Pierrot

Author: Nacchan Sakura

Pairing: RivaillexEren

I do not own Shingeki no Kyojin.

.

.

.

"Saat aku kecil dulu, aku pernah pergi ke suatu sirkus.

Di sana banyak hal menyenangkan,

Banyak orang tertawa dan terhibur disana.

Lalu,

Aku melihat seorang badut.

Ia berjalan di atas bola, menjaga keseimbangannya—

Lalu, ia terjatuh.

Namun—aneh, walau ia terjatuh, tak ada yang menolongnya untuk berdiri.

Semua orang tertawa.

Bahkan beberapa orang menambahkan luka sang badut,

Melemparinya dengan bola kecil dan buah tomat.

Namun..

Badut itu tetap tersenyum.

Ia bangkit, kembali berdiri, dan kembali berjalan di atas bola. Mencoba sampai ia berhasil.

Membuat semua orang bertepuk tangan, terkagum pada aksinya.

Pada akhirnya, orang-orang mengakui sang badut itu.

Mereka tidak mentertawakan—

Mereka tersenyum kagum melihatnya.

...Hey,

Apa aku—apa aku juga,

Sama seperti badut itu?

Apa aku juga suatu saat... akan berhenti ditertawakan dan diinjak,

Dan bisa membuat semua orang melihatku sebagai orang yang 'hebat'?"

.

.

.

"Eren...?"

Seorang gadis dengan rambut pendek berwarna hitam mengintip ke dalam ruangan yang celahnya terbuka karena pintu yang tak tertutup rapat. Gadis itu melihat sesosok lelaki yang sedang meringkuk di atas kasurnya seraya memeluk sebuah bantal.

Kemudian ia mendengar suara itu lagi—suara isak tangis dari wajah yang ditutupi sebuah bantal.

Mikasa Ackerman—gadis dengan rambut hitam itu, hanya bisa memandang Eren sedih. Sahabat baiknya yang bernama Eren itu—adalah lelaki yang selalu menangis di balik tawanya.

Eren Jaeger. Lelaki yang selalu ceria di kesehariannya ini—menyimpan banyak cerita. Di balik iris hijaunya yang selalu memandang hal positif dalam hidup, ada warna kelabu yang selalu memandang akan negatifnya hidup ini.

Ya—Eren bukanlah lelaki yang begitu disukai di sekolahnya. Setiap hari, semua orang rasanya tidak puas untuk mengatainya dengan kata-kata kasar dan menyayat hati, dan menambahkan luka hatinya dengan luka fisik yang tak kira-kira—seperti melempari Eren dengan batu atau buku tebal, bahkan beberapa terang-terangan menghajarnya bersama-sama.

Keadaannya di rumah memperburuk keadaan—ayah dan ibunya yang selalu bertengkar dan hendak bercerai, sama sekali tidak membuat lelaki itu terhibur. Namun meski begitu, ia selalu mengatakan bahwa ia baik-baik saja, dan menunjukkan senyuman lebar di hadapan Mikasa—sahabatnya satu-satunya.

Walau dilempari batu, walau dipukuli, Eren selalu bangkit kembali, dan tersenyum, lalu berjalan maju tanpa melihat ke belakang.

Namun... ada saatnya engkau dibuat terjatuh lagi, bukan?

"Eren..." Mikasa menghampiri tubuh jangkung yang kurus itu—rasanya, Mikasa takut untuk menyentuh Eren. Ia takut tubuh yang lemah itu akan hancur jika ia tidak menjaganya dengan hati-hati, jika ia tidak menyentuhnya dengan lembut.

"Aku takut, dan aku lelah," Ujar Eren ditengah isak tangisnya. "Aku lelah, aku ingin pergi dari sini. Aku juga—aku juga ingin diakui orang-orang. Aku tak mau selamanya jadi badut yang cuma bisa ditertawakan."

Mikasa mengatupkan mulutnya, matanya tak bisa menahan air mata yang sudah berada di ujung—siap untuk jatuh dan mengalir di wajahnya. Mikasa menggenggam erat tangan Eren—ia mengerti penderitaannya. Ia sendiri bukanlah anak yang bisa dibilang 'bahagia'—orang tuanya dibunuh di hadapannya ketika ia kecil. Dan orang tua angkatnya bukanlah orang yang bisa kau katakan 'orang baik'.

