Disclaimer : Masashi Kishimoto
Don't Like Don't Read
.
.
.
"Apa yang kau lakukan di rumahku, Uchiha-san?!"
Sasuke sama sekali tidak memedulikan kedatangan Orochimaru dan nada penuh intimidasi dalam ucapan dosennya itu. Ia masih menatap Sakura yang berdiri tepat di hadapannya. Pemuda itu yakin, gadis yang tengah menatapnya dengan wajah bingung ini adalah Sakuranya. Tapi kenapa gadis itu melihatnya seperti orang asing?
Tiba-tiba ketakutan menelusup di hati Sasuke. Ia takut, jika semua yang dilihatnya hanya delusinya saja, sama seperti sebelumnya. Ia juga takut, bagaimana jika gadis yang tengah berdiri dengan sepiring cookies ini bukanlah Sakuranya, mungkin saja dia itu orang lain yang mirip Sakura. Yang paling membuatnya takut, jika semua ini hanyalah mimpi semata.
"Apa itu tugas yang ingin kau serahkan?"
Suara berat Orochimaru yang nampaknya tidak suka dengan kedatangannya membuat Sasuke tersadar dari pikirannya. Bibirnya masih kelu, ia hanya mengangguk dan langsung menyerahkan hasil pekerjaannya.
"Masuk, Sakura!"
Ororchimaru langsung menyuruh putrinya masuk ke dalam rumah setelah mengambil hasil pekerjaan Sasuke. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, pria yang sangat protektif dengan putrinya itu langsung menutup pintu meskipun Sasuke masih disana.
"Eh, Ayah, tapi itu…?" Sakura merasa tidak enak hati meninggalkan tamu di luar. Sebelum pintu benar-benar tertutup, matanya sempat bentrok dengan bola mata hitam pemuda yang menatapnya dengan tatapan yang tidak di mengertinya. Namun, Sakura merasakan perasaan aneh yang membuatnya bingung saat menatap tepat sepasang onyx itu. Rasanya, ia sangat mengenal tatapan mata itu dan tiba-tiba saja Sakura merasakan perasaan rindu. Tapi yang membuatnya kembali bertambah bingung, dia tidak tahu merindukan siapa.
.
Sasuke merasakan napasnya tercekat di tenggorokan ketika melihat mata hijau yang menatapnya penuh kebingungan. Dari sorot matanya, ia yakin gadis itu Sakuranya. Memang, dari bentuk fisik, banyak perbedaan (kecuali rambut merah jambu) dan sorot emerald yang tidak mungkin bisa dilupakannya. Sasuke yakin, gadis merah jambu yang ditemuinya di rumah dosennya itu adalah Sakura, sahabat dan kekasih yang sangat dicintainya.
Namun, jikalau gadis itu memang Sakura, kenapa dia bisa berada di sini, di Oto. Apalagi tadi, Sasuke sempat mendengar gadis itu memanggil Orochimaru dengan sebutan ayah. Bagaimana bisa Sakuranya menjadi putri dosen killer itu.
Setelah kepergian Sakura, Sasuke masih tidak percaya jika gadis itu meninggal. Ia memang menyaksikan sendiri bagaimana kekasihnya meninggal dalam pelukannya, bagaimana ia ikut menangisi Sakura saat dikebumikan bahkan hari-hari setelah kepergiannya dan sekarang Sakuranya hidup di balik pintu yang menjulang tinggi ini.
Jika gadis tadi adalah Sakuranya, lalu bagaimana dengan jenazah yang di makamkan waktu itu.
Sasuke menggeleng pelan, mencoba menghilangkan pikiran tidak masuk akal yang menyeruak di kepalanya. Entah bagaimana caranya (Sasuke tidak ingin memikirkannya), ia sangat yakin gadis merah jambu yang kebetulan adalah putri dosennya itu adalah Sakuranya. Ia akan mencari tahu dan memastikan gadis itu adalah Sakuranya yang dahulu.
"Sakura…" Nama yang sudah seperti mantra di bibirnya kembali dirapalkannya. Namun kali ini, ada secercah harapan untuk bersama kembali dengan gadisnya.
Tanpa bisa dicegahnya, setetes cairan bening keluar dari dari sudut mata kananya dan senyum tipis melintas di wajahnya. Bukan hanya wajahnya yang tersenyum, tapi sorot matanya juga kembali terlihat hidup.
