REALIZE
NARUHINA'S FANFICTION
DISCLAMER : MASASHI KISHIMOTO
STORY : N.A-SHOKUN
RATED : T semi M
WARNING: OOC, AU, TYPO, ABAL-DESU, PLOT PASARAN, DLL
DON'T LIKE DON'T READ DON'T BASH
.
.
.
Chapter 6
.
.
.
Tujuh orang yang sudah duduk mengelilingi meja makan tersebut hanya bisa makan dalam diam. Delivery makanan yang sampai beberapa saat setelah konfrontasi antara Naruto dan kedua orang tuanya membuat mereka segera meninggalkan kamar milik Naruto dan bergabung menanggapi panggilan Hinata yang mengumumkan bahwa makanan sudah selesai disiapkan.
Kushina yang pertama kali keluar dari kamar Naruto segera menghambur memeluk Hinata sembari mengucapkan untaian kata maaf dengan sedikit terisak-isak. Hinata yang sadar bahwa Naruto pasti sudah menceritakan semuanya hanya bisa mencoba menenangkannya dengan menepuk punggungnya pelan dan berkata tidak apa-apa karena semua sudah berlalu. Tindakan haru-biru yang diamati oleh si triplets dengan pandangan aneh dilihat dari ketiga pasang alisnya yang menukik turun dan sorot mata penuh selidik.
Minato yang menyadari ketiga tatapan cucunya tersebut segera menghampiri mereka dan memperkenalkan diri sebagai ayah dari Paman Naruto-nya. Disambut dengan suka cita oleh ketiga sosok mungil yang bagai cetak biru sempurna antara Hinata dan Naruto. Minato memperbolehkan mereka memanggilnya Kakek dan Kushina dengan sebutan Nenek yang tentunya direspon dengan riang gembira oleh mereka karena ini pertama kalinya mereka mempunyai kakek dan nenek.
Kembali kemeja makan, mereka semua makan dalam diam. Keempat orang dewasa tersebut sibuk dalam pikirannya masing-masing, sedangkan ketiga bocah yang masih asyik memilah-milah lauk yang akan mereka letakkan kedalam mangkok mereka tidak mengindahkan keheningan yang tiba-tiba merajai ketika mereka mendudukan diri dikursi masing-masing dan memulai acara makan malam bersama.
"Yukki, kenapa kau menatap Minato-jisan dengan pandangan seperti itu? Jangan seperti itu, tidak baik." Hinata yang pertama kali menyadari bahwa tatapan intens Yukki kepada Minato segera memperingatkan anak lelaki semata wayangnya untuk memperbaiki perilakunya.
"Tapi Ma—" Yukki meletakkan sendoknya dan akhirnya angkat bicara walau hanya dibalas dengan pelototan tajam Hinata yang membuatnya menundukan wajah dan bergumam minta maaf dengan sangat pelan.
"Yukki hanya bingung, Ma. Kakek Minato sangat mirip dengannya, minus kerutan disana-sini sih." Yukka yang mengerti apa yang dirasakan oleh Yukki mencoba untuk menyuarakan pendapat sang adik yang dipotong ditengah jalan. Adiknya memang sedikit penakut untuk mengeluarkan hak berbicaranya hingga tak jarang Yukka yang akan menggantikannya bila dirasa perlu untuk beraksi.
Hinata kembali memfokuskan dirinya pada sang anak lelaki. Memang benar bahwa Yukki mempunyai beberapa bentuk fisik yang lebih mirip ke kakeknya ketimbang ayahnya. Walaupun rambutnya berwarna indigo, tetapi tatanannya mirip Minato. Bentuk wajahnya juga, bahkan warna kulitnya yang merupakan perpaduan tan milik Naruto dan putih gading milik Hinata membuatnya mempunyai pigmen yang sewarna dengan Minato. Minato yang masih tampak gagah diusianya yang sudah tidak muda lagi pun memudahkan mereka untuk mencari persamaannya.
"Dan harusnya kau bersyukur. Kakek Minato itu tampan, berarti setelah besar kau juga akan sepertinya." Ujarnya menanggapi pendapat yang dikeluarkan oleh sang putri sulung. Menyumpit tumisan sayur dan daging yang ada dihadapannya, Hinata pura-pura bersikap tenang dalam menghadapi semua pernyataan yang menjurus pada suatu konklusi bahwa darah Namikaze mengalir dalam tubuh mereka.
