Naruto © Masashi Kishimoto
My Husband(s)
Warning : AU, OOC, typo(s), aneh, pasaran.
Rated : T – T+
Summary : Sebuah kebetulan tak terduga di masa lalu membuat Ino harus menikah dengan dua orang pria dalam waktu yang bersamaan./ "Kau mempunyai putri yang cantik, Namikaze-dono. Apa kau keberatan jika kita menjodohkan anak kita?"/ "Bagaimana kalau Sasuke dan Ino-chan dijodohkan saja? Itu bagus, bukan?"
.
.
.
Happy reading, Minna!
.
.
II. Chaos
.
.
24 tahun kemudian...
Gadis bersurai pirang sewarna jerami itu tersenyum penuh arti. Ia amati ruangan itu dengan seksama. Ia sangat menyukai ruangan ini─serba putih dengan bunga mawar merah muda si setiap sudut ruangan. Ia langkahkan kakinya menuju karpet merah yang mengarah ke altar itu. Ia menutup matanya dan kembali tersenyum sembari membayangkan ada seseorang yang menantiya di altar itu.
"Pig?"
Ia pun membuka matanya dan menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya tadi. "Ada apa, Forehead?" tanyanya.
Gadis yang dipanggil Forehead itu tersenyum lebar. Dengan antusias ia menjawab, "Baju pengantinku dan bajumu sudah datang. Ayo kita coba!"
Ino─gadis bersurai pirang-tersenyum lebar dan langsung melangkahkan kakinya mendekati Sakura─gadis yang dipanggil Forehead. "Ayo!"
Besok adalah pernikahan kakak laki-laki Ino, Namikaze Naruto, dengan sahabatnya, Haruno Sakura. Ia benar-benar senang karena dua orang yang ia cintai bersatu. Tak lupa, sebenarnya ia adalah cupid di antara mereka.
Ino menatap Sakura dengan takjub. Baju pengantin yang Sakura kenakan saat ini sangat indah, simple tapi elegan. Baju berwarna serba putih dengan rok panjang yang mengembang. Tak lupa manik-manik perak yang melekat pada baju bagian atasnya.
"Cantiknyaa~" gumam Ino. Sakura tersenyum setelah mendengarnya.
Ino merangkum wajahnya sendiri dan menatap baju Sakura dengan pandangan sayu. Ia sangat ingin mengenakan baju itu─sangat ingin. Namun apa daya, tak ada satu pun pria yang serius dan akan melamarnya dalam waktu dekat. Ia terkadang merasa heran dengan dirinya. Ia heran, apa yang kurang darinya sehingga semua pria tampak tak serius dengannya. Ia cantik, berprestasi, orang tua bereputasi tinggi, dan cukup umur.
Sakura menelengkan kepalanya mrmerhatikan ekspresi Ino yang tampak berubah. "Kau kenapa, Pig?"
"..."
Tak ada jawaban dari Ino. Ia masih diam bergeming sembari menatap gaun Sakura.
"Err ... aku tahu perasaanmu, Pig. Tapi ... apa Hidan akan melamarmu?"
Ino tersenyum sinis. "Apanya yang mau melamarku. Ia tidak serius dengan hubungan kami, Forehead." Ino menghela napas setelah itu.
Sakura berkacak pinggang. "Seperti yang kuduga, sudah putuskan saja!" Sakura menghela napasnya sekilas sebelum melanjutkan, "kautahu apa yang membuatmu masih belum mendapat seseorang yang akan melamarmu, Pig?"
Ino menggeleng pelan.
Muncul perempatan di dahi Sakura. "Kau ini! Sama saja dengan Baka-oniichan-mu itu! Kautahu, Pig? Kau itu selalu memilih pria yang serampangan, calon-calon bujang lapuk tanpa pekerjaan. Makanya mereka tidak serius denganmu, Pig!" omel Sakura panjang lebar.
"Seperti kau tidak menikahi pria yang serampangan," komentar Ino.