"Kau kembali…" desahnya penuh syukur dengan nada lirih.
Kendati Ororchimaru sudah mengusirnya (dengan cara halus) dan kakinya mulai terasa pegal karena berdiri hampir satu jam lebih, Sasuke masih belum berniat untuk pulang. Ia takut, jika nanti bangun di kamarnya pagi hari, semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi. Ia tidak sanggup, jika harapan yang menjadi pegangan hidupnya sekarang akan hancur. Sasuke tidak tahu lagi, bagaimana hatinya akan mengatasi semua itu.
Merasakan kakinya sudah tidak mampu berdiri, Sasuke akhirnya memilih untuk pulang meski dengan berat hati. Tidak mungkin ia akan tidur di depan rumah orang di malam yang sedingin ini. Lagipula, ia sudah sangat meyakininya, apa yang dilihatnya bukan hanya delusinya saja.
Berbalik dengan langkah sedikit tertatih, Sasuke kembali menengok pintu yang tertutup rapat berharap akan melihat lagi Sakuranya. Namun, ia tahu hal itu tidak mungkin, mungkin gadis itu sudah tidur di dalam salah satu kamar di rumah ini. Sasuke tiba-tiba merindukan tempat tidur di kamarnya. Ia ingin beristirahat, memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semoga saja, kali ini takdir baik berpihak padanya.
"Oyasumi, Sakura…" gumamnya lirih sebelum benar-benar meninggalkan rumah dosennya. Segera, Sasuke akan bisa mengucapkan kata itu langsung pada Sakura.
Hingga Sasuke benar-benar meninggalkan rumah Ororchimaru, sepasang emerald masih menatap Sasuke dari balik tirai dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan oleh sang pemilik mata.
.
.
.
.
Sasuke tidak pernah bangun se-semangat ini dalam tiga tahun terakhir. Sudah beberapa kali ia tersenyum tipis ketika tanpa sengaja matanya tertuju pada foto Sakura yang bingkainya telah ia ganti tadi malam.
Sebelum keluar dari kamarnya, ia mengambil bingkai foto Sakura dan menatap rindu sosok gadis di dalamnya. "Apa kau merindukanku seperti aku merindukanmu?" lirihnya dengan senyum pahit di wajahnya kala mengingat cara gadis merah jambu itu menatapnya tadi malam. Namun, senyum itu berubah menjadi sebuah senyum yang nyata dalam sekejap. "Kau sama sepertiku 'kan, Sakura…"
Menaruh kembali bingkai tersebut ke tempat semula, Sasuke menyambar tas punggungnya yang terlihat sedikit gendut dari biasanya dan menyampirkannya di lengan kanannya.
Menutup pintu kamarnya, Sasuke kembali mendesahkan nama gadis yang sebentar lagi (mungkin) akan kembali bersua dengannya. "Sakura…"
.
"Kaa-san, Tou-san, Itachi-nii…"
Ketiga orang yang dipanggil namanya menatap takjub Sasuke yang kini telah duduk di samping Itachi, mengambil dua potong roti dan omlet serta sepiring kecil irisan tomat.
"Apa, bodoh!" desis Sasuke yang merasakan tatapan menyebalkan kakaknya.
Itachi masih menatap adiknya seolah-olah Sasuke adalah seorang mutan aneh. "Kau tersenyum?" Itachi benar-benar terkejut dengan perubahan Sasuke pagi ini.
Mikoto dan Fugaku juga merasakan perbedaan Sasuke pagi ini. Mungkin bagi orang luar, tidak ada yang berbeda dari Sasuke. Namun mereka sangat memahami Sasuke dan bagaimana hancurnya pemuda itu karena kepergian Sakura. Tapi pagi ini, Sasuke terlihat sangat berbeda dari biasanya dan tentunya ke arah yang lebih positif.
Tsk!
Sasuke berdecih rendah, mengabaikan tatapan aneh keluarganya yang ditujukan padanya. Ia mengambil irisan tomat dengan garpu dan menusuknya beberapa dan langsung melahapnya.
Rasa manis dan asam dari buah merah tersebut lebih menambah rasa semangatnya pagi ini.