"Oh ya? Berarti kalau sudah besar aku akan mirip Paman Naruto? Yah Mama! Akukan perempuan!" Untaian kalimat berisi protes itu menghentikan gerakan tangan Hinata untuk memasukan lauk yang sudah diambilnya kedalam mulutnya.
Kalimat spontan Yukko membuat Naruto segera menutupi mulutnya agar tak memuntahkan seafood yang dimakannya karena tertawa. Oh, sepolos itukah seorang Yukko? Memang sepertinya benar. Yukko berbeda dari Yukki dan Yukka yang seperti orang yang lebih pintar diusianya yang masih menginjak empat tahun. Kepolosan sang bungsu mengingatkannya pada dirinya. Sayang sekali, dimana kedua kakaknya mewarisi otak encer sang ibu, anak bungsunya harus berakhir polos dan naïf sepertinya. Yah, walau Naruto tidak akan takut bagaimana masa depan yang akan menantinya sebab semakin dewasa pasti Yukko akan menjadi sepertinya. Tidak selamanya polos dan naïf seperti ini.
"Hahahaha, Yukko-kan? Kau lucu sekali—" Kushina yang terbahak tidak melanjutkan kembali makannya. Jari jemarinya yang lentik dan masih halus seakan tidak dimakan usia mengusap setetes air mata geli melihat tingkah polah cucunya yang menggemaskan. "Tentu setelah kau besar kau akan cantik seperti mamamu. Bukan tampan seperti Paman Naruto." Jelasnya mencoba memperbaiki apa yang menjadi khayalannya.
"Tapi aku lebih mirip Paman Naruto daripada Mama. Itu berarti kalau aku sudah besar aku akan menjadi seperti—" Yukko bergidik ngeri membayangkan dirinya menjadi jangkung dengan otot dimana-mana, wajahnya berubah kotak dan dibawah hidung serta sepanjang dagunya ditumbuhi jenggot halus seperti Naruto yang dilihatnya pagi tadi dirumahnya. "Huwaaa—aku tidak mau punya jenggot dan kumis seperti Paman Naruto tadi pagi—" Yukko menggeleng keras sebelum akhirnya beringsek kearah Hinata meminta pembenaran bahwa dirinya tidak akan menjadi seperti itu.
"Tidak seperti itu, Yukko-sayang. Kakek yakin kau akan secantik mamamu, bukannya menjadi mempunyai jenggot dan kumis seperti Paman Naruto. Kaukan perempuan sedangkan Paman Naruto laki-laki." Tersenyum penuh sayang, Minato mengusap rambut panjang Yukko yang ada didepannya sambil berusaha menjelaskannya. Dilain pihak, keempat audience yang lain, Naruto, Kushina, Yukka dan Yukki sudah kram perut tertawa terpingkal-pingkal ditempat duduknya masing-masing karena membayangkan apa yang barusan si bungsu katakan.
"Yaaaah! Nee-chan dan Nii-chan malah tertawa! Yukko ngambek nih!" Yukko yang tidak terima menjadi bahan tertawaan kakak-kakaknya menyilangkan kedua tangannya didepan dada dan mengerucutkan bibirnya mencoba memberi kesan bahwa dirinya benar-benar tidak suka ditertawakan seperti itu.
"Oh maafkan kamiii—" Yukka dan Yukki meminta maaf dengan koor secara bebarengan walau terkadang masih terkikik geli mengingat kekonyolan yang Yukko ciptakan.
Kushina sendiri pamit beralasan menuju toilet karena masih belum bisa berhenti tertawa dan mencoba untuk tak menyulut kekesalan sang cucu dengan memperlihatkan kondisinya yang masih ingin tertawa terbahak-bahak. Disisi lain, Naruto berdehem sejenak untuk menghilangkan tawanya. Sebelum tatapan saphirenya melembut, menyapu seluruh pemandangan dimana keluarganya duduk satu meja menikmati makan malam dan mendengarkan celoteh riang anak-anaknya.
Ah, lagi-lagi situasi yang diidam-idamkannya terjadi tepat dihadapannya. Jangan lupakan Hinata yang berusaha membujuk Yukko agar kembali menyatap makan malamnya dan menghentikan aksi ngambeknya. Duo pintar Yukka dan Yukki yang turut membantu sang mama dalam menghadapi Yukko yang merajuk. I'm such in heaven. Pendar rona kebahagiaan itu ketara jelas tergambar diiris birunya, yang diamati dari dekat oleh Minato dan dipandangi dari jauh oleh Kushina. Anak semata wayang mereka benar-benar mengingingkan keluarga ini menjadi bersatu kembali.