Kali ini pipi Sakura merah menahan malu. "Setidaknya ia mempunyai pekerjaan jelas, Pig. Pokoknya, jika kau ingin memakai baju ini secepatnya, carilah pria yang mempunyai pekerjaan jelas dan mapan. Kau bisa mencari teman-teman Baka-oniichan-mu itu."
Ino memutar matanya mendengar ceramah Sakura. "Baiklah, baiklah."
"Ya sudah, sekarang cobakan bajumu sana!"
.
.
.
.
"Sekarang, kau bisa mencium pengantinmu."
Pria dengan rambut pirang dan mata sebiru langit itu menyeringai. Ia pun mendekati gadis dengan rambut merah muda itu. Ia pun mencium kening gadis itu. Terdengar riuh dari bangku tamu. Namun tak lama kemudian, ia pun menurunkan ciumannya menuju bibir sang gadis. Penonton tambah riuh dengan perlakuan pria itu.
Sakura membelalakkan manik emerald-nya karena perlakuan Naruto. Ia pun mendorong Naruto hingga ciuman mereka lepas.
Naruto menyeringai. "Kenapa? Bukannya kita sudah suami-istri? Kita akan melakukan yang lebih dari ini malam ini," bisik Naruto ke telinga Sakura.
Sakura memalingkan wajahnya yang sudah merah itu dari Naruto. "B-baka!"
Naruto tersenyum lembut. "Ekspresimu masih sama saat kita pertama kali ciuman, Namikaze Sakura."
Sakura menatap ke arah Naruto sekilas. Setelah itu, ia pun kembali memalingkan wajahnya dari Naruto. "Baka!"
.
.
.
Ino menopang dagunya dengan tangan kanannya. Ia tatap gelas berisi minuman dingin yang ada di tangannya sembari memutar-mutar gelasnya. Ia bosan—sangat bosan. Sakura sedang bersenang-senang dengan suami barunya dan Naruto sedang bersenang-senang dengan istri barunya. Sama saja.
Ia juga tak bisa mengajak Hidan ke acara pernikahan kakaknya ini karena hubungan mereka pasti tidak akan direstui oleh ayah dan ibunya mengingat penampilan Hidan yang benar-benar berandalan. Tak ada satu pun yang bisa ia ajak berbicara kali ini.
Entah apa yang ia pikirkan, Ino pun bangkit dari duduknya. Ia ingin berjalan-jalan di sekitar lokasi acara—siapa tahu ada yang bisa ia ajak berbicara atau bercanda. Tapi, baru saja ia melangkahkan kakinya, tak sengaja ia menabrak seseorang yang berjalan berlainan arah dengannya, tak lupa minuman tadi tumpah mengenai jas orang tersebut.
Refleks, Ino pun menutup mulutnya. "Astaga! Maafkan aku." Baru saja ia hendak membersihkan jas orang itu, sebuah tangan tegap mencekalnya. Ino pun mendongak untuk melihat orang itu.
Pemuda itu tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Ino-chan."
Mata Ino membulat melihat pemuda yang kini berada di depannya. "Sai-senpai?"
Pemuda itu mengambil sesuatu dari saku kemejanya dan membersihkan jasnya yang kotor. "Hai, Ino-chan," sapanya sembari melemparkan senyum.
Ino yang masih tidak percaya melihat seniornya di kampus itu hanya bisa terpaku di tempatnya berdiri. "Ke-kenapa Senpai bisa di sini?"
"Tou-sama memaksaku ke sini. Ia bilang, rekan kerjanya sewaktu menjabat dahulu mengadakan acara pernikahan untuk anaknya. Dan … aku tidak menyangka ternyata Naruto lah yang menikah," ujar Sai memberikan penjelasan sembari memberikan isyarat kepada Ino untuk duduk di tempat duduk terdekat.
Ino mengangguk mengerti. "Senpai mengenal Naruto-nii?"
Sai menatap Ino sekilas. "Ya … begitulah. Aku dulu pernah sekali ke rumahmu diajak ayahku."
Ino tersenyum. "Aku tak menyangka bahwa ayah kita saling mengenal." Beberapa saat kemudian, Ino kembali berujar, "Kudengar Senpai melanjutkan kuliah ke Perancis."