Awalnya, Sasuke berniat untuk menceritakan pertemuannya dengan gadis yang diyakininya adalah Sakura, namun ia mengurungkan niatnya itu karena tidak ingin membuat keluarganya khawatir. Sasuke tidak ingin keluarganya menganggap dirinya mengalami delusi seperti sebelumnya, dan ia berencana akan menceritakan hal ini jikalau suah memastikan gadis itu adalah Sakuranya. Setidaknya memastikan kalau gadis yang ditemuinya itu memang sangat mirip dengan Sakura yang mereka kenal.
"Aku sudah selesai, terima kasih untuk sarapannya, Kaa-san." Sasuke beranjak dari kursinya dan menyambar tas punggungya yang ia taruh di kursi samping ibunya.
"Aku pergi," pamitnya.
Itachi masih melongo melihat sikap adiknya pagi ini, kemudian senyum lega mengembang di wajahnya. "Sasuke kami sudah kembali, Kaa-san," gumam Itachi yang masih menatap punggung adiknya sebelum menghilang dari pandangannya.
Mikotot ikut tersenyum, namun raut kekhawatiran nampak jelas di wajahnya. "Kaa-san harap Sasuke baik-baik saja," desahnya. Wanita itu tahu, siapa yang bisa membuat putranya seperti itu. Ia khawatir, Sasuke kembali hidup dalam khayalan seperti dahulu dan akan hancur ketika tahu semua yang diyakininya itu tidak nyata. Mikoto hanya bisa berdoa, Kami-sama memberikan jalan yang terbaik untuk putra bungsunya. Ia tahu, hidup putranya tidak akan pernah sama lagi jika kali ini hatinya kembali hancur.
"Sasuke akan baik-baik saja, Mikoto." Fugaku meyakinkan istrinya setelah melihat ekspresi wanita yang sudah melahirkan kedua putranya. "Aku mempercayainya," imbuh pria pemimpin keluarga Uchiha itu.
Mikoto balik meremas jemari suaminya yang menggenggam jemarinya.
Itachi yang sedari tadi melihat interaksi orang tuanya tersenyum kecil. "Kenapa tidak kalian memberikanku adik lagi," godanya, mencoba mengalihkan suasana.
"Kenapa tidak kau yang memberikan kami cucu," tukas Fugaku.
Wajah Itachi langsung pucat mendengar ucapan ayahnya. Setelah ini, ayahnya pasti akan menyeramahinya untuk mencari istri. Sebelum hal itu terjadi, Itachi langsung mencari alasan untuk pergi lebih cepat.
"Aku harus pergi, Kabuto sudah menunggu di kantor," ujar Itachi menyisihkan piringnya, lalu mengambil segelas air putih.
Fugaku hanya mendesah melihat tingkah putra sulungnya, ia tahu Itachi berbohong untuk menghindari pembicaraan karena sampai sekarang putranya masih belum memilki calon.
Jujur saja, Fugaku ingin sekali memiliki anak perempuan. Dulu ada Sakura yang sudah dianggap putrinya sendiri, tapi sekarang…
Walaupun tidak pernah menunjukkannya secara gamblang, ia benar-benar sangat kehilangan.
.
.
.
"Kau tidak ke kampus?"
Orochimaru menatap penuh tanya putrinya yang masih mengenakan piyama hijaunya. Ia sangat hapal jadwal putrinya, dan pagi ini Sakura memiliki jadwal pagi. Ia melihat arlojinya, mengernyit saat mengetahui sudah jam sembilan lebih.
"Dosennya tidak bisa masuk, Ayah," jelas Sakura. Gadis itu bersenandung riang karena artinya ia bisa bermalas-malasan hari ini. "Jadi, aku membuatkan omlet spesial," kikiknya senang seraya mengambil roti bakar dari pemanggang dan menaruhnya masing-masing dua helai di atas piring.
Sakura menaruh satu piring untuknya dan memberikan yang lainnya kepada ayahnya. "Mau pakai butter atau saus tomat?"
"Butter saja," tanggap Orochimaru. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah riang putrinya pagi ini.
Setelah mengolesi rotinya dengan butter, Orochimaru menaruh omlet di atas sehelai roti tersebut lalu menutupnya dengan lembar yang satunya.
"Itadakimasu…"
Orochimaru muali mengunyah, Sakura setia memperhatikan.
Melihat wajah ayahnya datar-datar saja, Sakura harap-harap cemas dengan hasil masakannya.
"Bagaimana?" tanyanya penuh harap.