.
.
.
Setelah itu makan malam berjalan dengan lancar. Akibat insiden khayalan-saat-besar yang disebabkan oleh Yukko, suasana dalam meja makan yang awalnya canggung menjadi mencair. Kushina dan Minato dengan bersemangat menanyakan apa saja yang si triplets lakukan setiap hari. Mereka terkejut kala mengetahui bahwa mereka sudah mengenyam pendidikan Preshcool semenjak beberapa bulan yang lalu. Mencoba menanyakan apa saja yang mereka dapat dari jam sekolah mereka, sang Kakek dan Nenek berbangga hati saat mereka dengan fasih menceritakan prestasi gemilang mereka disekolah yang membuat pasangan Namikaze senior itu beberapa kali berdecak kagum akan intelegensitas cucu-cucu mereka.
Acara makan malam berakhir saat jarum pendek menunjukan angka sembilan, dimana Kushina dan Minato kembali pulang setelah mengabsen mereka satu-persatu dengan sebuah pelukan besar dan janji akan membawakan banyak mainan baru bagi si kembar tiga walau akhirnya ditolak habis-habisan oleh Hinata mengingat baru saja kemarin Naruto menghujani mereka dengan banyak mainan baru.
Setelah menghantar kepergian Namikaze senior diambang pintu, Hinata segera memerintahkan anak-anaknya untuk pergi tidur karena besok mereka sudah disibukan oleh kegiatan sekolah mereka. Beberapa menit dihabiskan untuk menggosok gigi dan membersihkan kaki dikamar mandi, Yukka dan Yukki yang sudah tahu letak tempat menginap mereka pun segera menuntun Yukko menuju ranjang dimana mereka akan tidur. Hinata yang masih sakit tidak bisa menemani mereka karena takut mereka akan tertular atau malah terganggu bila sewaktu-waktu dirinya kambuh menggigau ditengah malam membangunkan mereka dari mimpi indahnya.
"Kau bisa tidur dikamarku." Tawar Naruto setelah Hinata kembali dari kamar yang ditempati anak-anak untuk mengecek apakah mereka sudah tidur atau belum.
Naruto menawarkan Hinata untuk tidur dikamarnya. Awalnya Hinata merasa sungkan karena menjajah kasur milik Naruto untuk dirinya sendiri sedangkan pemiliknya malah dengan sengaja pindah untuk tidur disofa sempit yang tak nyaman yang masih berada satu lokasi dengan alasan ingin terus menjaga Hinata. Sampai akhirnya Hinata mengalah, menggeser tempatnya sedikit untuk memberi ruang terhadap Naruto agar bisa tidur disisinya.
"Kemarilah, kau bisa tidur disini." Hinata menepuk sisi kasur yang kosong dengan tangannya, mengindikasikan bahwa Naruto berhak bergabung dengannya setelah mendapatkan izinnya secara verbal.
Naruto yang sebelumnya sudah bergelung dengan gulingnya mendadak duduk tegak mencoba mencerna apa yang Hinata katakan padanya. Matanya membulat tak percaya bahwa Hinata memperbolehkannya untuk tidur disampingnya padahal Yukka, Yukki ataupun Yukko tidak berada bersama mereka. Dan lagi memangnya Hinata tidak trauma atau takut berdua dengannya setelah malam laknat itu terjadi?
"Cepatlah Namikaze-san, tidak aku tidak takut. Lagipula kemarin juga kita tidur bersama. Asal kau berjanji saja tidak macam-macam denganku." Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Naruto menganggukan kepalanya cepat sebelum akhirnya dalam waktu singkat Naruto sudah menemukan dirinya berbaring disebelah Hinata. Melirik kesamping dimana Hinata merebahkan dirinya, iris birunya disambut oleh punggung ringkih Hinata yang membelakanginya.
"Kalau kau tak nyaman dengan kehadiranku. Tawaranku yang tadi masih berlaku kok." Naruto berbisik pelan mencoba agar tak berisik bila seandainya Hinata sudah tidur. Menyinggung perihal bahwa dirinya tidak apa-apa tidur disofa agar Hinata bisa menempati kasurnya sendirian dengan leluasa.