Sai mengangguk sekilas. "Ya, aku sudah menyelesaikannya tahun lalu."
"Apakah kau akan menetap di sini?" tanya Ino─lagi.
Sai tampak setengah berpikir. "Umm … mungkin tidak. Aku hanya ingin berlibur dan mengerjakan proyek kecil di sini untuk sementara waktu. Kau sendiri bagaimana? Sudah selesai?"
"Ya … seperti biasa. Sekarang aku melanjutkan kuliahku di sini saja. Ibu tak mengizinkanku untuk kuliah jauh."
Sai tersenyum penuh arti. "Kau luar biasa, Ino."
Pemuda ini adalah Shimura Sai, anak dari Shimura Danzou, rekan kerja Namikaze Minato. Sai merupakan senior di kampus Ino lima tahun lalu. Ya, Sai sudah lulus lima tahun yang lalu, tepat saat Ino awal tahun pertama Ino.
Mereka bertemu karena Sai pernah menggantikan asisten dosen Ino.
Ino sudah lama memendam perasaan pada seniornya yang satu ini. Ia melihat Sai sangat bersinar dan sangat sulit untuk dicapai. Tetapi, dengan acara pernikahan kakak laki-lakinya ini ia merasa dunia ini amat sempit. Ia sangat senang mengetahui bahwa ayahnya mengenal ayah Sai. Mungkin setelah ini ia harus berterima kasih pada ayahnya karena sudah menjadi orang penting dan sangat terkenal sehingga bisa mengenal orang seperti ayah Sai.
Sudan lima belas menit Sai dan Ino mengobrol ringan perihal masa-masa saat Ino di tingkat satu dahulu. Ino sangat senang akhirnya ia bisa berbica dengan sangat dekat dengan Sai. Rasanya ia ingin waktu ini terhenti.
Sai pun bangkit dari duduknya. "Ya sudah, mungkin sampai sini saja dulu, Ino-chan. Aku akan menemui ayahku dan segera pulang. Banyak sketsa yang belum kukerjakan," ujar Sai masih dengan senyuman biasanya.
Ino yang sedikit kecewa membalas senyuman Sai. "Oh iya, tidak apa-apa, Senpai. Semangat ya, menyelesaikan semua sketsanya."
Sai pun mengangguk sekilas. "Ya, terima kasih. Sampai jumpa, Ino-chan!" Sai pun melangkahkan kakinya menjauhi Ino.
Ino hanya dapat menatap punggung Sai yang makin menjauh. Ia pun tersenyum sembari menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Ah Sai-senpai~"
Tak dapat dipungkiri bahwa Ino pernah menyukai pemuda-pemuda seperti Sai. Akan tetapi, tidak satu pun yang berpacaran dengan Ino. Hal tersebut disebabkan Ino yang tidak mau berusaha dan pemuda-pemuda seperti itu umumnya sangat menjaga harga dirinya. Sehingga mereka menunggu wanita yang mendekatinya, bukan ia sendiri.
Akhirnya, Ino berpacaran dengan pemuda yang lebih bisa mengutarakan perasaannya dan berandalan seperti Hidan. Sepertinya hukum perempuan baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik tak berlaku sama sekali pada Ino.
.
.
.
.
Setelah Sai pergi, Ino kembali berkeliling. Tak sengaja ia melihat seorang pemuda yang sedang berdiri tanpa melakukan apapun di tengah keramaian itu. Ialah Uchiha Sasuke, pemuda dengan rambut raven itu merupakan sahabat masa kecil Naruto. Dahulu ia dan Naruto selalu satu sekolah. Namun, saat lulus SMA Sasuke melanjutkan kuliahnya di Amerika dan tidak pernah pulang sejak itu.
Ino baru saja hendak menghampiri pemuda itu, namun ia ingat betapa dinginnya dulu Sasuke kepadanya. Ia mengurungkan niatnya, dan sangat kebetulan sekali teman satu kampusnya yang ia undang untuk menghadiri pesta penikahan Naruto datang.
