Disclaimer : EXO dan adalah milik agensi mereka, diri mereka, dan orang tua mereka masing masing.

Genre : Romance

Rating : T

Warning : Shou-ai, Crack pair, AU.

Note : Bau musim panas menguar sekali di tempat aku berdiri saat ini dan aku juga tidak punya pekerjaan lain selain memerhatikan bagaimana hijaunya rumput bertemu sinar mentari yang silau, tiba tiba aku jadi merindukan bau laut dan ingin menanam bunga, tapi keterkejutanku akan musim yang sudah berganti membuatku justru merasa mundur ke musim dingin. Aku punya hadiah saat Review kurasa memuaskan.

Bau musim panas ada dimana mana, dari New York sampai Seoul, dari Juilliard sampai SOPA dan melingkupi dunia. Kris mengemudikan mobilnya seperti kesetanan di pinggiran kota Seoul, Kai di sebelahnya tenang tenang saja dengan kaca mata hitam bertengger di hidung.

"Hei! Tutup jendelanya, Bodoh!" Seru Kris, tapi angin yang masuk membuat suaranya tidak terdengar.

"Hah?! Kau bilang apa?!" Kai malah bertanya dengan suara yang sama tidak jelasnya.

"Masukan tanganmu dan tutup jendelanya, Bodoh!" Tapi Kris masih senang berteriak menjawab Kai.

"Hah!?" Kai menengok ke arahnya, melepas kaca matanya dengan satu tangan seakan itu bisa membuatnya mendengar ucapan Kris.

Kris tiba tiba menutup jendela Kai, membuat tangannya yang masih ada diluar nyaris terjepit. "Kau mau memotong tanganku, hah?!" Kai histeris dan menarik tangannya masuk, jendelanya sudah tertutup. Sesaat Kris lupa dia bisa mengatur jendela Kai juga, harusnya dia melakukannya dari tadi dan tidak berteriak.

"Iya!" Dia berseru lagi. "Itu terdengar lebih baik daripada kau yang terus mengganggu." Katanya lagi.

"Sialan kau! Akan kubuat kau tidak punya muka bertemu dengan gadis gadis di New York itu lagi!"

"Bagaimana? Apa caramu untuk melakukannya? Asal kau tahu saja, ya, kau itu numpang di rumahku!"

"Berisik! Memangnya siapa yang menumpang di rumahmu?!"

"Lalu kenapa kau masih di rumahku kalau begitu, hah?!"

Kai merasa kalah, karena memang benar Kris adalah satu satunya orang yang bisa dia tumpangi di New York. Kai merasa kalah, dia memukul kepala Kris.

"Diam, Bodoh! Kau mau kita mati?! Dasar gila!" Kris berseru histeris saat Kai mengganggunya mengemudi.

Di New York pun hal ini selalu saja terjadi, pasti mereka akan bertengkar sampai dimarahi tetangga, juga kadang kadang bertengkar di depan Juilliard sampai dikerumuni orang orang dan orang orang itu kebanyakan adalah orang yang terkesan dengan bakat tari Kai dan ingin tahu lebih lagi tentangnya, juga orang orang yang mengagumi kulit coklat muda zaitunnya, dan menganggap dirinya pantas untuk memerankan Michael Corleone suatu saat nanti.

"Aku tidak mengerti kenapa orang orang selalu berpikir kita berpacaran?" Tanya Kris, konsentrasi lagi mengemudi.

"Karena aku terlalu tampan." Kata Kai, dan karena jawabnya yang melantur seperti itu Kris tidak lagi menjawab dan Kai benci itu, benci tidak diperhatikan oleh satu satunya orang yang susah senang bersamanya di New York nun jauh disana.

"Karena kita terus bertengkar dan masih tetap satu mobil sampai saat ini."

"Hm…"

"Dan semua akan bilang 'PDA! PDA! Bilang saja kalau kalian memang pacaran!'. Sial! Memangnya siapa yang mau pacaran dengan si Bodoh ini?!" Kai menendang nendang dalam mobil itu.

"Aku?" Kris memulai tanda tanda akan menjawab. "Pacaran denganmu? Tidak mungkin!"

Dia menoleh ke arah Kai yang jadi histeris lagi. "Perhatikan jalan, Gila! Kau berniat membunuhku, hah?!"