Setelah menelan, Orochimau kembali mengambil beberapa potongan di piringnya. "Ayah tidak keberatan kau membuatkan ini untuk sarapan setiap pagi."
Sakura memekik kegirangan, artinya kemampuan memasaknya berkembang cukup pesat. Oke, lupakan untuk sementara cookies buatannya kemarin.
Sakura mengambil saus tomat dan menumpahkannya sedikit di sisi piringnya. Gadis itu juga mengolesi rotinya dengan butter yang lumayan banyak. Sakura lebih suka memakan roti dan omlet secara terpisah. Biasanya, ia akan mencocol omlet dengan saus tomat, baru akan memakan rotinya.
Keduanya menyantap sarapan mereka dalam kesunyian yang tenang. Yang terdengar hanyalah suara garpu dan pisau yang bergesekan dengan piring porselen.
"Ne, hari ini Sakura ingin jalan-jalan, boleh yaa…"
Sakura yang telah selesai dengan sarapannya, menampilkan mimik andalannya agar ayahnya yang sangat protektif itu memberinya izin.
"Kemana?" Orochimaru melirik putrinya, sebisa mungkin tidak menatap wajah memilukan yang pasti akan membuatnya luluh.
Sakura yang belum memikirkan rencana apapun, menggaruk kepalanya bingung. "Belum tahu, mungkin ke toko buku atau kebun binatang."
"Oto Zoo-Park itu jauh, lain kali saja kesana kalau Ayah ada waktu luang," tolak Orochimaru dengan rencana putrinya.
Sakura langsung cemberut, tapi hanya sesaat. Ia kembali memikirkan akan tempat yang kemungkinan ayahnya akan mengizinkan.
"Kamu ikut Kabuto saja, bagaimana?" tawar Ororchimaru.
Sakura kembali mengerucutkan bibirnya, "Ayah tidak seru! Masa keluar sama paman Kabuto terus, bisa-bisa aku dituduh gadis nakal yang suka jalan dengan paman-paman mesum," gerutu Sakura.
"Siapa yang kau bilang paman-paman mesum, Sakura?"
"Eh…?
Sakura tersenyum kikuk, ia sedikit merinding melihat tatapan tajam Kabuto.
"Apa aku terlihat setua dan semesum itu?" Kabuto mengambil tempat duduk di samping Sakura.
"Tentu saja," ujar Sakura membenarkan yang membuat Kabuto berdecak kesal.
"Kau tega sekali pada padaku, Sakura," desah pria berkaca mata itu.
Sakura terkikik, lalu mengambil sehelai roti lagi. Meskipun tubuhnya kecil, porsi makan Sakura lumayan banyak. "Makanya cepat menikah paman," saran Sakura, "kasihan jodohmu yang sudah menunggu," imbuhnya masih dengan cekikikan. "Apa mungkin paman tidak punya jodoh?" Sakura tiba-tiba menampilkan wajah horornya, kemudian tawa menggelegar dari Sakura dan kekehan Orochimaru menggema di dapur minimalis itu.
Ugh
Kabuto hanya mendengus rendah mendengar kata-kata Sakura.
.
.
.
.
.
Sasuke mendesah frustasi, kepalanya terasa pening dan perutnya mulai mual karena melewati makan siang. Setelah empat jam lebih menunggu, masih belum ada tanda-tanda dari gadis merah jambu itu. Sasuke juga sempat mengetuk pintu rumah minimalis itu, namun sama sekali tidak ada jawaban. Ia mengasumsikan rumah itu kosong, makanya Sasuke memilih untuk menunggu saja di mobilnya.
Namun sayang, setelah hampir lima jam tidak ada tanda-tanda salah satu penghuni rumah itu yang terlihat. Bahkan Orochimaru tidak terlihat.
Mendesah berat, Sasuke memutuskan untuk menunggu hingga malam, mengabaikan perutnya yang kembali bergemuruh meminta untuk diisi. Kendati tengah kelaparan, ia sama sekali tidak memiliki nafsu makan untuk saat ini. Yang ada di kepalanya sekarang hanyalah Sakura saja.
"Arghh!"
Sasuke yang sudah tidak sabar, ia kembali menghampiri rumah itu dan memencet kasar bel pintu yang terpasang. Bahkan setelah matahari terbenam ia sama sekali belum mendapatkan hasil.