''Ngapain dia di sana sih? Seperti orang bego saja.' Di sela pembicaraannya dengan teman-temannya, Ino masih melirik Sasuke yang masih mematung di sana sambal memegang minumannya.
"Hellooo Ino-chan? Kaulihat apa, sih?" tanya salah satu teman Ino sembari melihat ke arah Ino melirik.
"Umm… bukan apa-apa. Lalu lalu? Bagaimana?"
Teman Ino melanjutkan gosipnya yang sudah ia mulai semenjak datang. Ino kembali melirik Sasuke, ia lega akhirnya ada kakaknya yang menghampirinya.
'Lagipula untuk apa aku khawatir, 'kan?'
.
.
.
.
.
Hari mulai sore, resepsi pernikahan Naruto dan Sakura akan berakhir. Hanya saja malam nanti ada pesta dansa yang dikhususkan untuk keluarga dan orang-orang yang diinginkan saja.
'Pasanganku siapa? Masa harus sendiri lagi?' batin Ino kesal. Ia tak suka dengan acara ini. Keluarga Namikaze memang punya tradisi seperti itu. Ino, yang notabene sudah menginjak umur dewasa, belum pernah mengajak seseorang yang spesial di acara tersebut. Paling hanya nanti berdansa dengan ayahnya di penghujung acara.
Ino melangkahkan kakinya menuju ballroom tempat akan diadakan pesta dansa. Di sana sudah banyak keluarganya menunggu acara untuk dimulai. Ia melihat pemuda dengan rambut legam duduk di salah satu meja.
'Sai-senpai? Ke-kenapa dia di sini?'
Ino pun menghampiri Sai. "Sai-senpai? Kenapa masih di sini?"
Sai pun menoleh. "Ah Ino-chan! Kenapa? Tidak boleh?" tanya Sai dengan senyum jahilnya.
Ino menggeleng. "Bu-bukan… bukan itu maksudku!"
Sai tertawa kecil melihat ekspresi Ino yang panik. "Kata Ayah, kami harus mengikuti acara ini dulu karena diundang Namikaze-sama."
Ino tersenyum kecil mendengarnya. Dalam hatinya ia bertanya, mungkin ayahnya menginginkan Sai menjadi menantunya dan menyuruh Sai untuk menjadi pasangan Ino di pesta dansa ini. Akhirnya Ino tidak sendirian mengikuti pesta ini untuk pertama kalinya. "Oh iya? Baguslah kalau begitu."
Seketika hening di antara mereka. Ino sangat benci dengan suasana canggung. "A-aku mau ambil minum dulu, Sai-senpai," ujar Ino memecah keheningan.
"Ah ya, silakan."
Ino pun mengambil minuman yang letak counternya jauh dari tempat Sai duduk. Ino tetap menunduk dan merutuki dirinya.
'Kenapa aku sering mati kutu sih, di depan Sai-senpai?'
Tak lama kemudian alunan musik jazz mulai terdengar. Di sana ada MC dari keluarga Namikaze yang membuka acaranya. Dengan dibukanya acara tersebut dengan MC, beberapa keluarga Namikaze, Haruno, dan tamu undangan yang agak 'spesial' mulai masuk ke lantai dansa untuk berdansa di sana. Di bagian depan, ada Naruto dan Sakura yang sedang berdansa. Ino dapat melihat senyum yang sangat manis dari Sakura, begitu pula dengan Naruto. Ah, ia tiba-tiba ia kangen dengan Sakura. Padahal baru beberapa jam mereka tidak bersama.
Ino berpikir, apakah setelah ini ia dan Sakura masih bisa melakukan hal-hal seperti saat mereka masih lajang. Mengingat Sakura sudah mempunya tanggung jawab untuk mengurus suaminya.
Lamunan Ino buyar ketika ayahnya berdiri di depannya. "Anak Gadis Ayah kenapa di sini sendirian? Iri dengan Sakura, ya?"
Muncul semburat di pipi halus Ino. "A-apa-apaan sih, Ayah? Aku tidak iri kok."
"Iya iri. Temanmu sudah menikah, sedangkan kau pacar saja belum punya."
