"Yongyuan Bu Likai Wo"

AUTHOR : Barbie Huang

Pair : KRISTAO- CHANTAO- CHANBAEK

Cast : Kris Tao Chanyeol

Slight : Chanyeol - Baekhyun

Genre : Romance, Drama. School Life

Disclamer : SMEnt and EXO (* ofc GOD.

Yoroshiku~

My first FF in FFn. Hope u like, guys.. FF ini terinspirasi oleh komik yang pernah saya baca, berjudul Rival next Door (SHIRAISHI Yuki) .. kalau ada yang pernah baca mungkin bakal dejavu ya.. Tapi ceritanya lumayan beda sih, cuma inti ceritanya sama kali ya. Okesip! Komiknya bagus, lho! XD

DONT LIKE, DONT READ!

Enjoy~


"Kita sahabat baik, bukan?"

"Ya."

"Kalau begitu jangan pernah merubah apapun. Jangan ada yang saling menyakiti."


Apa yang bisa dilakukan oleh orang tua anak berumur 8 tahun itu selain menghela nafas. Mereka harus lagi- lagi meminta maaf pada orang tua anak yang dipukuli oleh anak mereka. Sang ibu menatap anaknya yang kini melipat tangan didada, seperti jagoan kecil saja. Anaknya memang menggemaskan, namun sikapnya yang begitu brutal sedikit menutupi kenyataan. Kini sang ayah berjongkok didepan sang anak yang masih saja terlihat angkuh.

"Kali ini penyebabnya apa, Wufan?"

Sang anak, Wufan, mengalihkan wajah angkuhnya untuk menatap sang ayah lurus kedepan. Mata Wufan memang tajam namun masih saja kalah tajam oleh mata sang ayah, karena dia adalah anak berumur 8 tahun. Garis kepolosan dan keluguannya masih kentara.

"Wufan.. jawab ayah."

"Mereka mengatakan bahwa.. mereka tidak mau bermain denganku."

"Mengapa begitu?"

"Karena aku ini.. tidak mau kalah. Mereka bilang bahwa aku—menyebalkan."

Sang ayah dan sang ibu saling bertatapan kemudian kembali menatap sang anak. Inilah—inilah yang menjadi suatu sikap buruk yang dimiliki sang anak. Wufan, sangat sulit menerima kekalahan. Dia ingin selalu dituruti dan satu hal yang benar- benar tidak bisa diganggu gugat adalah sikap egoisnya. Apakah karena Wufan adalah anak satu- satunya.. maka ia begitu egois dan tidak mau kalah? Entahlah, akan tetapi hal itu yang membuat sang ayah dan sang ibu harus sering kali pergi ke Sekolah Dasar dimana Wufan dibina kini.


"Benarkah?" tanya salah satu teman Wu Zhun, ayah Wu Fan, ketika Wu Zhun berkunjung kerumah salah satu teman dekat bernama Huang Shu.

"Aku tidak mengerti lagi.. apa yang harus aku lakukan." Wu Zhun menghela nafas panjang kemudian meneguk teh melati. Rumah Huang Shu tidak sebesar rumahnya. Juga tidak semegah rumah keluarga Wu, akan tetapi hangat serta bersahaja. Rumah kayu yang sangat nyaman dan bisa dikatakan terkesan tradisional.

"Sepertinya anakmu hanya harus mendapat lawan yang pantas dan seimbang."

Wu Zhun menatap Huang Shu dengan intens. Ia letakkan cangkih teh nya diatas meja, memusatkan pendengarannya atas pembicaraan yang akan dilanjut oleh Huang Shu. "Aku tidak mengerti."

"Begini... Jika dia mendapat lawan yang lebih kuat darinya, pasti dia akan menganggap bahwa didunia ini bukan hanya dia yang terkuat. Pikirannya masih pendek, Zhun.. Jika ia begitu brutal, berarti dia menganggap bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya, bukan?"

"Benar juga.. maka ia menampilkan sikap seenaknya dan tidak mau kalah.." Wu Zhun mengangguk mengerti. "Tapi dimana.. Di Sekolah Dasarnya.. semua anak tidak ada yang mau bermain dengannya. Dia yang terkuat disana.. tak ada yang berani melawan Wufan."