"Sakura…" lirihnya.
Sasuke yang tengah dilanda kebingungan sedikit dikejutkan dengan getaran di saku celananya. Dengan malas, ia mengambil smarthphone hitamnya dan melihat nama kakaknya tertera di layar. Pada awalnya Sasuke mengabaikannya, tapi benda tersebut terus saja berbunyi.
"Apa?!" Sasuke tidak bisa menyembunyikan emosinya sekarang ini. Ia tidak peduli jika cara bicaranya kurang sopan dengan kakaknya, hal itu sudah lumrah untuk mereka.
Entah apa yang dikatakan Itachi, beberapa kali Sasuke mengatakan tidak. Namun pada akhirnya, pemuda itu menyanggupi meski sangat berat hati.
Mungkin hari ini belum waktunya ia bertemu dengan Sakura.
Sasuke kembali ke mobilnya dan langsung meninggalkan rumah dosennya.
.
Tidak butuh waktu alam hingga Sasuke tiba di kantor Itachi. Tanpa mengetuk sekalipun, ia langsung membuka pintu ruangan kakaknya.
"Ada apa?!" dengus Sasuke dengan delikan kesalnya. Pemuda itu melemparkan tas punggungnya di sofa merah di tengah-tengah ruangan.
Itachi hanya terkekeh melihat wajah suntuk adiknya. Memangnya apa yang bisa membuat wajah Sasuke terlihat sangat frustasi dan sangat mengenaskan seperti itu.
"Kau kenapa?" Itachi merapikan dokumen yang berserakan di atas meja kerjanya, kemudian menghampiri Sasuke yang tengah memijit pelipisnya.
Sasuke hanya bungkam, beberapa kali mendesah berat seolah tengah memikul beban yang sangat berat di pundaknya.
Itachi mulai mentap serius adiknya, mencari tahu apa yang salah dengan Sasuke sekarang. Apa mengenai Sakura lagi, pikirnya khawatir.
"Sasuke, ada apa?" Kali ini Itachi bertanya serius, penuh perhatian. "Sakura 'kah?"
Itachi langsung mendapatkan jawaban saat melihat tubuh tegang Sasuke setelah menyebut nama gadis yang memiliki rambut unik itu. kekhawatiran terlihat jelas di mata hitamnya, ia seolah ikut merasakan sakit melihat kondisi adiknya yang kembali down seperti ini. "Kau bisa berbicara denganku, Sasuke."
Sasuke mengangkat kepalanya, menatap wajah kakaknya dengan tatapan sendu. "Apa kau akan mempercayaiku?" tanya Sasuke sinis. Ia ingat, bagaimana dulu semua keluarganya tidak percaya ketika ia melihat Sakura di rumah sakit dan bahkan membawanya ke psikiater.
Itachi tidak ingin berbohong pada adiknya, tapi ia juga tidak tega melihat Sasuke seperti ini. Namun, jika hal ini bisa membuat Sasuke lebih baik, ia akan berpura-pura untuk melakukannya. "Aku percaya padamu, Sasuke."
Sasuke kembali menundukkan kepala, tahu jikalau kakaknya masih tidak akan percaya. Tetapi ia membutuhkan seseorang untuk diajak bicara dan mungkin memberikannya solusi.
"Aku bertemu Sakura kemarin malam," ujarnya rendah," tapi dia melihatku seperti orang asing," tambahnya getir. Walaupun belum memastikan gadis itu adalah Sakuranya, namun melihat tatapan Sakura kepadanya membuat hatinya sakit. Bagaimana jika dia memang kekasihnya, dan akan sangat menyakitkan jika dia benar-benar melupakan tentang siapa dirinya. Sasuke tidak pernah memikirkan hal ini, apa yang harus dilakukannya jika gadis itu benar-benar lupa akan dirinya.
"Apa kau yakin, Sasuke?"
Sasuke mengangguk tanpa melihat ke arah Itachi. Kini, wajahnya ia sembunyikan di kedua telapak tangannya, merasa malu untuk menampakkan wajah menyedihkannya sekarang.
Itachi berdiri, lalu menepuk pundak adiknya sayang. Dadanya terasa sesak tatkala Sasuke menatapnya dengan mata merah dan senyum sangat tipis melintasi wajah sendunya.
