The Fate of Our World

Chapter 7: Bonds.

Disclaimer: Utapri kepunyaan Broccoli. Quartet Night forever~ /hush.

Rated: T

Genre: Adventure and friendship

Warning: OOC, OCs, AU, Author/Characters POV, and etc.

.

.

Alunan musik itu semakin terdengar jelas ketika langkah kaki mendekati sumber suara. Begitu indah namun menyesakkan dada yang mendengarnya. Keempat pemuda dan pemudi itu menyembunyikan diri di balik semak-semak. Sesekali mengintip keadaan di balik semak tersebut. Didapatinya sesosok pemuda blonde yang tengah memainkan sebuah alat musik gesek, viola. Begitu tenang dan menyatu dengan alam. Raut wajahnya menampakkan penghayatan yang luar biasa. Tahu-tahu sudah banyak hewan-hewan kecil yang mendekati pemuda itu.

"…cantiknya.." puji Nanami dengan mata yang berbinar.

Sementara itu, ketiga pemuda yang lain hanya mengamati. Tidak berkomentar, tetapi mereka tidak memungkiri jika memang permainan violanya sangat memukau. Beberapa saat setelahnya, pemuda yang diamati itu menghentikan permainannya. Berlutut sembari kepalanya terangkat menatap langit. Setelahnya tertawa kecil melihat hewan-hewan lucu yang memperhatikannya.

"Bagaimana Ranran? Apa kita hampiri saja?" tanya Reiji berbisik. Sementara yang ditanya masih memperhatikan lekat-lekat pemuda itu.

"Huum. Sepertinya dia tidak berbahaya. Kurasa tidak ada salahnya untuk menyapa pemuda itu." timpal Ai menyetujui.

Belum-belum Ranmaru memberikan jawaban, ketiga pemuda itu mendapati gadis berambut oranye berlari kecil menghampiri pemuda viola itu. Ya. Nanami-lah yang menghampiri pemuda itu. Secara serentak ketiganya pun berdiri dan ingin memanggil kembali Nanami, namun sudah terlambat.

"A-Ano… permainanmu indah sekali!" seru Nanami yang sukses berdiri di depan pemuda itu. Pemuda itu tersenyum lebar. Pipinya merona ketika melihat Nanami dihadapannya memuji dirinya. "Namaku Nanami. Aku sedang berkelana dengan teman-temanku." Ucap gadis itu lagi.

"Jangan langsung memperkenalkan diri!" tegur Ranmaru sembari menepuk dahinya.

"Maa~ Nggak apa-apa 'kan~" sahut Reiji sembari berjalan menghampiri Nanami dan pemuda viola itu, "Halo~ Namaku Reiji, dia yang seram itu Ranran dan yang disebelahnya itu Aiai. Kami pengelana."

"Ranmaru!" teriak Ranmaru lagi membenarkan Reiji.

"Ai. Namaku Ai. Bukan Aiai." ucap Ai lalu ia ikut menghampiri pemuda itu, "Permainan violamu bagus." Lanjutnya sembari tersenyum kecil.

"Terima kasih" balas pemuda bermanik hijau itu dan memperhatikan keempatnya lekat-lekat. Kemudian tersenyum lebar dan mengangguk-ngangguk senang. Setelah itu pemuda itu baru angkat bicara, "Kalian pemuda takdir ya? Namaku Natsuki." Ucapnya dengan senyum ramahnya.

'Pemuda takdir' katanya. Mendengar ucapan tersebut Reiji, Ranmaru dan Ai menjadi waspada. Saling berpandangan takut-takut pemuda itu berbahaya dan bisa saja mata-mata dari Silk Palace. Terlebih, bagaimana dia tahu mengenai 'pemuda takdir'. Tetapi pemuda yang bernama Natsuki itu membungkuk dan malah membereskan violanya.

"Tidak perlu takut. Aku memang ditugaskan untuk menjemput pemuda takdir." Ucap Natsuki lagi.