Seperti yang dikatakan sebelumnya, Minato tak pernah tahu jika Ino berpacaran karena selama ini Ino backstreet.
"Kau tak perlu iri dengan Sakura lagi, kok. Ayah ingin kau berdansa dengan seseorang. Karena dia adalah laki-laki pilihan Ayah untukmu. Kau pasti menyukainya," ujar Minato sembari menarik tangan Ino menuju lantai dansa.
Pipi Ino memanas. 'A-apa Sai-senpai?'
Ino rela seratus persen jika ia dijodohkan dengan Sai.
Belum sampai di tempat yang dituju oleh Minato, tiba-tiba Kushina menghampiri. "Ino, kau harus ikut ibu sekarang. Ibu ingin kau berdansa dengan seseorang," ujar Kushina heboh dan langsung menyambar tangan Ino.
"Huh?" Ino menatap ibu dan ayahnya heran.
Minato mengerinyitkan dahinya. "Berdansa dengan seseorang?" tanyanya membeo.
Kushina mengangguk antusias. "Ya! Tidak mungkin Ino selalu berdansa dengan ayahnya, bukan?"
"Tapi aku ingin Ino berdansa dengan seseorang."
Senyum sumringah Kushina pudar. "Aku ingin anak perempuan kesayanganku berdansa dengan laki-laki pilihanku. Bahkan sejak ia lahir." Kushina menarik lengan kiri Ino.
Minato makin mengerinyitkan dahinya. "Aku juga ingin gadis kesayanganku berdansa dengan laki-laki pilihanku. Bahkan sejak ia lahir." Minato menarik lengan kanan Ino.
Ino makin bingung dengan kondisi ini. "Eh? Ayah? Ibu? Ini kenapa?"
Dengan serempak Minato dan Kushina menjawab.
"Aku ingin menjodohkanmu!."
"Aku ingin menjodohkanmu!"
Kushina menatap horror ke arah Minato. Begitu pula Minato.
"Aku sudah membuat perjanjian dengan Mikoto semenjak Ino lahir."
"Aku sudah membuat perjanjian dengan Shimura-dono semenjak Ino lahir."
Ino menatap tak percaya ayah dan ibunya. Benar ia desperate karena tidak ada lelaki yang serius dengannya, tapi bagaimana kalau ada dua orang yang akan diseriuskan dengan dirinya?
"Perjanjianku dengan Mikoto sangat penting, ini masalah sahabat sehidup semati!" ujar Kushina sengit.
"Perjanjianku dengan Shimura-dono lebih penting, ini menyangkut kerjasamaku untuk perusahaanku!" ujar Minato tak kalah sengit.
Ino makin bingung dengan kondisi untuk saat ini. Ia tak tahu mana yang akan lebih penting dan didahulukan.
Baru saja Minato dan Kushina akan melemparkan arumennya, tiba-tiba suara lembut itu menginterupsi mereka.
Ia menepuk bahu Kushina. "Kenapa lama sekali, Kushina? Aku tidak sabar melihat Sasuke dan Ino berdansa. Aaaa~ pasti akan manis sekali~"
Ino membelalakkan matanya. Jadi ibunya berniat untuk menjodohkan ia dan Sasuke? Si Dingin itu?
"Sebentar, aku ada masalah kecil."
Baru saja Kushina hendak melempar argumennya kembali, suara baritone itu menginterupsinya.
Pria paruh baya itu menghampiri Minato. "Mohon maaf, Namikaze-dono. Saya ada beberapa urusan penting yang harus dilakukan. Bisakah sekarang kita membicarakan dengan keluarga Anda mengenai perjodohan Sai dengan anak Anda?"
Ino terbelalak. Ia tadi memang memikirkan hal tersebut. Tetapi itu hanya angan-angan liarnya. Ia tak menyangka akan sampai sejauh ini.
Kushina dan Minato menunduk. Mereka pun menghela napas.
"Kita harus menyelesaikan ini," ujar Kushina dengan nada horror.
"Ya, harus."
.
.
.
.