"Bisa kau membantuku menyelesaikan itu, aku ada pertemuan dengan salah satu klien," pinta Itachi mengambilkan beberapa dokumen. "Kau cukup memeriksanya apakah menguntungkan bagi perusahaan atau tidak," jelas Itachi.
"Hn," Sasuke menyanggupi.
"Aku hanya sebentar, jangan melakukan hal gila," candanya.
Sasuke mendengus pelan, kemudian menyambar dokumen tersebut dari tangan Itachi. "Berisik!"
Itachi menepuk kepala Sasuke seperti yang sering dilakukannya ketika mereka masih kecil, tentu saja hal ini membuat bungsu Uchiha itu tidak senang.
"Hentikan itu!" keluh Sasuke.
Itachi tertawa pelan, kemudian keluar dari kantornya. Ia mengambil smart phone dari saku jasnya dan menelpon seseorang.
"Kau dimana, Kabuto -san?"
Terdengar jawaban samar dari seberang telpon.
"Baiklah, aku akan tiba dalam lima belas menit." Itachi bergegas menuju tempat pertemuannya yang memang berada dalam gedung yang sama.
.
.
.
.
.
Sakura menggerutu kesal, melirik jam tangan pink di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga puluh menit lebih ia menunggu paman tersayangnya disini, namun masih belum ada tanda-tanda kemunculannya. Merasa sangat bosan hanya diam dan duduk saja di ruangan ini sendiri, gadis itu memilih untuk mencari sesuatu untuk dimakan.
Kaki jenjangnya melangkah ringan menyusuri lorong-lorong yang lumayan sepi karena sebagian besar pegawai kantor ini sudah pulang. Setelah pulang nanti, Sakura ingin membuat perhitungan dengan Kabuto. Seharian mengikuti pamannya kesana kemari mengurusi pekerjaannya membuatnya frutasi, ia ikut bersama pamannya karena ingin refreshing bukannya malah seperti ini.
Sakura hanya bisa meratapi nasibnya, memiliki ayah yang sangat protektif dan paman menyebalkan memang benar-benar menjengkelkan. Namun, tidak pernah terbersit kebencian atas sikap dua pria dewasa itu padanya (walau terkadang menjengkelkan), ia malah bersyukur masih mendapat perhatian seperti ini.
Sejujurnya, Sakura tidak tahu dimana bisa menemukan café atau cafetaria di gedung sebesar ini, namun ketika hidungnya mencium aroma yang langsung membuat perutnya bergemuruh, Sakura terlihat antusias mengikuti arah aroma itu berasal.
Akhirnya, penciumannya membawanya ke tempat ini, Sakura berdiri di depan sebuah cafetaria.
Dengan senyum lebarnya, gadis itu langsung masuk dan memilih untuk duduk di sebuah meja yang berada di pojok. Gadis itu yakin, pamannya akan lama mengurus bisnisnya dan daripada menunggu tidak jelas begitu, lebih baik mengisi perutnya saja.
.
.
Sasuke menggerutu rendah, mengutuk Itachi yang meninggalkannya dengan tugas serumit itu. Katanya dia hanya harus memeriksanya sedikit tapi nyatanya tidak. Ah, kakaknya iu memang menyebalkan. Pemuda Uchiha itu membiarkan saja kertas-kertas berserakan di atas meja kaca dan meninggalkannya untuk mencari makan karena tubuhnya terasa lesu karena kurangnya nutrisi.
Sasuke memilih untuk pergi ke tempat biasanya ketika ingin makan di kantor ini. Letaknya tidak jauh dari ruangan kakaknya, dan tempatnya cukup nyaman dan damai.
Dari dinding kaca, Sasuke melihat tempat yang ditujunya cukup sepi karena hanya ada beberapa meja yang terisi. Mata hitamnya memperhatikan beberapa pelanggan yang sepertinya tengah makan malam dan ada beberapa yang hanya mengobrol santai, mungkin mereka bersantai sejenak sebelum pulang.
Kemudian, pandangannya tanpa sengaja menangkap warna merah muda yang membuatnya kaku seketika.
Apakah ia delusi karena keadaan perutnya atau memang gadis yang tengah duduk di pojokan itu benar-benar dia.
Sasuke melangkah ragu menghampiri gadis yang tengah menyesap minumannya, kedua tangan yang terselip di saku celananya terasa lembab karena keringat. Ya, Sasuke tengah gugup, takut dan kaget. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan gadis itu disini, padahal sebelumnya ia sudah menunggu di rumah dosennya selama berjam-jam.
