Disclaimer : Kurobasu is not mine
Alternate Universe. OOC. Shounen ai.
Warning : Ada sedikit perubahan POV di awal chapter yang mungkin akan membingungkan, orz
…
PART 6 – Holding Hands
"Selamat tinggal― Kagamicchi."
Dengan tangan gemetar ia menutup pintu, kemudian menyandarkan dahinya pada kusen pintu. Air matanya mengalir semakin deras. Susah payah ia menahan diri untuk tidak memutar lagi gagang pintu dan menghambur ke luar untuk memeluk seseorang yang masih berdiri di luar apartemennya. Tangannya mencengkeram pintu. Seiring dengan tubuhnya yang perlahan merosot turun, kuku-kukunya meninggalkan bekas-bekas guratan pada pintu.
"Kagamicchi…"
Dadanya terasa sesak. Sesak sekali dan membuatnya sulit bernafas. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, meninggalkan bekas bulan sabit pada telapak tangannya. Ia sangat ingin memukul-mukul pintu di hadapannya, untuk menyalurkan emosinya. Tapi ia tidak boleh melakukannya. Tidak sekarang. Tidak saat Kagami masih berdiri di luar.
Kise sedikit berharap Kagami akan menuntut penjelasan lebih lanjut, menggendor-gedor pintunya dengan kuat seperti ada kebakaran. Meneriakinya untuk membuka pintu dan terus memaksa seperti itu. Menimbulkan keributan hingga tetangga sebelah apartemennya terganggu dan menelepon polisi. Ia berharap Kagami tidak pergi dan menyerah. Ia berharap Kagami akan sedikit berusaha mempertahankannya. Ia berharap Kagami mempertahankan mereka.
Ia berharap tidak mendengar langkah kaki gontai menjauhi apartemennya.
"Kagamicchi…"
Ia benar-benar berharap Kagami tidak pergi.
Tubuh kurusnya bergetar hebat. Tangisannya meledak dan isakannya bergema memenuhi apartemen yang ia tinggali seorang diri.
Kagami sudah pergi. Dia benar-benar sudah pergi dan tidak akan kembali. Meskipun Kise yang memutuskan untuk mengakhiri semua ini, ia tidak berharap Kagami akan benar-benar pergi. Sejenak ia diliputi keraguan yang besar. Apakah keputusannya untuk melupakan Kagami benar? Mungkinkah ia bertahan dengan rasa sakit yang begitu hebat pada hatinya? Bisakah ia melakukannya?
Tiga minggu ini adalah waktu-waktu yang begitu berharga baginya. Kise sama sekali tidak menyangka akan jatuh hati pada orang asing yang tiba-tiba muncul dalam dunianya yang gelap. Ia tidak menyangka pertemuannya dengan Kagami pada suatu sore di toko kue akan berujung dengan menyakitkan seperti ini.
Tadinya ia sudah menerima semuanya dengan lapang dada. Ia, Kise Ryouta, sudah menerima kenyataan bahwa dunianya yang tadinya berwarna, berubah menjadi gelap seketika. Mungkin ia masih sering menangis pada malam-malam yang hening. Menangis karena bahkan ia tidak bisa lagi mematut diri di depan cermin dan memuji betapa tampan dirinya. Menangis karena tidak bisa lagi menikmati pemandangan kota dari jendela kamarnya. Ia memang masih sering menangis, tapi ia tidak menyesali kondisinya sekarang.
Kise tidak menyesal karena tidak ada hal baru yang menarik baginya. Ia pikir ia sudah melihat semua yang perlu ia lihat. Semua hal-hal di dunia yang indah dan berwarna. Sampai akhirnya Kagami datang dengan tiba-tiba. Sore hari yang biasanya ia lalui sendiri, dengan menyantap kue mandarin dan teh di sudut favoritnya; berubah seketika. Ia menghabiskan dua puluh waktu sore dengan orang lain. Dengan Kagami. Bercerita tentang kue-kue yang ia sukai.
Pada dasarnya Kise memang senang bicara. Ia tidak bisa diam dan tidak suka keheningan yang janggal. Tapi orang-orang mulai bicara dengan nada kasihan, ia tidak suka. Mereka bicara dengan pelan dan hati-hati, menjelaskan semuanya secara detail seperti ia tidak bisa membayangkan apa yang mereka ceritakan. Mereka bicara dengan nada kasihan dan ia benar-benar tidak suka dengan hal itu. Seorang Kise tidak mau dikasihani. Ia masih bisa melakukan banyak hal sendiri. Ia masih ingat wajah-wajah orang yang ia kenal. Ia ingat warna langit sore, warna daun di musim gugur, warna mata Kuroko, warna kue mandarin, warna teh oolong. Kise ingat semuanya. Ia tidak suka dikasihani, jadi ia tidak mau mendengarkan mereka bicara lagi. Ia tidak mau mendengar nada kasihan itu, seolah-olah hidupnya benar-benar penuh dengan penderitaan.
Tapi Kagami berbeda. Kise tidak pernah mendengar isyarat kasihan pada nada bicaranya, apalagi nada merendahkan. Kagami adalah pendengar yang baik. Ia senang menghabiskan waktu dengan Kagami. Ia tetaplah orang yang senang bicara, tapi Kuroko sudah tidak punya waktu untuk mendengarkannya lagi, jadi ia menceritakan semuanya pada Kagami. Jadi ia menambahkan imbuhan –cchi pada nama Kagami. Jadi ia membagi dunia kecilnya yang gelap dengan Kagami.
Kise tidak pernah menyangka akan jatuh hati pada Kagami dan akhirnya dibuat menyesali keadaan.
Mungkin karena sudah lama tidak melihatnya, ia mulai lupa berbagai macam warna. Merah dadu, merah ceri, merah marun, merah kepiting rebus; ia sudah tidak tahu apa bedanya. Lalu seperti apa warna merah darah? Seperti apa warna rambut Kagami? Ia ingin melihatnya.
Kise pernah tahu warna itu. Merah darah. Warna yang terakhir kali ia lihat sebelum semuanya menjadi gelap. Warna darahnya sendiri. Merah pekat. Kise tahu warna itu, tapi ia tidak ingat seperti apa. Merah muda bunga sakura, ia juga sudah lupa.
Tapi yang membuatnya begitu menyesal adalah ia tidak bisa membayangkan seperti apa muka Kagami. Apakah ia tampan? Apakah hidungnya melengkung indah? Apakah garis rahangnya tegas? Apa warna matanya? Seperti apa rupanya saat ia tersenyum? Saat tertawa? Saat kebingungan? Bagaimana alisnya berkerut? Bagaimana ekspresi wajahnya? Seperti apa ekspresinya saat diam dan mendengarkan cerita Kise?
Seperti apa sosok Kagami Taiga yang menemaninya tiap sore?
Kise mencoba untuk mencari tahu seperti apa rupa Kagami. Ia menyentuh wajahnya dengan ujung-ujung jarinya. Tapi seketika itu juga dadanya terasa sakit. Ia mulai menyadari, bahwa ia pun lupa bagaimana proporsi wajah manusia seharusnya. Kise tidak bisa membayangkan hal-hal konkrit lagi. Ia terlalu lama berada dalam gelap. Ia sudah lupa semuanya. Jadi saat itu Kise diam. Ia membatalkan rencananya untuk memetakan wajah Kagami. Karena ia sadar, dunianya yang sekarang adalah kegelapan yang absolut. Sesuatu yang tanpa warna dan tanpa rupa. Ia hanya tahu nama-namanya saja. Merah, kuning, biru; tanpa tahu seperti apa warnanya. Kuroko, kue mandarin, daun maple; ia tidak tahu bagaimana wujudnya. Jadi Kise diam dan menarik kembali tangannya, yang bahkan ia sudah lupa seperti apa.