Huang Shu terkekeh pelan. "Siapa bilang? Masukkan anakmu ke Sekolah Dasar yang sama dengan anakku. Wufan akan belajar banyak hal disana."

"Kau yakin? Bagaimana jika Wufan melukai anakmu?"

"Tidak mungkin.."

"Kenapa?"

Dengan bangga Huang Shu melipat tangan didada. "Huang Zitao.. anakku, sudah menguasai Wushu sejak berumur 5 tahun."


Takdir itu memang kuat

Dia yang mengatur semuanya

Bahkan pertemuan kita nanti


Wufan kecil yang berumur 8 tahun tidak bisa menyembunyikan wajah kesalnya karena dengan tiba- tiba ia dipindahkan oleh kedua orang tuanya kesebuah sekolah dasar yang jauh lebih sederhana dari sekolahnya dahulu. Sang ayah dan ibu hanya terkekeh pelan dan tersenyum manis ketika Wufan bertanya perihal kepindahannya. Dan itu membuat suasana hati Wufan tambah kacau.

"Bagus juga.. mungkin akan ada anak yang bisa aku patahkan hidungnya nanti disana." Niat Wufan dalam hati.

Kini anak lelaki berparas tampan tersebut sudah berada didepan kelasnya. Wufan yang sama sekali tidak takut pada apapun tentu saja tidak terlihat malu ketika memperkenalkan diri didepan kelas. Dengan lantang dan angkuh, ia memperkenalkan diri.

"Namaku Wufan."

Singkat, padat dan tegas. Ketampanannya sedikit membuat beberapa anak perempuan memandanginya dengan mata berbinar- binar. Apalagi mata tegas yang memperkuat rupa tampan si pangeran kecil yang angkuh tersebut.

"Wufan.. kau bisa duduk disalah satu bangku kosong. Kau boleh memilih." Ujar guru muda itu dengan senyuman ramah.

Wufan tersenyum tipis kemudian mengangguk. Matanya tertuju pada bangku yang berada dibagian belakang kelas 3-A tersebut. Bangku yang berada dekat dengan jendela. Setelah yakin, Wufan berjalan cepat menuju bangkunya dan duduk disana.

Ia amati ibu guru yang memulai pelajaran. Anak- anak lain juga memperhatikan dengan tertib. Namun konsentrasi Wufan buyar ketika menyadari sesuatu. Ia kini malah memandang sosok manis yang duduk bersebelahan dengannya. Sosok berambut hitam dengan mata seperti mata panda. Wajah anak itu terlihat polos dan.. –menurut Wufan- bodoh. Anak itu menatap Wufan dari atas sampai bawah berulang kali.

Kemudian—

Anak berwajah panda itu tersenyum miring dan meremehkan. Membuat Wufan membulatkan mata tak percaya. Baru kali ini ada yang menatapnya dengan tatapan merendahkan seperti itu. bahkan senyuman anak itu terlihat seperti seringai menjatuhkan.

Hanya sekian detik saja Wufan melihat ekspresi wajah tersebut karena sang anak panda sudah mengarahkan wajahnya kedepan kelas. Membuat Wufan dengan kesabaran tinggi untuk tidak melayangkan tinju pada anak yang duduk disampingnya sekarang juga.

"Lihat saja nanti." Bisik Wufan didalam hati.


Ingatkah pertemuan pertama kita?

Ketika kita sama- sama hanyut dalam pikiran polos masing- masing?

Tak tersentuh.. bahkan senyuman manis itu tidak bisa kuartikan dengan tepat


"Apa maksudmu tadi menatapku seperti itu, oeh!"

Wufan memegang pergelangan tangan anak panda yang duduk disampingnya tersebut ketika akan berdiri. Sudah jam istirahat dan ia ingin makan, namun anak baru itu malah menahannya seperti ini. Sungguh... wajah manis anak panda tersebut berubah serius. Namun Wufan terlihat tidak peduli. Dia merasa diremehkan, dan ia benci itu.

"Lepaskan tanganku!"

Diluar dugaan, suara anak panda berwajah suram itu sangat lembut. Tunggu! Wufan bahkan menyangka anak perempuan yang baru saja lewat yang bicara. Suaranya lembut sekali. Merdu namun terkesan manja. Sedikit— hanya sedikit membuat Wufan terpesona.

"Hey! Mengapa kau malah melamun, oeh! Lepas!"

