Kimimaro tersenyum tipis, "Keberadaan putri cahaya beserta rombongannya, Zabuza-sama."

Iris Zabuza melebar, "Jadi kau sudah tahu dimana mereka?"

Kimimaro tidak menjawab. Hanya segurat senyuman saja sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Zabuza. Lelaki itu kembali tertawa keras. Ia kemudian berjalan ke arah pedangnya yang menancap dan mengangkatnya dari lantai kayu itu. "Akhirnya..."

"SREEEKK..."

Suara gesekan kayu dengan besi kembali bergema di ruangan itu.

Lelaki itu kembali menyeringai lebar, "Pertunjukkan akan segera dimulai..." Tawanya pun kembali menggelegar.

.

.

.

Disclaimer:

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning!

AU, Just a Little Bit of Romance, Almost full with action/adventure

Kimi wa Mamotte © YoruChan Kuchiki

.

.

.

Kepala Hayate mendadak berdenyut nyeri ketika yang ia tangkap pertama kali sesampainya di rumah adalah keadaan yang benar-benar kacau. Nyaris sepenuhnya berantakan padahal ia sudah benar-benar lelah hari ini. Perempatan siku-siku di dahinya sudah tidak bisa tertahan ketika rombongan gembala asing tersebut malah memasang cengiran kuda mereka tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN DI RUMAHKU?!" Dan ketiganya hanya bisa menutup telinga mereka rapat-rapat saat Hayate mengeluarkan teriakan frustasinya.

Menyaksikan pemandangan di depannya membuat Sayaka terkekeh geli. Gadis itu merasa rindu. Ya, seolah – olah pemandangan seperti itu sering ia saksikan. Perasaan yang damai, erat dan begitu hangat.

"Ini adalah pesta penyambutan untuk Sakura-sama." Ino berjalan menghampiri Sayaka kemudian menggaet tangan gadis dan membawanya masuk.

Wajah Ino nampak lebih ceria dari sebelumnya walaupun ekspresi Sayaka masih bingung seperti pertama mereka bertemu. Sayaka merasa tidak enak karena di saat seperti ini dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa dan berkata apa. "Anu—aku..."

"Sakura-sama tidak perlu segan. Kami mengerti, Sakura-sama pasti sedang bingung sekali. Tidak mengingat apapun tentang diri Anda juga tentang kami." Ino meletakkan kedua tangannya di depan dada. "Tapi... kami akan tetap menunggu hingga ingatan Anda kembali. Karena itu, kami akan terus ada di sisi Anda. Anda tidak perlu mencemaskan apapun." Senyum itu nampak begitu tulus bagi Sayaka. Membuat gadis itu tersentuh.

Seandainya memang benar ia adalah Sakura seperti yang mereka katakan. Seandainya mereka benar-benar temannya. Betapa bahagianya...

Ino mengedarkan pandangannya ke tiga temannya yang lain yang berada di belakangnya. "Nah, karena Sakura-sama masih belum mengingat kami. Maka kami akan memperkenalkan diri kami."

Dalam hitungan detik baik Ino, Sai, Naruto dan Shikamaru berlutut di depan gadis tersebut. Membuat gadis itu kembali kebingungan bercampur kaget.

"Ino Yamanaka—salah satu enam bintang yang menguasai elemen air. Sumpah setiaku adalah untuk melindungimu, Sakura-sama..."

"Sai Shimura—salah satu enam bintang yang menguasai elemen angin. Sumpah setiaku adalah untuk melindungimu, Sakura-sama..."

"Naruto Uzumaki—salah satu enam bintang yang menguasai elemen api. Sumpah setiaku adalah untuk melindungimu, Sakura-sama..."

"Shikamaru Nara—salah satu enam bintang yang menguasai elemen tanah. Sumpah setiaku adalah untuk melindungimu, Sakura-sama..."

Menyaksikan pemandangan itu membuat Sayaka sedikit meringis. Ia lalu menggulirkan pandangannya ke arah Hayate. Pemuda itu juga berekspresi sama dengannya. Seolah tidak percaya dengan apa yang ada di hadapan mereka.

Sayaka kemudian menatap Sasuke yang juga tengah menatapnya dalam. Pemuda itu tersenyum lembut kepadanya. Tidak ada keraguan sama sekali dalam sorot mata kelam itu. Entah mengapa, gadis itu menjadi tenang begitu melihat sorot mata tanpa keraguan itu. Seakan pancaran mata itulah yang ia harapkan. Wajah itulah yang ia rindukan selama ini.

Sayaka menghela napas perlahan. Ia mencoba mengumpulkan keberanian di dalam dirinya. "Aku... mungkin aku sama sekali belum bisa mengingat kalian satu per satu. Namun, untuk semua yang sudah kalian lakukan padaku..." Emerald-nya memicing ke sembarang arah.

