Pierrot
—Nacchan Sakura—
—Shingeki no Kyojin (c) Isayama Hajime—
Chapitre 10: Finale
.
.
.
『Words aren't the only way to tell someone how you feel. 』
(Tifa Lockheart – Final Fantasy VII)
[Saran lagu untuk membaca chapter ini:
Soar – Hatsune Miku
Together – Monkey Majik
Aitai – GUMI]
.
.
.
Di saat itu—aku jatuh cinta dengan penuh kebahagiaan.
Di dalam waktu apapun—keramahan yang kau berikan selalu aku ingat.
Dan entah sejak kapan, tanpa aku sadari—
Aku hanya akan selalu memperhatikan sosokmu, dimanapun kau berada.
.
.
.
Sabtu, 12 November 20xx.
Hari ini, genap sebulan sudah Rivaille dirawat di rumah sakit—dan genap sebulan juga semenjak kejadian dimana dirinya tiba-tiba 'hidup kembali' dengan ajaibnya.
Dan sampai hari ini—Eren belum sekalipun bertemu lagi dengan Rivaille karena keadaannya yang masih lemah dan belum stabil. Pihak Rumah sakit berkata bahwa mereka akan memberitahu Eren jika Rivaille sudah bisa ditemui, tapi..
Ternyata Eren memang tidak bisa merasa tenang.
Rasanya cemas, gelisah—setiap detik ia akan teringat pada Rivaille, apakah seniornya itu baik-baik saja? Apa ia sudah makan? Apa ia sedang tertidur pulas?
Apa ia juga memikirkan Eren—seperti Eren memikirkan dirinya?
Perasaan 'ingin bertemu' di dalam diri Eren terlalu kuat dan besar—perasaan ini tak akan berakhir, melainkan akan terus berulang di setiap harinya.
"Aku ingin bertemu denganmu...
Levi."
..Dan Eren sepertinya belum mengetahui satu kenyataan paling pahit yang masih tersembunyi.
.
.
.
"—Kalau aku bilang kentang lebih enak, ya kentang!"
"Berisik! Sudah kubilang kalau makanan buatan ibuku lebih enak dibandingkan kentang murahan itu!"
"A-apa kau bilaaaang?!"
Mikasa menghela nafas panjang—kelasnya sungguh ramai, karena Keith Shadis sedang ada rapat dan mereka diberi jam bebas dan diperintahkan untuk 'belajar sendiri-sendiri'. Tapi dari yang Mikasa lihat—hanya dia, Armin dan Christa saja yang benar-benar 'belajar sendiri' di kelas ini.
Jean—ia malah tidur.
Berthold dan Reiner—malah bergosip.
Ymir—ia sibuk memperhatikan Christa.
Connie dan Sasha? Ah, mereka malah berdebat soal makanan.
Dan Annie mendengarkan musik dari iPod nya dan menganggap di sekelilingnya tak ada siapapun.
Mikasa menghela nafas—sekali lagi. Kemudian matanya berubah fokus kepada Eren yang duduk di samping Armin.
Eren juga—malah melamun keluar jendela.
..Jadi, Define 'Belajar sendiri'.
Tapi Mikasa sadar—lamunan Eren itu bukanlah hal yang tak biasa, semenjak sebulan yang lalu—semenjak Rivaille tersadar dan secara ajaib mendapatkan detak jantungnya kembali, Eren menjadi sering melamun di sekolah atau dimanapun juga. Mungkin karena ia masih belum bisa bertemu dengan Rivaille, padahal rasa rindunya sudah tak tertahankan lagi.
Mungkin bisa disebut juga, Eren sedang berada dalam keadaan galau, saat ini.
Mikasa tanpa sadar tertawa dari hembusan napasnya—musim semi sudah lewat, tapi disini 'musim semi' itu masih terasa.
Mikasa memutuskan untuk meninggalkan tugasnya sejenak dan menghampiri tempat Eren duduk—kebetulan, kursi milik Mina Carolina di hadapannya sedang kosong. Mikasa pun membuat dirinya nyaman di atas kursi tersebut.
