"Fate"
[ fate, isn't a thing that you could refuse ]
Eyeshield 21 belong to R. Inagaki and Y. Murata. I just own this story.
Warning
OoC detected
Alternate Reality
Typo(s) may be found
Failed at genre(s)
Brothership and slash hints
Plot-bunnies(?)
And others
—iamyunna13
"Shun? Shuuun?"
Shun Kakei memutar bola matanya karena ibunya tidak berhenti mengganggunya. "Aku dengar, Kaa-san."
Wanita umur 30 ke atas bernama Haru Kakei itu mendesah sambil mencubit lengan Shun. "Dari tadi cemberut terus. Ayolah, setidaknya pasang muka ramah sedikit! Calon ayah dan kakakmu sebentar lagi datang, kau malah cemberut seperti itu!"
"Raut mukaku memang seperti ini," jawab Shun cuek sembari mengusap lengannya yang dicubit sang ibu tercinta. Cubitannya amazing sekali.
"Ah, terserahlah." di dalam hati, Shun bersorak karena ibunya berhenti mengomel.
Shun menarik napas, bosan. Sambil menatap pemandangan jalan dari atas, ia memainkan sumpit di sebelahnya. Pada jam makan siang hari ini, ia memang akan bertemu dengan calon ayah dan calon kakaknya. Ibu dan calon ayahnya itu pasti akan menyusun rencana pernikahan dan masa yang akan datang. Oh ya, juga memperkenalkan anak masing-masing dan membuat keduanya menjadi dekat.
Terus terang saja, Shun sama sekali tidak menerima pernikahan ini. Ayah dan ibunya bercerai ketika ia masih duduk di kelas lima SD. Makanya, waktu pertukaran pelajar ke Amerika dulu, ia sempat ragu karena ia akan meninggalkan ibunya sendirian. Tapi, Haru Kakei itu tetap memaksa anak semata wayangnya untuk tetap pergi ke Negeri Paman Sam.
Lalu, apa alasannya menolak pernikahan ibu dan seseorang yang akan menjadi ayah tirinya? Meskipun ia akan kembali merasakan bagaimana rasanya memiliki ayah—dan meskipun ibunya tidak akan menjadi single parent lagi, ia tetap tidak menerimanya.
Hanya karena satu alasan. Ia takut ditinggalkan lagi—
—oh, ayolah, siapa yang mau ditinggal oleh yang disayang?
"Hey, mereka sudah datang." tepukan di bahu oleh Haru membuyarkan lamunan Shun. Anak laki-laki jangkung itu menoleh malas dan dapat dilihatnya dua orang berjenis kelamin laki-laki berjalan ke arah mereka berdua—ia dan ibunya.
Mengikuti Haru, Shun pun berdiri saat dua orang itu sudah berdiri di seberang mejanya.
"Maaf kami telat, Haru. Sudah menunggu lama?" sapa pria berusia 40 tahunan(yang diketahui akan menjadi calon ayah tiri Shun) kepada Haru.
Wanita beriris azure itu menggeleng sambil tersenyum. "Ah, tidak juga."
Pria bernama Satoshi Yamato itu ikut tersenyum. Well, senyumnya bisa memukau kaum hawa yang normal. Lalu, pria itu memalingkan pandangannya ke arah Shun.
"Selamat siang, Bibi. Maaf, kami telat," sapa seseorang-yang-mirip-dengan-Satoshi sambil tersenyum. Baik postur tubuh sampai senyumnya sangat mirip dengan ayahnya. Sementara Haru hanya menjawab "Ya, tidak apa-apa. Kami juga baru datang beberapa menit yang lalu, kok." untuk basa-basi.
Lalu, Satoshi melempar pandangan ke arah Shun. "Oh, ya, Shun! Rasanya lama tidak berjumpa. Dan kali ini, kau dan calon kakakmu bertemu juga."
Shun menatap Satoshi dan calon kakaknya bergantian. Calon kakaknya itu, anak laki-laki yang tingginya sama dengannya, dengan helai kecokelatan ikal. Persis seperti ayahnya. Tubuhnya pun sangat atletis.
"Hai, Adik Kecil. Takeru Yamato desu," Takeru memperkenalkan diri sambil tersenyum 1000 watt. Shun menatapnya dengan tatapan 'apa-apaan-memanggilku-adik-kecil'.