"Terima kasih... Sungguh, terima kasih..." Untuk yang pertama kali ia tersenyum kepada semuanya. Membuat yang lain juga ikut tersenyum kepadanya sampai aquamarine milik Ino berkaca-kaca karenanya.

Mereka semua hanya rindu. Rindu kepada sosok Sakura Haruno yang selalu bersama mereka... Sejak dulu dan sekarang.

.

.

.

"Kusuburu..."

Naruto merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada kemudian meniupkan api yang keluar dari mulutnya. Seketika, tumpukan kayu dan ranting-ranting kecil itu menyala membentuk sebuah unggun.

Layaknya habis menonton pertunjukan sulap, Sayaka pun menepuk tangan melihat aksi Naruto barusan. "Hebat..." gumamnya singkat.

Naruto yang grogi karena pujian dari gadis musim semi itu malah memberikan cengiran kuda khasnya serta menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Ah, itu biasa saja, Sakura-sama."

Sayaka menyentuh dagu dengan satu telunjuk. "Tapi... Bagaimana bisa kau melakukannya? Apa kau punya kekuatan super?"

Naruto sedikit tercengang mendengar pertanyaan polos yang Sayaka lontarkan. Tapi pertanyaan itu memang wajar bagi gadis yang sedang kehilangan ingatannya. Pemuda itu menunjuk-nunjuk dirinya sendiri menggunakan ibu jarinya. "Itu karena aku adalah seorang pengendali api. Karena itulah, aku dapat menggunakan api sesuka hatiku." Ia kembali membanggakan dirinya.

Ada satu hal yang terus mengganjal di benak Sayaka sejak tadi. Baik Sasuke, Ino, Sai, Naruto maupun Shikamaru, semuanya mengatakan tentang enam bintang. Namun jika dihitung kembali, mereka semua hanya ada lima. Selain itu, Sayaka juga sama sekali tidak melihat tanda-tanda kedatangan orang keenam yang masuk ke dalam rombongan tersebut.

Sayaka mencoba berpikir keras untuk mengingat siapa orang keenam tersebut. Namun sekeras apapun ia mencoba untuk mengingatnya hasilnya tetap saja nihil. Ia masih belum bisa meneemukan jawaban apapun.

"A—anu..."

Pemuda berambut pirang jabrik itu menoleh ketika merasa Sayaka memanggilnya. "Ada apa, Sakura-sama?"

"Tadi saat memperkenalkan diri, kalian bilang enam bintang. Tapi setelah kuhitung jumlah kalian hanya lima. Lalu siapa satu lagi?"

Naruto tersenyum lembut kemudian menjawab, "Tentu saja itu Anda, Sakura-sama."

Sayaka tentu kaget dan tidak percaya mendengar jawaban Naruto. Bagi dirinya yang sekarang, itu adalah sesuatu hal yang mustahil terjadi. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, "T—tapi itu tidak mungkin. Bahkan aku tidak memiliki kekuatan dan kemampuan seperti dirimu."

Naruto menggerak-gerakkan satu telunjuknya di udara ke kiri dan kanan. Ia lalu tersenyum lebar menampilkan deretan-deretan giginya yang rapih. "Anda salah besar, Sakura-sama. Justru karena elemen cahaya yang Anda kuasai, maka Anda menjadi istimewa."

Sayaka semakin penasaran. Ia jadi ingin tahu bagaimana dirinya dulu. Kekuatan macam apa yang ia miliki. Lalu kenapa ia diistimewakan oleh teman-temannya. Semua pertanyaan itu berkumpul menjadi satu. Layaknya kepingan puzzle yang masih bercecer dan belum tersusun sempurna.

"Benarkah begitu?" Sayaka mengangkat kedua tangannya lalu memperhatikannya dengan seksama. "Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa."

Naruto tertegun sejenak kemudian kembali tersenyum. Ia melangkah mendekati Sayaka kemudian menggenggam kedua tangan mungil tersebut. "Tangan ini sudah menyelamatkan puluhan bahkan ratusan nyawa orang-orang. Itulah kekuatan istimewa yang Anda miliki."

Tiba-tiba sekelebat ingatan muncul di dalam kepala Sayaka. Bayangan akan dirinya sendiri di masa lalu yang tengah berada di tempat yang dipenuhi dengan beragam bunga. Begitu hangat dan indah.

"Sakura-sama adalah pemilik kekuatan terbesar di antara kelima bintang yang lainnya."

Sayaka terdiam mendengarnya. Ia menundukkan kepala. Seandainya ia tidak kehilangan ingatannya. Atau seandainya ia tidak bertemu dengan mereka semua. Apa yang akan ia lakukan saat ini?