"Diamlah dan biarkan aku tidur. Kepalaku pusing sekali." Keluh Hinata membuat Naruto tiba-tiba terlonjak bangun dan menempelkan punggung tangannya pada dahi Hinata. Astaga! Sepertinya suhu badan Hinata kembali naik.
"Kau sudah meminum obatnya?" Dengan nada khawatir Naruto kembali bangun untuk merogoh kantong plastik berisi berbagai belanjaan yang diletakan asal dimeja rias dari supermarket yang dikunjunginya sebelum pulang ke apartemennya. "Tadi aku membeli plester kompres, kau mau memakainya?" Anggukan kepala dari Hinata membuat Naruto segera membuka kemasan plester kompresnya dan menempelkannya pada dada Hinata.
"Maafkan aku, keadaan seperti tadi pasti membuatmu stress." Ungkap Naruto tidak enak hati.
Sungguh, kedatangan kedua orang tuanya sangat diluar rencana. Seandainya Naruto tahu bahwa Minato dan Kushina akan mengunjunginya pasti dirinya akan berusaha untuk mencegahnya dulu. Apalagi Naruto sadar bahwa komentar sang Kaa-san akan kehadiran si triplets yang terang-terangan diteriakan didepan mereka membuat Hinata perlu bersusah payah untuk membohongi para malaikat cilik yang terkenal dengan kepandaiannya mencerna informasi tersebut.
"Sudahlah, toh kamu tahu sendiri Kushina-baasan orangnya sangat spontan sekali." Memejamkan mata menikmati hawa dingin yang menguar didahinya sedikit menstabilkan panas tubuhnya. Hinata memainkan jarinya memeluntir ujung selimut yang menutupi setengah tubuhnya.
"Salahku juga karena tidak segera menemui mereka. Begitu aku mendengar kabar bahwa dirimu ada disini aku terlalu fokus mencarimu." Aku Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Hinata yang awalnya ingin segera tidur segera kembali membuka kelopak matanya. Menengok kearah Naruto yang masih tak bergeming duduk disisi pinggir ranjangnya. Hinata menarik lengan piyama putih Naruto yang membuat sang pria kembali memfokuskan perhatiannya pada sang wanita.
"Sebaiknya kau tidur sekarang. Jangan membahas apa-apa lagi." Hinata memohon pada Naruto untuk segera menghentikan ocehannya apapun itu yang berhubungan dengan fakta bahwa dirinya dirindukan.
Naruto hanya bisa tersenyum kecut mengetahui keantipatian Hinata untuk mendengarkan kisah putus asanya dalam menemukan sang wanita. Sepertinya sang pemilik mahkota indigo ini benar-benar tidak ingin mendengarkan cerita lima tahun kebelakang ini versi miliknya. Apa baginya hukuman dimana keberadaannya tak disadari oleh darah dagingnya sendiri masih belum cukup sehingga Hinata masih bisa mengacuhkannya?
"Kau saja yang tidur. Aku keluar sebentar." Ucap Naruto mengusap puncak kepala Hinata sebentar sebelum akhirnya berlalu meninggalkan kamarnya menuju rak penyimpanan alcohol yang berada diruang kerjanya.
Sepertinya malam ini dirinya perlu mendapat asupan minuman keras untuk menyalurkan rasa sakit hatinya dimana dadanya terasa diikat kuat oleh tali tak kasat mata sampai terasa sesak dan perutnya bagai dipukul godam seakan-akan makan malam yang sempat masuk akan kembali keluar dengan tidak elitnya. Naruto menaruh beberapa balok es dan menuangkannya dengan vodka kesukaannya, meminumnya dengan cepat seakan meminum air mineral yang tidak membakar tenggorokannya. Naruto menandaskan minumannya dalam beberapa detik.
Hm—mungkin beberapa gelas lagi dirinya baru bisa tidur nyenyak tanpa dihantui oleh perasaan kecewa dan keinginan untuk membentak sendari mengocehkan apa yang selama ini dilakukannya didepan muka itu tidak sadar bahwa tanpa dirinya kehidupan Naruto seperti diambang mati karena terus didera rasa bersalah dan penasaran, dimana mati tak bisa hidup pun enggan dijalani*.
.
.
.