Mikasa juga ingin pergi dan kabur dari takdirnya ini—ia ingin mencari kebahagiaan, dimanapun tak masalah.

Dengan satu tekad itu, Mikasa menarik nafas, dan menarik tangan Eren sehingga bantal yang ia peluk terlepas—membuat Mikasa bisa melihat jelas wajah Eren yang basah karena air mata.

"Eren," Mikasa menarik nafas. "Ayo kita pergi dari sini, bersama-sama."

Dan di hari itu—mereka melakukan apa yang bisa mereka lakukan, perlawanan kecil.

Pergi dari rumah ke suatu tempat yang jauh, sangat jauh—sampai mereka tak tahu lagi mereka ada dimana.

.

.

.

~6 Years later~

"Eren... Eren!"

Eren dengan cepat membuka matanya—disambut dengan pemandangan yang buram dan tak jelas. Ia melihat sosok Mikasa yang menatapnya—namun semuanya tak terlihat jelas. Ada apa? Pikir Eren.

"Kau menangis," Mikasa mengusap air mata Eren—membuatnya melihat sekelilingnya dengan sedikit lebih jelas lagi. "Mimpi buruk lagi.. ya?"

Eren tidak mengangguk ataupun menjawab—namun diamnya itu cukup untuk menjadi jawaban bagi Mikasa. Ya—semenjak mereka lari dari rumah, mimpi buruk itu selalu menghantui Eren selama 6 tahun lamanya. Walau ingin kebebasan dan kini ia mendapatkannya, tetap saja ada hal yang membuatnya tidak bahagia.

Semenjak aksi mereka 6 tahun yang lalu, mereka resmi menjadi dua anak yang tak memiliki rumah dan hidup dengan bekerja di jalanan. Apapun pekerjaan yang bisa mereka kerjakan, akan mereka lakukan—demi sesuap nasi untuk bertahan hidup. Bahkan mereka tak peduli lagi akan tidur di mana nanti malam, mereka bisa tidur dimanapun—bahkan di atas rumput yang beratapkan langit berbintang.

Entah harus sampai kapan mereka bertarung dengan kerasnya hidup. Tapi mereka selalu berpikir bahwa disini masih lebih baik—daripada harus kembali ke rumah.

Ya, Eren hanya butuh Mikasa. Dan Mikasa hanya butuh Eren. Itu saja sudah cukup.

..Apa benar begitu? Saling membutuhkan satu sama lain selagi berusaha untuk bertahan hidup?

Mereka tak akan berbohong jika ditanya ingin memiliki kehidupan yang layak atau tidak. Ya, jawaban mereka sudah pasti—mereka juga ingin hidup yang nyaman.

"Hoo, kalian berdua tidak punya rumah, ya?"

Eren dan Mikasa menoleh dengan cepat—mendengar suara seorang lelaki paruh baya tiba-tiba berbicara pada mereka. Mikasa otomatis berada dalam posisi melindungi Eren—jangan salah, meski wanita, Mikasa hebat dalam bela diri dan mampu mematahkan tulang lelaki paling kekar sekalipun.

"Tenang, tenang, aku bukan orang jahat." Lelaki paruh baya yang tak memiliki rambut itu tersenyum. "kalian kelihatannya masih muda. Umur kalian berapa?"

"Kami—"

"Eren," Mikasa memotong kata-kata Eren. "jangan memberikan jawaban terlalu mudah. Jangan percaya pada orang semudah itu."

Eren pun terdiam, dan mengangguk kecil.

"Baiklah, baiklah," Lelaki itu tertawa kecil. "Dot Pixis. Panggil saja Pixis. Itu namaku. Nama kalian?"

Mikasa terdiam sejenak—masih berkukuh pada pendiriannya untuk tidak menjawab. Namun Eren membisikkan padanya bahwa lelaki ini sepertinya tidak berbahaya.

"...Mikasa Ackerman, 16 tahun."

"Eren Jaeger, 16 tahun..."

Pixis mengangguk seraya tersenyum—pertanda bahwa ia puas dengan jawaban Mikasa dan Eren. Lalu ia kembali bertanya, "Kalian kabur dari rumah, ya?"

Mikasa dan Eren terdiam. Pixis menunggu jawaban—namun ia sudah bisa menebak bahwa jawabannya adalah 'iya'.