"Menjemput? Apa kau suruhan dari Silk Palace?" tanya Reiji mencoba untuk tenang. Dibandingkan Ranmaru dan Ai yang masih menatap Natsuki penuh curiga, Reijilah yang masih mencoba untuk berpikiran positif.

Natsuki kembali tertawa kecil, "Tenang saja, Rei-chan." katanya, "Aku diutus oleh Hidden city, oleh Shining-san, untuk menjemput Rei-chan, Maru-chan dan Ai-chan."

Ranmaru mengernyitkan dahi. Pemuda berambut keabuan itu memandangi Natsuki lagi dengan tatapan kesal. "'Maru-chan'-? Namaku Ranmaru." Protesnya. Sementara Reiji hanya terkekeh geli mendengar hal itu.

"…Kukira Ranmaru mau bertanya siapa Shining itu." Ucap Ai yang menghela napas panjang, "Dasar bodoh." Celanya.

"Diam kau, Ai! Nggak ada yang minta pendapatmu!" protes Ranmaru lagi, kini ia memprotes Ai.

Nanami yang melihat timbul kecurigaan di antara mereka berkata, "Daijoubu. Daijoubu desu!" ucapnya sembari mengepalkan kedua tangannya dengan wajahnya yang manis itu, "Natsuki-san… bukan orang jahat."

Melihat hal itu, Reiji dan Ranmaru saling berpandangan, dan Ai mengangguk tanda setuju untuk mempercayai Natsuki. Lagi pula, sudah seminggu melakukan perjalanan, akan sia-sia jika melewatkan kesempatan untuk menemukan Hidden city yang sudah mereka cari selama ini. Terlebih, dengan guide yang menjemput mereka, bukan kah itu suatu keberuntungan? Walaupun begitu, tidak ada salahnya juga masih siaga dengan apapun yang terjadi.

"Baiklah. Rei-chan, Maru-chan, Ai-chan dan yosei-san!" seru Natsuki sembari menyebutkan nama-nama anggota rombongan itu. Keempatnya diberi nama panggilan lucu seperti itu, membuat Ranmaru harus menahan diri agar tidak marah-marah lagi untuk saat ini, "Aku akan memandu kalian sampai hidden city. Bersiaplah!"

Keempatnya mengangguk tanda siap untuk melakukan perjalanan ke kota yang tersembunyi itu. Didetik selanjutnya, Reiji dan Ai sudah berada di belakang Ranmaru, dan Nanami yang melihat hal tersebut ikut-ikutan. Ranmaru hanya memandangi ketiganya dengan tatapan apa-apaan kalian dan mereka bertiga membalas dengan isyarat bahwa ketiganya sedang berlindung dibalik Ranmaru. Hal tersebut membuat Ranmaru kesal namun hanya menggerutu dan membiarkan ketiga temannya itu berlindung di balik badannya.

Natsuki yang mendapati hal tersebut hanya terkekeh geli dan mungkin saja sebenarnya ia ingin bergabung untuk berlindung di balik Ranmaru seperti itu. Selanjutnya, Natsuki mengucapkan mantra dengan tangan kanannya yang terjulur ke depan. Mantra yang diucapkan itu seperti nyanyian dengan nada-nada yang indah. Saat itu, tiba-tiba muncul kabut asap yang menyelimuti kelimanya dan perlahan kabut itu menghilang membawa mereka berlima.

.

.

Hidden city.

Camus dan Alexander digiring menuju sebuah ruangan besar untuk menemui walikota Hidden city yang telah mengizinkan Camus untuk tinggal sementara waktu. Ren dan Tokiya berada di belakang mereka, memastikan agar keduanya tidak tersesat atau salah masuk ruangan. Sesampainya di ruangan tersebut, seorang pria paruh baya dengan postur tubuh tinggi dan besar tengah duduk di belakang meja kerja. Pria itu mengenakan kacamata hitam dan menatap lurus ke arah Camus ketika pemuda Silk Palace itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu.

"Selamat datang Mister Camus di Hidden city~ Sebagai salah satu pemuda takdir, kaulah yang datang pertama kali~ Hohoho." Sapa pria itu sembari beranjak dari tempatnya untuk menghampiri Camus, "Perkenalkan… Shining Saotome. Walikota Hidden city dan kepala sekolah penyihirdi kota ini."

