SCAR TO BRING UP THE POISON
Author : Kang and FAMILee
Main cast : KRAY (saya pake nama Chinese mereka di sini)
Genre : saya masih kurang yakin untuk menentukan genrenya jadi silahkan dengan persepsi masing-masing
Waduh…ini pertama kali saya publish FF di sini…
Kurang yakin dengan gaya bahasa baru saya yang terbilang aneh, jadi mohon maaf apabila tidak berkenan…
Selamat membaca ^^
Tubuhnya masih diam, mematung. Entah mengapa sejak dua bulan lalu tidak ada yang berubah selain tangannya yang hampir setiap menit meraih selembar gambar lusuh di atas meja yang memang sengaja diletakkan di hadapannya.
Tak ada yang tahu apakah sosok itu sadar ia sedang berada di mana. Ruangan bermonitor berdinding gelap dengan penerangan hanya dari sebuah lampu redup di tengah-tengah plafonnya.
Aku sudah berdiri di sini kurang lebih selama lima jam.
Tidak, aku tidak akan meninggalkannya.
Selain untuk ke toilet atau aku yang kadang merasa jenuh mengharapkan ia akan membuka mulutnya sebentar saja dan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Sosok itu seakan terhipnotis dengan berbagai sugesti 'kau tidak diperkenankan membuka mulutmu' secara tegas. Tidakkah ini terasa aneh, karena menurutku ia tengah berada dalam masa peralihannya menjadi sosok peniru patung.
"Cukup untuk hari ini."
Suara bass menggema di sepanjang ruangan ini. Memantul tapi aku jamin tak akan menembus lapisan kaca memanjang yang menghubungkan ruangan tempatku sekarang dengan ruangan temaram dimana sosok itu tengah duduk diam tanpa melakukan apapun.
Yah, bisa kalian tebak aku sedang berada dimana.
Area interogasi kepolisian pusat Hunan, China.
Dua bulan lalu sosok itu menjadi korban kekerasan di kediamannya sendiri. Sekujur tubuhnya lebam dan beberapa sisi sudah berwarna ungu. Sepertinya itu merupakan luka lama karena tidak sedikit bekas pukulan benda tumpul yang didapati di punggung serta lengannya. Semua dugaan terkait mengarah pada lima sosok yang terbujur kaku, mayat keluarga korban sendiri.
Ia ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri dikelilingi mayat-mayat berbau anyir. Tak kurang dari sepuluh jam waktu kematian namun anehnya, semua bersamaan. Mereka berlima dibunuh pada saat yang sama, mungkin hanya berselang detik.
Aku tidak sepenuhnya perduli terhadap mayat-mayat yang sudah ada di liang kubur itu. Tapi jelas situasi memberatkan si korban berpotensi besar sebagai tersangka utama. Yang aku takutkan ia tidak akan sempat membuka mulut sebelum para petinggi yang disebut-sebut sebagai hakim memutuskan hukuman apa yang mesti sosok itu tanggung.
"Apa sudah ditemukan penyebab kematian keluarganya?" tanyaku pada salah satu pegawai lengkap dengan jubah putih dan masker bertengger di lehernya.
"Kasus ini sedikit aneh, tak ada tanda-tanda kelimanya dibunuh. Kau tahu tidak ada sedikitpun luka luar yang mereka alami. Salah satunya mengidap kanker lever kronis, kurasa dia adalah kepala keluarga. Dan empat yang lain belum terdeteksi sebab kematiannya."
Orang itu menyodorkan sebuah amplop coklat, tidak terlalu besar namun cukup menjelaskan asumsiku bahwa di dalamnya tidak lain pasti berkas-berkas entah apa.
"Apa ini?" tanyaku sambil membuka tali pengait amplop itu.
"Kau tidak lihat itu sebuah amplop?"
Dan semua yang ada di ruangan itu tertawa. Kalau bukan pria di depanku ini sebut saja teman, sudah kusumpal mulutnya dengan amplop di tanganku.
"Aku tidak pernah berhasil membalas lelucon absurbmu tapi suatu saat aku akan melakukannya. Tunggu saja."
Smirk tajam kuhadiahkan sebagai penutup pertemuan kami hari itu dan dibalasnya dengan lambaian tangan. Punggung lebar pria tadi menghilang seiring kedua daun pintu yang menghalangi kami tertutup rapat. Kutebak ia akan kembali larut dalam penelitian-penelitian autopsy terutama oleh kasus yang saat ini melibatkan diriku.
Aku kembali focus pada benda yang terbuat dari kertas yang tadi diberikan Chen.
