Affection? What is Like?

.

Naruto © Masashi Kishimoto

This fic © author

.

This is a rewrite version of previous chapter. Arigato for reading!

.

Naruto Uzumaki – Sabaku no Gaara – K+/T – Family/Angst

.


.

Chapter 2

Suara lonceng dipukul menggema ke seluruh ruangan di kelas. Sosok Gaara muncul dari kerumunan paling belakang. Sebuah teddy bear berada dalam pelukannya. Sorot matanya selalu mengarah ke bawah, ekspresi kosong dan dendam menjadi satu. Bagaimana ia bisa pulang tanpa ada seorang pun di rumah? Siapakah yang akan mengajarinya matematika? Siapa yang akan mengajaknya bicara? Ya, Yashamaru.

Yasha... maru. DEG! Tubuh mungil Gaara tersentak. Rasa sakit itu datang lagi. Menerjang dadanya. Sakit... Tidak, tidak. Dimana Yashamaru saat ia membutuhkannya? Menyebut nama Yashamaru saja membuat rasa sakit itu semakin parah, membuatnya terduduk di antara kerumunan murid yang akan pulang. Menghalangi jalannya murid yang lain. Namun ia tak peduli, ia tetap merasakan rasa sakit itu. Beberapa temannya mengaduh ketika kaki-kaki mereka tak sengaja menendangnya, kemudian mengomel tanpa henti. Yang lain meneriakinya dengan kata-kata tidak mengenakkan hati.

"Dasar! Tidak punya tempat apa, duduk di tengah jalan!"

Gaara kecil menghela napas panjang. Syalnya ia cengkeram kuat-kuat, pelukan pada teddy bear-nya juga, ia merintih tertahan. Rasa sakitnya mulai memudar saat nama Yashamaru menghilang dari pikirannya. Tapi ia masih tak sanggup berdiri sendiri, kakinya terlalu lemah.

Sebuah lengan terjulur dari seorang anak seumurannya. Senyum tipis menghiasi wajah si bocah matahari. Rambut kuningnya berkibar menebar kebahagiaan. Gaara bertemu dengannya lagi. Namun, Gaara masih bergeming. Menatap mata seluas langit, sedalam lautan. Bagaimana ia baru tahu bila bocah ini memiliki mata yang menakjubkan?

Tangan itu masih bergeming. Gaara akhirnya mengerti. Ia berdiri dengan wajah yang campur aduk. Antara tercengang, dan berterima kasih.

"Arigat—"

"Sudah, tidak perlu berterima kasih, begitu." Cengiran mulai menghiasi wajah si pirang. "Ayo kita pulang." Ucapnya, kemudian menarik tangan Gaara. Gaara hanya mengikuti, tangannya yang lain mencengkeram teddy bear.

Langkah kaki si pirang benar-benar bersemangat. Ia sampai-sampai harus berlari kecil, menyamai langkah anak hiperaktif itu. Mereka sampai di depan gerbang.

"Ayo, aku akan menunggumu di jemput," kata temannya itu. Gaara juga tidak tahu siapa namanya, dan selalu tidak mau untuk menanyakan siapa namanya.

"Tapi aku pulang sendiri." Jawabnya. "Kau saja yang pulang duluan."

Hening sejenak. Suara anak-anak kecil menjadi latar belakang yang riuh, serta menyenangkan. "Meskipun aku pulang, tidak akan ada siapa-siapa di rumah."

Gaara dibuat tersentak lagi. Bukan karena kalimat yang baru diucapkannya, tapi caranya berbicara. Nadanya berubah dingin. Sorot matanya menatap kaki. Sinarnya ada yang memudar, redup. Bagaimana bisa...?

Bocah itu menatap Gaara dengan senyuman hambar, dan berkata, "Kau tahu? Tidak ada siapapun di rumah. Tak ada."

Hati Gaara kecil bergetar. Teddy bear dalam pelukannya juga ikut bergetar. Dia sama dengannya. Kesepian. Kesakitan. Di dalam tawa renyahnya tersimpan kesedihan yang lebih, lebih pahit darinya.

"T-tapi, tidak apa-apa kok!" suaranya mulai kembali ceria. "Aku lebih suka sendiri..." Tawanya terlihat palsu. Gaara ikut tertawa, walaupun tak terlihat.

"A-ano, rumahmu dimana?" Gaara terdiam. Kembali menerawang. Ia selalu tak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan temannya ini. Walau ia tahu pertanyaannya sangat-sangat sederhana. Dimana rumahmu?