Dadanya terasa sakit. Ia begitu ingin melihat Kagami, tapi tidak bisa.
Jadi ia memutuskan untuk berhenti mencoba membayangkan apa yang tidak bisa ia bayangkan. Jadi ia mundur. Ia akan melupakan Kagami. Ia harus melupakan Kagami atau akan menyesali kondisinya seumur hidup.
Apakah ia benar-benar dapat melupakan Kagami? Apakah ia tidak akan menyesal?
Tangisannya tertahan. Ia masih punya waktu. Jika ia bangkit dan membuka pintu, meneriakkan nama Kagami, berlari ke arahnya lalu memeluknya; Kise masih punya waktu. Ia memang tidak bisa melihat Kagami, tapi jika Kagami mendengar dan melihatnya, pemuda itu pasti akan menangkapnya. Pasti akan memeluknya dengan erat dan tidak akan melepaskannya lagi. Kise masih punya waktu untuk memilih, apakah ia akan menyesali dunianya yang gelap atau menyesali dunianya yang tanpa Kagami.
Kise bangkit, kedua tangannya berpegang pada kusen pintu. Kakinya lemas dan gemetar.
Ia masih punya waktu untuk memilih.
Ia menyandarkan dahinya, mendengarkan derap langkah yang semakin samar dan samar hingga tidak terdengar lagi. Hanya terdengar desir angin, diikuti sirene ambulan dari kejauhan. Kemudian semuanya hening dan yang terdengar hanya nafasnya yang berat, dengan isakan yang tertahan.
Kagami sudah pergi. Ini sudah berakhir.
Dengan langkah timpang Kise menjauhi pintu. Ia terlalu kacau dan tidak stabil, ditambah lagi tidak bisa melihat. Kakinya terantuk undakan genkan dan ia terjatuh ke depan. Kalau bukan karena tangannya yang sempat mengamankan diri, mungkin ia akan jatuh dengan wajah mencium lantai dan berhasil mematahkan hidungnya. Tapi Kise bahkan tidak peduli dengan sikunya yang terasa nyeri. Ia bangkit lagi dengan susah payah dan berjalan dengan langkah terseok masuk ke bagian lebih dalam dari apartemennya.
Ia yang memilihnya sendiri. Tidak ada gunanya menyesali keadaan sekarang.
Tiba-tiba saja ia lupa semuanya, bahkan sudut-sudut rumahnya yang begitu ia hafal. Kali ini kakinya menabrak meja kopi dan Kise jatuh lagi. Ia membenturkan kepalanya pada permukaan kaca dan menggeram marah. Tangan kanannya mengibas dengan kesal, mengenai vas bunga yang letaknya di pinggir meja, menjatuhkannya. Vas porselen itu pecah berserakan.
Tapi Kise tidak peduli.
"Kagamicchi…" Air matanya masih mengalir.
…
"…-ga?"
"Taiga?"
"Taiga!"
Guncangan yang konstan pada bahu mengusik tidurku. Mau tak mau aku membuka mataku yang terasa berat. Yang pertama kali kulihat adalah wajah ibu dengan alis yang berkerut dalam, ekspresi khawatir. "Kau tahu jam berapa ini? Kau bisa terlambat ke sekolah."
Dengan sebelah mataku yang terbuka aku melirik ke arah jam di atas meja. Aku masih punya waktu setengah jam sebelum bel masuk berbunyi. Tapi aku enggan sekali. Aku tidak ingin pergi ke sekolah, bahkan keluar dari gulungan selimutku pun tidak mau.
"Aku ingin membolos saja, Bu." gumamku pelan, kembali meringkuk mencoba untuk tidur lagi.
Ibu menarik selimutku dengan cepat, kemudian melipatnya dengan cekatan. "Apa maksudmu? Kau sakit? Padahal kemarin semangat sekali pergi ke sekolah. Ke mana perginya tingkah gilamu kemarin? Apa kau sudah menemui psikiatris?" Ibu beralih pergi untuk menyibak tirai dan membuka jendela, membiarkan sinar mentari pagi menerobos masuk menghangatkan kamar. Aku memejamkan mataku karena terlalu silau.
"Nggh, tinggalkan aku sendiri, Bu."
Ibu meraba keningku sebentar, lalu tangannya yang hangat tiba-tiba saja sudah menarik telingaku tanpa ampun. Membuatku mengaduh kesakitan. "Kau tidak sakit. Cepat bangun dan pergi ke sekolah! Ibu tidak mau melihatmu tidur-tiduran seperti orang mati! Cepat pergi!"
"Iya, iya! Aku akan pergi!" Dengan perasaan kesal aku bangkit dari tempat tidur, mengusap-usap telingaku yang memerah. Rasanya sakit sekali. Ibu benar-benar akan membuat telingaku putus suatu hari nanti.
Ke mana perginya tingkah gilamu kemarin? Ah, aku juga tidak tahu. Kenapa kemarin dan hari ini begitu berbeda?
Kakiku melangkah dengan pelan. Aku sama sekali tidak peduli dengan kenyataan bahwa aku sudah pasti terlambat ke sekolah dengan laju sepelan ini. Tidak ada keinginan untuk pergi sama sekali. Aku tidak ingin melakukan apa-apa hari ini.
Pedestrian sepi ini biasanya membuatku merasa nyaman oleh tiupan angin semilirnya yang mendamaikan. Aku selalu menikmati saat-saat berjalan di bawah naungan pohon maple yang tumbuh menjulang tinggi berjejeran sepanjang jalan. Tapi tidak hari ini. Padahal ini masih musim semi, tapi angin yang berhembus terasa dingin membekukan. Aku menenggelamkan kedua tanganku ke dalam saku celana dan meneruskan langkahku dengan enggan.
Apakah yang semalam hanya mimpi? Atau sebuah kenyataan?
Aku menolehkan kepalaku ke arah toko kue bercat krem lembut. Ke arah jendela besar, sudut favorit Kise. Bertanya-tanya, apakah sore ini aku tidak akan melihatnya? Apakah aku benar-benar tidak bisa bertemu dengannya lagi?
Kemudian aku teringat Kuroko dan pertanyaan-pertanyaan anehnya. Apakah ada hubungannya dengan keputusan Kise pergi tiba-tiba? Apakah aku sudah menyakiti Kise? Apakah aku sudah membuatnya menangis? Apakah dia menyesal bertemu denganku?
Entahlah, aku tidak tahu. Tapi aku pasti akan mencari tahu.
Dan aku berlari. Seperti kemarin, aku ingin cepat sampai di sekolah. Karena semakin cepat aku sampai, semakin cepat juga sekolah akan usai. Artinya semakin cepat aku akan pulang. Bedanya bukan Kise yang ingin segera kutemui. Aku tidak yakin dia berbohong tentang kepergiannya, jadi aku tidak berharap akan bertemu dengannya di toko kue sore ini.
Aku ingin segera bertemu dengan Kuroko.
…
Kereta sore yang membawaku pulang terlihat sepi seperti biasanya. Aku mengetuk-ketukkan kakiku dengan tidak sabar, terus mengerling ke arah jam tangan pada pergelangan tangan kiriku. Tanganku pada pegangan gantung mengerat. Kereta ini memang kosong dan banyak tersedia kursi penumpang, tapi aku merasa tidak tenang kalau hanya duduk saja hingga kereta sampai di stasiun biasa. Berdiri memang tidak akan membuat lajunya lebih cepat, setidaknya dapat untuk menyalurkan ketidaksabaranku. Berulang kali aku berdecak tidak sabar. Rasanya kereta ini lambat sekali, seperti siput. Aku mulai berpikir kalau lariku bahkan bisa lebih cepat dari ini.
"Tsk, lama sekali."