"Iya," jawab Eren. Pixis hanya menggumam, 'hmm.'

"Kalian tidak punya tempat tinggal, bukan?"

Mikasa dan Eren hanya mengangguk.

"Kalian mau ikut ke tempatku?" Kata-kata Pixis membuat Eren dan Mikasa mengangkat wajah mereka—wajah terkejut mereka tak bisa terhindar.

"Walau kau tidak terlihat jahat, kami tak akan semudah itu percay—"

"Aku mendirikan sebuah sekolah berasrama. Sekolah asrama wanita dan pria, khusus untuk anak-anak yang memiliki.. 'masalah'."

Eren dan Mikasa terdiam mendengar jawaban Pixis—sebuah sekolah? Apa yang ia maksud adalah, ia ingin memasukkan Eren dan Mikasa ke sekolah itu?

"Disana kalian akan diberi pendidikan dan tempat tinggal gratis sampai kalian lulus. Setelah lulus, kalian semua akan diberi pekerjaan. Dan kalian juga akan diberikan beberapa terapi. Disana banyak anak yang seperti kalian."

"Seperti kami? Berarti itu bukan sekolah—tapi, panti asuhan, 'kan?" Tanya Eren

"Bukan, bukan." Pixis tertawa kecil. "Disana banyak anak yang masih memiliki orang tua. Tapi mereka semua punya 'masalah'. Yaah, bisa kau bilang, seperti.. anak-anak yang Broken home, sering ditindas di sekolahnya, dan beberapa anak yang terkena sedikit gangguan mental karena masalahnya tersebut."

Eren dan Mikasa menatap Pixis beberapa saat—apa lelaki ini benar-benar berpikir bahwa mereka mengalami gangguan mental?

Yah, mungkin tidak—tapi Pixis benar, mereka anak yang tak memiliki kehidupan yang baik di lingkungan keluarganya.

"..Kau tidak akan menyuruhku untuk kerja seharian, lalu memukuliku dengan tongkat Baseball?" Tanya Mikasa—sedikit ragu.

"Hmm? Mungkin kalian akan disuruh bekerja—tapi tidak sendirian, bersama yang lainnya. Kalian juga harus belajar." Jawab Pixis, membuat Mikasa menundukkan kepalanya. "Tapi, kalian tidak akan dipukuli. Kecuali kalian sedang dalam latihan bela diri bersama teman kalian."

Mikasa menunjukkan ketertarikkan akan tawaran Pixis—terlihat dari matanya yang kini terbuka lebar. Ia lalu menoleh ke arah Eren yang masih belum memberikan respon.

"Disana... kami akan dapat tempat tinggal? Tak ada yang akan melempariku dengan batu dan buku tebal?"

"Tidak akan ada yang menyakitimu, Eren. Begitu juga dengan Mikasa—tak akan ada yang menyakiti kalian."

"Tak akan ada yang menyakiti kalian."

Berpegangan kepada kata-kata itu,

Mikasa dan Eren pun mengatakan 'Ya'.

.

.

.

Trost Academy—itulah sebuah papan tulisan besar yang menyambut kedatangan Eren dan Mikasa. Setelah melewati gerbang yang cukup megah, mereka mulai memasuki kawasan sekolah—dan, ya, mereka takjub dengan kemegahan sekolah ini. Bahkan Eren tak percaya bahwa sekolah ini adalah sekolah khusus anak-anak yang 'bermasalah'.

Beberapa murid terlihat memperhatikan Eren dan Mikasa semenjak mereka memasuki gerbang. Jelas saja—pakaian mereka lusuh, dan mereka sangat kotor.

Tapi semua murid yang memandang mereka tak sedikitpun mentertawai mereka atau memandang mereka jijik—mereka semua seakan melihat keadaan Eren dan Mikasa adalah suatu hal yang wajar.

Setelah tatapan dari banyak orang itu, Eren dan Mikasa kini tersadar bahwa mereka sudah berada di ruang kepala sekolah—atau bisa dibilang, ruangan milik Dot Pixis. Pixis membuat dirinya nyaman di atas sofa seraya mempersilahkan Eren dan Mikasa untuk duduk. Dua anak itu hanya menurut.