Wufan sedikit terlonjak kemudian mempererat genggamannya pada pergelangan anak panda. Membuat anak panda tersebut kembali tersenyum miring. Anak tersebut kembali duduk dibangkuny, duduk berhadapan dengan Wufan. Membuat Wufan bisa melihat dengan jelas pahat wajah manisnya yang sangat sangat sangat indah. Matanya besar dengan bola mata hitam seperti lautan tinta, kantung mata seperti mata panda dengan bibir kucing dan pipi tembam. Kulitnya tidak putih namun kuning mulus merona. Wufan bisa tangkap bahwa wajahnya begitu Asia. Berbeda dengan wajahnya yang sedikit banyak bercampur dengan gen ibunya yang berasal dari Canada.

"Aku pikir anak yang ayah katakan tadi malam seperti apa.. ternyata.." anak panda tersebut menyeringai lalu menarik paksa tangannya dari genggaman Wufan. Dan demi Tuhan, Wufan benar- benar tidak menyukai seringai remeh yang anak panda tersebut perlihatkan baru saja.

"Apa maksudmu, hah!"

Anak panda memutar bola matanya kemudian melipat tangan didada. " . . ."

DEG

Mendengar itu, Wufan tentu saja benar- benar merasa diremehkan oleh anak yang lebih pendek darinya itu. Dengan senyuman tipis dibibir kucingnya, anak panda bangkit dan berjalan keluar kelas. Wufan mengepalkan tangan dengan geram dan berdiri dari posisinya. Ia kejar anak panda berambut hitam itu dengan langkah cepat.

"Tunggu, anak panda!" Wufan menyengkram keras pundak anak panda yang kemudian—

Grep

Wufan bahkan tidak sempat berfikir cepat ketika ia merasakan tubuhnya melayang diudara.

BRUAK~

DEMI TUHAN! Wufan tidak pernah menyangka dalam sekejap ia terbaring dengan kepala yang lumayan pusing dan keadaan punggung yang sedikit sakit. Dengan kata lain, baru saja.. tanpa ia sadar.. tanpa bisa ia melawan—tubuhnya dibanting oleh anak panda yang ia anggap lemah dan tidak ada apa- apanya! Dibanting?!

"Ah! Salam kenal, Wufan~ Namaku Tao. Bukan anak panda.." ujar anak panda bernama Tao, ternyata. Ia tersenyum manis pada Wufan yang sudah pucat pasi dan tidak tahu harus bagaimana melawan malu karena menjadi pusat perhatian anak- anak lain di koridor itu.

Dan tanpa rasa bersalah sedikitpun, Tao berjalan meninggalkan Kris yang masih saja pucat pasi menahan malu. Baru kali ini ia kalah! Bahkan sebelum sempat melakukan apapun untuk melawan, ia kalah! Kata- kata yang paling Wufan benci didunia ini! Apalagi pada orang yang sama sekali belum ia kenal seperti Tao.

"Kau baik- baik saja?"

Seseorang mengarahkan tangannya pada Wufan yang masih berbaring dilantai sekolah tersebut. Ia lihat tangan anak lelaki yang terjulur padanya sinis, ia tepis tangan tersebut dan berdiri sendiri dengan wajah marah yang mengerikan.

"Jangan mencari masalah dengan Tao.. dia menguasai Wushu."

Wufan menyipitkan matanya menatap anak lelaki yang nyaris sama tinggi dengannya. Anak bermata besar dan berwajah tampan. Ia memiliki senyuman lebar yang terkesan bodoh. Rambutnya lebat dengan warna coklat pekat. "Tao itu sebenarnya manis.. hanya saja dia suka membanting orang. Maafkan dia."

"Bukan urusanmu!" Wufan mendengus kesal lalu berjalan menuju kelasnya. Akan tetapi anak lelaki itu mengikuti Wufan dan berjalan disamping Wufan, membuat anak berwajah menyeramkan itu kesal.

"Mau apa lagi!"

"Salam kenal. Namaku Chanyeol.. Hehehe.."

Wufan mengalihkan pandangannya pada anak bernama Chanyeol, mengerjapkan matanya pelan kemudian meraih jabatan tangan Chanyeol. "Namaku Wufan."


Siapa yang menyangka—

Kita akan terlibat cinta serumit ini?

continue or end ?

Barbie Huang