Kuletakkan lembaran-lembaran yang kutemukan dalam amplop itu dan segera menebarnya di atas sebuah meja panjang.
Tiga orang ajudan kepala polisi mendekat dan ikut mengamati kertas-kertas itu. Sesaat tampak biasa-biasa saja setelah aku menemukan bahwa surat-surat ini adalah kumpulan hasil cek-up rumah sakit dan sub babnya bertuliskan 'INSTALASI PENYAKIT DALAM'. Aku teringat kata-kata Chen tentang si kepala keluarga yang mengidap kanker lever kronis.
"Menarik…"
Setelah membereskan kembali berkas-berkas itu yang dapat menjadi salah satu petunjuk, sepertinya sosok itu harus pulang sekarang.
Aku menghampiri seorang dengan seragam kepolisian berdiri di dekat monitor pemantau ruangan di seberang. Terlihat dari berapa banyak penghargaan yang melekat rapi pada jas hijau lumutnya, orang itu bukan sembarang orang, pangkatnya mungkin sudah sangat tinggi sehingga aku tak sempat menghitung berapa banyak tanda kehormatan di pakaiannya.
"Bisa kubawa dia kembali?"
Kami saling berbisik dan akhirnya ia mengizinkanku membawa sosok itu pulang.
Perlahan kubuka daun pintu ke ruangan itu. Menunggu sebentar untuk mengawasi situasi dan aku memutuskan untuk menghampirinya beberapa saat kemudian. Dia sedikit kaget dengan sentuhan kedua telapakku pada pundaknya namun kembali terdiam. Seperti ia selalu sadar saat aku menyentuhnya ia tidak akan berbuat apa-apa namun jika orang lain, mendekat pun sosok itu akan berteriak histeris.
"Kita pulang.."
Menghadapi sosok ini membuatku harus ekstra sabar. Dengan sendirinya selama dua bulan terakhir aku mulai paham berbagai hal yang memungkinkan terjadi padanya.
Bukan persoalan ia tinggal di rumahku sampai saat ini. Tapi memang dari awal aku sangat tertarik dengan kasus ini, kasus seorang pemuda yang menjadi korban kekerasan sekaligus sebagai calon tersangka paling kuat untuk porsi pembunuhan kepada lima orang anggota keluarganya.
Banyak orang beranggapan semua ini aneh. Namun tidak dengan persepsiku. Bukankah logis saja apabila ia sampai membunuh kelima anggota keluarganya yang menjadi tersangka sementara untuk kasus penganiayaannya. Ini berkaitan erat dengan pembelaan diri, bukan. Aku yakin semua orang akan melakukan apa saja sekalipun itu harus bertaruh dengan nyawa demi untuk mendapat keadilan.
Apa saat ini orang-orang sedang mempermainkan otak dangkal mereka?
Kalau begitu aku pantas menganggap mereka orang bodoh!
Selama di perjalanan pulang tak satupun kata-kata yang sampai di telingaku. Cukup menjemukan karena ia terus saja diam di bangkunya. Jok depan di samping jok pengemudi memang sudah kukhususkan untuknya. Sejak ia bersamaku, tidak seorang pun aku perkenankan menduduki jok depan.
Pemuda ini cukup bermasalah dengan beberapa hal dan situasi. Pertama kali aku mengangkutnya(?) dengan mobilku, ia tanpa izin merobek hampir semua berkas-berkas yang aku letakkan di dashboard. Menatap dalam-dalam setiap huruf yang tercetak rapi pada kertas-kertas itu lalu merobeknya lagi. Betapa tidak, kertas-kertas itu adalah hasil analisa auditorium yang harus aku selidiki untuk beberapa bulan kedepan. Dan di tangan pemuda itu, semua pekerjaanku terselesaikan dalam sekejap mata. Kontrak berharga itu dialihkan ke tangan lain dan aku hanya akan focus pada kasus pemuda ini.
Bagus sekali!
Hufh…
Aku hanya perlu menarik nafas panjang ketika mengingat lagi kekacauan yang ia sebabkan. Salah satunya, kusimpulkan ia seorang yang anti bau harum. Aku menyingkirkan berbagai macam wewangian menyengat yang masih terhitung berada dalam area rumahku, termasuk memangkas semua jenis tanaman yang baunya menyengat. Beberapa hari setelah itu, ia seperti mengeluh setelah memakan daging panggang kualitas terbaik negeri ini. Bayangkan! Apa pemuda ini sudah gila?