Dan di sinilah mereka. Di sebuah meja panjang yang sengaja dipesan di ball-room itu. Suasana hening dan mencekam. Di sana ada Minato, Kushina, Ino, Naruto, Sakura dari keluarga Namikaze. Lalu dari keluarga Uchiha ada Fugaku, Minato, dan Sasuke. Terakhir ada Danzo dan Sai.
Sudah sepuluh menit mereka di sana, akan tetapi tak ada yang memulai pembicaraan sama sekali.
Ino memperhatikan ekspresi masing-masing orang yang di sana. Naruto, sangat jelas ia kesal karena acara pernikahannya terganggu dan acara 'malam pertama'nya diundur untuk beberapa jam. Sai tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Ayah dan ibunya tampak frustasi. Dan Sasuke … marah?
Tak lama kemudian, Kushina mulai angkat bicara. "Ki-kita tak boleh diam seperti ini saja. Ini harus diselesaikan."
Minato menghela napasnya.
"Kushina, bukankah kita sudah berjanji sejak lama? Tepat saat Ino lahir, kan?" tanya Mikoto denga nada sedikit nada rengekan. "Sasuke juga ada di sana. Benar 'kan, Sasuke?"
"…."
Tak ada jawaban dari Sasuke.
"Mohon maaf, saya juga telah berjanji dahulu dengan Namikaze-dono saat Ino lahir," bantah Danzou.
Ino semakin menunduk. Ia tidak habis piker dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa mereka sama-sama menjodohkannya dan sama-sama tidak tahu? Dan yang lebih gila, mereka menjodohkan Ino di hari yang bersamaan.
"Bagaimana jika kita menyuruh Ino untuk memilih?" Minato memberikan usul yang cukup baik.
Mikoto yang merasa tidak diuntungkan karena selama Sasuke di Jepang dulu ia selalu dingin pada Ino. "Tidak bisa begitu! Tujuanku menjodohkan mereka supaya mereka makin mengenal. Untuk saat ini mereka belum terlalu mengenal."
Danzou juga merasa kesempatannya kecil karena ia mengira Sai dan Ino tak mengenal. Selama ini ia dan Sai lebehi sering di luar negri ketika ia tidak menjabat lagi. Hanya Sai yang pulang untuk berkuliah, dan itupun hanya 4 tahun dan kembali lagi. "Ya, tujuan perjodohan ini untuk mengenalkan mereka."
"Kushina, sudah kubilang ini untuk menjaga persahabatan kita, 'kan?"
"Namikaze-dono, saya harap Anda mempertimbangkannya. Ini ikatan yang bagus untuk usaha kita ke depan."
Mikoto menatap Danzou dengan kesal. 'Si Tua ini kenapa keras kepala, sih?'
Danzo menatap Mikoto dengan tatapan menantang. 'Beraninya perempuan ini menantangku.'
Naruto tampak menjambak rambutnya. Ia pun berbisik, "kalau begini kapan selesainya, Tuhan?"
Sakura yang juga bingung dengan situasi ini hanya membelai punggung suaminya untuk menenangkannya. "Sabarlah."
"Aku tidak setuju dengan perjodohan ini. Jadi silakan laki-laki pucat itu dengan Ino. Selesai bukan?"
Semua orang yang ada di ruangan itu menatap tak percaya ke arah Sasuke.
Mikoto langsung membentak Sasuke dengan berbisik. "Uchiha Sasuke!"
"Ibu, ayolah. Aku tak pernah menginginkan perjodohan bodoh ini. Biarkan ini jadi mudah!"
Mikoto mengerinyitkan dahinya. "Ino lebih baik daripada perempuan lain yang kaupacari!"
"Ibu tak tahu apa-apa!"
"Ehm, sepertinya masalah sudah selesai. Sai, kau setuju dengan perjodohan ini, bukan?" Danzo menginterupsi pertengkaran ibu-anak itu.
Sai masih diam tanpa ekspresi. Tak lama kemudian, ia pun tersenyum seperti biasa. "Ya, aku bersedia. Hanya orang bodoh yang menolak perjodohan dengan gadis secantik Ino-chan."