"Hei, jangan melamun lagi, dong. Aku kan bertanya padamu."

"Rumahku-rumahku di—"

"Naruto! Oi, Naruto!" sebuah teriakan memecah suara Gaara. Guru berwajah ramah berlari menghampiri kedua anak itu. Senyumnya terkembang jelas.

"Ah, Gaara ya?" tanya si guru. Gaara mengangguk pelan, sinar sinisnya meredup.

"Guru Iruka!" balas anak berambut kuning, yang baru diketahui namanya Naruto. "Guru Iruka sedang apa di sini?"

"Ah, kebetulan sekali aku mau pulang, tapi ada kau, Naruto. Bagaimana kalau kutraktir ke Kedai Ramen Ichiraku?" tanpa jawaban pun, guru yang satu ini sudah pasti hafal jawabannya. Naruto nyengir kuda. "Dengan Gaara juga." tambahnya.

Gaara bergeming, ia tak kuasa menolak, tapi juga tidak ingin ikut. Akhirnya, ia hanya mengekori langkah kedua orang yang belum lama dikenalnya. Kedai itu terlihat ramai, tapi tidak penuh. Ada beberapa kursi kosong di dalam. Mungkin cukup untuk dirinya dan dua orang di depannya itu.

"Gaara, kau mau pesan apa?" guru Iruka berbalik. Menatap Gaara lembut.

"T-terserah Guru, saja.."

"Baiklah!" suara cempreng itu menimpali. "Paman~ Ramennya dua ya dan satu mangkuk yang jumbo~!"

"Baik!" paman kenalan Naruto tersenyum dari balik pintu dapur. "Silahkan duduk."

Selama menghabiskan ramennya, bocah pasir itu hanya diam tanpa ekspresi. Jika ditanya ia akan menjawab, jika tidak, mungkin mulutnya hanya digunakan untuk menyantap ramen. Ia terus-menerus melihat Naruto yang terus menambah ramen tanpa berhenti, kemudian pandangannya berganti ke guru Iruka yang hanya tersenyum melihat tingkah Naruto. Ia mellihat kebahagian dan kehangatan sebuah keluarga—meskipun bukan benar-benar keluarga—di sini.

Tumpukan mangkuk ramen yang menjulang menjadi background saat ketiga orang itu keluar dari kedai. Naruto berkali-kali bersendawa, sementara guru Iruka—Gaara khawatir nafsu makan Naruto bisa-bisa membabat habis kantong guru baik hati tersebut. Namun nyatanya, guru Iruka tetap tersenyum melihat tingkah anak didiknya yang satu ini.

Bulan pucat mengambang di angkasa. Derap langkah kaki terhenti ketika ketiga orang itu berhenti di sebuah pertigaan.

"Gaara, mau kuantar pulang?" Gaara mendongak, melihat wajah lembut guru Iruka—persis seperti Yashamaru... Ah, jangan sekarang...

"Gaara?"

"Ah, tidak usah Guru. Aku pulang sendiri saja." Gaara bersiap membungkuk. "Arigat-tou Guru Iruka, Na-naruto."

"Ah, tidak usah begitu." Timpal Naruto, senyumnya diterangi temaram bulan.

Senyum simpul terukir di wajah Gaara. "Sayonara Guru Iruka, Naruto."

"Jaaa..."

"Jaa, Gaara..."

Ah, jadi namanya Naruto.

Naruto...

oOo

"Tadaima."

Clek. Pintu terbuka. Lampu dinyalakan. Sebuah ruangan kecil, tempat tinggalnya disinari lampu sekarang. Tidak ada siapa-siapa. Dan pikirannya malah melayang ke teman kecilnya, seseorang berambut merah bata.

Ternyata, namanya Gaara. Ia teringat mata hijaunya. Mata teredup yang pernah ditemuinya. Wajahnya dipenuhi kesedihan dan kesakitan yang tak kunjung sembuh. Luka yang tak kunjung kering. Ia kira, hanya dia yang memiliki perasaan seperti itu. Ternyata tidak. Masih ada orang yang sama dengannya.

"Dikucilkan, dicemooh..."

Tangan-tangan kecil Naruto bergerak membereskan barang-barang di apartemennya.

"Dianggap monster... Tak pernah benar..."

"Dijauhi..."

"Tidak punya teman."

Ujung bibir bocah kecil itu terangkat.