"Melamun lagi, Eren?"
"A-ah—" Eren tersadar dari lamunannya dan matanya kini mengarah kepada Mikasa. "Uhh, ya... habis mau mengerjakan tugas pun, aku tidak mengerti."
"Kau 'kan bisa minta bantuan Armin?"
"...Aku tidak ada mood untuk mengerjakannya."
"..Bilang saja dari awal kalau kau memang malas."
Mikasa dan Eren saling berpandangan sesaat—lalu mereka tertawa kecil bersama.
"Haa~h, kenapa rapat guru lama sekali? Kenapa tidak sekalian saja kita dipulangkan lebih awal?" Eren menggerutu seraya meregangkan kedua tangannya yang sedikit pegal—sementara Mikasa yang berada di hadapannya hanya mengangkat bahu.
"Entahlah.."
Eren mengumpat di dalam hati—Keith Shadis itu, sesuai namanya—benar-benar sadis. Mau sampai jam berapa Eren dan anak kelas lainnya dibuat bosan di dalam kelas?
Sudah 2 jam semenjak rapat guru dimulai—dan semakin lama Eren dibuat nganggur alias tak ada kerjaan, pikirannya malah semakin dipenuhi oleh Rivaille—yang masih ia sangka sebagai Levi, sampai saat ini. Ia harus mencari sesuatu untuk dilakukan—bahkan mendengarkan pelajaran lebih baik daripada kebosanan dan terus-terusan memikirkan Rivaille seperti ini. Mendengarkan lebih baik juga daripada harus mengerjakan tugasnya secara langsung.
"Eren, Mikasa, tugas kalian sudah selesai?" Armin menoleh ke arah Eren dan Mikasa seraya menutup buku tugasnya—ia sudah selesai dengan banyak soal matematika yang Eren pandang sebagai kumpulan angka dan juga huruf yang tak dimengerti. Mikasa mengangguk—sementara Eren menggeleng pelan.
"Malas, ah.. lagipula aku tidak mengerti."
"Ahaha.. kau mau lihat jawabanku?" Armin mengulurkan buku catatannya—oh, tawaran yang menggoda.
"Tidak. Eren, aku akan mengajarimu—tapi jangan sekali-kali menyalin jawaban orang lain."
Oh, sial. Eren lupa ada Mikasa di depannya. Dan dengan rasa sedih—Eren harus mengucapkan selamat tinggal pada tawaran menggiurkan dari Armin Arlert.
Brak!
Suara pintu kelas yang digeser secara kasar terdengar ke seluruh penjuru kelas—membuat Jean yang malang terbangun dari tidurnya dan terjatuh dari kursi saking terkejutnya. Reiner dan Berthold berhenti bergosip, Sasha dan Connie seketika tutup mulut, dan Annie melepaskan earphone nya dengan santai.
Oh—wajah menyeramkan milik Keith Shadis lah yang membuat semuanya terdiam.
"...Eren Jaeger, ikut ke ruanganku."
Seluruh murid menoleh ke arah Eren dengan wajah penasaran—dan yang bersangkutan memasang wajah pucat seraya menelan ludah.
Kini di benak Eren berputarlah banyak perkiraan yang tidak-tidak, mengira bahwa ia akan dihukum, atau diberi tugas yang lebih berat, atau diceramahi sampai sore—
"Dan bereskan barang-barangmu. Karena kau tidak mengikuti pelajaran berikutnya."
Eren terdiam di tempat. Apa maksudnya... ia di Drop out?!
"Pak—"
"Tadi Irvin Smith meneleponku, memberi kabar soal Rivaille. ...Dan aku akan mengantarkanmu," Keith berbalik tanpa menghiraukan Eren yang hendak melemparkan banyak pertanyaan. "..Ke Rumah sakit tempat Rivaille berada."
..Dan di saat itu,
Eren kembali terdiam karena tak percaya akan apa yang Keith Shadis katakan.
.