Demi menjaga image, Shun menjawab dengan datar, "Shun Kakei desu."
"Sebentar lagi juga margamu akan sama denganku," ujar Takeru mantap, seperti tidak ada yang bisa membantah. Bahkan Shun sendiri pun tidak bisa mengelak—sehingga ia memilih diam.
Setelah itu, mereka berempat pun duduk di kursi masing-masing. Setelah memesan makanan, Satoshi dan Haru pun mulai membuat topik yang tidak jauh-jauh dari rencana pernikahan mereka dan masa depan keluarga. Halah.
Sementara itu, baik Shun maupun Takeru sama-sama hanya diam dan mendengarkan pembicaraan orang tua masing-masing sambil meminum pesanan minuman yang sudah datang. Setidaknya, kegiatan mereka itu berhenti setelah Shun menyadari kalau Takeru memperhatikannya. Bukan merasa percaya diri atau apalah, tapi jelas sekali Takeru sedang memperhatikannya.
Shun adalah tipe orang yang tidak peduli kalau ia menjadi pusat perhatian, tapi rasanya diperhatikan seperti itu, membuatnya merasa risih. Apa lagi dengan prinsip bahwa ia tidak akan menyukai keluarga barunya, termasuk calon kakak tirinya itu.
"Apa yang kauperhatikan?" tanya Shun—judes—sambil menatap Takeru.
Takeru sedikit terkekeh melihat sikap calon adik tirinya yang judes itu. "Kurasa kita pernah bertemu sebelumnya."
"Mustahil," sahut Shun skeptis. Sesempit inikah dunia kalau ia memang pernah bertemu dengan Yamato junior itu? Anak itu pasti asal ngomong.
Takeru hanya terkekeh. "Kau pemain american football, kan?"
Shun yang sedang meminum ocha-nya kemudian tersedak. Untung batuknya hanya sedikit. Ia pun menatap Takeru tajam dengan tatapan dari-mana-kau-tahu-kau-tidak-melihatnya-dari-ototk u-kan.
"Kita sudah pernah bertemu," jawab Takeru enteng—entah kenapa seperti membuat teka-teki untuk Shun.
Shun menggelengkan keepalanya. Tidak, ia tidak akan tertarik untuk memecahkan teka-teki dari calon kakak tirinya tersebut. Masa bodohlah kalau mereka pernah bertemu sebelumnya, toh, salahkan saja dunia yang super duper sempit ini.
Lalu, yang terdengar di meja nomor 7 itu hanya Satoshi dan Haru yang masih berdiskusi tentang segalanya.
Shun Kakei menutup kopernya lalu menghela napas. Ia melirik meja belajar yang tidak tersisa apa-apa. Dari mulai buku-buku sampai pigura foto. Tidak hanya meja belajar, lemari bahkan pojok-pojok kamarnya pun bersih dari barang apapun.
Hari ini, ia bersama ibunya harus pindah ke rumah kediaman Yamato di Kansai. Ia masih ingat jelas waktu Satoshi dan Haru mengumumkan bahwa dua hari sebelum hari pernikahan, Shun dan Haru akan pindah dan tinggal bersama di rumah Keluarga Yamato. Selama ini Satoshi memang bolak-balik dari Osaka ke Tokyo untuk bisa bertemu Haru. Tapi, kadang-kadang ia menetap di Tokyo untuk urusan pekerjaannya.
Shun merasa dongkol. Ia masih belum bisa menerima keluarga yang sebentar lagi akan segera terbentuk, tapi ia sudah harus tinggal seatap dengan kedua Yamato itu. Belum lagi, ia harus pindah sekolah dari SMU Kyoshin ke ... SMU Teikoku.
Masalah sekolah, ia tidak mengambil pusing—toh, tiap sekolah sama saja pelajarannya. Yang ia pikirkan saat ini adalah tim american football-nya.
Shun dengan kawan-kawan setimnya sudah berjanji akan membawa nama Kyoshin Poseidon—nama timnya—menuju Christmas Bowl bersama. Maju memenangkan Turnamen Musim Gugur, menjadi juara pertama Turnamen Kanto, lalu memenangkan Christmas Bowl. Bersama Kyoshin Poseidon.