"Lebih tepatnya presiden di sini fufu." Ucap Ren menimpali.

"hrm.. Ren!" tegur Tokiya dengan dehamannya.

"….Jadi kaulah yang memutuskan kerja sama dengan Silk Palace." Sahut Camus yang memandangi Shining dari atas sampai bawah. Sedikit 'lelah' melihat fashion yang dikenakan pria itu sangat…. Nyentrik. Terlebih dengan gerak-gerik bahasa tubuhnya yang semakin menggelitik jiwa.

"Tenang saja Mr. Camus~ Kami bukanlah musuhmu hohoho~" sahut Shining, "Sudah saatnya kota ini membuka mata dengan apa yang dilakukan Sang Ratu pada dunia. Begitu pula dengan apa yang kau pikirkan, Mr. Camus?"

"…Ada yang ingin kupastikan. Saotome. Pemuda takdir… apa itu?" tanya Camus dengan menyelidik.

Shining tersenyum dengan lebar membuat Camus tidak dapat menebak apa yang akan dijawab olehnya. Pria paruh baya itu berjalan ke arah pintu dan terdiam sejenak. Camus menoleh dan kembali memperhatikan pria nyentrik itu. Didapatinya pria itu sedang berbicara dengan Rend an Tokiya. Berbisik. Sehingga Camus tak dapat mendengarnya. Tak lama setelah itu, Shining kembali berjalan mendekati pemuda bersurai sebahu itu dan menepuk pundaknya.

Camus menatapnya heran. Apa yang akan ia ucapkan? Pemuda takdir. Hal tersebutlah yang selalu Camus pikirkan setelah bertemu dengan Penyihir saat kunjungannya di kota Melodie. Penyihir itu pun lenyap begitu saja setelah memberitahu bahwa Ratu-lah musuh dunia. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang beputar di otaknya, namun tak seorang pun yang dapat menjawabnya. Jika bapak tua itu memiliki hubungan dengan sang penyihir, mungkin saja pertanyaannya dapat terjawab.

"Untuk menjawab hal itu. Aku ingin keempat pemuda takdir tiba di kota ini." Shining menjawab dengan nada khasnya, serius, namun dengan nada yang naik turun itu terdengar seperti bercanda.

"Pemuda takdir… bukan hanya Camus saja?" tanya Alexander.

"Menurut ramalan penyihir legendaris itu, pemuda takdir ada empat orang. Keempat orang itu pun memegang element yang dapat menyeimbangkan dunia ini." Jawab Tokiya menjelaskan.

"Tetapi kami baru menemukan satu orang saja, yaitu Baron. Sisanya.. ketiga pemuda lagi mungkin saja tengah melakukan perjalanan ke kota ini." sambung Ren, "Penyihir itu juga bilang bahwa Hidden city inilah yang menjadi titik temu para pemuda takdir."

Terdengar suara langkah kaki yang begitu cepat mendekati ruangan itu. Semakin dekat dan semakin dekat, kemudian seakan berhenti pada satu tempat. Pintu ruangan tersebut kembali terbuka. Sesosok pemuda tinggi berada diambang pintu. Di belakang pemuda itu, berdiri pula tiga orang pemuda lainnya dan seorang gadis yang mencari tahu apa yang ada dibalik pintu tersebut.

"Saaaaayniiing-saaan! Paketmu sudah tiba!" ucapnya bersemangat dengan senyuman khas yang ia kembangkan sembari menunjukkan 'paket' yang dia antar.

"Natsuki. Kami bukan paket." Tegur Ai dengan menatap pemuda itu tajam. Namun, yang ditatap masih tersenyum dengan senang karena misinya berhasil.

"Ohohoho~ Selamat datang para pemuda takdir~ Ohohoho~" ucap Shining dengan bersemangat, kemudian ia berjalan–sesekali berputar–ke arah Reiji, Ranmaru dan Ai. Melihat tingkah bapak tua itu membuat perut ketiganya geli. Pria nyentrik itu kemudian bersalaman dengan Reiji, tersenyum lebar menatap pemuda bermanik coklat itu.