.
.
Eren terus diam semenjak ia masuk ke dalam mobil—Keith Shadis tak berniat untuk membuka pembicaraan, dan Eren juga masih tenggelam dalam lamunannya sepanjang perjalanan, membuat perjalanan ini bisu tanpa suara.
Ia akan bertemu Rivaille.
Ia akan bertemu Rivaille.
..Ia akan bertemu Rivaille!
Pertemuan kali ini spesial—ini adalah pertemuan pertama mereka semenjak perasaan keduanya diketahui saling terbalas—pertemuan pertama semenjak keduanya tahu bahwa mereka saling menyukai. Eren merasakan wajahnya merona tipis—dan jantungnya kini berdebar karena senang dan juga gugup.
Tubuhnya, rambut hitamnya, iris mata kelabunya—Eren ingin merasakan tubuh itu dalam dekapannya, Eren ingin menyentuh helaian rambut itu dengan jemarinya, Eren ingin menatap iris kelabu itu dengan Emeraldnya.
Ia ingin merasakan bibir lembut itu bersentuhan dengan miliknya.
Seiring dengan jarak mobil yang semakin dekat dengan Rumah sakit—semakin cepat pula debaran jantung yang Eren rasakan di dalam dadanya. Tidak sabar, tidak sabar, tidak sabar—
Ingin bertemu, ingin bertemu, ingin bertemu—
"..Jaeger?"
"Ah—i-iya, pak?"
"Kau mau sampai kapan duduk disitu?"
Eh?
DEG! Kini satu degupan keras terasa—semenjak kapan ia sudah sampai di Rumah sakit? Eren menelan ludah—ini terlalu cepat, terlalu cepat, terlalu cepat—
Oh, Eren dan sikap labil nya. Membuat Author sendiri rasanya bingung akan apa yang sebenarnya ia inginkan.
"Cepat turun, Jaeger! Apa perlu aku melemparmu sampai jendela kamar Rivaille, hah?!"
"I-iya, pak! Saya mengerti!"
Eren dengan cepat keluar dari dalam mobil dan otomatis membuat sikap tegak, layaknya tentara yang hendak upacara. Keith Shadis masih menatapnya tajam.
"Ruangan Azalea nomor 35, di lantai empat. Semoga kau menemukan ruangannya, Jaeger."
"Eh.. Sensei tidak ikut?"
"Tidak—tugasku hanya untuk mengantarkanmu. Orang tua Rivaille dan Irvin juga sudah pulang, jadi jangan menangis kalau kau tersesat."
Dan tanpa basa-basi lagi—Keith Shadis kembali masuk ke dalam mobilnya dan bersiap untuk pergi. Namun sebelum ia menyalakan mesin—Eren mengetuk kaca jendela mobil milik Keith.
"Terima kasih."
Eren berbalik dan berlari menuju gedung utama Rumah Sakit—tak sempat melihat Keith sedikit tersenyum ke arahnya.
"Ternyata bocah seperti itu bisa mengubah Rivaille, ya.."
.
.
.
Dua puluh langkah lagi.
Setelah lima belas menit Eren mencari dimana ruangan Rivaille—ia akhirnya menemukan dimana kelompok ruangan Azalea berada. Eren menarik napas—berusaha menenangkan debar jantungnya.
Lima belas langkah lagi.
'Tidak apa-apa, tidak apa-apa..
Saat aku memasuki ruangan itu, pasti senpai ada disana dan tersenyum kepadaku.'
Sepuluh langkah lagi.
'Tidak apa-apa...'
Eren pun mempercepat langkah kakinya.
Tiga,
Dua,
Satu...
Sret!
.
.
.
Angin bertiup masuk ke dalam ruangan—membuat semua tirai putih menari di tepi jendela. Rivaille menatap dedaunan yang terjatuh dari dahannya kini menari diiringi angin yang membawanya berputar.