Sekarang? Ia dengan sangat terpaksa mengingkari janjinya. Ia harus pindah sekolah, meninggalkan sekolahnya, dan juga meninggalkan timnya. Meskipun Sang Kapten Osamu Kobanzame membiarkannya hengkang dari Poseidon, namun tetap saja, ia masih tidak rela.
Atau tidak akan pernah rela, mungkin.
"Shun?" lamunannya buyar begitu Haru memanggilnya dari luar kamar. "Daijoubu?"
"Daijoubu," jawab Shun singkat, padat, dan jelas.
Haru hanya mengangkat bahu, lalu menyuruh anak tunggalnya untuk turun karena sebentar lagi Satoshi dan Takeru datang menjemput. Shun menghela napas lagi, lalu menarik kopernya malas-malasan.
Selang beberapa menit, sebuah mobil berwarna hitam yang elite sudah berada di depan kediaman Kakei. Sementara Satoshi berbasa-basi dengan Haru, Shun jadi kebagian mengangkut barang.
Sungguh, rasanya sial terus menimpanya sejak dua bulan yang lalu.
Shun baru akan menarik koper ibunya—
"Biar kubantu."
—sebuah tangan yang cukup besar sudah berada di atas tangannya.
Shun menatap Takeru, sementara yang ditatap hanya cuek dan segera menarik koper kepunyaan calon ibu tirinya. Shun menatap punggung Takeru yang berjalan ke arah bagasi mobil untuk menyimpan koper.
Menyadari kalau yang dilakukannya itu adalah hal yang sama sekali tidak penting, Shun pun mengambil kopernya dan ikut memasukkannya ke dalam bagasi. Ujung-ujungnya pun ia dengan calon kakaknya gotong royong mengangkut barang ke dalam bagasi tanpa berbicara sedikit pun.
"Wah, barang-barangnya sudah masuk semua?" ujar Haru takjub karena koper miliknya maupun milik anaknya sudah tersimpan rapi di bagasi. Bahkan Satoshi pun baru menyadari kalau sedari tadi anak-anaknyalah yang mengangkut barang.
"Ya, seperti yang kaulihat, Kaa-san," jawab Takeru sambil memamerkan senyum 1000 watt-nya. Haru pun berterima kasih dan sedikit memuji-muji calon anak pertamanya itu.
Shun menatap Takeru sambil sedikit menyipitkan matanya setelah Sang Ibu sudah masuk ke dalam mobil bersama calon ayahnya. "Apa yang kaukatakan tadi? Kaa-san?"
Takeru mengangguk. "Iya. Sudah seharusnya aku memanggilnya Kaa-san. Kau juga, silakan panggil ayahku Tou-san!"
"Eh, apa-apaan—"
"—dan panggil aku Nii-san! Tidak boleh protes, ya, Kiddo. Sekarang, masuk mobil!" perintah Takeru sambil tertawa. Ia mendorong Shun—yang sangat tidak menerima apa yang dikatakannya—ke dalam mobil.
Well, Shun sendiri hanya bisa diam, meskipun di dalam dirinya sudah ingin meledak-ledak saat itu juga.
"Selamat datang di kamar barumu!"
Shun melihat ke sekeliling kamarnya—bersama Takeru—dengan perasaan agak takjub. Dari awal ia melihat rumah ini dari luar, bahkan sampai sudah menginjakkan kakinya di dalam rumah, ia sudah bisa menebak rumah ini luas dan barang-barangnya pun branded. Kamarnya sekarang ini bahkan dua kali lebih besar dari kamarnya dulu.
"Kenapa, Shun? Ada yang salah?" tanya Takeru yang menyadari kalau Shun sedang melihat-lihat seluruh detil kamar mereka. "Tenang saja, tidak ada perangkap di sini."
"Bukan itu yang kupikirkan, Bodoh," balas Shun sedikit kasar. Yap, ia tahu keterlaluan rasanya mengata-ngatai orang yang lebih tua darinya. Tapi, mau bagaimana lagi, ia membenci semuanya. Sangat membenci semuanya.
"Kau galak sekali, ya." Takeru tertawa tanpa memedulikan Shun yang tadi mengatainya. Bahkan Shun sendiri agak heran kenapa calon kakak tirinya ini tidak marah. Bahkan sejak tadi—atau sejak pertama kali mereka bertemu. Seorang Takeru Yamato ini selalu berkata seenaknya, membuat statement yang tidak bisa diganggu gugat, dan juga tidak pernah ambil pusing dengan cercaan orang terhadap dirinya. Setidaknya hal-hal di atas adalah anggapan Shun setelah beberapa minggu mengenalnya.