Natsuki berdeham kecil kemudian berkata, "Rei-chan, Maru-chan dan Ai-chan, perkenalkan… Shining-san adalah pemimpin di kota ini."

"Pe-Pemimpin!?" seru Ranmaru tidak percaya. Pemuda itu memperhatikan Shining dari atas sampai bawah, kemudian melangkah mundur perlahan diikuti Ai, sehingga menyisakan Reiji yang masih disibukkan dengan jabatan tangannya.

Reiji hanya tertawa garing, mempertahankan senyumannya yang kaku. Baru kali ini mereka menemukan pria paruh baya yang sangat enerjik dan…emm mengenakan pakaian yang sangat nyentrik juga mencolok. Sementara itu, Nanami yang berada di belakang pemuda-pemuda takdir, hanya kebingungan dengan suasana yang awkward itu.

"Hee.. jadi Natsuki yang diberi tugas untuk menjemput mereka ya?" tanya Ren berbasa-basi. Natsuki yang ditanyai hanya mengangguk semangat.

Camus membalikkan badannya, memperhatikan ketiga pemuda di muka pintu itu. Sementara yang diperhatikan masih sibuk bertanya-tanya mengenai Shining di dalam pikiran mereka. "Hoo.. jadi, mereka adalah 'pemuda takdir' selain aku, hm?" ucap Camus sembari berjalan menghampiri, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sesosok pemuda yang ia temui di hutan dahulu, "Kau..".

Ai bertemu mata dengan Camus. Pemuda bermanik aqua itu terdiam. Keduanya saling berpandangan satu sama lain. Dengan tatapan tajam Camus mencoba mengintimidasi Ai, namun rasanya hal tersebut tidak berhasil. Ai masih dengan tatapan datarnya tidak melakukan apapun. Masih terdiam. Hal tersebut disadari oleh Ranmaru juga Reiji. Kedua pemuda desa Warrior itu melihat ke arah sang pangeran Silk Palace. Keduanya pula sangat terkejut.

"Kau… si anak penyihir itu!" seru Camus, "Apa yang kau lakukan di sini!?" lanjutnya. Meskipun Camus mengetahui fakta mengenai penyihir legendaris yang sesungguhnya, namun tetap saja ia merasa kesal ketika melihat sosok Ai–yang begitu mirip dengan ibunya.

"Seharusnya kami yang bertanya seperti itu! Pangeran Silk Palace!" sahut Ranmaru kesal, ia berdiri di depan Ai, mencoba melindunginya. "Aku tidak akan membiarkan kau merenggut keluargaku lagi!"

"Apakah ini… jebakan?" tanya Reiji. Pemuda itu menatap Shining yang masih memperhatikan keadaan.

Shining kini kembali berputar dan melakukan pose aneh, membuat perhatian tertuju pada pria nyentrik itu. "Cukup~!" serunya, "Mulai sekarang kalian harus akur-akur~ Para pemuda takdir harus bekerja sama~!"

"Tunggu dulu…" sela Reiji menyelidik, "…bekerja sama… Ma-maksud bapak… Pangeran Silk Palace ini juga salah satu pemuda takdir!?" lanjutnya tidak percaya.

"Apa!? Yang benar saja!" sambung Ranmaru kesal, "Bekerja sama dengan dia?!" tunjuk Ranmaru pada Camus.

Camus merasa direndahkan ketika Ranmaru menunjuknya, "Hmp! Memang siapa yang akan bekerja sama dengan pemuda acak-acakan sepertimu?" ucap pemuda berambut sand-brown itu.

Akhirnya… Para pemuda takdir sudah berkumpul.

Di tengah suasana yang tidak mengenakan itu, terdengar suara wanita yang begitu familiar. Ketiga pemuda takdir itu terkejut, begitu pula dengan yang lain. Berusaha mencari sumber suara wanita itu, sang penyihir legendaris itu. Tiba-tiba Ai menepuk pundak Ranmaru dan berjalan maju. Dari tubuh pemuda itu terpancar cahaya berwarna mauve, mata pemuda itu kosong. Ai sedang diambil alih. Ranmaru dan Reiji pun menyadari hal itu. Nampaknya yang mengambil alih tubuh pemuda bersurai teal itu adalah ibunya sendiri.