"Tidak ada teman. Sama sekali."

oOo

Pagi menjelang. Mentari menampakkan diri perlahan, menyebarkan sinar penyemangat setiap harinya. Setiap hari dimana si Bocah Pirang bangun kesiangan—kesekian kalinya. Teriakan—entah karena apa—menggema di setiap lorong, yang untungnya masih sepi dari keramaian.

Jauh di desa yang masih berseberangan, seorang bocah bermata panda, bangun dari tidurnya—semacam istirahat panjang yang sangat melelahkan. Manik hijaunya redup. Dan dingin. Perasaannya benar-benar campur aduk ketika ingatannya kembali ke malam kemarin. Saat Guru Iruka dan Naruto—ya, Naruto mengajaknya ke Kedai Ramen Ichiraku. Selama ini, tidak ada yang mau mendekatinya. Alasannya? Banyak. Mulai dari argumen 'seorang anak kazekage yang sombong, tidak mau berteman dengan anak-anak yang lain' sampai julukan dan pem-bully-an yang dilakukan terhadapnya. Siapa yang mau menyapanya? Siapa yang mau berbicara dengannya? Hanya Naruto... dan Guru Iruka, waktu itu. Kenapa bocah blonde itu mau berbicara dengannya? Apa dia tidak mendengar kabar-kabar atau gosip-gosip yang sudah melayang dan menyebar ke seluruh sekolah? Apa dia bodoh? Kelihatannya iya, tapi ia bisa memilih teman yang lain! Gaara kecil tidak pantas dijadikan teman, karena Gaara adalah monster! Selamanya akan menjadi monster. Dan monster hanya dapat membunuh untuk membalaskan dendamnya.

Gaara tersentak keluar dari alam bawah sadarnya. Mengapa pagi-pagi ia sudah memikirkan hal yang tidak penting? Otaknya benar-benar sudah tidak waras. Mungkin tertular Naruto. Ia menggeleng-gelengkan kepala, kemudian masuk ke kamar mandi.

"Naruto..." lirihnya.

Dan jauh disana, seorang laki-laki kecil berlari tergesa seraya membenarkan tali sepatunya dengan sedikit melompat-lompat. Rambut nanasnya bergerak-gerak lucu setiap ia melompat agar keseimbangannya terjaga. Tapi, tentu saja ia tak peduli. Ia hanya peduli pada bel masuk yang akan berbunyi, tiga menit lagi.

oOo

Lagi-lagi, Gaara tidak memperhatikan guru yang berdiri di depan kelas. Pandangannya menerawang keluar jendela. Mengabaikan setiap pernyataan dari Guru Kakashi.

"Tuan Sabaku, apakah kau mendengarkanku?"

Gaara tersentak pelan. Matanya sekarang tertuju ke guru bermasker dengan sebuah buku kecil di tangan, yang sedang menatapnya bersama anak-anak lain.

Ia bergerak-gerak gelisah. "Sepertinya tidak Tuan Sabaku. Tolong perhatikan penjelasanku, sekali lagi."

"Baik sensei."

Selesai sudah. Guru itu kembali melanjutkan penjelasannya, pandangan satu per satu anak mulai lepas darinya. Gaara hanya mematung, tapi tanpa di sadarinya, mata seorang gadis kecil terus menatapnya, hingga jam pelajaran selesai.

Bel istirahat berbunyi. Sekali sentakan, segerombolan besar anak berbondong keluar dari kelas, mencari keramaian. Sementara bocah bermanik emerald hanya terdiam di bangkunya, kemudian mengambil teddy bear kesayangannya dari kolong meja. Memeluknya.

oOo

Gaara pulang lagi. Sendiri lagi. Bocah kecil itu bersemayam dalam kebisuan, tak ada minat untuk berbicara. Untuk berpikir. Satu tujuannya: cepat-cepat pergi dari sekolah.

Panas matahari sudah meredup dan hanya menyisakan sedikit lembayung sore. Burung-burung berterbangan seperti siluet agung yang kuasa. Pemandangan indah menjelang pulang. Tapi sayang, tak ada yang Gaara harapkan dari lembayung itu.

Sunyi.

Semakin kaki kecil melangkah, semakin jauh arah pemikiran Gaara. Sekarang tujuannya berubah lagi. Ia ingin pergi dari sekolah, namun ia juga tak ingin pulang ke rumah. Pulang ke rumah sama saja seperti menyayat nadinya perlahan. Sakit.

Grep.