Oh, aku tak akan lupa kalau dia tidak bisa tidur tanpa membuat miniatur burung kertas sebanyak seratus buah dan akulah korban yang sesungguhnya. Dia akan setia menungguku menyelesaikan kertas-kertas origami itu hingga mencapai jumlah yang ia inginkan. Tidak membantu sama sekali.
Yang pasti kehidupanku dua bulan terakhir berubah drastis, akibatnya setiap malam aku akan terus terjaga menunggui kalau-kalau pemuda itu terbangun dan meminta sesuatu.
Kami sampai dan ia tidak akan bergerak turun dari mobil sebelum aku yang membuka pintu mobil terlebih dahulu. Aku menuntun tubuhnya yang senantiasa menautkan jemarinya pada lenganku.
Sudah seperti kebiasaan. Saat ia melangkah kemana pun aku akan setia berada di sampingnya dan dengan spontan tangannya akan bertengger melingkari lenganku, menyejajarkan langkah kami dan tujuan utamanya setelah sampai di rumah adalah kamar pribadinya.
Awalnya kamar itu adalah kamar tamu, berhubung di rumah ini hanya ada dua kamar tidur maka kamar tamu itu direnovasi ulang sesuai seleranya.
Aku berusaha untuk bertahan mendampinginya meskipun selalu seperti ini, hanya menemani dalam kesunyian. Ia yang tak pernah mengakui apapun dan aku dengan segala macam pertimbangan setiap akan mengambil sebuah langkah.
Menurut pengamatan orang awampun pemuda ini memang sepertinya mendapatkan gangguan mental tapi tak ada yang sadar bahwa gangguan itu hanya bersifat sementara, sesuai dengan pengamatanku selama ini. Ia bisa tampak lebih tenang dari biasanya dan tidak mempermasalahkan apapun, namun kadang sifat sampingannya akan muncul disaat tak terduga. Dan hal itu akan cukup melelahkan bagiku. Terlihat hanya sebagai pelampiasan emosi belaka karena ia yang mengalami trauma berkepanjangan hingga saat ini.
"Kau mau langsung tidur?"
Sosok di depanku mengangguk. Ia melangkah perlahan menuju sebuah pintu berwarna biru. Cukup kontras dengan tema rumah ini yang berdasar coklat. Ia memegang kenop pintu dan memutarnya namun ia tahan lalu berbalik kembali ke arahku. Setelah itu aku kurang begitu sadar bahwa saat ini tubuhnya yang lebih rendah dariku tengah memelukku. Ada apa dengannya? Tidak seperti biasa ia tidak menghiraukanku dan malah mengunci diri di kamar sampai seterusnya. Ini sedikit mengganjal. Untuk beberapa saat aku berusaha mengabaikan pikiran itu, namun ketika kurasa sedikit lembab pada pakaianku…
"Yixing kau menangis?"
Aku meraih kepalanya dan membuat ia mendongak menatapku. Pemuda ini dengan mata sayunya tengah menangis di hadapanku. Ini sebuah kemajuan dalam risetku kali ini. Aku semakin yakin, tidak lama lagi ia akan berbicara tentang semuanya.
Sinar matahari pagi mengganggu penglihatanku. Kali ini alarm bangun tidurku sengaja tidak kuset, takut mengganggu tidur pemuda dalam pelukanku.
Kubaringkan perlahan tubuhnya di kasur sebelum kutinggalkan keluar kamar.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku begitu sibuk menyiapkan sarapan untuk Yixing. Kali ini aku akan beritahu sedikit tentangnya. Nama aslinya Zhang Yi Xing, berdomisili Changsha dan lahir pada 7 Oktober 1991 lebih muda 8 tahun dariku. Lulusan Hunan University, memiliki 3 orang adik dan sangat suka warna ungu. Aku rasa cukup untuk menggambarkan bagaimana sosok seorang Yixing.
Dari pihak kepolisian, mereka hanya memberiku informasi yang cukup minim karena hal ini bukan sepenuhnya tanggung jawabku. Aku meminta beberapa info yang boleh jadi dapat membantuku dalam pekerjaan ini.
Tap..
Suara langkah yang samar terdengar semakin mendekat ke arahku, namun tidak kuhiraukan karena aku cukup kenal dengan sosok yang sebentar lagi akan mengambil posisi di belakangku lalu…
"Yixing.." ucapku pelan begitu lengan putihnya berhasil melingkar di pinggangku.
Selalu seperti ini. Aku tidak tahu apapun tentang masa lalunya selain riwayat hidup yang sebagai formalitas belaka. Namun bisa kutebak bahwa sebelum kejadian itu terjadi ia memiliki beberapa kebiasaan yang tidak biasa. Aku tidak bisa jamin ini benar atau hanya sekedar pemikiranku tentang ia di masa lalu yang begitu kesepian.