Seorang anak kecil yang duduk di sebelah ibunya melihat ke arahku dengan heran. Aku balas melihat ke arahnya, tanpa menyadari tatapan tajamku terlalu menakutkan untuk anak kecil sepertinya. Dia langsung memasang tampang ketakutan dan memeluk ibunya seketika.
Aku memalingkan muka dan kembali menggerutui waktu yang berjalan sangat lama.
Ketika bangunan stasiun pemberhentianku mulai terlihat, aku sudah bersiap-siap untuk berlari cepat, mengeratkan genggamanku pada tas dan menghirup nafas dalam-dalam. Begitu pintu kereta terbuka, aku langsung berlari ke luar dan terus berlari. Tidak ada waktu untuk diulur-ulur lagi, tidak ada waktu untuk sekedar menikmati hembusan angin sore. Aku harus segera bertemu dengan Kuroko.
Bangunan bercat krem lembut yang terlihat dari kejauhan mempercepat laju lariku.
"Kuroko!"
Aku mendorong pintu kaca di depanku dengan tidak sabar. Meneriakkan nama Kuroko tanpa mempedulikan tatapan aneh yang dilemparkan oleh beberapa pengujung toko ke arahku. Mereka melihat ke arahku seolah-olah aku ini perampok yang akan membobol bank. Si empunya nama hanya menoleh dengan muka datar, menganggukkan kepalanya. "Kagami-kun."
"Kita harus bicara." Aku mencengkeram pundak kiri Kuroko, menghentikan langkahnya mengantarkan pesanan.
"Maaf, sekarang aku sedang sibuk, Kagami-kun." Kuroko menunjukkan padaku baki yang ia bawa, berisi dua cangkir teh dan dua potong kue mandarin. Aku mengerutkan kening melihatnya. "Tapi ini penting sekali, Kuroko!"
"Aku tahu. Tentang Kise-kun, kan? Tolong duduk dulu, Kagami-kun. Aku akan menemuimu nanti."
Sebelum aku sempat bicara lagi, Kuroko sudah pergi meninggalkanku begitu saja. Sambil menggeram kesal aku mengedarkan pandanganku, mencoba menemukan tempat yang kosong. Tidak seperti sore hari biasanya tempat ini lumayan ramai. Dan padanganku tertuju pada meja di dekat jendela besar. Sudut favorit Kise. Tempat itu kosong. Menghela nafas, aku berjalan menuju meja itu untuk duduk di sana.
Tanganku kutangkupkan di atas meja. Aku melihat ke luar, ke arah deretan pohon maple di pinggir jalan.
"Kagami-kun." Aku mengangkat kepala dan bertemu dengan sepasang mata birunya, kemudian beralih memandangi isi baki yang ia bawa. Secangkir teh dan sepotong kue mandarin. Aku kembali menatapnya, kali ini dengan alis yang berkerut. "Aku tidak memesan apa-apa."
"Aku yang bayar. Tolong tunggu sebentar, tak lama lagi shiftku berakhir." Kemudian ia pergi.
Aku hanya mengangkat bahu dan kembali melihat ke luar.
Ternyata yang semalam itu bukan mimpi. Tentu saja bukan. Karena kalau iya, sekarang aku akan duduk di sini berhadap-hadapan dengan Kise. Seperti keduapuluh sore yang kuhabiskan di sini, sekedar mengobrol dengan Kise dan menikmati kue. Sore yang selalu kunantikan, yang membuatku tidak sabar menunggu bel pulang sekolah berbunyi, kemudian melangkah ke luar kelas dengan semangat, berlari menuju stasiun dan bersiul-siul di dalam kereta. Lalu aku akan mendorong pintu toko dengan berdehem, mencoba menenangkan diri agar aku tidak berlari dengan girang menuju Kise, duduk di hadapannya, dan mulai mendengarkannya bercerita tentang harinya.
Aku tidak berharap banyak, tentu saja. Tidak mengharapkannya bercerita tentang hal-hal yang belum kulihat atau kualami. Hanya rutinitasnya yang biasa. Bangun tidur karena mendengar kicauan burung; salah satu dari sedikit hal yang memberitahunya kalau pagi sudah datang. Kemudian ia akan merangkak menuju ruang tengah (aku tidak tahu apakah dia benar-benar merangkak atau hanya ungkapannya saja, tapi aku memutuskan untuk tidak bertanya), menyalakan televisi dan mencari tahu bagaimana cuaca hari ini. Cerahkah? Apakah akan turun hujan? Perlukah ia membawa payung? Haruskah ia memakai sweater? Lalu berjalan dengan merambati dinding menuju kamar mandi, sambil menyanyikan Asa Gohan no Uta kesukaannya.
Hal-hal sederhana, yang entah kenapa bisa membuatku duduk diam dan mendengarkan dengan seksama.
Karena pada keduapuluh sore itu aku telah menemukan seseorang yang spesial. Seseorang yang mampu membuatku duduk diam dan menghabiskan sore hari yang tenang sambil berpangku tangan memandangi pohon-pohon di luar seperti orang tua. Menikmati pancaran hangat sinar matahari sore yang keemasan. Sejak kapan aku suka minum teh? Sejak kapan aku suka makan kue? Sejak kapan aku peduli pada orang lain selain diriku sendiri dan ibu?
Setelah membuatku bertingkah seperti orang gila, hingga membuat ibu mencurigaiku sudah memakai narkoba, orang yang spesial itu tiba-tiba memutuskan pergi untuk begitu saja. Setelah keduapuluh sore hari kuhabiskan dengannya di sini, menghemat uang jajanku hanya untuk menemaninya makan kue, dia pergi. Setelah mengatakan kalau ia tidak lemah dan bisa hidup sendiri, dia memutuskan untuk kembali ke pangkuan ibunya. Padahal sebelumnya ia terlihat begitu marah dengan anggapan orang-orang tentang dirinya yang tidak bisa melihat, bahwa ia lemah dan sebagainya. Padahal ia sendiri yang bilang tidak mau tinggal di tempat yang bahkan warna cat dindingnya pun ia tidak tahu. Padahal―
Ah, padahal ia bilang kalau ia menyukaiku…
Apa semua itu bohong?
Dia bilang sudah lelah dan tidak sanggup lagi melakukannya sendiri. Bullshit! Semua yang ia katakan semalam tidak masuk akal. Kenapa tiba-tiba saja lelah, padahal sebelumnya ia baik-baik saja. Dia sendiri yang bilang kalau ia bisa bertahan, mengatakannya dengan penuh amarah dan keyakinan. Aku percaya. Aku percaya dia kuat. Karena memang begitu adanya. Kenapa tiba-tiba mengatakan kalau ia lelah? Kenapa bicara dengan nada yang begitu lemah? Apakah dalam semalam keadaan bisa berubah sedrastis itu?
Dan kupikir ia menyukaiku…
"Aku mau tambah lagi kue mandarinnya, ya!" Seruan seorang gadis yang duduk di meja sebelah membuyarkanku dari lamunan. Aku melirik jam tanganku. Ini sudah hampir pukul 7 dan langit sudah gelap. Sebagian besar pengunjung toko sudah pergi. Sudah berapa lama sejak Kuroko bilang shiftnya akan segera berakhir? Tsk, jadi menurutnya dua jam itu waktu yang singkat?!
Mendengus kesal, aku mengangkat cangkir teh dan mendekatkannya ke mulut, menyesapnya pelan. Tehnya sudah dingin. Tentu saja.
Di mana Kise sekarang? Apa yang sedang ia lakukan? Apakah ia senang tinggal di rumah orang tuanya? Apakah ada yang menemaninya bicara? Apakah ia sudah minum teh sore ini? Apakah ia makan kue mandarin juga?
"Maaf, tokonya sudah mau tutup, Kagami-kun."
