"Just, How to Save a Life."

Hetalia © Hidekazu Himaruya

HetaOni © Tomoyoshi

Warning : Fem!Indonesia, OOC (maybe), typo(s), Fail!Romance (kalo ada), Bloody scene (tapi gak begitu bedarah-darah, itupun kalau ada)

"Berbicara biasa."

"Bahasa asing/Berbisik." (tergantung konteks kalimat)

'Berbicara dalam hati.'

Listening to : When I'm Gone by Lulu and the Lampshades

.

.

.

.

.

.

.

Chapter Three : That Dark Room With the Monster Inside...

~~.~~

"NESIA-CHAN! DI BELAKANGMU!"

Jika wanita itu tidak bereaksi dengan cepat, sudah pasti dia akan dicabik-cabik oleh tangan abu-abu yang datang bagaikan pepatah 'Datang tak diundang, pulang tak diantar'. Kedua orang itu melompat untuk menghindar tapi terlempar ke belakang akibat kontak angin dari serangan mendadak itu. Yang laki-laki terlempar lebih jauh dan membentur salah satu tiang penyangga.

"Ugh!" erang Japan. 'Yang tadi itu sama sekali tidak didug—!' Tangan itu tiba-tiba mundur masuk kembali ke dalam tembok putih yang mengelilingi mereka. Ia masih berada di posisi sama dengan mata yang terbelalak sebelum mata hitamnya bergerak untuk melihat wanita yang ada di depannya sedang tertatih-tatih untuk bangun. "Nesia-chan! Kau tidak apa-apa?!"

Nesia masih mendesis pelan akibat sakit yang dirasakannya. "Ya." Nesia menatap Japan. "Aku tidak apa-ap—! Japan, di atasmu!" mana yang paling cepat : tangan Nesia yang sekarang meraih pisaunya itu atau,

Tangan monster abu-abu itu yang kini berada tepat di atas kepala Japan. Tidak hanya tangannya, kepala monster itu juga keluar. Nyawa sang pemuda Jepang itu sekarang menjadi taruhan.

Ia terdiam.

Sang personifikasi Jepang itu terdiam ketika matanya bertemu dengan mata merah sang monster yang kini menatapnya dengan mata memburu. Hanya tinggal menunggu waktu merengut jiwanya. Japan menutup kedua matanya bersiap menerima takdir.

Tapi, maut tak kunjung datang untuk mengambil jiwanya. Hal itu justru diganti dengan suara raungan kesakitan. Japan pun membuka matanya. Sebuah combat knife bertengger manis di dahi monster itu. Darah segar itu mengalir bagaikan air terjun yang jatuh dengan airnya yang menyegarkan.

Nesia, yang kini telah berdiri sempurna dengan kedua kakinya langsung berlari, menarik tubuh Japan sebelum monster itu menyadarinya. "Japan! Kau tidak apa-apa?!"

Japan mengangguk kecil, dia masih belum terbiasa dengan situasinya yang sekarang. Walaupun ia ahli yang namanya membaca suasana bukan berarti dia tidak bisa terbiasa dengan satu situasi apalagi kali ini menyangkut nyawanya. 'Pintunya?' Japan melirik ke arah pintu. Jaraknya hanya tinggal beberapa meter dari tempat dimana ia berada.

Lari.

Lari!

Tunggu apa lagi?!

LARI!

Bagaikan sebuah air yang tenang dan dikejutkan oleh listrik, Japan langsung menarik tangan Nesia. Tak peduli kalau monster itu sudah melepas pisau yang tadi menancap di dahinya dan segera mengejar mereka, meraih kunci pintu perpustakaan yang tadi jatuh dari kantongnya – ia menyadari itu ketika ia membentur tiang penyangga – dan langsung memasukkan sekaligus memutarnya.

CKLEK! BLAM! – mereka berdua pun berhasil keluar.

"Hah...hah..." oksigen adalah yang mereka perlukan saat ini. Japan menatap telapak tangan yang sedikit tergores karena terlalu buru-buru memasukkan kunci pintu itu.

Lamban.

Proses penutupan luka itu lamban.

'Aneh? Biasanya luka biasa seperti ini akan menutup dengan cepat.' Pikir Japan.

"Hei, Japan." Panggil Nesia. "Mungkin kau akan berpikir ini aneh tapi aku benar-benar mendapatkan firasat yang sama sejak kita masuk kesini."

"Firasat apa?"