Musim dingin sudah dekat—tiupan angin membuatnya sedikit merasa kedinginan. Tapi ia menyukainya—angin yang membelai kulitnya lembut, suara dedaunan yang bergesekan—
Tap, tap, tap—
Dan suara langkah kaki—dari seseorang yang ingin ia temui sekarang juga.
Sret!
Rivaille tak perlu menoleh dengan cepat—ia sudah tahu siapa yang sedang berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan yang begitu rindu.
"..Halo, Eren."
Eren melangkahkan kakinya—berlari menuju tubuh lemah itu.
"Selamat datang kembali," Eren mendekap Rivaille erat—membalas ucapannya sebulan yang lalu, yang baru kali ini dapat ia sampaikan dengan tulus. "Selamat datang kembali..."
"..Aku pulang, Eren.."
Rivaille membalas pelukan erat anak itu—dengan tangannya yang menyentuh punggung Eren perlahan—seolah tubuhnya adalah benda berharga yang mudah pecah jika tidak diperlakukan dengan lembut. Tubuh mereka tersambung satu sama lain—membuat benang merah yang awalnya kusut berantakan dan nyaris putus, kini kembali tersambung dengan rapi.
Dan tak akan, tak akan pernah lepas lagi.
Eren melepas pelukannya dan menatap wajah Rivaille dengan baik—wajah yang lama ia rindukan. Wajah yang lama tak ia temukan keberadaannya di dalam kamar asrama—
Eren menyentuh wajah itu—dengan jemarinya yang sedikit gemetar. Oh—wajah itu masih sama—lembut, hangat. Eren tak dapat menahan senyum yang diiringi air mata—bolehkah?
Bolehkah aku menganggap semua ini akan menjadi kebahagiaan yang tak akan pernah pudar—selamanya?
Kemudian Eren membawa wajahnya mendekat—membuat napasnya dan napas Rivaille bersahutan layaknya oksigen yang berduet seirama, dan Eren melakukan apa yang ia inginkan semenjak lama—merasakan lagi lembutnya bibir itu ketika bersentuhan dengannya.
Ciuman yang lembut dan penuh rasa rindu—itu yang menjadi pertanda bahwa mereka sudah saling memiliki, saat ini.
...Ya, saat ini.
Eren melepaskan ciumannya sejenak—ia berbisik dengan suaranya yang sedikit gemetar. "Levi-senpai.."
Bola mata Rivaille membulat.
Benar—Rivaille tak lupa akan kenyataan bahwa Eren tak tahu jika Levi sudah tidak ada—dan Eren tidak tahu bahwa yang mengisi tubuh ini sampai akhir waktu nanti adalah dirinya, Rivaille.
"...Eren.."
"..Levi... Levi... hiks—L-Le..vi—"
"Eren.."
"Levi—" Eren memeluk kembali tubuh Rivaille—tak peduli kalau tangisannya akan membuat baju putih itu menjadi basah. "Levi.."
Before I noticed it, you're the only one that I'm looking at.
..When you were here, I was smiling.
"Eren, maaf.."
"E-eh..?
"Bukan Levi..." Rivaille menggenggam erat kedua telapak tangan Eren—menahan agar dirinya tak ikut meneteskan air mata. "Aku bukan Levi."
"Aku Rivaille—Rivaille yang sesungguhnya.
Levi—memberikan hidupnya kepadaku,
..Ia sudah tiada.
Levi sudah pergi...
Selamanya."
.
.
.
Mungkin tak pernah Eren sadari bahwa—orang yang mengikat janji dengan dirinya, dan juga orang yang cintai pada pandangan pertama—adalah orang yang berbeda.
Entah sejak kapan—Eren sudah menyayangi sosok Levi yang ia pertama kali temui di ruangan Pixis. Ia menyayangi Levi yang selalu mengeluarkan kata-kata tajam dan menusuk, ia menyayangi Levi yang membetulkan dasinya di ruang kesehatan,
Ia menyayangi Levi yang memeluknya ketika berada di dalam kincir raksasa.
Eren tak peduli jika Levi hanyalah seorang pengganti, seorang imitasi yang dipandang sebelah mata oleh siapapun di dunia.