Aku mengangkat kepalaku, dengan urat berkedut tampak pada pelipis kiri. "Apa-apaan ini? Kau membuatku menunggu selama dua jam dan sekarang bilang tokonya mau tutup?! Ini kan baru jam 7!" Aku mengepalkan tanganku, menahan diri untuk tidak melayangkannya ke muka Kuroko yang datar tanpa ekspresi.
"Hari ini toko tutup lebih awal, pengumumannya tertempel di depan pintu. Seharusnya kau sedikit memperhatikan."
Aku bangkit dengan marah, hampir menumpahkan cangkir teh saat menggebrak meja.
"Kita bicara di luar, aku akan ganti baju dulu." Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, Kuroko sudah pergi. Orang itu benar-benar aneh dan membuatku kesal!
Tapi aku menurut saja, melangkah ke luar toko dengan tangan terkepal. Aku meninggalkan sepotong kue mandarin di meja, dalam kondisi utuh, belum kumakan sama sekali. Perutku memang lapar, aku belum makan apa-apa sejak makan siang di sekolah tadi. Tapi aku tidak ingin memakan kue yang hanya akan mengingatkanku pada Kise. Kalau Kuroko membawakanku kroket, mungkin aku akan memakannya. Tapi melihat kue itu membuatku kehilangan selera.
Aku merasa dikhianati.
Oleh sepotong kue? Tidak, itu terlalu konyol.
Angin yang dingin segera menyambutku begitu aku melangkahkan kaki ke luar pintu. Aku menggosok-gosokkan ujung hidung menahan bersin, melangkah menuju kursi taman yang terletak tak jauh dari sana. Kurasa aku sedikit flu. Pasti karena semalam aku tinggal cukup lama di luar rumah, di tengah-tengah udara malam yang dingin mencekam, sebelum akhirnya mengetuk pintu dan disambut oleh ibu yang berkacak pinggang. Aku harus menghindari ibu yang memberondongku dengan puluhan pertanyaan; mengapa aku pulang terlambat, mengapa terlihat begitu lesu, mengapa tidak lagi tersenyum-senyum seperti orang gila, mengapa mataku merah dan bengkak seperti habis menangis; dan sebagainya.
Bagaimana aku akan mengatakan pada ibu kalau aku jatuh cinta dan patah hati pada hari yang sama? Ibu pasti akan menertawakanku dan menyuruhku menemui psikiatris. Atau mungkin ibu akan duduk tenang dan mengusap-usap rambutku seperti yang sering ia lakukan saat aku masih sangat kecil. Entahlah, tapi yang pasti, aku tidak mungkin memberitahu ibu tentang hal ini. Mana mungkin aku memberi tahu ibu kalau aku jatuh cinta pada laki-laki?
"Kagami-kun." Kuroko menemuiku setelah ia berganti baju. Aku menegakkan badanku dan menghampirinya.
Aku baru akan membuka mulutku untuk bertanya, tapi Kuroko berjalan duluan meninggalkanku, memaksaku untuk mengikutinya. "Ada kedai ramen yang enak di dekat sini. Kau tidak memakan kuemu. Kau pasti sangat lapar."
Aku ingin membantah, tapi tiba-tiba saja perutku memutuskan untuk menyela dan bernyanyi dengan nyaring di saat seperti ini. Jadi aku hanya berdehem menahan malu dan mengikuti Kuroko dengan enggan. Aku tidak punya pilihan lain, kan? Setelah menunggunya bekerja sampai jam segini, tidak mungkin aku pulang begitu saja. Lagipula, kalau pun aku pergi menemuinya besok, hal yang sama mungkin akan terulang lagi. Siapa yang akan menjamin kalau esok hari toko kue tempatnya bekerja tidak penuh?
"Kali ini kau harus membayar makananmu sendiri, Kagami-kun. Aku tidak punya cukup uang."
Aku berdecak sebagai balasannya. "Aku tahu, aku tahu."
Kami terus melangkah dalam diam, dengan diiringi hembusan angin malam yang dingin menusuk tulang. Aku menenggelamkan kedua tanganku ke dalam saku celana dan menghela nafas. Besok pagi pasti aku akan bangun dalam keadaan terkena flu.
Kedai ramen yang Kuroko maksud adalah tempat yang sering kukunjungi dulu. Setidaknya sebelum aku mengenal Kise dan mulai berbelok mengunjungi toko kue tiap sore. Tempat ini selalu ramai kalau sore, terutama pada jam-jam pulang sekolah, dipadati oleh para pelajar dengan uang saku pas-pasan sepertiku. Nilai tambahnya adalah harganya terjangkau, porsinya banyak, dan keberadaan gadis cantik anak pemilik kedai yang menjadi pemandangan tersendiri di tengah-tengah kepulan uap ramen.
Setelah memesan dua porsi ramen, Kuroko dan aku duduk di tempat yang kosong, bersebelahan dengan seorang pria muda dengan setelan rapi. Aku baru ingat kalau ini adalah akhir bulan. Mungkin ia adalah pegawai yang belum menerima gajinya bulan ini. Atau ia memang suka makan di tempat ini? Ah, kenapa aku memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu?
Aku beralih kepada Kuroko. "Jadi, kau tahu di mana Kise sekarang?"
Ada jeda sebentar. Kuroko memperhatikan botol garam dengan ketertarikan yang tidak biasa. Aku tahu kalau dia aneh, tapi memandangi botol garam seperti itu adalah sesuatu yang lebih dari sekedar aneh.
"Di rumah orang tuanya." Masih dengan botol garam yang begitu menarik perhatiannya.
"Maksudku―"
"Ini pesanannya, silakan!" Gadis cantik anak pemilik kedai tersenyum saat menghidangkan pesanan kami. Kuroko membalasnya dengan ucapan terima kasih, tapi aku hanya menggumamkannya dengan tidak jelas, sedikit sebal karena dia sudah memotong pembicaraanku.
"Makan dulu, Kagami-kun. Kita bicara nanti."
Aku ingin marah pada Kuroko yang sudah bersikap seenaknya, tapi aroma ramen di hadapanku begitu menggugah selera. Apalagi sejak tadi perutku tidak berhenti bernyanyi. Mungkin besok aku akan menderita flu, tapi jangan sampai aku terkena maag juga. Dan niatku yang begitu menggebu-gebu untuk menginterogasi Kuroko sejak pergi ke sekolah pagi tadi ditunda dulu. Mana bisa berpikir dengan jernih dalam keadaan lapar?
…
"Sekarang kau tidak bisa menghindar lagi! Katakan, apa yang kau ketahui tentang kepergian Kise?!"
Begitu untaian ramen terakhir masuk ke dalam mulut, aku meminum kuah yang masih tersisa, menghela nafas, dan menudingkan sumpit kayu ke arah Kuroko. Bertanya dengan nada menuduh seperti polisi. Di luar dugaanku, Kuroko ini cepat juga makannya. Ia menyelesaikan mangkuknya dalam waktu yang hampir sama denganku. Dan aku jadi heran dibuatnya, ke mana perginya semua nutrisi yang ia makan?
"Ahem." Kuroko berdehem untuk menutupi suara sendawanya, menghela nafas kekenyangan. Aku baru akan mengomel lagi, tapi Kuroko mengangkat tangannya, memberi isyarat padaku untuk menunggu. Dia meminum segelas air putih sampai habis. Aku mengikuti aksinya.
"Justru itu yang ingin kutanyakan padamu, Kagami-kun." Sekarang Kuroko memperhatikan dasar gelas yang sudah kosong isinya.
"Aku?"
Kuroko mengangkat kepalanya dan melihatku dengan serius. "Kau lupa? Aku pernah bertanya padamu, apakah kau sudah menyakiti Kise-kun dan membuatnya menyesal; hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi?"