"Kau juga bawel sekali," balas Shun cuek. "By the way, di mana aku harus menaruh barang-barangku?"
"Bagian kiri kamar, semuanya milikmu. Tempat tidur, lemari, dan meja belajar itu milikmu," jelas Takeru, diikuti ekspresi Shun yang nyaris terkejut. Kalau ia tidak ingat image, mungkin ia akan melongo sekarang.
Hello, apa keluarga Yamato ini kelebihan uang sampai yang diberikan kepadanya ini lebih dari cukup? Shun tahu pasti seluruh furnitur di kamar ini harganya tidak bisa dibilang murah.
Sampai ia merasa tidak bisa menerima semuanya. Sekalipun ia akan menjadi bagian keluarga Yamato.
Seakan bisa membaca isi pikiran adiknya, Takeru berkata, "Tidak usah sungkan. Kau kan adikku. Kau juga anggota Keluarga Yamato."
Shun tidak berkomentar tapi berujar pelan, "Terima kasih."
"Perlu bantuan?"
"Tidak."
"Baiklah. Kalau perlu sesuatu, panggil saja aku!"
Shun menghela napas begitu Takeru berjalan ke luar dari kamar mereka berdua. Ia membuka kopernya dan mulai memindahkan semua pakaian yang dibawanya. Setidaknya ada suatu pekerjaan yang bisa mengalihkan pikirannya saat ini.
Rasa dongkol akan keluarga barunya, dan juga anak laki-laki yang akan menjadi kakak tirinya.
Setelah kurang lebih satu jam menata barang-barangnya, Shun berniat untuk ke luar kamar, melihat setiap ruangan di rumah barunya. Tapi, baru saja ia akan melewati meja belajar Takeru, matanya menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya.
Ia melihat kaus tim amefuto yang terasa familiar. Beberapa detik otaknya mengingat tim itu, akhirnya ia tahu bahwa kaus itu digunakan oleh anggota dari sebuah tim yang terkenal sangat kuat di dunia amefuto, Notre Dame.
Wait, Notre Dame?
Shun sudah tahu kalau Takeru juga seorang pemain american football, tapi Takeru tidak pernah memberitahunya kalau dirinya adalah mantan anggota tim Notre Dame di Amerika. Anak laki-laki berambut maple ikal itu juga hanya memberitahunya kalau ia pernah tinggal di Amerika sewaktu SMP.
Otak Shun kembali mengingat sesuatu. Informasi tentang ace Notre Dame yang berkebangsaan Jepang, mendapat gelar Eyeshield 21...
Tunggu. Eyeshield 21?
Tidak, tidak mungkin. Shun menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin kakaknya orang itu. Eyeshield 21 itu.
"Yo, Kiddo. Apa yang kauperhatikan?" lagi-lagi, suara Takeru di ambang pintu mengagetkan Shun yang sibuk berkutat dengan pikirannya.
Shun pun seketika bertanya, "Kau ... dulunya pemain di Notre Dame?"
"Tepat sekali. Aku mendapat gelar ace di sana," jawab Takeru dengan percaya dirinya yang khas. Tentunya, jawaban itu seperti menghantam Shun keras-keras.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Shun sangsi, disambut dengan senyum Takeru yang selalu terlihat ambigu itu.
"Baru sadar, Adik Kecil? Kita—memang—pernah bertemu, di Amerika! Kau bermain di tim Phoenix, kan? Waktu itu, kita bertemu saat pertandingan Phoenix melawan Notre Dame," ujar Takeru panjang lebar, terdengar jelas kebanggaan dari suaranya. "Kalau tidak salah, kau dulu hanya ditempatkan di bangku cadangan."
Mata Shun yang sipit itu membulat begitu mendengar pernyataan-yang-tidak-bisa-diganggu-gugat dari Takeru. Antara mau percaya atau tidak. Antara mau menerima kenyataan atau menolaknya dan menganggap semuanya hanya kebetulan yang tidak masuk akal.
Mana mungkin kakaknya adalah orang yang selama ini menjadi alasannya mendedikasikan hidupnya menjadi pemain amefuto?