Ia menghentikan langkah. Iris hijaunya menemukan sebuah siluet seorang yang tidak asing, sedang berdiri di depan sebuah ayunan, menatap kepergian mentari. Refleks bibirnya sumringah, masih ada orang yang bisa menemaninya kali ini saja.

Ini saatnya untuk menyapa duluan.

"H-hei."

Sosok jabrik itu menoleh heran.

"Hai."

Senyumnya. Gaara bisa melihat senyumnya yang lemah itu. Ada sebuah keheranan yang melintas dalam pikiran Gaara. Mengapa seorang anak yang dikenal berisik bisa berubah begini saat ditemuinya?

"Bagus ya?" tanyanya. Pertanyaan yang disadari Gaara sengaja dibuat agar perhatiannya teralih dari senyum itu.

Gaara mengangguk—terpaksa. Lemah. Sebenarnya, ia tak menemukan secuil keindahan pun di sana. Di matahari itu. Gaara kecil tersenyum dipaksakan.

"Sedang apa kau… di sini?"

Bocah bermata safir kembali memutar kepala, kemudian anehnya ia tertawa.

"Ke sini? Tentu saja melihat ini semua."

"Melihat…? Untuk apa kau melihat ini?"

Kesunyian mendadak retak dan pecah berkeping-keping di dalam perkataan yang diucap Gaara. Benteng pertahanan bocah pasir yang paling kuat itu, kini hancur dan tinggal serpihan saja. Naruto berhasil membangkitkan kepribadian Gaara yang sesungguhnya: bocah kecil yang polos. Bocah yang seharusnya tanpa dendam, tanpa tahu arti rasa sakit. Yang hanya dilimpahi kasih sayang dan kasih sayang.

"Aku pikir matahari itu… mirip dengan… ibuku," kata Naruto. "Meskipun aku belum pernah bertemu dengannya, aku yakin, dia… dia… seperti matahari itu."

Ibu?

DEG!

Kenapa jantung Gaara berdebar lebih cepat? Ada yang salahkah? Apa yang salah dengan kata ibu? Mengapa begini?

Tangan kecilnya naik dan menyentuh dadanya yang berbalut syal. Dengan begitu, ia merasakan jantungnya memompa darah dua kali lebih tergesa.

"Ibu?"

"Iya Ibu. Kau punya ibu bukan?"

"Aku—tidak pernah bertemu dengan ibuku." Ujar Gaara polos, masih dengan tangan yang mendekap dada, mencoba menetralkan kerja jantungya.

Naruto tersenyum dalam kesamaran, karena matahari sudah masuk keperaduannya. Dan di sana, tinggal mereka berdua.

"Berarti kita sama."

Berarti kita sama. Berarti kita sama. Kita sama.

Sama.

Sama?

"TIDAK!"

Naruto menoleh tersentak. Suara bernada tinggi itu tidak mungkin milik Gaara.

"Aku—aku tidak sama denganmu! Aku monster! Aku dibenci! Tidak akan diterima, oleh siapapun, dimanapun!"

"Kita berbeda!"

Gaara tengah terisak sambil mengatur nafasnya. Teddy bear didekapannya tampak porak-poranda, sasaran luapan emosinya selama ini. Sementara Naruto masih menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. Monster? Dibenci? Bukankah itu dirinya juga?

"Ak-aku tidak p-pernah diakui! S-semua orang m-membenciku! Apa aku p-pantas mempunyai se-seorang teman?"

"T-tidak kan?!"

Gaara menjadi. Air matanya meleleh makin banyak. Teddy bear-nya semakin hancur. Tapi, bocah bermata safir itu hanya terdiam. Perlahan, Naruto tersenyum.

"Semua orang pantas memiliki teman, Gaara. Tidak ada batasan, apakah dia orang paling dihormati, atau orang paling rendah sekalipun." Ujar Naruto. Matanya beralih ke bawah. "Aku, anak yatim piatu yang selalu diabaikan. Siluman, begitu kata orang-orang. Mereka takut jika didekatku. Aku tahu, sebuah monster ada dalam diriku, bersemayam didalam tubuhku. Aku saja tidak tahu siapa orang tuaku, dan semua orang menyalahkanku atas kejadian tujuh tahun yang lalu."

"Kau… pasti tahu kejadian yang kumaksud bukan?"

Naruto menghela napas berat. Gaara menggeleng-gelengkan kepala. Kejadian tujuh tahun lalu… Kejadian… Benarkah? Ia pernah mendengar seekor siluman rubah menyerang desa Konoha dulu, saat hokage keempat masih berkuasa. Apa… rubah itu ditanamkan ke dalam tubuh Naruto? Sama seperti dirinya? Tidak. Naruto hanya membual.