Pagi pertama yang ia dapati dirinya sedang berada di tempat asing, rumahku. Aku sedikit banyak mengeluarkan tenaga ekstra menghadapi dirinya yang tengah berteriak histeris sambil melempar apapun benda yang ia dapati di kamar tidurnya. Berhubung aku tinggal sendiri selama ini, jadi tak ada seorang pun yang dapat kumintai bantuan.
Kamar itu menjadi kacau balau dan semenjak kejadian itu, ia selalu meminta pelukan pagi dariku atau bahkan sekali-kali aku akan mendekapnya tertidur hingga pagi.
"Tidurmu nyenyak?"
Tak ada respon sedikitpun untuk setiap pertanyaan yang aku lontarkan. Aku tidak akan memaksanya berbicara jika bukan saatnya nanti ia sendiri yang akan membuka mulut di hadapanku.
Sebenarnya sebuah sentuhan pun sudah kurasa cukup untuk membuktikan bahwa orang ini cukup sadar untuk bertindak. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh untuk mendapat informasi yang sedikit banyak selain dari orang ini. Namun melihat keadaan yang terbilang kurang mendukung mungkin perlu waktu lama sambil aku yang tetap bersabar menanti kapan pemuda ini mengeluarkan satu kalimat saja dari mulutnya.
"Kau sangat rupawan, namun mengingat hidupmu yang seperti di masa lalu meragukan aku untuk percaya bahwa gen pada tubuhmu adalah pemberian yang cukup pantas."
Ia tetap membisu. Sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari semangkuk nasi dan beberapa piring lauk yang sengaja aku tambah porsinya pagi ini.
Mungkin ia tersadar akan jumlah yang tidak seharusnya berlebih.
Hei anak muda, kau juga harus menyayangkan tubuh kurusmu yang sebentar lagi tinggal kerangka apabila kau sampai tidak menikmati semua berkat ini. Aku tidak pernah lupa ia yang selalu melakukan rutinitas sebelum melakukan apapun itu. Ia akan terdiam dalam saat kusyuk dimana tangannya terlipat rapi dengan kepala yang menunduk dan jika kau benar-benar dapat melihat wajahnya dalam keadaan itu maka kau akan mendapati kelopak matanya yang senantiasa melekat beberapa saat sebelum ia kembali membuka mata dan menyantap makanannya sekali lagi dalam diam.
Bukan hal yang perlu diperdebatkan. Toh kelompok pembela Negara yang mencap diri sebagai detektif itu tidak tahu sama sekali tentang hal ini.
Aku tidak ingin mencampuri hak privasi seseorang terlebih yang seperti di hadapanku. Berdoa sebagai bentuk makanan tersendiri bagi jiwanya akan menjadi keuntungan bagiku jika ia benar-benar telah dapat mengendalikan rasa hausnya terhadap masa lalu.
"Aku akan berharap yang lebih untukmu, dan jangan pernah lupa bahwa aku akan selalu melindungimu."
Ia mulai menyentuh sepasang sumpit dan seperti ia benar-benar mengerti dengan perkataanku tadi, Yixing menghabiskan hampir setengah porsi sarapan di atas meja kali ini.
Sedikit banyak membuatku puas karena tidak mendapat tindak penolakan darinya pagi ini.
Aku rasa perutnya sudah kenyang. Beberapa saat ia terdiam setelah meletakkan sumpit di samping mangkuk nasi yang ia jauhkan dari pinggir meja. Kemudian Yixing seperti mencari-cari sesuatu, menengokkan kepala ke kanan lalu ke kiri. Begitu seterusnya sampai aku melihatnya beranjak menuju sebuah bongkahan benda panjang di ruang tengah. Aku tidak terlalu berminat dengan music. Hanya sesekali saja aku memainkan beberapa instrumen ringan di saat legang.
Seminggu lalu, Yixing pernah menunjuk pada benda ini namun aku tidak begitu mengerti tentang keinginannya ingin memainkan piano tua itu atau malah ingin memilikinya. Hahaha…aku sedikit bercanda tentang bagian ini.
Jari-jarinya sudah bersiap mengalun pada tuts-tuts berwarna sama sejak dulu, hitam dan putih. Kedua warna kontras yang merupakan dasar dari kehidupan.
