Familia.
Ned menjentikan pemantik, kemudian menyalakan cerutunya. Sorot matanya yang teramat yakin dengan kilatan semangat membara menyulut keadaan di sekitarnya untuk ikut memanas. Ned menatap mata kedua rekannya yang lesu dengan tatapan yakin dan tak tergoyahkan. Diucapkannya sepotong kalimat yang kemudian kembali membangkitkan semangat dua pembunuh bayaran ini dengan motivasi yang kuat.
"… Ya. Dan kita diutus untuk membunuh mereka."
To be Continued
A/N : AH, JOKEERR! Tergila-gila sama sosok badut ini! Aih, lucu-seksi-jahat-menggemaskan banget. Sini aku nodai! #plak Aih aih, kisah Joker yang diadaptasi dari sosok The Fool di karto tarot Perancis kenapa harus angst plus menggoda plus manis banget sih? #guling-guling Cocok deh sama yang meranin kamu di Casino Familia!Hahaha!
Daan, Willem van der Decken adalah nama om-om pedo-seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Netherlands! Saya memasukan nama 'Willem' di depannya karena nama ini kesannya udah melekat banget sama orang Belanda jaman dulu. Bapaknya temen saya aja ada yang namanya Willem #curcolgakpenting
Untuk Airlangga Putra Brawijaya kayaknya udah ketebak ya. Yep. Dia itu salah satu putra bangsa yang menjunjung tinggi rasa nasionalisme, mendukung program pil KB, dan menentang aksi aborsi. Indonesia kita tercinta~
Sign, Rapuh