Gadis itu masih belum menyadari kehadiran Sasuke, ia masih sibuk dengan makanannya di atas meja. Sasuke sendiri masih diam, berdiri kaku di belakang kursi Sakura.
Sasuke membuka mulutnya tapi tidak ada kata-kata yang keluar darisana. Ingin rasanya ia menerjang Sakura, membawanya dalam pelukan dan mencium serta melakukan apapun untuk menyalurkan kerinduannya. Namun Sasuke berusaha menahannya, ia tidak ingin menakuti gadis itu.
"Permisi, boleh saya…" Sasuke berusaha kuat untuk menjaga suaranya yang bergetar, kepalan tangannyapun semakin kencang.
Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat ketika Sakura berbalik dan menatap dirinya dengan mata hijau besar bening itu, bahkan Sasuke bisa melihat pantulan dirinya dari bola matanya. Napasnya tercekat saat gadis merah jambu itu tersenyum padanya dengan lembut. Bagaimana ia sangat merindukan gadis ini, senyumannya, kilauan matanya dan rasa yang meletup-letup di dadanya seolah memberikan harapan baru setelah jatuh dalam titik terendah dalam hidupnya.
"Kau yang waktu itu 'kan?" Sakura tersenyum pelan, mempersilakan Sasuke duduk.
Sasuke mengangguk pelan, kemudian duduk di depan Sakura. "Aku Sasuke," ujarnya memperkenalkan diri.
Sakura terkikik entah karena apa. "Aku Sakura, senang melihatmu lagi, Sasuke-san," balas Sakura.
Sasuke mengangguk singkat, kemudian menghela napas berat. Sakura benar-benar tidak tahu dirinya, rasanya sakit sekali. Tapi setidaknya, Sakura benar-benar nyata dan sekarang tengah duduk di hadapannya.
"Sakura, aku…" Sasuke benar-benar tidak tahu harus bericara apa meskipun ada begitu banyak hal yang ingin dibicarakannya.
"Ada apa, Sasuke-san?" tanya Sakura menagngkat kepalanya dari piringnya.
Sasuke menggeleng pelan, "Panggil Sasuke saja," pintanya singkat.
"Oke," kata Sakura menyanggupi.
Baru saja makanan Sasuke datang, Sakura terlihat bersiap-siap untuk pergi.
"Mau kemana?" Sasuke menatap Sakura, sorot matanya memancarkan kerinduan yang sangat.
"Pamanku sudah menunggu di luar, aku harus pulang," desah gadis merah jambut sembari mengambil beberapa uang kertas dan menaruhnya di atas meja. "Senang bertemu lagi, Sasuke." Sakura tersenyum cerah dan menatap Sasuke dengan binar mata bahagia. "Sampai jumpa lagi" Sakura langsung berlari kecil karena Kabuto menelponnya.
Gadis itu menggerutu di setiap langkahnya, namun ia tidak bisa menyembuyikan senyum tipis yang terpatri di bibirnya semenjak keluar dari cafetaria. Hari ini ia benar-benar senang, entah karena akhirnya bisa keluar rumah(meski hanya mengekori pamannya mengurusi pekerjaan) atau karena bertemu lagi dengan Sasuke. Kendati baru bertemu, Sakura merasa seperti sudah mengenal pemuda itu bertahun-tahun sebelumnya.
Sasuke sendiri menatap punggung Sakura yang perlahan menghilang dari pandangannya. Desahan lolos dari bibirnya mengingat kata terakhir Sakura.
"Ya, sampai jumpa lagi, Sakura…" gumam Sasuke tersenyum tipis.
Semoga saja takdir baik kali ini berada dipihaknya.
.
.
.
TBC
.
.
Aaa, sudah lama yaa, mudahan ada yg masih inget fict ini ahahaha
Terimakasih untuk riview2nya dan juga PM2 yg ngingetin fict ini buat diupdate hehehe
Trus, saya juga mau minta maaf karena apdetnya luamaa, banyak kendala sih #plak
Pokoknya terima kasih untuk kalian yang sudah mau baca, ngefollow, ngefave fict ini…terima kasih banyak dan satu lagi maaf juga kalo masih banyak typo TT
Riview, concrite please :D