Suara deheman dari seseorang yang tiba-tiba datang mengagetkan Naruto dan juga Sayaka. Pemuda berkuncir nanas itu datang membawa setumpukan kayu lainnya. Ia menjatuhkan tumpukan itu tepat di depan mereka berdua kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya.

"Kalau Sasuke melihatmu, kau bisa dihajarnya, Naruto." Shikamaru melipat kedua tangannya di depan dada.

Mengerti dengan maksud Shikamaru, spontan Naruto langsung melepaskan tangannya dari Sayaka. Ia kembali memberikan cengiran khasnya.

Shikamaru menghela napas pelan ketika melihat raut wajah Sayaka yang kebingungan seolah-olah ia tidak mengerti maksud ucapan Shikamaru. "Mendokusai..."

Alis Naruto bertaut mendengar keluhan yang keluar dari bibir Shikamaru.

"Kau memang menyebalkan. Bahkan sejak dulu." Pemuda itu bersedekap sambil memandang Sayaka angkuh. "Selalu bertindak seenaknya, menyusahkan dan merepotkan orang-orang di sekitarmu."

"Jaga ucapanmu, Shikamaru!" Bagi Naruto, ucapan yang dilontarkan Shikamaru benar-benar kasar dan tidak sopan.

Seolah tidak memperdulikan protes dari Naruto, pemuda itu terus melanjutkan celotehannya sambil mengorek sebelah telinganya. "Kau kehilangan kekuatanmu dan sekarang kau kehilangan ingatanmu." Ia lalu mendesah berat. "Mungkin di antara kami, hanya aku satu-satunya orang yang tidak menyukaimu dan selalu berkata kasar padamu."

Naruto baru saja hendak memukul habis pemuda itu kalau saja ia tidak langsung melanjutkan ucapannya."Tapi... bagaimanapun juga, kau adalah sumber cahaya kami. Sumber kekuatan dari semua elemen yang ada. Orang yang harus kami lindungi."

Shikamaru menatap lurus ke dalam manik emerald Sayaka. Tanpa sadar, seulas senyum tipis melengkung dari sudut-sudut bibirnya. "Oleh karena itu, apapun yang terjadi kami akan tetap disini. Bersamamu kemudian melindungimu."

Mendengar penuturan Shikamaru tersebut membuat Naruto tercengang begitu juga dengan Sayaka. Walaupun ia tidak mengerti apa-apa dan tidak ada satu pun yang ia ingat. Perasaan hangat ini. Perasaan seakan mereka sudah lama bersama. Perasaan saling memiliki dan menjaga yang begitu erat satu sama lain. Perasaan aneh sekaligus menenagkan yang melingkup hatinya. Semuanya...

Naruto memukul telapak tangannya dengan sebelah kepalan tangan. "Yosh! Sakura-sama tidak perlu khawatir. Selama anggota kita lengkap walaupun Sakura-sama sendiri sedang kehilangan kekuatan dan ingatan..." Ia menggaruk pipinya dengan satu telunjuk kemudian kembali tersenyum lebar. "Musush apapun yang ada di depan mata pasti bisa kita kalahkan. Karena tidak ada pertunjukan yang lebih hebat selain ketika semua penguasa elemen bersatu!"

Sayaka merapatkan kedua tangannya di depan dada. Ia memejamkan matanya untuk menahan bulir-bulir air yang hampir tumpah. Hanya satu kata yang bisa ia ungkapkan. Terharu. Itulah hal yang begitu ia rasakan saat ini.

Ketika kedua manik hijau itu kembali nampak dari balik kedua kelopak yang menutupinya, gadis berambut senada dengan bunga sakura itu tersenyum. Begitu lembut dan tulus. "Arigatou, Naruto... Shikamaru..."

Keduanya pun balas tersenyum. Hari itu, untuk yang pertama kalinya ia menyebut kedua nama yang hampir terlupakan olehnya.

.

.

.

Sudah hampir setengah jam Sai berjongkok di antara ladang yang dipenuhi dengan tanaman-tanaman yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Salahkan Ino yang bersikeras untuk membuat pesta penyambutan kembali malam ini. Gadis itu begitu bersemangat untuk mengembalikan ingatan Sayaka dan berencana untuk membuat acara makan bersama nanti malam. Malangnya, Sai malah harus bertugas untuk mencari sayuran untuk makan malam nanti.

Sai yang tidak mengerti apa-apa akhirnya memutuskan untuk bertanya dengan Hayate. Namun pemuda itu malah menjawab dengan tampang malas dan menyuruhnya untuk mencari sendiri di ladang belakang rumah. Sekarang, disinilah Sai berakhir. Di tengah ladang sambil berjongkok dengan dua ikat tanaman yang tidak diketahuinya di kedua tangan.