"Firasatku mengatakan—" Nesia mendongak, melihat ke arah langit-langit. "—ini bukan pertama kalinya kita kesini."

"!?" Japan merangkak perlahan ke arah Nesia yang sedang duduk bersandar di dinding. "Bu-Bukan pertama kalinya? Tapi, Nesia-chan itu ANEH!"

"Kan sudah kubilang kau pasti akan mengatakan kalau itu ANEH!" bentak Nesia tapi dia segera melihat ke arah lain. "Maaf, aku tidak bermaksud untuk membentakmu."

Japan memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan, situasi seperti ini memang bisa membuat seseorang stress dan menjadi naik darah. "Apa kita harus melapor ke Doitsu-san?"

"Tapi jangan katakan padanya apa yang baru saja terjadi." Kata Nesia sambil berdiri. "Hey, Japan. Aku menemukan kunci ini tadi saat kita berlari keluar."

Japan mendekat untuk melihat kunci itu. "4F. Ini kunci untuk lantai 4." Komentarnya. "Mau kesana?"

"Boleh saja. Kalau kau tidak keberatan."

~~.~~

CKLEK suara kunci yang membuka sebuah pintu di lantai 4. "Ini dia. Siap?" tanya Japan sementara Nesia hanya mengangguk.

Dan terbukalah pintu itu. Luas. Kelihatannya rata-rata ruangan yang ada di mansion ini memang luas. "Ruangan apa ini?" tanya Nesia.

"Entahlah." Jawab Japan lalu ia mendekati sebuah bangku merah. 'Bu-Busby Chair?!'

...yu...

"Japan, kau mengatakan sesuatu?" tanya Nesia.

"Tidak. Memangnya ada apa?" Japan berbalik tanya.

"Kurasa aku mendengar suara—"

...yuu...

"—Ah! Itu! Kau dengar?!"

Japan mencoba untuk berkonsentrasi. "Samar. Tapi memang benar ada suara."

...Myuu...

"Emmm, Nesia-chan. Apa monster abu-abu itu bersuara seperti ini?" tanya Japan.

"Itu tidak mungkin. Suaranya bahkan terdengar lebih unyu daripada monster itu."

"U-Unyu?"

Myuu!

"Dari sini asal suaranya." Japan mendekati sebuah rak buku kecil yang berada di pojokan ruangan. "Ichi, nii, san!" Menarik rak itu? Japan kau memang kuat, hati-hati kalau tidak punggungmu akan encok.

GREEEK! – Rak itu pun tergeser, menunjukkan sesuatu yang menyebabkan suara daritadi.

...

"M-Mo-Mochi?!"

"KENAPA ADA MOCHI YANG NYANGKUT DISANA?!" pekik Nesia. "DAN KENAPA MOCHI ITU MIRIP DENGAN AMERIKA!?"

"Ah, tenanglah Nesia-chan. Kau menakuti mochi itu." Kata Japan. "Sebagai seorang wanita, kau dilarang menakuti sesuatu yang moe!"

"M-Moe?"

"Kelihatannya dia tersangkut begitu dalam." Kata Japan. "Dia bahkan melihat kita berdua dengan mata sparkling."

"Japan, aku baru tahu ada istilah mata yang sparkling." Nesia mendengus pelan. "Kita minta bantuan saja ke Germany."

"Ide yang bagus. Tunggulah disini, Mochi-san." Kata Japan sambil mengelus mochi itu dan berjalan menuju pintu bersama Nesia.

"Kau memang lemah terhadap sesuatu yang imut, Japan." Sindir Nesia sembari menutup pintu.

"Dan karena itu aku lemah terhadapmu, Nesia-chan." Balas Japan. "Karena kau imut~."

Nesia terdiam. Wanita itu menutupi wajahnya yang telah merah bagai tomat segar di halaman sang personifikasi pecinta tomat, masih tak percaya akan kata-kata sang pemuda di depannya. Ia begitu terus sampai akhirnya, "JAPAN!" berteriak dan mengejar pemuda itu hingga sampai ke depan pintu ruangan yang memang mereka tuju.

~~.~~

TAK! KLAK! BRAK! TOK! DUK! – dan berbagai suara lain yang terdengar dari balik pintu besi itu. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh sang personifikasi Jerman itu?

"GERMANY!" "DOITSU-SAN!" panggil Nesia dan Japan. Tentu saja, dengan volume suara yang tinggi.