Tidak ada waktu lagi… Kalian harus bekerja sama. Suara itu berasal dari mulut Ai.

"…Apa yang kau lakukan pada tubuh Ai?" tanya Ranmaru. Pemuda itu mengkhawatirkan rekan, tidak, bukan rekan. Ai sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.

Jangan khawatir. Ranmaru, Reiji juga. Aku hanya meminjam tubuh Ai sebentar saja. Pemuda Silk Palace, Camus. Mulai sekarang bekerjasamalah dengan mereka. Kekuatan kalian dibutuhkan untuk dunia ini.

Camus terdiam. Pemuda itu hanya memperhatikan sosok Ai yang sedang diambil alih itu. Kemudian ia memperhatikan Ranmaru dan Reiji sebentar. Haruskah ia bekerja sama dengan orang-orang yang tidak ia kenal? Tetapi jika tidak ada jalan lain. Jika hal tersebut dapat menghentikan sang Ratu yang kejam itu. Camus menunduk. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang ditujukan pada dirinya sendiri.

Sang Penyihir bisa saja dengan mudahnya meminta mereka bekerja sama, tetapi masa lalu yang kelam kembali menyelimuti Reiji dan Ranmaru. Ya. Hari di mana langit diwarnai oleh kobaran api dan teriakan kesakitan itu. Hari di mana keluarga mereka satu persatu dibantai. Hari di mana mereka tidak dapat merasakan lagi kebahagiaan. Hari di mana desa tempat mereka dilahirkan rata dengan tanah.

Dendam mungkin sudah sirna, tetapi tak dapat dipungkiri rasa kesal menyelimuti hati. Melihat Pangeran Silk Palace itu berdiri di hadapanmu. Bisa saja pangeran yang terkenal dingin bagai es itu melupakan pembantaian itu, tetapi kedua pemuda desa Warrior itu tidak bisa melupakannya. Sekarang apa? Ingin melampiaskan kekesalan pada pangeran itu? Jika sudah melampiaskan rasa kesalmu lalu apa? Mereka yang telah mati… tidak akan kembali.

"Semua tidak akan berubah… Masa lalu yang sudah terjadi tidak akan pernah berubah." Gumam Reiji dengan tangan yang ia kepal dengan kuat. Pemuda itu menahan emosi yang meluap-luap pada dirinya sendiri.

Ranmaru menepuk pundak rekannya itu, dan mengangguk tanda mengerti apa yang rekannya rasakan. "Reiji…" panggil Ranmaru membuat Reiji kembali sadar dari lamunannya akan masa lalu di desa Warrior itu.

Sang Penyihir kembali bercerita bahwa para pemuda takdir mengemban tugas yang sangat berat. [Menyelamatkan dunia]. Sementara Sang Ratu menginginkan kekuasaan absolut, menghancurkan siapapun yang menentangnya. Membiarkan mereka yang lemah perlahan semakin sengsara. Kejam. Dunia tidak akan menyenangkan jika hal itu terjadi. Dengan kata lain, keempat pemuda takdir harus menghentikan Sang Ratu. Apapun yang terjadi. Apapun yang akan mereka korbankan.

Ratu yang kejam itu memiliki kekuatan sihir yang sangat besar dan kuat. Namun sihir itu merupakan sihir terlarang. Kekuatan itu didapatkan dari energi buruk yang ada di permukaan bumi. Kebencian, keputusasaan, kesedihan dan kesengsaraanlah yang membuat sihir itu semakin kuat. Bahkan cukup untuk menghancurkan satu benua. Maka dari itu, para pemuda takdir dapat menyeimbangkannya dengan kekuatan element khusus yang berasal dari Bumi pula. [Mother Earth] [Flame] [Cyclone] dan [Ice]. Mother earth adalah evolusi dari element tanah, Flame evolusi dari element api, Cyclone evolusi dari angin dan Ice adalah evolusi dari element air.