"Jadi—kalian mulai besok sudah bisa sekolah." Ucap Pixis dengan entengnya, seraya mengeluarkan telepon selularnya dan mengetik pesan—entah kepada siapa. "Ruangan kalian akan segera diatur. Tapi dengan sedih harus kukatakan—kalian tidak berada dalam satu ruangan, kalian dipisah."

Bola mata Mikasa membulat—tidak, sudah 6 tahun ia selalu bersama Eren dan melindunginya. Jika ia pergi, siapa yang akan melindungi Eren?

Mulutnya terbuka, bersiap untuk mengeluarkan banyak protes terhadap keputusan Pixis—namun Eren dengan cepat mencegah Mikasa.

"Pasti ada alasan kenapa kita dipisah, Mikasa. Dengarkan dulu apa yang Pixis-san akan katakan," Ujar Eren

"Tapi—"

"Ya, ada alasannya." Pixis memotong kata-kata Mikasa. "Disini ada dua asrama, asrama putra dan putri. Jelas—kamar kalian harus dipisah, walau kalian saudara sekalipun. Tapi kalian masih satu sekolah dan satu kelas, kalian masih bisa bertemu."

Mikasa merasa sedikit kecewa di dalam lubuk hatinya—namun, ia bersyukur karena Pixis tidak bermaksud untuk memisahkan mereka sepenuhnya.

Suara ketukan di pintu ruangan Pixis membuat Pixis menoleh dan meminta orang di balik pintu untuk masuk. Seorang lelaki dengan rambut pendek berwarna hitam memasuki ruangan.

Dan di saat itu juga, Eren tak bisa melepaskan pandangan.

Lelaki itu memiliki tubuh yang kekar—walau ia lebih pendek darinya. Matanya tajam dan kecil, namun tatapannya membuatmu seolah ditusuk dengan bola mata yang dingin itu.

Tatapan Eren dengan pemuda itu bertemu. Eren seketika merasa nafasnya terputus dan waktunya terhenti. Entahlah—apa yang membuatnya jadi seperti ini?

"Rivaille, baguslah kau sudah datang. Cepat sekali kau melakukan konfirmasi, padahal aku mengirim pesan beberapa menit yang lalu." Pixis tersenyum kecil, namun senyuman itu tak dibalas oleh pemuda bernama Rivaille tersebut.

"Aku sudah menemukan kamar yang tersedia." Rivaille langsung mengatakan tujuannya datang kemari. "Yang di asrama putri, di kamar 12, bersama Sasha Braus. Sementara di asrama putra, saat ini tak ada ruangan kosong untuk angkatan junior—jadi yang lelaki... terpaksa harus berada di dalam satu kamar bersamaku dulu."

Eren mengabaikan kata 'terpaksa' yang begitu ditekankan oleh Rivaille—pikirannya sekarang sedang mencerna kenyataan bahwa lelaki yang lebih pendek darinya ini ternyata adalah seorang senior.

Aneh, ia tidak terlihat seperti anak yang memiliki 'masalah'—kenapa ia bisa berada di sekolah ini?

"Ah, terima kasih, Rivaille. Eren, Mikasa—kuperkenalkan pada kalian, murid ranking satu di sekolah ini, Rivaille. Dan Rivaille, dua anak ini bernama Mikasa Ackerman dan Eren Jaeger. Tolong bantu mereka, ya."

Rivaille dan Mikasa saling membungkuk, pertanda salam kenal. Sementara Eren masih menatap wajah Senpai nya yang harus ia akui, sangat tampan. Eren merasakan Mikasa menyikutnya pelan, memberi sinyal bahwa Eren juga harus memberi hormat pada Rivaille.

Eren pun akhirnya memberi hormat kepada Rivaille—walau sedikit salah tingkah.

"Ackerman, Braus akan datang sebentar lagi untuk mengantarkanmu pada kamar baru. Dan kau—Jaeger, kau ikut bersamaku."

Mikasa menundukkan wajahnya—jelas, ia sedih harus berpisah dengan Eren. Sementara Eren—mengangguk dengan antusiasnya, seraya mengikuti Rivaille dari belakang seperti anak anjing.

"...Oho?" Pixis yang menyadari ketertarikan Eren kepada Rivaille hanya tersenyum penuh arti. "Menarik, menarik."

.

.

.