"Yang ini bisa dimakan tidak ya?" Pemuda berkulit pucat itu bergumam sendiri sambil mengangkat tangan kanannya.

Ia kemudian menurunkan tangan kanannya dan gantian mengangkat yang sebelah kiri. "Kalau yang ini bisa tidak?"

Sai menghela napas berat. Ia hampir frustasi melihat keranjangnya yang masih kosong. Kalau Ino sampai tahu, gadis itu bisa menghajarnya habis-habisan.

"Yang di sebelah kanan itu adalah tanaman obat. Jadi bukan untuk dimakan."

Sai agak berjengit ketika mendengar suara yang tidak asing baginya. "S—sakura—sama..."

"Hayate biasanya menggunakan tanaman itu sebagai obat untuk menghilangkan rasa sakit pada luka." Sayaka tersenyum kemudian ikut berjongkok dan memperhatikan tanaman yang ada di tangan kiri Sai.

"Aaa, kalau yang ini bisa dimakan. Hayate pernah membuatkanku sup dengan tanaman ini dan rasanya sangat enak."

Sai tertegun sejenak kemudian tersenyum tipis. Bola mata kelamnya memicing ke sembarang arah. "S—sumimasen Sakura-sama... Aku memang tidak ahli dalam hal seperti ini."

"Aaa, tidak perlu minta maaf. Aku malah senang kalau bisa membantu."

Sayaka mulai memetik beberapa tanaman yang biasa Hayate gunakan untuk mereka masak. Gadis itu memetiknya satu per satu kemudian meletakkannya ke dalam keranjang. Keranjang yang tadinya kosong pun sedikit demi sedikit mulai terisi.

Sai menatap gadis itu dalam diam. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba terbesit di benaknya. "Aku minta maaf."

Sayaka menoleh. Menatap heran ke arah pemuda itu. "Untuk apa?"

"Waktu itu... seandainya aku tidak meninggalkan Anda dan Ino berdua. Seandainya aku menyadari musuh yang akan menyerang. Seandainya aku datang lebih cepat." Iris jelaganya kembali memicing. "Anda tidak akan jadi begini."

"Aku sebenarnya tidak mengerti dengan semua ucapan kalian. Tentang enam bintang, tentang kekuatan yang kalian dan aku miliki. Aku sama sekali tidak ingat apapun. Tentang kalian semua serta diriku."

Sayaka meletakkan tanaman terakhirnya ke dalam keranjang. "Tapi saat kalian memanggilku dengan sebutan 'Sakura-sama' dengan wajah tersenyum dan begitu tulus membuat hatiku tersentuh dan merasa hangat. Aku merasa kalau dulu aku selalu berada bersama kalian, saling bercengkrama, bercanda dan memanggil nama satu sama lain tanpa ada keraguan."

"Kadang aku berpikir kalau memang aku adalah orang yang kalian maksud, pasti betapa bahagianya diriku waktu itu. Namun... aku juga berpikir, kalau dia bukan aku. Kalau kalian salah, akan bagaimana jadinya? Apa kalian akan tetap memperlakukanku sama? Apa keluarga atau teman-temanku yang sebenarnya tidak mencari keberadaanku?" Gadis itu membiarkan poninya menutupi wajahnya.

Sai tertegun mendengar penuturan gadis di hadapannya tersebut. "Karena itulah kami semua berkumpul disini yaitu untuk membantu Sakura-sama mengembalikan ingatan Anda. Karena kami tidak akan pernah salah." Sai tersenyum lembut kepada Sayaka.

"Aku sangat menghormati Sakura-sama. Hidupku bahkan jiwaku akan kupertaruhkan demi melindungi Anda." Sai menyilangkan tangan kanannya ke bahu sebelah kiri. Kepalanya sedikit ia tundukan untuk menunjukkan rasa hormatnya.

Melihat itu, Sayaka kembali tersenyum. Ia menepuk sebelah bahu Sai sambil berujar, "Kau memang pemuda yang baik, Sai."

.

.

.

Ino harus berjalan terseok-seok akibat tangkapan besarnya untuk makan malam hari ini. Sebagai seseorang yang menguasai elemen air, bukan hal sulit bagi Ino untuk menangkap beberapa ikan serta hewan-hewan air lainnya sebagai santapan. Gadis itu berhenti sejenak di jalan setapak yang ia lewati. Ia menundukkan badannya dan menyentuh kedua lututnya dengan tangan. Napasnya kelihatan terengah-engah akibat kelelahan.

"Kenapa aku malah melakukan ini sendirian?" gerutunya entah dengan siapa.

"Naruto kurang ajar! Bukannya membantuku, dia malah kabur entah kemana!" Kini kedua tangannya beralih mendecak pinggang. Dengan wajah yang ditekuk sebal, Ino kembali menarik tali jaringnya yang berisi penuh hasil tangkapan tadi.