Dan suara gaduh itupun berhenti. "Oh. Japan, Nesia. Kalian sudah kembali?"

"Ya. Dan tolong keluarlah dari situ sekarang, kami membutuhkan bantuanmu untuk mengeluarkan sebuah mochi." Pinta Japan.

"..." hanya diam sebagai jawaban yang mereka dapat.

"Germany?" panggil Nesia. "Kau tidak apa-apa?"

"Ah, ya. Aku tidak apa-apa. Tapi, bisa tolong kalian carikan cambukku? Aku tidak akan keluar sebelum ada itu." Kata Germany.

"...Doitsu-san, sejak kapan kau menjadi seperti seorang anak kecil yang tidak mau keluar dari kamarnya kalau tidak diberi barang yang ia mau?" tanya Japan. Persepsimu ada benarnya juga.

"A-Aku serius! Jika aku keluar tanpa senjata, aku bisa menjadi sasaran empuk monster itu!" bantah Germany.

Nesia hanya berusaha menahan tawanya ketika ia mendengar kata 'sasaran empuk'. Japan hanya tersenyum aneh dan langsung merogoh tas pinggang kecil yang ia pakai. "Doitsu-san, sebenarnya kami sudah menemukan cambukmu." Kata Japan. "Ini."

Japan menyelipkan cambuk itu ke celah bawah pintu agar masuk ke dalam. "Sekarang, ayo keluar, Doitsu-san."

"..." kembali hanya diam yang mereka dapatkan.

"Oi, Germany." Panggil Nesia. "Keluar sekarang juga! Atau kudobrak pintu ini!"

"Nesia-chan, sabarlah!"

"...Hey, kalian berdua." Panggil Germany.

"Ya?"

"A-Aku tahu ini aneh tapi," –Nesia dan Japan masih menunggu—"bi-bisakah kalian mencari sesuatu untuk dimakan untukku?"

Keheningan melanda mereka sebelum akhirnya ada suara pintu ditendang. "Germany! Jangan bercanda kau!" bentak Nesia. "Kau tidak tahu situasinya sekarang!"

"Nesia-chan!" Japan menahan wanita itu dari belakang. "Sabarlah! Doitsu-san, pasti punya alasan!"

"Alasan?! Itu lebih mirip seperti rengekkan seorang anak kecil!" Nesia mencoba melepaskan diri dari tangan Japan yang semakin menguat untuk menahan tubuhnya.

"Kalian berdua jangan bertengkar!" pekik Germany dari dalam.

"Kalau begitu, keluar sekarang juga!" kembali Nesia membentak.

"Ta-Tapi, soal yang tadi itu, aku serius!" Germany kembali mencoba menjelaskan.

"...Baiklah." Nesia akhirnya tenang kembali. "Japan, lepaskan aku."

"Ha-Hai." Japan melepaskan pegangannya. "Doitsu-san. Tetaplah disana sampai kami kembali."

"..." Diam. Dan itu yang mereka dapat sebagai jawaban.

Dan ketika dua orang itu keluar dari ruangan, suara gaduh kembali terdengar.

~~.~~

Di lantai 1...

"Aku tidak mengerti. Apa sih maunya itu? Aku tidak pernah melihat Germany seperti ini." Kata Nesia.

"...Sebenarnya aku juga tidak percaya dengan keadaan Doitsu-san sekarang ini." Kata Japan. "Aku sudah mengenalnya sejak bergabung dalam grup Axis."

"Aku mengenalnya sejak aku dan dia melakukan hubungan diplomatik. Tidak selama kau. Tapi, mengingat sifatnya yang workaholic dan serius. Siapapun akan cepat ingat bagaimana sifatnya." Kata Nesia lalu dia berhenti. "Hey, Japan. Kau ingat pintu yang di dekat kamar mandi?"

"Ya. Lalu?" tanya Japan.

"Apakah waktu itu pintunya terkunci? Soalnya sekarang pintu itu terbuka." Nesia menunjuk ke arah pintu yang dimaksud.

Japan bergeser agar pintu itu dapat terlihat dengan jelas. Ia menelan ludah. "Ayo, kita cek. Mungkin ada petunjuk atau kunci untuk ruangan di mansion ini." Japan berjalan menuju pintu yang sudah seperempat terbuka diikuti oleh Nesia.