Aku sempat terhenyak dengan permainan tangannya yang begitu lincah melompat-lompat dengan percaya dirinya di atas setiap batangan memanjang itu. Sebuah permainan tangan yang menyiratkan suatu kebanggaan. Apakah ini juga bagian dari salah satu mozaik masa lalumu yang hilang?
Aku bertanya-tanya seakan kata-kata itu yang hanya kuucapkan dalam hati bisa segera tersampaikan melalui pendengarannya. Aku sangat berharap akan itu namun semuanya kembali kepada apakah ia sedang mau membuka diri atau hanya ingin mengelabui sedikit masalah penting yang harusnya segera kudapatkan dari dirinya.
Hal ini semakin rumit, Yixing melakukan banyak pergerakan hari ini dan itu membuatku sedikit pusing.
Oh ayolah Yi Fan! Harusnya dari dulu aku memang tidak perlu memasang gelar itu pada namaku. Orang banyak menganggapku jenius dengan mengucapkan kata-kata sindiran…
Dia Wu Yi Fan, seorang psikolog handal yang mendapat gelarnya begitu mudah. Ia bahkan sering bekerja sama dengan pihak kepolisian. Aku dengar IQ-nya begitu tinggi. Sungguh anak yang cerdas.
Aku tidak begitu suka dengan kalimat di atas ataupun kalimat yang serupa. Mereka semua hanya tidak sadar dan seperti menutup mata begitu saja ketika seseorang yang lebih dulu memasuki sekitar kehidupan mereka datang dengan hal yang kecil sementara hal itu jarang mereka perhatikan bahwa banyak kesamaan yang bisa mereka temukan ketika memperbolehkan tulang atlasnya melirik sedikit saja ke arah lain.
Mereka hanya begitu terkesima dengan cahaya sekejap mata yang lewat tanpa ikut memperhatikan cahaya lain di belakangnya.
Kurasa hidupku akan sedikit tenang apabila tak ada yang mengenaliku.
Dan setelah itu, bocah Cina ini datang dengan segudang problem internal menyangkut lima orang lainnya. Bukannya aku yang tidak mengakui darah ayah yang keturunan Cina murni, namun persepsi orang-orang seringkali membuatku bangga dengan wajah campuran ini. Sedikit merindukan ibu yang sekarang menetap di Kanada setelah perceraian keduanya tahun lalu. Aku jarang mengunjungi salah satunya tapi masih sering berkomunikasi layaknya dulu ketika semuanya masih utuh.
Tepat dua puluh menit permainan sang master yang cukup memukau diriku, selesai dengan mulus. Anak ini memiliki tulang pada buku-buku jari yang panjang dan memang memungkinkannya untuk menguasai alat music seperti piano. Kesannya ia sedang menikmati suatu masa hening ketika tadi tangannya sibuk dengan alat music dan matanya senantiasa terpejam dari awal hingga akhir permainan.
Cukup sulit menebak kepribadian Yixing tapi satu yang aku tahu bahwa kini ia hanya berupa sosok rapuh yang memerlukan tongkat penopang agar tidak sampai terjatuh.
Aku jadi sedikit penasaran, apa dulu ia punya seorang yang special mengingat kebolehannya dalam bermain piano tidak dapat dianggap remeh. Menurutku ini sesuatu yang romantis.
Seseorang yang berstatus lebih dari sahabat bukan merupakan hal yang tabu, bukan. Terlebih anak ini sepertinya tergolong sangat lembut. Aku bisa melihat dari tatapan matanya yang kosong. Ia membutuhkan seseorang yang…
Ehemm…
Spesifiknya, ia membutuhkan teman berbagi. Atau aku memang harus mengatakannya sebagai seorang kekasih yang memahami dan menemani kesengsaraannya sekarang ini.
Dan perasaanku mengatakan di rumah ini hanya ada aku dan dia.
Jika begitu, dapatkah aku dikatakan sebagai salah satu kandidat 'teman berbagi' itu?
Ia perlu mengingat bahwa selama ini aku yang terus ada di sampingnya bahkan meladeni segala keinginannya mulai dari tingkat yang wajar saja hingga tingkat yang paling tidak waras.
Apa boleh aku berkata bahwa…
"Aku mulai tertarik denganmu.."
Aku hanya tersenyum lembut dan sesaat kemudian ia menoleh menampakkan ekspresi yang begitu kosong, tapi aku tahu matanya seolah-olah menjadi satu-satunya organ yang dapat merespon interaksi.
Mata itu tampak terkejut.
TBC…
Sekarang saya punya dua pairing sekaligus,
Okey dan Kray
I Love both of them and I like to write FF about them
Hope you guys enjoy mine…
Thank you for the respect^^