"Sakura akan merasa tidak enak jika bertemu denganmu yang wajahnya ditekuk seperti itu." Ino menghentikan langkahnya ketika mendengar suara baritone lain yang ia kenal.

Kepalanya ia tolehkan kesana kemari untuk mencari dimana suara itu berasal. Alisnya langsung mengkerut ketika mendapati sosok Sasuke yang tengah duduk di atas cabang pohon besar yang ada di seberangnya. "Sasuke."

Pemuda itu menoleh sejenak ketika namanya disebut. "Bantu aku membawa ini!" Ia menunjuk jaring berukuran besar yang ia seret sejak tadi.

Bukannya turun dan membantu, pemuda itu malah memalingkan wajahnya seolah tidak peduli. Membuat perempatan siku-siku di dahi Ino membesar.

"Dasar! Minta tolong denganmu pun percuma saja!" rutuk Ino sebal.

Daripada bertengkar lama-lama dengan pemuda itu, Ino akhirnya memilih untuk kembali menyeret jaring besar itu sendirian. Hari sudah mulai gelap. Mereka bisa telat makan malam kalau Ino tidak segera kembali.

Gadis itu melangkahkan kakinya kembali. Setelah jarak beberapa meter melewati Sasuke, ia berhenti sejenak kemudian menoleh lagi ke arah pemuda itu. "Kau tidak pergi menemuinya? Bagaimanapun, mungkin saja kehadiranmu akan berpengaruh besar dalam ingatan Sakura-sama."

Sasuke masih bergeming. Ia tidak merespon satu pun kalimat Ino. Pandangannya lurus ke lembayung senja di atas sana yang menyembul di balik pepohonan besar yang menutupi. Ino menghela napas pelan melihat wajah datar Sasuke yang seolah-olah tidak mempedulikan apapun.

Ino kembali berbalik badan—memunggungi Sasuke. "Keras kepala! Padahal kau lah orang yang paling mencemaskan keadaannya." Ia kemudian kembali melanjutkan perjalanannya.

"Kembalilah sebelum makan malam, semua akan berkumpul di halaman depan." Ino mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda perpisahan.

Diam-diam Sasuke mengalihkan pandangannya—menatap punggung Ino yang lambat laun menghilang di balik turunan jalan setapak tersebut. Pemuda bermata onyx itu memejamkan matanya. Ia bukannya tidak peduli ataupun menutup mata terhadap keadaan gadis musim semi itu. Hanya saja, melihat perbedaan gadis itu sekarang—gadis yang dulu selalu tersenyum dan memanggil namanya dengan riang tiap kali bertemu. Bukan berwajah takut dan kebingungan setiap kali memandangnya.

Tiap mengingat itu, membuat hati Sasuke teriris berkali-kali lipat. Mungkin, ia hanya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Lalu kembali menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi.

"Sakura..."

Suara itu terdengar begitu lirih. Ia hanya tidak mau. Ya, ia tidak mau kehilangan gadis itu untuk yang kedua kalinya.

.

.

.

Ino melambaikan tangannya ketika ia melihat gestur Sai dan Sakura dari kejauhan. Ia mempercepat langkahnya agar segera sampai ke tempat mereka. Tanpa menunggu diperintah, Sai langsung menyusul Ino dan menggantikannya membawa jaring besar tadi.

"Ah, Sai memang bisa diandalkan." Ino tersenyum penuh arti. Menyaksikan itu Sai meringis.

Bahkan pemuda setenang Sai takut dengan Ino yang menurutnya lebih liar dan buas kalau kehendaknya tidak dituruti.

"Sakura-sama..." Ino berlari menghampiri gadis yang tengah membawa keranjang yang penuh dengan sayuran petikannya.

Melihat itu alis Ino langsung mengkerut. Ia berdecak pinggang. "Dasar Sai pemalas! Dia malah menyuruh Sakura-sama yang melakukan pekerjaannya!"

Sayaka terkekeh geli. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak... tidak seperti itu. Sai tadi nampaknya kebingungan memilih tanaman yang bisa dimakan sehingga aku yang membantu menggantikannya."

"Seperti yang kuduga. Dia memang payah dalam hal seperti ini." Kedua manik aquamarine Ino menyipit.

"Mereka semua memang payah! Tidak ada yang menjalankan tugasnya dengan benar!" celoteh Ino panjang lebar. Sepertinya memang hanya dirinya sendiri yang paling bersemangat untuk menyiapkan acara ini.

Melihat ekspresi wajah Ino yang lucu membuat Sayaka terkikik pelan. "Tidak, semuanya sudah bekerja keras. Aku justru berterima kasih pada kalian semua."