"Well, I've promised you something. Aku pernah berjanji, kita akan bertanding, mau itu di Jepang atau di Amerika," tambah Takeru sambil berjalan mendekati adiknya. Tentu saja pernyataan terakhir tadi membuat Shun serasa disambar petir di siang hari. "Oh, ya, pernyataan-pernyataan absolut tadi adalah clue teka-tekiku waktu di restoran itu."
Shun benar-benar ingin menampar pipinya sendiri—tapi, tidak mungkin ia melakukannya(ia akan kehilangan harga dirinya yang tinggi itu).
"Kau ... Eyeshield 21 yang asli?"
Takeru menepuk bahunya. "Tepat sekali, Kiddo! Kenapa rasanya kau telat menyadarinya? Hahaha!"
Shun berani sumpah, hari ini adalah hari yang membuatnya syok to the extreme. Ia menghela napas, menyadari kalau hal-hal yang mustahil pun dapat terjadi begitu saja. Bertahun-tahun ia mencari sosok Eyeshield 21 asli yang menghilang tanpa kabar itu. Menemukan sosok ace bernomor punggung 21 itu seperti mencari setitik air hujan di tengah samudera luas.
Tapi sekarang? Eyeshield 21 itu berada di lingkungan terdekatnya. Eyeshield 21 itu bukan lagi sosok yang sulit dicapai—terlihat sangat jauh. Eyeshield 21 adalah anggota keluarganya sendiri.
Kakak tirinya sendiri.
Shun menghela napas, sudah sembuh dari 'serangan jantung'-nya. "Kenapa dunia ini sempit sekali..."
"Memang," balas Takeru, masih mempertahankan senyumnya. "Makanya, aku senang begitu menyadari kalau adikku adalah orang yang waktu itu berpotensi untuk menghentikanku. Aku sudah berjanji akan bertanding denganmu, dan rasanya kesempatan itu semakin besar begitu tahu kalau kau adalah adikku."
"Kukira kau sudah melupakan janjimu ...," ujar Shun lirih.
Takeru terkekeh mendengar perkataan adiknya. Ia pun menaruh kedua tangannya di bahu Shun, menatap kedua iris azure itu, lalu tersenyum. "Janji tidak boleh diingkari. Aku bukan orang yang munafik—dan itu adalah absolut!"
Melihat tatapan Takeru yang begitu jujur dan tegas, sesuatu di dalam hati Shun mulai berkecamuk lagi.
Di luar pikirannya, Shun mengangguk menyetujui perkataan Takeru.
Ya, kau memang benar. Kau memang selalu benar. Apa yang kaukatakan itu absolut—dan itu terbukti benar adanya, Nii-san.
"Nah Kiddo, sekarang mandi sana! Sebentar lagi makan malam," perintah Takeru, menghancurkan suasana tegang karena acara jujur-jujur-an tadi. Ia—lagi-lagi—mendorong tubuh Shun ke kamar mandi, tentunya dengan tawa jahil yang menghiasi.
"Iya, iya, Nii-san bawel," ujar Shun sambil manyun sedikit. Kalau author boleh jbjb—demi apa pun, kau unyu sekali banget. "Oh, ya, boleh minta tolong?"
"Kenapa?"
"Jangan memanggilku kiddo!"
to be continued
a/n:
ayey, Yunna is back! /joget Sherlock/
oke /coughs/ ini adalah multichap slash pertamaku. Dengan OTP yang selama dua tahun ke belakang bahkan sampai sekarang menjadi fasting-breaker(?). OTP yang sukses membuat aku dan ayangku tersayang hana-chan kirei fg-an di tw*tter. Yang bikin aku spamming di TL. Dan juga membuat puasaku batal /nggak.
demiapapunshunsamatakerutoplessitubikinmoodancurpa rah(?) /shot
di chapter ini memang plotnya terkesan loncat-loncat dan agak kecepetan. Aku lebih memfokuskan ke bagian Shun yang perasaannya jadi amburadul(?) pas tau kakaknya itu Eyeshield 21 asli dan cerita tentang mereka ke depannya. Karena aku udah janji(?) bakal bikin slash, jadi fanfic ini resmi akan menjadi slash! /tepuk tangan heboh/ (aku belum nyantumin genre romance karena belum kukasih hints-nya. Akan dicantumkan seiring berjalannya cerita/?/)
daaaan, berminat untuk review? :3