"Kau bohong! Tidak ada monster apapun dalam tubuhmu, ya kan? Kau hanya berusaha membuatku senang saja kan? Mengakulah!" jerit Gaara.

Mata Naruto bergulir ke arah seorang yang menjerit di depannya. Ia menyunggingkan senyum lagi. Senyum yang membuat Gaara semakin meraung-raung.

"Kau bohong! Bohong bohong bohong!"

Naruto menyentuh pundak Gaara. Tubuh bocah pasir itu masih terguncang akibat tangisan yang tak kunjung reda. Namun, sekejap Gaara menghindari tangan Naruto.

Matahari benar-benar sudah tenggelam. "Apa kau berpikir aku berbohong? Apa semua yang orang-orang lakukan itu merupakan kebohongan? Apa semua cemoohan itu hanya lelucon?"

"Kita berbeda." Ujar Gaara sekali lagi.

"Aku tidak ber—" tangan Naruto yang bermaksud baik seketika terhenti, tidak sampai meyentuh Gaara. Tangannya melayang, pasir-pasir itu menahan tangan milik Naruto.

"Aku tidak percaya dengan perkataanmu." Kata bocah bersurai cokelat itu. Nadanya terdengar berbeda di telinga Naruto. Berubah dingin… dan menakutkan.

Naruto mundur selangkah dan cekalan di tangannya mengendur. Firasatnya mengatakan ia harus menjauhi Gaara sekarang juga. Entah apa yang tiba-tiba merasuki diri Gaara, Naruto merasa itu bukanlah hal yang baik. Mengingat berita simpang siur tentang Gaara yang membunuh pengasuhnya dengan tangan kosong, atau tindak kekerasan yang Gaara lakukan lainnya, Naruto semakin bergidik. Mundur selangkah lagi, pikirannya berpacu semakin hebat. Gaara tidak mungkin melakukan semua itu tanpa alasan. Gaara punya alasan. Bahkan dirinya pun punya alasan untuk tetap kokoh pada tempatnya sementara Gaara mulai menunjukkan perubahan yang mengkhawatirkan.

"G-gaara…?"

Nafas Naruto tercekat di tenggorokan.

"Kau bohong kan, Naruto? Aku tahu kau bohong. Kau mencoba menghiburku bukan? Kau bercerita seolah-olah kau merasakan apa yang kurasakan. Kuberitahu kau, Naruto! Kau tidak tahu bagaimana rasanya!" Bocah pirang itu melihat Gaara buru-buru mencengkeram erat syalnya. Tepat di dada sebelah kanan.

Dan tiba-tiba saja, Gaara ambruk.

"Gaara! Kau tak apa-apa?"

"Sa…kit… Sa…kit."

Hanya itu yang bisa Naruto dengar hingga mata Gaara tertutup dengan air mata yang masih menggenang di sekelilingnya. Sementara bocah pasir itu masih menggumam kesakitan, Naruto meraih lengannya. Tangannya sebenarnya bergetar hebat, namun tidak mungkin juga dirinya meninggalkan teman barunya ini sendirian dengan kondisi seperti ini.

"G-Gaara…?"

Naruto mendekap lengan Gaara semakin erat. Tapi di luar kewaspadaannya, sesuatu yang buruk terjadi. Desir pasir membumbung di udara, persis derik ular di padang pasir. Naruto yang tak menyadarinya, hanya diam dan terus memanggil nama Gaara. Sementara udara di penuhi pasir, Naruto masih saja tidak menyadarinya. Tangisan Gaara entah kenapa membuatnya lengah.

Jika saja, Naruto lebih cepat dari dugaan Gaara, mungkin ia bisa selamat. Jika saja, Gaara memberitahu apa yang akan terjadi dengan Naruto, teman pirangnya tidak akan berakhir seperti ini. Tidak akan.

Tidak tidak tidak.

o0o


TBC

- A/N -

Entahlah, saya sudah nulis chapter 2 ini dari dulu dulu dulu banget tapi ragu buat ngepost. Rencananya sih nunggu chapter selanjutnya selesai, baru di post, tapi berhubung mood saya lagi naik-naiknya, saya nurut deh. Apalagi saya ngepost ini di saat yang nggak tepat. Wuhuhuhuhu xD entahlah.

Review pelis?