Jadi benar. Sikap aneh Kuroko yang tiba-tiba memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan itu bukan hanya keanehan biasa. Ternyata memang ada maksud tertentu di balik semua itu.
"…aku tidak mengerti apa maksudmu."
"Lalu kau bertanya padaku? Aku lebih tidak mengerti daripada dirimu, Kagami-kun. Tiga minggu ini Kise-kun hanya berbicara denganmu." Kuroko masih menunjukkan muka datar tanpa ekspresi, tapi nada bicaranya terasa lebih tajam dari biasanya.
Aku memutuskan untuk mengakhiri kontak mata di antara kami, mengalihkan perhatianku pada mangkuk dengan sedikit kuah tersisa. "Tapi kau tahu kalau dia akan pergi?"
Semuanya terasa hening mencekam. Seolah-olah aku tidak mendengar suara keras si pemilik kedai yang sedang mengobrol dengan bapak-bapak berkumis yang tak kalah keras suaranya. Bagaimana bunyi mangkuk beradu dengan meja kayu di sebelahku juga tidak terdengar. Seolah-olah aku memutuskan untuk menulikan pendengaranku dari hal-hal yang tidak perlu. Karena saat ini yang perlu kudengar hanya suara Kuroko saja.
"Kise-kun meneleponku. Tengah malam, pada hari yang sama ketika kau memaksaku memberitahukan alamat rumahnya."
Aku mengangkat kepalaku, memandangi Kuroko dengan kening berkerut.
Saat aku menanyakan alamat rumah Kise? Berarti itu― saat aku pergi ke rumahnya dan menciumnya? Heh, ada apa ini? Dan kupikir ia tidak marah, bahkan cenderung bahagia. Apa yang ia katakan pada Kuroko?
"Apa yang Kise katakan padamu? Apa dia menangis?"
Kuroko tidak langsung menjawab, sedikit memicingkan matanya memandangiku dengan curiga. Sekarang rasanya malah aku yang sedang diinterogasi.
"Karena itu aku bertanya, apa kau sudah membuatnya menangis?"
…
"Kurokocchi?"
"Kise-kun. Kenapa menelepon tengah malam begini?"
"Dengar. Aku― aku akan tinggal dengan ibuku. Lusa dia akan datang menjemputku. Aku pasti akan merindukan kue mandarin, teh buatan Kurokocchi, puding coklat... Ah, tentu aku akan merindukan Kurokocchi juga."
"…"
"Kurokocchi?"
"Kau menangis, Kise-kun."
"Ahaha, apa maksudmu? Aku baru minum obat. Rasanya pahit sekali."
"Kagami-kun pergi ke tempatmu? Apa yang dia lakukan?"
"Heh? Ah, iya. Dia hanya― mampir sebentar."
"Dia menyakitimu?"
"Apa?"
"Dia membuatmu menangis?"
"Kuro―"
"Dia yang membuatmu tiba-tiba ingin pergi? Kenapa, Kise-kun? Kenapa tiba-tiba kau ingin tinggal dengan ibumu? Kau sakit? Kau sedih? Kau merasa kesepian? Kau sudah lelah? Kau bosan?"
"…"
"…kau menyesal sudah bertemu dengan Kagami-kun? Kau menyesal telah menyentuhnya? Kau menyesal tidak bisa melihatnya?"
"Hentikan, Kuroko!"
"…"
"Cukup. Jangan bicara lagi. Kumohon…"
"Kise-kun, apa kau membenci Kagami-kun?"
"…"
"Kau membencinya?"
"Aku― aku sangat menyukainya…"
…
Sepasang mataku terbuka. Aku mengangkat kepalaku.
Di mana aku?
Terdengar suara gesekan kapur dengan permukaan papan tulis. Aku mengedarkan pandanganku. Sebagian besar penghuni kelas berpangku tangan, menguap bergantian. Beberapa anak terlihat seperti tidak punya tulang punggung, duduk dengan lemas seperti kurang tenaga. Beberapa yang lain sudah terkapar tidak berdaya, kepala di atas meja, kesadaran nol. Hanya dua-tiga orang saja yang masih cukup waras dan mencatat. Guru Fisika berkepala botak yang berdiri di depan kelas sedang menuliskan sebuah rumus yang tidak kumengerti, sambil menggumam sesuatu yang hanya bisa didengar oleh telinga orang-orang pintar saja. Aku menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal, menguap lebar. Padahal ini masih awal semester, kenapa kepalaku sudah dijejali dengan berbagai formula yang membingungkan? Sial sekali.
Aku berpangku tangan, membuang perhatianku ke luar jendela, menguap lagi.
Rasa-rasanya tadi aku sedang bermimpi sesuatu yang menyenangkan. Tentang apa, aku sudah lupa, sayangnya. Menyesal aku terbangun dan malah berhadapan dengan tampang kusut teman-teman sekelasku. Tidakkah pak guru sadar kalau kami sudah sangat bosan?
Aku melirik jam tangan pada pergelangan kiriku. Masih setengah jam lagi sampai bel pulang sekolah berbunyi. Aku mengerang kesal. Kenapa saat pelajaran Fisika waktu terasa begitu lama? Sekarang aku tidak bisa tidur lagi. Rasa kantukku menghilang begitu saja.
Aku mengusap-usap ujung hidungku. Duduk di dekat jendela seperti ini memang menyenangkan. Anginnya semilir, membuai ke alam mimpi. Apalagi kalau sedang bosan. Tinggal menoleh sedikit langsung disambut oleh langit biru. Kalau sedang beruntung aku bisa melihat anak-anak kelas lain dalam pelajaran berenang. Harus menunggu sampai hari cukup hangat, pelajaran renang belum dimulai musim semi ini.
Musim semi. Jadi sudah satu tahun, eh?
Musim semi tahun lalu aku bertemu dengannya. Seorang pemuda tunanetra bernama Kise Ryouta. Kami langsung dekat, seperti kawan lama. Ia banyak bercerita dan aku duduk mendengarkan dengan seksama. Ia mengubah kebiasaanku yang seperti orang tua, menikmati semilir angin sore yang bertiup di antara deretan pohon maple; menjadi duduk dan menghabiskan sore sambil makan kue. Dia mengenalkanku pada kue-kue yang tadinya tidak begitu aku suka, hingga aku ketagihan memakannya. Sepotong kue mandarin dan secangkir teh di sore hari. Dengan pancaran hangat matahari sore yang keemasan dan obrolan ringan menemani kami. Seharusnya hal itu membuatku lebih merasa seperti orang tua; tapi tidak. Aku merasa bahagia. Senang. Gembira. Mana kutahu menghabiskan waktu dengan orang lain bisa terasa melegakan seperti itu?
Sebanyak dua puluh sore hari kuhabiskan bersamanya. Hingga perlahan-lahan, aku mulai menyukainya dan sadar, aku sudah jatuh hati padanya. Pada seorang pemuda tunanetra bernama Kise Ryouta. Tapi saat aku tahu kalau ia juga menyukaiku, tiba-tiba ia memutuskan untuk pergi begitu saja.
Heh, apa salahku padanya?
"Kagami-kun."
Aku menolehkan kepala.
"Coba kau kerjakan soal di papan tulis. Caranya sama seperti yang Bapak ajarkan tadi, kau hanya perlu mengganti angkanya saja."
Aku menelan ludah.
Tuhan, apa salahku?
…
Dipermalukan di depan kelas bukan sesuatu yang menyenangkan. Tentu saja, siapa yang suka ditertawakan seperti itu? Heh, padahal kalau mereka yang di suruh maju, sudah pasti akan bernasib sama sepertiku! Hampir saja aku menggebrak meja dengan murka.