Para pemuda takdir harus mengembangkan dan menyatukan keempat element tersebut sehingga terjadi keseimbangan. Pengembangan keempat element itu harus didasari sebuah ikatan yang kuat antarpara pemuda takdir. Selain itu, didapatkan pula dari energi positif yang terpancar di seluruh dunia. Kasih sayang, persahabatan, rasa tolong menolong, empati, dan energi positif lainnya. Dengan energi-energi itu dapat menjadi dasar kekuatan untuk keempat element yang mereka miliki.

"Berarti elementku adalah Mother Earth 'kan? Lalu Ranran punya element Flame." ucap Reiji sembari berpikir, "Sisa lainnya… Cyclone dan Ice ya. Berarti itu dimiliki oleh Aiai dan Pangeran berambut halus itu?"

"Jangan memujinya, Reiji." tegur Ranmaru risih, "Kenapa harus membahas rambutnya sih." gerutunya.

Camus menyunggingkan senyumnya, "Bilang saja kau iri padaku, dengan rambutmu yang acak-acakan itu aku tidak heran jika kau iri."

"Hah?! Siapa yang iri!" sahut Ranmaru kesal, "Kau ngajak ribut ya?!"

"Ma–Maa.. Ranran~ sudah-sudah… " ucap Reiji menengahi–agar keributan tidak semakin menjadi.

Para pemuda takdir… untuk membangkitkan kedua element yang tertidur maka kalian harus membuat kontrak dengan hewan penjelmaan dari element tersebut. Untuk itu… kalian harus mencari situs-situs tempat hewan-hewan itu bersemayam. Lalu…

Belum selesai Sang Penyihir itu menjelaskan, tiba-tiba tubuh Ai terjatuh. Reiji dan Ranmaru dengan sigap menangkap tubuh pemuda itu. Keduanya meneriakkan nama Ai berkali-kali. Tidak ada hasil. Pemuda itu seperti kehabisan tenaga setelah sang ibu meminjam tubuhnya. Hal tersebut pula yang membuat Nanami khawatir. Gadis itu yang sedari tadi diam, ada di belakang Reiji dan Ranmaru. Gadis berambut oranye itu pun menghampiri Ai, wajahnya terlihat sangat cemas melihat Ai pucat seperti itu.

Camus yang menyaksikan hal itu terkejut. Matanya terbelalak. Pemuda sand-brown itu tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sesosok gadis tiba-tiba muncul di hadapannya, perawakannya sangat mirip dengan adiknya. Haruka. Tubuh pemuda itu bergetar. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, meyakinkan bahwa yang ia lihat bukanlah ilusi. Haruka… dia masih hidup. Langkah kakinya terbata ketika ia secara tidak sadar menghampiri gadis itu. Kedua tangannya menggenggam bahu gadis mungil itu, membuat Nanami menatapnya takut.

"Haruka…" panggil Camus dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

_Ikatan antara manusia adalah awal dari segalanya_


Waaaaaaaaay~~ Waaaaay~~ selamaaaat sore/malam/pagi/siang~ Akhirnya karena mencoba produktif, Ryoko dapat menyelesaikan chapter 7 sebelum semester delapan berjalan~ /tepuk tangan/ dou desuka~? Chapter ini dinamain sama kayak lagu Quartet Night yang baru-yang bikin mereka makin presyes di mata Ryoko u/u) Uhh~ Tolong kenapa karunai unyu banget-"Bonds" itu "Kizuna" kan yah? /malah nanya/ Pokoknya mah tujuannya itu-pokoknya ituuu X""D Masih berpikir hewan imajinernya Ai sama Camus apa ya wkwkwk Kan Reiji itu tupai, Ranmaru itu Naga (yang di draft awal harusnya Phoenix) hmmm... terus apa yaaah~ Nah.. selama Ryoko mikir... sampai jumpa di chapter selanjutnyaa~ /doakannggakpendingberbulan-bulanlagi/ Ja.~