Terbangun secara ajaib dikasurnya sendiri tanpa melakukan tindakan yang aneh-aneh. Naruto merasakan bahwa kepalanya berdentum-dentum efek beberapa gelas alcohol yang dikonsumsinya tadi malam. Meraba-raba mencari aspirin yang langsung ditelannya begitu menemukannya disalah satu rak mejanya. Naruto segera bangkit untuk sesekali menjambak rambutnya berusaha mengurangi rasa pening yang mendera kepalanya yang penuh dengan rambut jabrik pirangnya.
Melihat kearah jam digital yang menunjukan pukul 06.45 dimana masih ada waktu 15 menit lagi sebelum alarm berbunyi. Mengambil telepon yang terletak disampingnya, Naruto menekan tombol yang langsung tersambung dengan layanan kamar yang ada menjadi salah satu fasilitas ekslusif apartemennya untuk membawakannya sarapan pada tepat jam 7 pagi. Dimana pesanannya termasuk beberapa kue dan camilan ringan yang akan diberikannya pada sang triplets sebagai bekal kesekolah.
Menyelesaikan daftar pesanannya dalam waktu yang singkat, Naruto kembali membiarkan tubuhnya berbaring nyaman diatas kasur. Berguling kesamping, Naruto dengan mudah menemukan sosok Hinata yang entah bagaimana ceritanya tidur menghadap dirinya. Bertumpu pada salah satu tangannya, Naruto mencoba mengamati wajah ayu milik sahabatnya. Bulu mata yang lentik penghias kelopak matanya menutupi iris mata bulan miliknya. Hidung mancung yang dipahat dengan baik oleh sang Maha Kuasa. Pipi chubby yang selalu merona merah jambu walau tanpa make up. Dan bibir mungil merah merekah yang terlihat sangat kissable. Damn! Kemana saja dia selama ini sehingga baru menyadari bahwa Hinata adalah ciptaan Tuhan paling indah untuknya?
"Kalau kau sudah bangun, sebaiknya kau segera mandi dan bersiap-siap untuk berkerja." Naruto yang tak mengira Hinata telah terbangun hanya terkesiap kaget Membenarkan posisinya diatas ranjang, sang pria mengamati lekat-lekat wajah Hinata yang masih memejamkan matanya, enggan memperlihatkan kedua iris bulannya yang indah.
"Well, sebenarnya aku datang ke Jepang untuk liburan dan seminggu ini aku mendapatkan cuti." Ujar Naruto menjelaskan keenggannya untuk segera memasuki kamar mandi dan membersihkan dirinya untuk bersiap menuju kantirnya yang terlwtak dijantung kota. "Tapi kau benar, karena aku sudah bangun sebaiknya aku mandi saja, aku harus membangunkan anak-anak, membantu mereka untuk menyiapkan diri ke sekolah dan mengantarnya." Lanjutnya dengan lancar menyebut kata "anak-anak" seolah triplets yang tertidur menempati kamar sebelah merupakan miliknya dan Hinata.
Hinata menangkap nada familiar itu, bibirnya hendak berbicara untuk mengkoreksi apa yang dia katakan. Tapi seolah suaranya dicuri, Hinata hanya bisa membiarkan perkataannya tertahan diujung lidah. Meneguk ludahnya sendiri, Hinata berusaha berpikir bahwa apa yang Naruto katakan tidak mempunyai maksud tertentu. Hinata kembali angkat bicara setelah memperbaiki susunan kalimat yang akan dilontarkannya.
"Terima kasih atas bantuanmu. Sebenarnya kau tak perlu repot seperti ini." Hinata turut bangun ingin beranjak dari kasurnya karena tidak enak hati bila dirinya masih menyamankan diri menyatu dengan kasur sedangkan Naruto disibukan oleh aktivitas yang harusnya menjadi tanggung jawabnya. "Aku akan menyiapkan sarapan." Tawarnya menyampirkan selimut yang menutupi tubuhnya sebelum tangannya tertahan oleh cengkraman erat Naruto.
"Aku sudah meminta layanan kamar untuk menyiapkan sarapan. Kau istirahat saja. 15 menit lagi mereka akan mengantarkannya kesini." Tolak Naruto akan tawaran Hinata mengingat bahwa semalam suhu badan Hinata kembali meningkat. Hinata yang terlalu malas untuk berdebat hanya bisa menganggukan kepalanya dan menjawab dengan kata 'iya' yang pelan walau dalam dirinya berpikir, apartemen mewah macam apa yang menyiapkan layanan kamar seperti hotel-hotel pada umumnya.