"Sial." Sebuah kerikil kecil menjadi korban kekesalanku. Kusepak jauh hingga tak terlihat mata. Aku tidak peduli kalau sampai mengenai orang lain. Aku hanya perlu bersiul-siul dan pura-pura tidak tahu.
Awal semester ini sungguh menyebalkan. Akan jadi apa hari-hariku berikutnya?
Aku mendengus kesal. Menghentikan langkah kakiku dan mendongakkan kepala. Rimbunan bunga sakura merah muda menyambutku, memanjakan mata. Mereka sudah mekar dengan sempurna. Angin bertiup pelan, menggugurkan kelopak-kelopak sakura dari gerombolannya. Terbang bebas, pergi jauh; kemudian jatuh. Sebuah kelopak merah muda mendarat jatuh di ujung hidungku. Aku meniupnya pergi.
Lalu melangkah lagi.
Aku tidak suka berlama-lama di bawah guguran bunga sakura. Kelopak-kelopak merah muda itu akan sangat mengganggu kalau sampai bersarang di kepalaku. Langkah kakiku pelan namun pasti. Melewati deretan pohon maple, aku kembali mendongakkan kepalaku. Daun-daunnya masih muda dan jarang. Persis seperti waktu itu.
Aku terus berjalan dengan tenang. Menikmati damainya sore dan semilir angin yang menyejukkan. Bangunan bercat krem lembut mulai terlihat dalam pandanganku. Toko kue. Aku sudah jarang sekali masuk ke sana. Hanya beberapa kali, itu pun karena disuruh oleh ibu. Di sana aku menghabiskan keduapuluh soreku dengan Kise. Duduk di sudut favoritnya, dekat jendela besar.
Langkahku terhenti di depan etalase.
Dalam benakku, pemuda berambut kuning keemasan itu masih duduk di tempat yang sama. Kedua tangannya melingkupi cangkir teh dengan sepenuh hati. Sepotong kue mandarin terhidang di depannya. Sementara sepasang mata coklat madunya yang cemerlang menerawang jauh ke luar. Bukan kepada deretan pohon maple. Lebih jauh dari itu.
Tiba-tiba ada sesuatu yang memenuhi dadaku. Membuatnya sesak. Perih.
Di mana kau berada? Bagaimana kabarmu, apakah baik-baik saja? Kau masih sering minum teh dan makan kue mandarin? Apa kau menemukan teman bicara? Apa kau selalu tersenyum? Apa tawamu masih bening dan jelas seperti lonceng gereja? Apa kau bahagia? Apa kau masih ingat padaku?
…apa kau tidak merindukanku?
"Kagami-kun."
Aku sedikit melompat kaget. Kuroko tidak berubah. Ia masih seperti hantu, selalu muncul dengan tiba-tiba.
"K-kau mengagetkanku."
Sepasang mata birunya mengerjap. "Maaf. Kau mau mampir? Aku akan menraktirmu kue mandarin."
Seulas senyum terbentuk pada wajahku. Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, terima kasih. Aku sudah tidak makan kue."
Kalau ia menawarkan kroket padaku, mungkin aku akan meluangkan waktu sebentar untuk mampir. Apakah Kuroko sedang mengejekku? Harusnya ia tahu, aku tidak mau makan kue mandarin lagi. Atau aku akan menangis.
"Fobia kue, Kagami-kun?" Kuroko tersenyum samar. Mengejekku.
Aku hanya memutar bola mataku. "Kalau kau memaksa, lain kali aku akan mampir. Kau harus menraktirku kroket dan soda."
"Kami tidak punya soda."
"Terserah. Tapi aku tidak mau minum teh. Seperti orang tua saja." Aku membenarkan letak tasku. "Sampai jumpa, Kuroko!" Kembali melangkah pergi.
Kuroko melambaikan tangannya sedikit. "Sampai jumpa, Kagami-kun"
Fobia kue, huh? Memangnya yang seperti itu ada?
…
Aku berlari. Menembus udara pagi musim semi dan angin semilir yang cukup dingin. Aku berlari tanpa henti, tak peduli nafasku hampir habis dan kakiku mulai lelah. Aku berlari tanpa menoleh ke arah etalase toko kue, tidak menggubris guguran bunga sakura dan beberapa kelopaknya yang tersangkut pada rambutku. Aku terus berlari meski hampir jatuh tersandung kerikil yang kemarin kusepak.
Jam berapa ini? Aku tidak berani melirik jamku. Yang pasti, aku akan terlambat kalau tidak bergegas. Dan aku yakin sekali tidak mau hal itu terjadi. Aku harus mengejar kereta pagi, atau menunggu kereta berikutnya setengah jam lagi.
Apa yang kulakukan semalaman hingga bangun kesiangan? Kenapa ibu tidak membangunkanku lebih awal?
Kelas pertama hari ini adalah Fisika. Aku akan bertemu dengan guru berkepala botak yang sudah mempermalukanku di depan kelas kemarin. Aku sangat tidak ingin melihat mukanya, tapi melarikan diri hanya akan membuatku menjadi bahan lelucon lagi!
Karena itu aku tidak boleh terlambat! Aku tidak boleh tidur dalam kelas! Aku akan menunjukkan pada guru botak itu siapa Kagami Taiga sebenarnya! Aku akan memelototinya seharian sampai dia tidak berani lagi menyuruhku maju ke depan untuk mengerjakan soal!
Jadi aku terus berlari tanpa henti. Berteriak girang saat keretaku belum pergi. Tidak ada yang boleh main-main dengan harimau bertaring!
Aku bisa sedikit bernafas lega begitu memasuki kereta. Kalau perhitunganku tidak meleset dan keretanya tidak mengalami masalah, seharusnya aku tidak akan terlambat. Aku hanya perlu mengumpulkan nafas untuk lari sprint sampai ke sekolah dan semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak akan terlambat.
Kecuali, aku salah membuat perhitungan! Seharusnya aku naik kereta yang lebih pagi lagi!
Aku terus berlari sambil menggeram kesal. Pasti pak guru akan menyuruhku mengerjakan soal di depan lagi! Pasti ia akan mengatakan hal-hal yang membuat teman-teman nistaku tertawa! Sial! Harusnya aku pura-pura sakit!
Ah, tidak, tidak, tidak! Kalau aku tidak masuk dengan alasan sakit, mereka akan tetap menertawakanku. Beranggapan kalau aku jatuh sakit gara-gara ditertawakan! Bodoh!
Koridor sekolah sudah sepi. Derap langkahku menggema sepanjang lorong. Aku akan sangat beruntung kalau tidak tertangkap guru piket!
Papan kelas 3-3 terlihat dalam pandanganku, semakin menambah semangat dan laju lariku. Dengan bunyi sedikit berdecit aku berhasil menghentikan langkah kedua kakiku, berpegangan pada pintu dan menggesernya terbuka dengan cepat. Harus kuakui aku merasa sedikit keren melakukannya. Seperti melakukan drift.
Aku terengah-engah, seisi kelas menatapku heran.
"Kau terlambat."
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak mendengarkan pak guru menegurku. Aku tidak melihat teman-temanku melemparkan pandangan aneh ke arahku. Aku berhenti bernafas, padahal saat ini aku sangat membutuhkan oksigen. Aku terdiam. Terpaku. Terkesiap.
"Ki-"
"Kagamicchi?"
Pemuda berambut kuning keemasan yang berdiri di depan kelas itu tersenyum lebar menyapaku.
…
Apa aku sedang bermimpi?
"Aduh!"
Aku mengusap-usap pipiku yang baru saja kucubit. Tidak. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan.
"Apa yang sedang kau lakukan? Kau sakit gigi?"