Pipi Ino memanas. 'S-sai-senpai? A-apa ini artinya dia juga punya rasa kepadaku? Aaaaaa~'
Sasuke menautkan alisnya mendengar ucapan Sai.
"T-tapi … Kushina, bukankah kautahu betapa kita menanti hari ini, bukan? Kita bahkan menyimpan rahasia ini supaya ini menjadi surprise yang sangat istimewa?" Mikoto mulai terisak.
Kushina menggigit bibirnya. Ia sangat menginginkan perjodohan ini. Ia tak menyangka hal ini akan serumit ini.
"Aku tidak menginginkan perjodohan ini," ujar Sasuke dengan lantang. Ia pun bangkit dari duduknya, "masalah ini sudah selesai dan aku akan pergi!"
Baru saja Sasuke hendak melangkah, suara baritone itu menginterupsi. "Selangkah saja kau keluar dari ruangan ini, coret nama Uchiha di namamu!"
Semua orang yang ada di ruangan itu kembali menatap tak percaya ke arah Fugaku. Sasuke terpaku di tempatnya dan membelalakkan matanya. "Kau menyakiti ibumu. Keluar saja kau selangkah, hapus nama Uchiha di namamu dan jangan pernah menampakkan diri pada aku, ibumu, dan Itachi atau seluruh keluarga Uchiha."
Sasuke masih menunduk dan terpaku. Ia memang terkadang pernah membangkang pada ibunya jika ada masalah berat yang sedang dihadapinya, akan tetapi jauh di lubuk hatinya ia sangat menyayangi ibunya. Ia tidak akan sanggup jika dipisahkan dari keluarganya. Dengan sangat terpaksa, ia kembali duduk.
Naruto semakin mengacak rambutnya. Hal-hal ini membuatnya gila. "Arrggh! Bagaimana kalau mereka bertiga ditempatkan di sebuah rumah lalu dilihat nanti siapa yang akan dipilih Ino. Itu akan lebih adil! Anggap saja itu pranikah atau apalah itu."
Semua yang ada di sana menatap Naruto horror.
Sakura mencubit pinggang Naruto. "Kau gila ya?"
"Itte-te-te Sakura! Aku hanya ingin ini selesai dengan cepat."
Ino menatap Naruto horror. "Gila kau!" Ino pun menutup mulutnya.
"Apa-apaan itu, Dobe?!"
"Kupikir itu bukan ide buruk," ujar Danzou.
Kushina mengangguk kecil. "Ya, kupikir itu ide yang cukup baik dan lebih adil. Mungkin tempatkan mereka di sebuah rumah untuk seratus hari dan nanti Ino akan memilih siapa yang ingin dinikahinya. Itu lebih adil."
Kushina dan Minato saling berhadapan dan tersenyum sumringah. "Kami setuju!"
"Apa-apaan itu, aku tidak setuju!" ujar Sasuke.
Mikoto menatap tajam Sasuke. "Kalau begitu kau punya ide lain?"
Sasuke mengacak rambutnya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran orang-orang ini. "Kubilang cukup jodohkan saja Ino dengan laki-laki pucat itu!" ujarnya setengah berbisik pada Mikoto.
"Tidak," bantah Fugaku tegas.
Ino tak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Ia benar-benar shock dengan keputusan yang dibuat. 'Kenapa jadi beginiiiiiiii?!'
"Baiklah, Namikaze Ino, Uchiha Sasuke, Shimura Sai, kalian mulai besok serumah dalam seratus hari."
-TBC-
.
.
A/N : UHUYYYY! Berhasil juga update ini fic. Huhu. Udah 3 tahun ditelantarkan, jadi kangen. Buat yang nungguin (kalo ada) mohon maaf banget baru bisa update sekarang. Bukan apa-apa, aku lagi WB dan yang bikin WB itu kesibukan kampus, huhuu. Maafiin hambaaaa. Trus kalau ceritanya jadi kacau, mohon maaf banget, cuma itu yang kepikiran sama aku.
Bagi SEMANGKA-nya dooooong! :)