Ino menghela napas panjang. Ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Masih dengan tampang kesal, ia kembali berceloteh ria tentang perjalanannya barusan dan bagaimana bisa ia mendapat tangkapan sebanyak itu. Ia bercerita layaknya Sayaka akan mengerti semuanya dan berharap kalau sedikit demi sedikit ingatan gadis itu kembali pulih.

"Satu lagi Sasuke! Bukannya membantu, dia malah menyendiri di atas pohon dan tidak mempedulikanku yang kesusahan membawa jaring itu! Awas saja nanti! Tidak akan kuberi jatah satu ikan pun!" gerutu Ino berapi-api.

Walaupun tidak mengingat apa-apa, ada satu hal yang selalu mengganjal di hati Sayaka. Perasaan itu selalu mengusik pikirannya. Ada yang aneh setiap kali gadis bermata emerald itu menatap pemuda bernama Sasuke. Pemuda yang menemukannya pertama kali.

Tiap kali onyx itu bersiborok dengan manik hijaunya, ada perasaan sakit dan nyeri yang menjalar di hati. Seolah membuka luka lama yang tertutupi. Seakan ada luka mendalam yang ia sembunyikan di balik sana.

"Anu—Ino..."

Gadis yang bersangkutan menoleh ketika namanya disebut. "Iya, Sakura-sama?"

"Pemuda bernama Sasuke... Kenapa tiap menatap matanya, hatiku selalu sakit? Seolah-olah ia menyimpan kesedihan dan kesepian jauh di dalam hatinya." Agak ragu tadinya. Tapi akhirnya, pertanyaan itu berhasil keluar dari bibir Sayaka.

Ino bergumam singkat kemudian tersenyum hangat. Kedua tangannya beralih menyentuh bahu kecil Sayaka. "Ternyata, walaupun Sakura-sama kehilangan ingatan, Anda tidak pernah kehilangan perasaan terhadap kami. Karena itulah aku sangat menyukai Sakura-sama."

"Ino..."

Sayaka terenyuh mendengar penuturan Ino barusan. Ia sadar, betapa mereka semua begitu mencintai dirinya. Betapa mereka semua begitu menghormati dirinya. Gadis itu semakin penasaran, apa yang telah dilakukannya dulu sampai-sampai mereka memperlakukannya dengan baik. Bahkan sangat baik.

"Kami semua begitu sedih saat Anda tidak mengingat satu pun dari kami. Tapi... dibandingkan itu, Sasuke jauh lebih menderita." Iris aquamarine-nya beralih menatap lembayung senja yang lambat laun berganti kehitaman.

Sayaka menelengkan kepalanya. "Kenapa begitu?"

Ino beralih menatap gadis di hadapannya kemudian tersenyum lebar. "Karena tidak ada orang paling dicintainya di dunia ini selain Anda."

Dan jawaban singkat Ino berhasil membuat guratan merah melintang di wajah putih Sayaka. Gadis itu menunduk karena malu. "C—cinta?"

"Sejak dulu kalian memang punya hubungan yang spesial," goda Ino sambil menyenggol-nyenggol Sayaka dengan sebelah sikutnya.

Benarkah mereka punya hubungan lain yang lebih dari sebatas pertemanan? Benarkah itu alasan yang membuat perasaan aneh itu kerap kali muncul di dalam hati Sayaka? Semua pertanyaan itu berkecamuk menjadi satu di dalam hati Sayaka.

Ino baru saja akan menggoda Sayaka kembali kalau saja tidak mendengar suara alunan melodi yang tiba-tiba melantun di keheningan senja. Alunan yang begitu lembut dan lirih seakan menandakan kesepian serta kesedihan. Baik Ino maupun Sayaka sama-sama terhipnotis oleh alunan indah tersebut.

"Ini kan..."

Perkataan Ino harus kembali menggantung akibat Sayaka yang tiba-tiba sudah berlari meninggalkannya. "Ah, Sakura-sama!" teriaknya mencoba menghentikan gadis itu.

Namun langkah gadis tersebut sudah terlanjur jauh sehingga sekuat apapun Ino memanggilnya tetap tidak akan terdengar. Ino masih bergeming di tempat. Ia menghela napas pelan. "Pada akhirnya ia tetap mengikut nalurinya. Kau tidak akan kehilangannya lagi, Sasuke..."

.

.

.

Sayaka sendiri tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba berlari meninggalkan Ino sendirian. Ia hanya mengikuti kata hatinya bahwa ia harus pergi. Bahwa sepertinya ia mengenal dengan jelas lantunan melodi tersebut dan bahwa sepertinya ia tahu siapa orang yang memainkan melodi itu.