Ia tak peduli.
Ia menyukai Levi. Mencintai Levi. Menyayangi Levi.
Karena Levi adalah Levi—tak peduli jika ada berapa Levi di dunia ini, Levi adalah Levi.
.
.
.
"...Eh...?"
Eren seketika melepaskan pelukannya dan berjalan mundur perlahan. Rasa rindunya kini tergantikan dengan rasa takut, sedih, cemas—
Kehilangan.
When I suddenly turn around,
Your figure was already gone.
"T-tapi—" Eren membuka mulutnya, "Tapi.."
"Yang membuat janji denganmu di masa lalu bukanlah dia, Eren.." Rivaille menurunkan kedua kakinya, bermaksud untuk bangkit dari atas ranjang yang ia tempati di Rumah sakit selama satu bulan terakhir. "Tapi... aku."
Whatever time it is, you're the only one I would look at.
For your sake, I kept smiling.
But within the passage of time, you're going to stray from me..
I'll just lose the touch of your hands.
"...Bohong, 'kan—"
"Maafkan aku." Rivaille menegakkan tubuhnya—berusaha berdiri walau tubuhnya masih sedikit lemah untuk bisa melakukannya. "Aku.. tak bisa menyelamatkan Levi, dan ia ingin agar aku yang hidup.. di dalam tubuh ini."
...Apa?
Apa yang seharusnya Eren rasakan?
Kesal, marah, benci—
Atau menerima kenyataan, menerima Rivaille yang saat ini mengulurkan tangannya, dan mencoba untuk mengerti—
"Ia ingin aku menepati janjiku, kepadamu."
Tidak, kau bukan Levi. Kau bukan Levi. Bukan. Bukan. Bukan.
Yang disayangi oleh Eren adalah Levi. Levi seorang saja sudah cukup.
..Tapi—
Perasaan yang hangat itu tidak hilang.
Padahal.. yang ada di hadapannya bukanlah Levi.
"Aneh.."
"..Ah—?"
"Seharusnya aku kesal kepadamu." Eren menundukkan wajahnya. "Kau selama ini kukenal sebagai kepribadian lain dari Levi-senpai yang selalu menyerangku tanpa melihat kondisi. Tapi.. aku.. kenapa aku tak bisa merasa kesal kepadamu, ya?"
"Corporal,
Aku pasti akan mengingat janji ini, meski berapa tahun hidup aku lewati,
Meski berapa kalipun aku terlahir kembali."
"..Entahlah?" Rivaille tertawa kecil. "Mungkin seharusnya kau senang dan mentertawakan aku, Eren. Dulu aku bilang padamu bahwa aku tak percaya akan reinkarnasi.. bukan?"
To feel pain when you get hurt, or to weep when you feel agonized,
that kind of natural emotion is nothing to be embarrassed about.
"..Rivaille—Corporal Rivaille..."
It's okay, it's okay.
Don't worry if you can't put on a good smile,
Just please do not lie about it again.
It's okay, it's okay. You don't have to bear it alone,
for I will cry together with you.
"Eren.." Rivaille berjalan mendekati Eren—kini, ia yang akan memberikannya pelukan sebagai tanda permulaan. "Aku.. pulang. Aku.. menepati janjiku."
"It's okay, it's okay." It was like a magic charm.
"...Selamat datang kembali—Corporal."
I've been trying to avoid hurting you by hiding the something that's pulling us together.
But now that we are so far apart I can understand how you feel..
Kedua tubuh rentan itu kembali tersambung—
Dalam satu pelukan yang disaksikan oleh awal musim dingin.
"Bodoh—jangan menangis lagi, Eren... kau mengotori bajuku."
"Ha.. hahaha—ternyata... mau dirimu yang dulu, dirimu yang sekarang, ataupun Levi.. kalian sama-sama gila kebersihan."
"Mau bagaimana lagi?" Rivaille ikut tertawa kecil—perlahan tangannya membelai lembut punggung lebar milik Eren. "Oh.. Eren,"
"Ah—iya?"