Aku menggelengkan kepalaku dengan bodoh, kemudian memperhatikannya dengan seksama, memicingkan mataku. Sepasang mata coklat madu itu mengerjap heran, semburat merah tipis mulai menghiasi wajahnya dan yang kutahu selanjutnya, tangannya mendorong mukaku menjauh.
"Ja-jangan melihatku seperti itu!" Ia memalingkan mukanya, mendengus.
Saat ini aku dan dia berada di atap sekolah. Di sini sepi, tidak ada orang lain lagi. Karena akhir-akhir ini angin yang bertiup cukup mengganggu, jarang ada yang mau menghabiskan waktu makan siang di sini. Hal ini cukup menguntungkan bagiku. Aku akan senang kalau setiap hari bisa menghabiskan waktu istirahat di tempat tenang seperti ini.
"Kau― benar-benar Kise Ryouta?"
Dia menoleh ke arahku. Mukanya masih terlihat memerah. "Bodoh, pertanyaan macam apa itu?" Dia kembali memalingkan wajahnya.
Aku mengerjapkan mataku. Masih sulit mempercayai apa yang kulihat. Apa benar pemuda berambut kuning keemasan ini adalah Kise Ryouta yang kukenal? Yang selama tiga minggu kudengarkan ceritanya di toko kue? Yang bilang kalau ia menyukaiku tapi tiba-tiba pergi meninggalkanku?
Orang yang egois dan bersikap sesukanya.
Aku mengulurkan tanganku dan menyentuh wajahnya. Kise terdiam, membiarkanku memetakan wajahnya. Aku masih sulit mempercayai ini. Benarkah aku tidak sedang bermimpi?
"Ini benar-benar aku, Kagamicchi." Suaranya yang kudengar masih sama seperti tahun lalu. Bisikan yang begitu lembut. Seulas senyuman menghiasi wajahnya. Senyuman penuh arti yang selalu membuat jantungku berdebar lebih cepat. Sesuatu yang hilang dariku satu tahun ini.
"Ah, ah! Sakit, Kagamicchi!" Kise menepis tanganku dengan cepat begitu aku mencubit pipinya cukup keras. Aku hanya ingin memastikan kalau yang ada di hadapanku saat ini bukan hantu! "Kau berniat mencuil pipiku, ya?"
Aku menghela nafas. "Hanya untuk meyakinkan kalau kau itu manusia."
Kise memutar bola matanya. "Kau jadi aneh. Seperti Kurokocchi." Dia masih mengusap-usap pipi kirinya yang memerah. Aku jadi merasa sedikit bersalah. Mungkin aku sudah mencubitnya terlalu keras.
Angin berhembus pelan dan kami terdiam.
Sekarang apa?
Tiba-tiba saja Kise kembali. Setelah mengatakan kalau ia menyukaiku, tiba-tiba memutuskan untuk pergi, ia datang lagi satu tahun kemudian. Benar-benar orang yang suka seenaknya sendiri. Aku hampir saja melompat dan memeluknya di depan kelas tadi. Saking ingin membuktikan kalau siswa baru di kelasku itu benar-benar Kise Ryouta yang kukenal. Tapi ia berbeda. Ia bisa melihat. Sepasang mata coklat madu itu untuk pertama kalinya melihat ke arahku. Melihatku. Benar-benar melihatku. Rasanya aku hampir menitikkan air mata tadi.
"Di mana kau berada selama setahun ini?" Aku menundukkan kepalaku, menemukan sebuah titik yang menarik pada bangunan beton.
Sekarang aku yang tidak bisa melihat ke arahnya.
"Di rumah orang tuaku. Aku sudah mengatakannya padamu, kan? Kalau aku akan tinggal dengan ibuku?"
Aku mengangkat kepalaku, membangun kontak mata lagi dengan Kise. Akhirnya aku bisa melakukan hal yang begitu ingin kulakukan tahun lalu. Melihat sepasang mata coklat madu cemerlang itu melihat ke arahku. Sesuatu yang begitu sederhana namun mustahil kala itu.
"…kenapa kau melakukan ini padaku? Mengatakan kalau kau menyukaiku, tapi tiba-tiba memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Kenapa, Kise?" Tanpa kusadari aku sudah menggenggam tangannya. Erat. Seperti tidak cukup untuk meyakinkan kalau dia benar-benar Kise Ryouta yang membuatku menyukai kue-kue. Seperti takut kalau aku melepasnya, dia akan pergi lagi…
Kise tersenyum. Ia menyimpulkan senyuman termanis yang pernah kulihat. Mungkin bukan yang termanis. Mungkin aku hanya lupa dengan gurat-gurat manis yang pernah ia pamerkan. Bagaimana pun juga sudah satu tahun waktu berlalu. Tidak melihatnya selama itu sangat mungkin menjadi lupa. Karena bahkan Kise tidak ingat bagaimana warna merah muda bunga sakura setelah sekian lama tidak melihatnya.
"…takut."
Aku mengangkat kedua alisku dalam isyarat tanya.
"Saat itu aku sangat takut, Kagamicchi."
Sepasang mata coklat madu itu sedikit berkaca-kaca.
"Aku takut sekali. Tiba-tiba aku lupa semuanya. Aku tidak ingat apa pun yang pernah kulihat. Aku― bahkan aku tidak ingat wajahku sendiri. Semua gelap. Gelap dan tidak ada cahaya sama sekali." Air matanya menetes. Aku terdiam, tidak bisa melakukan apa-apa. Kise menautkan jemari kami dengan erat. Aku tidak bisa melepas pergi. Aku tidak bisa menyeka air matanya. "Harusnya aku sudah terbiasa dengan hal itu. Harusnya aku tidak takut lagi. Tapi― entah kenapa aku begitu ketakutan. Semuanya gelap dan mencekam. Tidak ada cahaya. Tidak ada yang bisa kulihat. Aku begitu takut, Kagamicchi…"
"…aku lupa denah rumahku. Aku tersandung kaki meja dan jatuh. Aku lupa seperti apa wajahku. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengingatnya, tapi tidak bisa. Aku mengambil cermin, tapi tidak bisa melihat diriku sendiri. Semua gelap, hitam dan pekat. Aku tidak tahu bagaimana pola piyama beruangku. Bagaimana bentuk bulat? Segitiga? Persegi? Seperti apa warna merah? Kuning? Hijau? Bagaimana sosok Kurokocchi? Warna rambutnya? Ekspresi datarnya? Bagaimana sosokmu…"
"Aku tidak tahu seperti apa rupamu. Aku ingin tahu, aku ingin mencoba membayangkannya sendiri. Tapi aku sudah lupa semuanya. Dan aku sangat takut. Kegelapan sudah menenggelamkanku…"
"Aku takut sekali…"
Tautan jemarinya melonggar seiring dengan suaranya yang semakin lirih dan bergetar. Aku memeluknya. Aku memeluknya begitu erat hingga merasa sesak. Tentu saja dia merasa takut. Kegelapan absolut bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku terus memeluknya bahkan meskipun bel masuk sudah berbunyi. Aku tidak peduli. Masih ada banyak hari untuk menghadiri kelas, selain hari ini. Tidak masalah kalau kami membolos satu hari. Hari ini saja.
Tubuhnya bergetar, namun tetap terasa hangat. Ia begitu hangat. Keseluruhan dari dirinya adalah hangat.
Butuh waktu yang lama untuk menenangkan perasaannya yang kacau berantakan. Atau mungkin hanya aku saja yang enggan melepasnya pergi. Hingga bel pulang sekolah berbunyi nyaring dan aku menghela nafas panjang.
"Kagamicchi?"
"Hmm?"
"Kau tahu apa yang membuatku langsung mengenalimu?"
"Apa?"
"Merah darah. Warna rambutmu." Kise membenarkan posisi kepalanya pada bahuku. Aku dapat merasakan ia tersenyum, meski aku tidak bisa melihatnya.