KRIEET! – pintu itu dibuka hingga kedua orang itu masuk ke dalamnya. Japan masuk terlebih dahulu. Baru saja Nesia melangkahkan satu kakinya ke dalam ruangan itu. Ingatannya kembali.

Ingatan akan kematian itu kembali.

Kali ini yang dilihatnya dalam pikirannya itu sama seperti keadaan ruangan itu.

Gelap.

Hanya ada suara gemerisik dan setelah itu,

Ada suara,

Suara sesuatu yang ditebas. Mata hitamnya –yang melihat bak kamera yang menyaksikan film atau lebih tepatnya gambaran kematian— bertumpu ke lantai. Ia melihatnya akibat cahaya remang-remang akibat pembiasaan dari lampu di lorong.

Darah.

Bahkan ini lebih bercipratan kemana-mana. Ia mendongak dan kini bertemu dengan sang pembunuh. Monster itu. Cakarnya yang tajam itu, terangkat tinggi dan—

NESIA-CHAN!

"!" Nesia berhasil kembali dari pikirannya itu. "Ja-Japan."

"Nesia-chan." Laki-laki Jepang itu memandang wanita yang di depannya lekat-lekat. "Jangan bilang kalau kau..."

"Ya. Ingatan akan kematian itu kembali." Nesia terengah-engah sebelum ia menyadari sesuatu. "Japan, cari saklar dan nyalakan lampunya."

"Me-Memangnya kenapa?"

"Cepatlah! Kita akan mati jika lampu ruangan ini tidak dinyalakan!" Nesia langsung –dengan panik— mencari saklar lampu ruangan itu, diikuti oleh Japan.

"Ini dia!" pekik Japan dan langsung menekannya.

KLIK! – ruangan itu sekarang telah disinari oleh lampu.

Ah, ketinggalan. Bukan hanya ruangan itu yang telah disinari cahaya lampu sekarang.

Monster itu juga.

Dia telah berdiri di hadapan mereka.

Dan bersiap untuk menghabisi nyawa mereka.

.

.

.

.

.

.

.

To Be Continued...

.

.

.

.

.

Saya tau kalau lagu yang saya dengerin sambil ngetik chapter ini, itu gak nyambung tapi enak aja gitu pas ngedengerin lagunya dan belajar mainin Cup Song itu susah-susah gampang. #curcol #dibuangkelaut

Gomen~, kalau updatenya kelamaan. Saya lagi jatuh-bangun. Biasa, penyakit saya kambuh lagi.

Yok! Kita jawab review dulu!

Ksatria Garuda Indonesia : Saya juga pernah main yang Ao oni tapi saya nyerah gara-gara puzzlenya susah-susah banget. #otaksayalemot. Udah mana Oninya ngajak berantem mulu dan gamenya itu tiap dimainin lemot terus. Tunggu, kenapa jadi malah curcol? Tenang aja, nanti personifikasi yang lain masuk juga kok cuman sekarang baru segini dulu. Ditunggu aja~

Star-BeningluvIndonesia : Makasih! Tapi, jangan ngeringkuk di pojok ntar si Steve dateng loh~

Parkiran Elang : Ngakak begitu liat usernamenya. Nah, ini udah diupdate.

Kwon Eun Soo : Ini udah diupdate.

Noir-Alvarez : Kasih tau gak ya~. Saya juga masih bingung mau mereka itu cuman dikejar-kejar sama Steve atau ada orang misterius atau gimana karena ini adalah fanfic remake dari HetaOni tapi ditambah sama Fem!Indonesia. (cerita aslinya liat aja di Youtube)

Saya in FFland : Saya suka bikin cerita agak tanggung-tanggungan. Semangat buat nanti MOPDBnya! Jangan ngelawan senior selama masih MOPDB biar gak dapet kesan buruk dari senior-senior selama sekolah. Saya lebih enak kalau semuanya manggil satu sama lain pake bahasa Inggris kecuali Japan.

Yang bagian terakhir itu, tau kan ruangan yang di lantai 1 deket kamar mandi di HetaOni kan gelap tuh dalemnya, nanti ada pilihan nyalain lampunya apa enggak. Kalau misalnya, kita pilih gak nyalain lampunya maka kita bakalan diserang sama Steve and then GAME OVER, nah kalau misalnya pilih iya dinyalain lampunya Steve tetap nyerang kita tapi tenang aja kok kita gak bakalan GAME OVER.

Yup. Udah dulu ya~ minta review ya~

Next Chapter : "Forgive me, it's tough to being alone."