Eren tak sadar bahwa dengan cepatnya—Rivaille sudah menarik tubuhnya dan membantingnya—tak begitu kasar—ke atas ranjang Rumah Sakit yang berdecit karena sedikit rapuh. Oh—hari-hari itu mulai kembali, dimana hal seperti ini adalah hal biasa yang dulu—ribuan tahun yang lalu—untuk terjadi diantara mereka.
"Kau tak akan protes, 'kan?" Rivaille mengunci pergerakan tubuh Eren yang terbaring di atas ranjang beralaskan sprei putih tanpa noda—lagi-lagi, pikirnya. Rona tipis muncul di wajahnya—namun berbeda seperti dulu, ia kali ini sudah yakin—
Bahwa ia tak akan menolak.
"Dari dulu—dari sebelum kita menjalin hubungan, aku tak akan pernah bisa melawanmu kalau kau sudah menyerangku seperti ini, Rivaille. Beruntung dahulu tak ada anggota Recon corps tahu akan hal ini."
"Hoo—kau sudah mengingat sampai sejauh itu?" Rivaille menggerakkan jemarinya—menuju wajah Eren yang sedikit panas. "Kenapa bisa?"
"..Entahlah?" Eren tertawa. "Mungkin karena kini—yang ada di hadapanku adalah seseorang yang sama dengan sosok dari masa laluku, ribuan tahun yang lalu."
"Kau yakin? Kupikir akan sulit untuk mengingat semuanya karena yang kau sukai adalah Levi.."
"Jangan cemburu." Eren tersenyum lebar. "Dan aku tidak bilang kalau aku suka padamu, 'kan... Rivaille?"
".. 'Belum', Eren. Belum. Sekarang kau memang masih menyukai Levi," Rivaille menyeringai tipis. "Tapi aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku, tak lama lagi."
Eren membalas seringai itu—saat-saat ini adalah saat dimana ia tak akan melupakannya, saat dimana ia akan mengukir semuanya di dalam ingatan, agar tak lekas pudar. "Selamat mencoba, Rivaille~"
Tapi sebenarnya, dibanding Levi—
Aku sudah menyukaimu lebih dulu, dari ribuan tahun yang lalu.
.
.
.
Perlahan tapi pasti—waktu berjalan dengan kepastian yang sama.
Dan tanpa bisa diprediksi oleh siapapun—dunia ini menjalankan masa depannya dengan sempurna, tanpa kesalahan.
Eren melukiskan senyumnya dengan baik hari ini.
Langkah kakinya membawa ia jauh ke atas bukit—dimana disana penuh dengan ladang bunga yang penuh warna dan rerumputan hijau, dimana disana bau matahari bercampur dengan aroma bunga yang wangi—membuat hati siapapun teduh di dalam keheningan.
Eren berjalan sampai ke tempat dimana sebuah batang pohon Sakura bermekaran di musim semi ini—
Minggu, 16 April, 20xx.
Eren berjalan menuju batang pohon Sakura tersebut—kelopaknya yang berwarna merah muda begitu lembut menyapa, tertiup angin dan berjatuhan seolah siap untuk mendekapnya di dalam kehangatan. Pandangan Eren kini terjatuh kepada sebuah batu besar yang tertanam tepat di bawah pohon Sakura tersebut—bertuliskan, Rest in Peace, Levi—xx-xx-19xx /12-10-20xx.
Eren meletakkan buket bunga ia bawa dengan tangan kanannya, seraya menyapa dengan ramah, "Halo, Levi-senpai. Apa kabar?"
Eren kini membuat tubuhnya nyaman di atas tanah beralaskan rumput hijau—tepat di samping batu besar itu berdiri. Eren tahu tak ada tubuh yang terkubur disana—tapi ia selalu menganggap dan merasa bahwa Levi selalu ada disini, tinggal di bawah naungan pohon Sakura ini dengan damai.