Aku tertawa. "Benarkah?"
"Hm-mm. Saat aku memutuskan untuk masuk Seirin, aku sudah bertekad untuk mencari orang yang kepalanya seperti berlumuran darah. Sebenarnya aku sedikit takut. Aku pernah melihat yang seperti itu di rumah sakit. Mengerikan sekali."
Aku bersyukur waktu itu dia menanyakan warna rambutku.
"Jadi aku terlihat seperti zombi bagimu? Yang kepalanya berlumuran darah?"
Kali ini Kise yang tertawa. Akhirnya aku mendengar suara itu lagi. Sesuatu yang begitu kurindukan.
"Tapi aku tidak menyangka. Ternyata kau setampan ini…" kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak lebih dari sekedar bisikan. Bisikan tepat pada telingaku. Aku sedikit bergidik mendengarnya.
Merasa cukup lelah merengkuh tubuhnya, aku melepasnya pergi sepanjang lenganku, dengan kedua tangan memegang pundaknya. "Apa kau kecewa? Kau mengharapkan Kagami Taiga sebagai orang yang jelek?" Nada bicaraku menuduh, main-main.
Kise tertawa, menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin aku kecewa? Dan kau tahu, soal rambutmu; aku bohong." Ia mengulurkan tangannya, menyentuh ujung-ujung rambutku.
"Maksudmu?"
"Tidak kasar. Tidak sama sekali." Tangannya merambat ke bagian belakang kepalaku, kemudian menarikku turun. Jarak kami begitu membahayakan. Ujung hidungnya bersentuhan dengan ujung hidungku. Kise tersenyum. Aku juga tersenyum.
Bersama-sama, kami menutup jarak satu inci di antara kami.
Bibirnya masih terasa begitu lembut. Lembut dan manis yang seperti kue. Ada perasaan lega yang memenuhi dadaku. Sesuatu yang membuatku senang dan sesak pada saat bersamaan. Seperti rimbunan sakura mekar sempurna di dalam dadaku.
Aku tersenyum dan memperdalam ciuman kami.
…
Kali ini aku tidak sendirian. Ya, untuk hari ini dan seterusnya, mungkin aku tidak akan sendirian lagi melewati pedestrian ini.
"Aku tidak tahu, tapi ternyata ibu sudah mencarikan donor. Operasinya dilakukan saat musim gugur. Kau tahu apa yang pertama kali kulihat? Daun-daun maple kuning kemerahan yang menawan, yang tumbuh di dekat rumah sakit." Nada bicara Kise riang sekali. Aku hampir lupa kalau tadi ia sempat menangis seperti akan kecil. Ah, tapi anak kecil memang seperti itu. Satu waktu mereka menangis, kemudian mereka tertawa bahagia. Kise benar-benar seperti anak kecil.
"Hmm. Lalu kenapa kau tiba-tiba muncul di sekolah hari ini? Kau membuatku hampir berteriak seperti orang gila tadi!"
Aku tidak bohong. Aku benar-benar hampir gila melihatnya berdiri di depan kelas. Seseorang yang dikenalkan sebagai siswa baru? Apa itu benar-benar dirimu? Aku tidak percaya dan hampir melompat memeluknya untuk mencari tahu.
"Kurokocchi tidak memberitahumu? Aku sudah kembali sejak lima hari yang lalu. Bahkan aku menunggu di toko kue, berharap bisa bertemu dengan Kagamicchi. Tapi Kagamicchi tidak pernah datang!" Bibir tipisnya mengerucut. Benar-benar seperti anak kecil.
"Kau duduk di tempat yang biasa? Tapi kemarin aku tidak melihatmu!"
"Kemarin aku datang saat petang. Aku harus mengurus beberapa dokumen. Tapi, serius! Apakah Kurokocchi tidak pernah mengatakan apa-apa padamu, Kagamicchi?" Alisnya terangkat dengan heran. Sepasang mata coklat madunya penuh dengan kebingungan.
Aku menggelengkan kepalaku. "Dia tidak― tunggu dulu. Kemarin dia bilang akan menraktirku makan kue mandarin, tapi aku tidak mau. Apa itu artinya―"
Sebelum aku selesai memikirkan bagaimana meneruskan kalimatku, Kise sudah menyelanya. Kali ini alisnya berkerut dalam. "Kau tidak mau? Kenapa? Kupikir Kagamicchi akhirnya menyukai kue itu! Jadi selama tiga minggu usahaku untuk membuat Kagamicchi menyukai kue mandarin tidak berhasil?!"
Aku mengerjapkan mataku mendengar gerutuannya. Hanya perasaanku saja, atau Kise jadi lebih cerewet? "Bodoh! Mana mungkin aku memakan kue itu lagi! Atau nanti aku akan teringat padamu dan― dan aku-"
"Hmm?"
"Ah, sudah! Lupakan saja!"
Mana mungkin aku mengaku kalau aku bisa menangis memakan kue favorit Kise? Setelah ia bisa melihat seperti ini, aku harus berhati-hati. Aku tidak boleh terlihat lemah di depannya. Aku tidak akan membiarkannya melihatku menangis!
"Baiklah! Tapi kita akan makan kue mandarin hari ini! Kagamicchi tidak boleh menolak! Aku akan membuat Kagamicchi makan banyak sekali kue mandarin sampai kau menyukainya! Aku tidak peduli meski Kagamicchi sudah kenyang dan tidak sanggup lagi, aku akan memaksamu terus makan sampai Kagamicchi menyukai kue itu seperti aku menyukainya!"
"Seperti kau menyukaiku?" Aku berkata dengan suara pelan, hampir berbisik.
Kise mengangkat alisnya. "Heh? Apa yang kau katakan barusan, Kagamicchi? Aku tidak bisa mendengarnya."
Aku menggelengkan kepalaku, tersenyum simpul.
"Kalau kau memaksa, baiklah. Aku akan memakan kue favoritmu itu. Meski aku yakin, aku tidak akan menyukai kue itu sebesar aku menyukaimu."
Langkah kaki Kise terhenti. Mukanya memerah. Tangan kami masih bertautan, jadi aku juga ikut berhenti. Aku sedikit khawatir karena Kise hanya diam dan memandangi ujung sepatunya.
"Kise?"
"…katakan lagi."
"Hmm? Katakan apa?"
"Katakan lagi!"
Aku diam sebentar. Berpikir. Kemudian aku tersenyum dan mendekat kepadanya, hingga ujung sepatu kami bersentuhan. Kise masih tidak mau mengangkat kepalanya, jadi aku melepaskan genggaman tanganku dan membingkai wajahnya, lalu membuatnya melihatku.
Aku tersenyum.
"Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu."
Menunduk, aku mengecup bibirnya sebentar. Muka Kise yang merah padam membuatku tersenyum geli. Aku menunduk lagi dan mencium dahinya.
Sepasang mata coklat madunya hanya mengerjap.
…
Aku lewat sini lagi. Pedestrian yang kulalui tiap hari dalam perjalananku menuju stasiun. Jalanan yang sepi dan tenang. Mungkin kau menganggapku seperti orang tua, tapi aku suka kedamaian yang ditiup-tiupkan oleh angin musim semi, di mana pucuk-pucuk daun muda saling bergoyang menari. Seolah menyapa dan mengucap selamat pagi. Biasanya aku akan menguap lebar tanpa menutupi mulutku, atau kentut dengan bunyi keras di tengah jalan semauku, karena tidak ada yang akan menegurku. Tapi tidak untuk hari ini. Jadi aku memutuskan untuk melangkah dengan tenang, menikmati semilir angin sore dan tersenyum-senyum seperti orang gila.
Kalau bukan karena tangan yang kugenggam erat ini, aku benar-benar akan jadi orang gila.
OWARI