"Mulai saat ini, ruangan ini akan menjadi ruanganmu, dan ruanganku." Rivaille menoleh ke arah Eren, yang mengangguk kecil. "TAPI, tolong diingat satu hal—aku masih ingin privasiku terjaga. Jadi, jangan terlalu dekat denganku, apalagi jika kau kotor.. seperti ini."

Eren kali ini tertusuk dengan kata-kata dingin Rivaille itu—ya, dirinya memang kotor, tak sebanding dengan Rivaille yang begitu bersih dan terlihat berwibawa. Apa Rivaille memang menganggapnya sebagai gelandangan belaka? Apa Rivaille sebenarnya tidak mau berada di dalam satu ruangan bersama Eren?

Karena dibandingkan dengan dirinya, Eren hanyalah seekor anak kucing jalanan yang sedang berada di dalam satu ruangan dengan seekor kucing persia putih.

Eren hanya bisa menunjukkan wajah yang sedih dengan samar. Namun Rivaille tahu bahwa kata-katanya tadi sedikit menyakiti Eren. Bukannya bermaksud kasar—Rivaille hanya terlalu cinta pada kebersihan, makanya ia mengatakan hal itu. Ia tahu bahwa alasan Eren begitu kotor adalah karena ia selama ini hidup di jalanan.

Bukan karena ia membenci Eren—ia hanya membenci tanah dan kotoran yang menempel di tubuh pemuda itu saja.

Rivaille menghela nafas.

"Buka bajumu, Jaeger."

Eren dengan cepat tersadar dari lamunannya—kemudian ia mengangkat wajahnya dengan mata yang membulat. "E-EEEH?!"

"...Apa-apaan reaksimu itu? Dan kenapa wajahmu menjadi merah? Kau harus membersihkan dirimu, jadi cepat buka bajumu dan pergi ke kamar mandi. Simpan baju kotormu di tempat cucian, kau harus mencucinya besok. Sementara kau mandi, aku akan ambilkan pakaian bersih yang sudah disiapkan untuk murid baru."

Untuk sesaat, untuk sesaat saja—Eren sedikit kecewa karena Rivaille mengatakan itu hanya untuk menyuruhnya mandi.

UHUK, oke, Eren kemudian membuang pikiran nakalnya.

"U-uhm, baiklah. Terima kasih, Rivaille-senpai. Maaf merepotkanmu."
"Hnn. Cepatlah, Eren. Kau mengotori ruanganku."

'Eren',. Rivaille baru saja memanggil Eren dengan nama kecilnya. Dan entah kenapa, ia merasa senang.

Eren tersenyum, seraya melihat sosok Rivaille yang perlahan pergi meninggalkannya untuk mengambil beberapa pakaian bersih. Senyumannya tak memudar—untuk pertama kalinya,

Ia bersyukur kepada Tuhan karena ia masih dibiarkan hidup.

"Mungkin... tinggal disini tidak ada salahnya."

Dengan satu kalimat itu, Eren memasuki kamar mandi dan memebersihkan dirinya.

Dan ia memulai hidup barunya di Trost Academy—bersama Mikasa, dan Rivaille.

.

.

.

"Di saat aku menonton sirkus itu, hatiku sedang sangat sedih.

Aku tak tertawa bersama penonton yang lainnya—aku bahkan tidak memperhatikan badut itu dengan baik.

Aku menangis sepanjang pertunjukkan—aku menangis di antara kerumunan banyak orang,

Namun tak ada yang menyadari keberadaanku.

Kecuali satu orang—

Ya, satu orang.

Sang badut menghampiriku dan memberikan setangkai bunga mawar berwarna kuning yang cantik,

Ia menyadari bahwa aku menangis.

Dan di dalam keramaian itu, ia berkata kepadaku;

"Jangan menangis. Bangkitlah dan mulailah berjalan,

Tangisanmu, biar aku yang menyimpannya.

Dan sekarang, yang tersisa untukmu hanyalah senyuman saja."

Dan dengan satu kalimat yang membuatku berhenti menangis itu,

Sang badut kembali ke tengah panggung dan berjalan di atas bola.

...Mungkin, harus kuakui,

Sejak saat itu,

Aku bertekad untuk menjadi orang yang bisa menjadi kekuatan bagi orang lain.

Walaupun orang-orang hanya menganggapku,

Sebagai seorang badut belaka...

.

.

.

To be continued