"Hari ini menyebalkan sekali—Rivaille tak berbeda jauh denganmu, hobi sekali menyuruhku yang aneh-aneh. Aku benar-benar dijadikan budak—sama seperti kau dulu memperlakukan aku."
Eren tersenyum tipis mengingat kejadian tadi pagi di ruangan OSIS—Rivaille memintanya untuk mewarnai boneka daruma sebanyak 100 buah—entah untuk apa. Kemudian Hanji dan Petra tiba-tiba muncul dam meminta Eren untuk memakai sebuah kostum Maid—yang langsung ditolak, tentu saja. Jangan lupa Mikasa yang selalu beradu tatapan tajam dengan Rivaille—dan juga keadaan kelas yang masih tetap ramai. Berthold dan Annie yang kini menjalin hubungan, Jean dan Armin yang terlihat memiliki perasaan yang sama, Sasha yang masih hobi makan, Reiner yang bersaing dengan Ymir untuk mendapatkan hati Christa, dan Connie yang kini aktf dalam kegiatan klubnya.
Sungguh saat-saat yang tak ingin Eren inginkan untuk berubah—saat ini, ia sudah bahagia.
"Levi-senpai, aku masih menyukaimu, loh." Eren melanjutkan kalimatnya. "Kau membalas perasaanku, tapi tiba-tiba kau hilang begitu saja. Kau tak tahu ya bagaimana perasaanku saat itu? Rasanya sakit, sedih—bahkan keberadaan Rivaille seorang rasanya tak cukup, kau tak tergantikan."
Thank you for being here with me now.
"Kalian itu dua orang yang berbeda. Mungkin kalian memiliki banyak kesamaan, tapi... tetap saja, berbeda."
When I touched your hand, it was strange, but..
I felt like we'd already met once, somewhere far away.
"Tapi—aku tahu, sekarang kau bahagia lebih dari apapun." Eren menoleh—tersenyum lembut ke arah batu nisan dimana orang yang ia sayangi dahulu, kini tinggal dalam kedamaian yang abadi. "Maka dari itu—aku akan hidup demi kebahagiaanmu juga. Dan aku akan mencintai Rivaille seperti dahulu—juga mencintai Rivaille seperti aku mencintaimu."
Angin kembali bertiup—kelopak bunga Sakura kembali mendatangi.
"Ini rahasia kita berdua, ya, senpai. Rivaille belum tahu kalau sebenarnya aku menyukai dia juga, loh~"
Please, don't hide away your fears of any happenings to us.
Even though there's no light we cannot depend on now,
You're always by my side.
"—Eren!"
Ah—Eren kini menoleh ke arah yang berlawanan. Sebuah suara memanggil namanya dari kejauhan—dan matanya menangkap visi seseorang yang sedang berlari ke arahnya, dengan sebuket bunga Lily di tangan kirinya.
"Rivaille, kau terlambat.."
"Maaf—rapat OSIS nya entah kenapa jadi lama," Rivaille mengatur napasnya sebelum kembali berbicara. "Ah—Maaf, Levi, aku terlambat."
Rivaille meletakkan buket bunga miliknya—bersampingan dengan buket bunga Mawar putih milik Eren.
"Levi, kau tahu? Lelaki yang dulu kau cintai—bernama Eren Jaeger—adalah orang yang sangat enak untuk dikerjai."
"Hey!"
"Sedikit diserang saja, wajahnya langsung menjadi merah. Lucu, bukan? Sayang sekali dulu kau tak berani melakukan hal seperti itu kepadanya."
"...Hmph."
"Dan sekarang—aku masih berusaha membuat lelaki bernama Eren Jaeger ini untuk jatuh cinta kepadaku. Doakan aku agar berhasil, ya."
Eren tersenyum lebar—melihat Rivaille selalu seperti ini, berusaha melakukan apapun agar dirinya berpaling dari Levi—adalah hal yang membuatnya paling bahagia.
Karena itu menunjukkan bahwa Rivaille mencintainya sepenuh hati, dan ia tidak akan pergi.