Sayaka sudah berlari terlalu jauh. Otot-otot kakinya sudah pegal dan terlalu lemas untuk sekedar melangkah lebih jauh lagi. Lantunan melodi tadi pun tiba-tiba menghilang. Tidak lagi terdengar. Hanya menyisakan suara gemerisik angin sore yang bergesekan dengan dedaunan kering yang gugur.

"Kau datang rupanya."

Sayaka menoleh ke kanan dan kiri ketika suara baritone tersebut menyeruak indera pendengarannya. Iris klorofilnya kemudian menangkap sosok Sasuke yang tengah duduk santai di atas cabang pohon besar dan tinggi. Persis seperti yang dikatakan Ino.

Pemuda itu beralih menatap Sayaka. Hening menyelimuti keduanya.

"Apa yang membuatmu tergesa-gesa? Karena ada sesutu yang penting menyangkut diriku? Atau karena alunan irama yang kau dengar dari suling daunku?" Ia mengangkat sebelah tangannya yang mencapit sehelai daun berukuran sedang. Daun yang ia gunakan untuk membuat lantunan melodi indah barusan.

Sayaka terdiam. Sejujurnya jawaban gadis itu bukan kedua-duanya. Sasuke melompat turun dari atas pohon yang terbilang tinggi itu. Hal itu tentu saja membuat Sayaka kaget bercampur cemas. Pemuda itu kemudian melangkah mendekati Sayaka. Tatapannya masih lurus ke arah gadis itu.

"Dulu...kau juga sering duduk di atas pohon seperti itu. Kemudian memainkan melodi tadi dengan seruling daun milikmu." Onyx-nya beralih menatap pohon besar yang ia duduki tadi.

"Semua orang mencemaskanmu, takut kau nanti akan terjatuh dan terluka. Tapi kau tipe orang yang keras kepala sehingga kau sama sekali tidak takut dan tetap tidak mau turun dari sana." Onyx-nya kembali bergulir menatap Sayaka. Gadis itu memperhatikannya begitu seksama. Mencoba mengingat apa yang ia ceritakan.

"Kau selalu beralasan, langitnya terlihat lebih indah dari atas."

Sayaka mengeratkan tangannya di depan dada. Seberapa kuat ia mencoba, tetap saja masih belum ada satu pun hal yang bisa ia ingat.

"Tapi... setiap kali aku datang dan mengulurkan tanganku kepadamu. Kau selalu tersenyum riang dan meloncat turun agar jatuh ke pelukanku."

"B—begitukah?" Sayaka menundukkan wajahnya untuk menutupi pipinya yang mulai memerah.

Sasuke tersenyum tipis. "Itu kebiasaan burukmu."

"Maaf..."

Sasuke tertegun sejenak lalu mengangkat bahunya. "Untuk apa? Untuk belum bisa mengingat apapun?" Ia memalingkan wajahnya ke langit yang mulai menggelap.

Iris Sayaka memicing ke sembarang arah. Lagi. Perasaan nyeri itu kembali menjalar bahkan semakin lebar. "Itu juga salah satunya."

Hening menyelimuti keduanya. Sayaka tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Pribadi Sasuke yang dingin dan tertutup membuat gadis itu sungkan untuk memulai pembicaraan.

"Aku akan melindungimu, Sakura..."

Sayaka tertegun mendengarnya. Entah mengapa, wajahnya malah semakin memerah.

"Kemudian apa jawabanmu?" Mata sekelam langit malam itu kembali menatap Sayaka. Memberikan pandangan penuh arti dan harap.

"Eh?"

Hening agak lama ketika Sasuke menunggu jawaban yang dari gadis tersebut. Tapi nyatanya, gadis itu malah tidak mengeluarkan kata sepatah pun. Sasuke tertawa hambar—lebih tepatnya menertawai diri sendiri. "Masih belum ingat ya?"

.

.

.

Mau tidak mau Hayate juga harus ikut sibuk akibat lima tamu dadakan yang datang ke rumahnya. Belum lagi gadis pirang dikuncir yang ia lupa siapa namanya, malah menyerukan untuk membuat acara makan malam bersama. Dengan alasan sebagai pesta penyambutan terhadap Sayaka. Melihat rumahnya yang menjadi berantakan karena mereka saja sudah cukup membuat kepala Hayate pusing.

Pemuda itu memberesi lemarinya yang berantakan. Ia tidak sengaja menjatuhkan sebilah pedang kecil dari lemari tersebut. Pedang itu memiliki panjang tidak lebih dari setengah meter. Pedang yang ia temukan saat menyelamatkan Sayaka. Hayate sengaja menyimpannya untuk bisa dikembalikan pada gadis itu nanti.