"Ngomong-ngomong, apa kau tidak apa-apa?" Hinata bertanya dengan suara parau khas bangun tidur. Melirik ke arah Naruto yang sudah turun dari ranjang dan berdiri didepan lemarinya memilah-milah baju yang akan dikenakannya setelah mandi.
"Maksudmu?" Naruto mengambil celana jeans berwarna navy blue dipadu baju polo hitam simpel dengan bordir benang emas lambang buaya didada sebelah kirinya. Menutup pintu lemarinya pelan dengan sedikit tendangan kakinya saat berbalik kembali menuju kasur. Setelah mendudukan pantatnya ditepi ranjang, Naruto mengisi gelas yang ada diatas nakas dengan teko berisi air putih dan mengangsurkannya pada Hinata.
Hinata menerimanya dan mengucapkan terima kasih dengan lirih sebelum meneguk habis isinya hingga tetes terakhir. Mengusap tetesan air yang lolos dari sela-sela bibirnya. Hinata berdehem sejenak mencoba memastikan bahwa tenggorokannya yang sudah basah tidak kembali mengeluarkan suara parau seperti kodok. Pemilik mahkota berwarna indigo itu tak sadar bahwa Naruto sudah kembali mengambil gelas yang berada ditangannya dan meletakannya kembali diatas nakas.
"Semalam kau tidur menemaniku yang sedang sakit. Apa kau tidak akan tertular?" Hinata hanya ingin memastikan, secara refleks tangannya ditempelkan didahi Naruto untuk mengecek suhu badannya. Memejamkan matanya mencoba meresapi suhu badan Naruto yang dihantarkan melalui indra perabanya, Hinata tidak tahu bahwa tindakannya diamati oleh Naruto dengan senyum bak malaikat yang terplester apik diwajahnya.
"Seandainya tertular pun aku tak keberatan." Kalimat gamblang yang dilontarkan Naruto membuat Hinata dengan segera menarik tangannya. Naruto yang tak lagi merasakan tangan mungil Hinata yang menempel didahinya hanya bisa mendesah kecewa berharap momen tersebut berlangsung lebih lama. "Apa kau tidak ingat? Dulu waktu kita masih kuliah aku juga pernah sakit, kau merawatku dengan telaten sampai aku sembuh. Walau esoknya kau tertular dan jatuh sakit juga, kau tidak mengeluh-" Imbuhnya menyisipkan harapan bahwa Hinata juga masih mengingatnya.
Hinata yang hanya diam seribu bahasa membuat Naruto yakin bahwa dia masih mengingatnya. Apalagi tadi dirinya sempat memergoki ekspresinya yang berubah kaget dengan mata terbelalak lebar dan mulut membentuk 'o' kecil sebelum akhirnya menunduk tak mau memperlihatkan wajahnya lagi pada Naruto. Menggelengkan kepalanya sejenak berusaha mengenyahkan pikiran untuk menguncang bahu Hinata dan memaksanya mengakuinya, Naruto kembali berdiri dari kasur membuat springbed itu terguncang pelan karena kehilangan salah satu bebannya.
"Yah, aku yakin kau tidak mau mengingatnya sih. Kau benar-benar membenciku." Hinata menatap punggung Naruto yang menghadapnya.
Hinata tidak tuli untuk tidak menangkap nada sarat akan kesedihan itu dari tutur kata yang diucapkannya. Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang sudah berlalu tak dapat diubahkan? Nasi sudah menjadi bubur, menyenderkan punggungnya pada sandaran kasur. Hinata merasakan bahwa tubuhnya menjadi rileks hingga kepalanya bersandar pada bantal berisi busa paling lembut yang tertumpuk tinggi disebelahnya.
"Kau juga tidak mengingat apa yang kau lakukan padaku malam itu. Bahkan kau menghindariku-"
Shit! Cepat-cepat Hinata membekap mulutnya sendiri karena tidak sengaja membalas perkataan Naruto dengan sakarsme yang setema. Melirik dengan kikuk kearah Naruto yang sepertinya mendengar jelas ucapan yang dikatakan secara lamat-lamat itu. Hinata hanya bisa meneguk ludahnya canggung, saat Naruto kembali membalikan badannya dan berlutut disamping Hinata.