"Ah.. dan—Eren, tadi kau berbicara apa kepada Levi? Aku tahu kau membicarakan aku."
"Hmm~ Apa, ya? Itu rahasiaku berdua, dengan Levi-senpai. Rivaille tidak perlu tahu!"
"Bocah—" Rivaille mengalungkan lengannya di sekeliling tubuh Eren, satu tangannya menjitak kecil kepala Eren. "Menyebalkan."
Ya, saat ini—Eren bahagia.
Suara tawa menghiasi langit cerah—Rivaille dan Eren memperbaiki benang merah yang dahulu sempat terputus, secara perlahan. Tanpa mereka berdua sadari—ada sosok yang memperhatikan mereka dengan tatapan yang lembut dari kejauhan, dengan sepasang sayap putih lebar yang dapat membawanya terbang tinggi ke angkasa. Levi tersenyum tipis—Eren bahagia, Rivaille bahagia.
Ia pun bahagia—semenjak dulu, sampai sekarang, selalu bahagia.
'Aku akan memberikan satu sihir lagi sebelum aku menghilang,' Levi mengepakkan kedua sayapnya tinggi—sebelum langit membawanya ke atas untuk pergi. 'Aku akan memberikan sihir yang dapat membuat kalian selalu bersama—selamanya.'
Dan setelah itu—badut ini akan pergi untuk selamanya.
Selalu dan selalu, berdoa untuk kebahagiaan kalian sampai kapanpun juga.
.
.
.
The end.
A/N terakhir untuk semuanya:
..Terima kasih.
Yang udah nemenin saya dari awal—sampai ke paling akhir cerita ini,
Atau yang selalu baca walau tanpa menunjukkan identitas diri,
Aku cinta kalian semua. :')
Dan yang sudah Review di chapter kemarin:
Shirarianai, Zane Zavira, RaniMario, widi orihara, IsyPerolla, Rivaille Jaegar, amidesu, Kim Arlein 17, Yami-chan Kagami, Earl Yumi Regnard, black roses 00, Android5Family, Yuki-Naoki, Lonceng Angin, Earl Louisia vi Duivel, Unknownwers, Roya Chan, Lightmaycry, Annpyon, saerusa, Hasegawa Nanaho, 73777778910, Cherry Blossom Clash, Rose Breznska, Dira Andriani, ryuusei-gemini, Kyo Kyoya, Baka Mamarthy, kouichi yamanishi, lightning struck, Azure'czar, SeraphelArchangelaClaudia, luffy niar, HanakaiGaze, Guest/orang lewat, Nine, KurosawaAlice, Ferishia09, LIIIIIIIII, Rei Ichihara, dan Shigure Haruki.
Kalian itu semacam penyemangat, kalian yang bikin saya mati-matian ngelawan writerblock biar fanfic ini ga diterlantarkan begitu saja x'D dan akhirnya fanfic ini tamat! Yeah!
Oh tapi—Author sudah menghitung hasil vote dan ternyata lebih banyak yang milik 'Recon High School Host club'. Jadi sampai ketemu lagi di cerita baru yang bakalan lebih ringan dan penuh kegajean x'D
(dan buat yang vote demon hunter pandora—maaf ya, setelah RHHS beres, saya bakalan ketik cerita yang itu kok ;w;
Dan buat yang selalu rikues rate M—uhuk, sok atuh sini bantuin author cara bikinnya gimana, Author ga bisa nulis begituan x'D)
Oh.. dan.. promo dikit ya (EA) Author bikin cover lagu Pierrot nya Hatsune Miku buat merayakan (?) tamatnya fanfic ini. Link ada di profile... maaf kalau suaranya ga begitu bagus, but I put my emotion into the song.
Ehem—sekali lagi, terima kasih buat selama ini. Yang bikin fanfic ini jadi bagus bukan saya—tapi kalian. Sekali lagi, kalian.. luar.. biasa!
Jadi,
Selamat tinggal dan sampai jumpa.
With Love,
Nacchan Sakura.