Pemuda itu memperhatikan pedang tersebut dengan seksama gagangnya memiliki ukiran-ukiran yang rumit. Ada satu hal yang tiba-tiba terbesit di benaknya. Saat menemukan Sayaka, gadis itu memegang erat pedang tersebut. Jika Hayate pikirkan lagi, apa yang membuat gadis lembut sepertinya menggunakan pedang. Kalau cerita mereka semua benar. Apa mungkin saat itu Sayaka sedang terdesak oleh musuhnya?

Berpikir keras pun tidak akan memberikan jawaban apa-apa bagi Hayate. Ia menyelipkan pedang tersebut ke dalam bajunya. Pemuda itu keluar rumah dan berniat mencari Sayaka. Namun ia tidak menemukan keberadaan gadis itu di halaman depan rumahnya. Padahal hari sudah mulai gelap tapi Sayaka masih belum kembali.

"Hei! Kau lihat Sayaka?" Hayate menghampiri Ino kemudian menepuk bahunya dari belakang.

Gadis itu menoleh. Menghentikan sejenak kegiatan bakar ikan yang sedang ia lakukan. "Ah, sepertinya masih disana bersama Sasuke." Ia menunjuk jalan setapak yang tadi Sayaka lewati.

Alis Hayate mengkerut. Lagi-lagi bersama pemuda angkuh itu. Hayate hendak berlari mengejar mereka kalau saja tangan Ino tidak menahannya tiba-tiba. "Mau apa?"

Hayate menoleh. Raut wajahnya kelihatan tidak suka. "Aku ada perlu dengan Sayaka." Ia menepis kasar tangan Ino lalu pergi tanpa mempedulikan rutukannya.

Ino berdecih sebal. "Dasar keras kepala!"

.

.

.

"Tidak apa kalau masih belum ingat. Aku tidak akan memaksamu." Sasuke memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.

Sayaka hanya mengangguk pelan. Mau mengucapkan maaf pun, mungkin Sasuke sendiri sudah bosan mendengarnya.

"Ayo pulang. Mereka sudah menunggu." Sasuke melangkahkan kakinya melewati Sayaka.

Sayaka masih bergeming di tempat—memandangi punggung Sasuke yang berjalan di depannya. "I—iya..." Sedetik kemudian ia menyusul langkah pemuda itu.

Mata Sasuke tiba-tiba menyipit melihat kilatan putih yang muncul di langit hitam kala itu. Tak sampai beberapa detik kemudian, irisnya berubah membulat. Dengan segera ia berbalik badan lalu berlari ke arah Sayaka. "AWAAS!" Ia mendorong jatuh gadis itu hingga keduanya tersungkur ke tanah.

Sayaka meringis kesakitan karena gerakan refleks Sasuke. "A—aduh..."

"Tetaplah di belakangku." Sasuke mendirikan badannya dan berjalan satu langkah di depan Sayaka. Sebelah tangannya ia rentangkan untuk melindungi gadis itu.

Kilatan putih yang tiba-tiba muncul itu hampir saja jatuh mengenai Sayaka kalau pemuda itu tidak segera menghindarinya. Tanah pijakan mereka itu pun seketika menjadi reruntuhan. Ledakan tadi membuat lubang yang sangat besar dan juga tumbangnya pohon-pohon yang ada di sekitarnya.

Asap putih pun mengepul dengan tebal di antara reruntuhan kerusakan tadi. Onyx Sasuke menyipit, waspada dengan apa yang menanti di balik asap tersebut. Pemuda itu masih dengan kuda-kudanya. Kalau-kalau musuh yang ada di balik asap itu akan menyerang tiba-tiba.

Alisnya semakin mengkerut, ketika yang terdengar justru adalah suara tawa yang menggema dari seorang lelaki paruh baya. Suara yang tidak asing baginya.

Dan ketika asap mulai memudar, lelaki itu muncul dengan senyuman licik di balik topengnya sambil menenteng pedang besar yang ia pikul di atas bahunya. "Lama tidak berjumpa, Sasuke..."

"Zabuza..."

.

.

.

Tsudzuku

Curhatan author :

Terlalu lama memang menelantarkan fict satu ini padahal aku sudah janji untuk mengapdetnya cepat -_-

Kesibukan sebagai mahasiswa yang baru beralih menjadi mahasiswa bangkotan semester atas emang gak bisa dinomor duakan. Ini saja baru bisa pulang ke kampung halaman setelah setahun terisolasi di perantauan :'(

Oke, cukup curhatannya! Fict ini sudah memasuki babak akhir, yang artinya chapter depan seharusnya tamat dan penuh dengan adegan pertarungan antara Sasuke dkk VS Zabuza dkk *spoileralert

Semoga chapter ini menghibur dan gak mengecewakan kalian. Akhir kata berkenan untuk memberikan sedikit review? : )

Regards

YoruChan Kuchiki