"Kau selalu melihat semua kejadian ini dengan sudut pandangmu. Tak bisakah kau mendengar bagian dari sudut pandangku?" Naruto mengenggam tangan Hinata yang mendadak menjadi dingin. Bertekad untuk menceritakannya saat itu juga, Naruto terhenyak ketika Hinata dengan kasar menarik tangannya untuk bebas dari cengkramannya.
"Ku-kurasa tak perlu." Sedikit tergagap karena rasa takut yang menjalar disekujur tubuhnya. Hinata segera kembali berbaring memunggungi Naruto. Menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya, Hinata hanya membiarkan sebagian kepalanya sedikit menyembul untuk tetap menjaga tubuhnya masih mampu memasokan udara yang cukup untuk paru-parunya. "Ji-jika kau tak membiarkanku membuat sarapan tolong biarkan aku kembali tidur sejenak. Aku lelah." Dusta Hinata yang nyatanya hanya sebagai alasan agar Naruto menghentikan penjelasannya yang bahkan belum sampai pada kalimat pembukanya.
"Aku mengerti." Dirinya kembali mengalah, padahal dalam hati Naruto sudah memekik penuh frustasi karena lagi-lagi Hinata mengacuhkan semua cerita dipihaknya yang seandainya saja bisa diungkapkan mungkin akan membentuk kepingan-kepingan puzzle yang akan sempurna bila disusun secara bersamaan dengan cerita milik Hinata.
Suara bel yang ditekan memecah keheningan yang tercipta kala mereka berdua sibuk melalang buana dengan spekulasi masing-masing. Menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari jemarinya, Naruto hendak membukakan pintu pada layanan kamar yang dipesannya sebelum berbalik sejenak untuk mengecek kondisi Hinata.
"Sebaiknya kau beristirahat lebih lama. Aku akan menaruh sarapan dan obatmu dikamar sebelum menghantarkan si kembar." Ujarnya yang diikuti dengan suara pintu yang terbuka kemudian menutup dengan cepat meninggalkan keheningan yang mencekam dikamarnya yang masih gelap karena tirainya yang belum sempat disibakan kesamping untuk membiarkan cahaya mentari masuk menerobos jendela beningnya.
Bersamaan dengan suara langkah kaki Naruto yang semakin menjauh, isak tangis Hinata semakin terdengar jelas memenuhi kamarnya yang terasa sunyi. Ingatannya kembali pada malam dimana awal dari semua kegilaan ini terjadi. Malam yang entah harus disyukuri karena membuatnya bertemu dengan tiga jagoan ciliknya yang merupakan harta miliknya yang paling berharga. Ataukah malam terkutuk yang harus disesalinya kala tanpa berpikir panjang menawarkan diri untuk menemani sang pria yang mabuk-mabukan karena ditolak oleh gadis pujaannya sehingga melibatkan Hinata dalam pelampiasan frustasinya mengira bahwa yang ditidurinya adalah sang gadis pujaan sehingga nama yang keluar dari bibirnya saat itu bukanlah nama milik Hinata.
.
.
.
TBC
.
.
.
Kalau kemarin sudah dibikin rush plot maka chapter ini dibuat berjalan lambat selambat-lambatnya.
Btw chapter depan nanti bakal masuk flashback ya. Satu chapter full~
Awalnya mau Shokun skip aja pas kejadian di onsen itu, tapi kok kayaknya nanti malah bikin ceritanya aneh ya? Makanya bakal Shokun sertain meski cuma satu chapter seenggaknya bakal ada penjelasanlah bagaimana semua ini bisa terjadi.
O ya, sebenarnya juga mau rombak habis-habisan chapter enam yang menurut Shokun terlalu kecepetan. Tapi kok ya maleess~ Nanti aja kalau ada waktu. Sekarang mumpung liburan nambah seminggu lagi jadinya lanjutin dulu aja hhwhwhwhw.
Dan lagi kalimat dimana mati tak bisa hidupun enggan dijalani sebenernya nyomot dari salah satu fic Naruto juga. Cuma lupa apa namanya, berkesan aja sih sampai bisa keinget terus.
BTW, Kripik dan Singkong please?
Alurnya kelambatan nggak?
Pada pengen cepet-cepet tamatnya ya, hhehehe? Tapi maaf kayaknya masih lumayan agak lama. Soalnya interaksi Hinata sama Naruto masih dingin-dinginan belum angeet dan cerita masing-masing pihak belum terkuak. Semoga nggak bosen ngikutinnya ya
With Love, ShokunDAYO.