Rusuh sebentar dengan suara klakson, mobil dibelakang mereka menyusul dan hilang di tikungan. Kris mengumpat dan Kai mengatur napas, tadi mereka nyaris celaka.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bagaimana Ibuku bisa menitipkanku pada orang sebodoh dirimu?!" Racau Kai.

Kris mulai ngebut lagi dan Kai masih bergumam kata bodoh sampai ribuan kali.

"Ini karena kau mati matian minta kembali ke Korea, siapa yang kemarin menarik kaos Lacoste-ku dan merengek seperti anak kecil?"

"Oh, Ben Ben, kau tidak tahu bagaimana rasanya merindukan orang rupanya?"

"Memangnya siapa yang kau rindukan itu, Blacky?" Tanya Kris mengejek.

"Tentu saja semua temanku di tanah Silla ini." Ujar Kai bangga seakan dia adalah putra Silla yang agung.

Kris terkekeh. "Kau sudah menemui semuanya di Seoul, kan? Orang tuamu juga disana? Siapa lagi yang ingin kau temui?"

"Pak guru." Jawab Kai.

"Oh, Pak guru, toh?" Kata Kris, lalu dia tertawa keras. "Kau lucu sekali." Katanya lagi dan dia mencubit pipi Kai keras.

"AW! Lepaskan, Sialan!"

Kris tertawa lagi, hanya ada tiga kata dalam berbagai bahasa yang dia dan Kai ucapkan untuk saling memaki, Bodoh, Sialan, dan Gila, dalam bahasa Korea, Mandarin, Prancis, dan Inggris, mereka multi-bahasa sekali walau hanya untuk memaki.

Kai mengusap pipinya yang memerah dicubit, merahnya tidak begitu terlihat karena kulitnya yang hitam, itulah alasan kenapa Kris memanggilnya Blacky dan lagi panggilan aslinya adalah Kkamjong, lagipula Blacky terdengar seperti nama anjing.

"Kau masih hapal jalannya?" Tanya Kris, Kai diam.

"Ben…" Panggilnya.

"Jangan bilang kau lupa."

Kai tertawa kikuk. "Kurasa kita harus berbalik…"

"Dasar bodoh! Sekarang siapa yang lebih pantas dipanggil Ben Ben, hah?! Dasar bodoh!"

"AH!" Kai berseru, sudah tiga jam mereka mencari tempat dan Kris merasa sudah lelah untuk duduk berlama lama, lagipula ini sudah jam makan siang, tapi si hitam yang makin hitam di sebelahnya masih menyuruhnya menyetir.

"Aku ingat, setelah ini belok kanan-"

"Lalu belok kanan dan belok kanan lagi. Itu namanya kita berputar, Sialan. Berputar!" sela Kris.

"Dengar dulu! Kali ini aku tidak akan salah! Sudah turuti saja!"

"Kalau salah aku akan menjadikanmu kebab saat kita sampai New York nanti."

"Sebelum itu aku akan menjual foto telanjangmu pada teman temanku. Sekarang belok kiri dan TADAH! Kita sampai Tuan muda Wu!"

"Lebih baik dari mendengarmu meracau tadi." Kris segera keluar dari mobil, melepas sepatunya dan berlarian di pasir pantai yang sudah dia kenal.

"ARGH! Udara! Pasir! AIR!" Serunya saat Kai yang sudah merenggangkan badannya menarik kerah bajunya.

"Kau ingin mencekikku, hah?!"

"Aku ingin makan. Ayo cepat, dasar pemalas." Kata Kai, kaca mata hitamnya sudah ada di hidung lagi.

"Malas malasan saja terus sampai kau dipecat." Kata Kai, saat mereka menyusuri jalan setapak yang ujungnya sudah terlihat.

"Bagaimana aku bisa dipecat dari perusahaan sendiri? Memangnya aku ini Alpha yang akan dibunuh Betanya? Ini bukan Teen Wolf, Kai."

"Dan lagi kau sudah terlalu tua untuk Teen Wolf. Ah, kau terlalu sering menonton TV saat aku di Juilliard."

"Iya, terus saja membicarakan Juilliard-mu seakan kau memacarinya."

"Dan terus saja menonton TV-mu seakan kau memacarinya."

Kai membuka pintu, diujung jalan setapak yang mereka susuri tadi ada sebuah toko bunga kecil yang menyebarkan aroma bunga dan manis kue sampai keluar. Toko itu milik istrinya sepupu Kai dan Jongdae sudah pasti ada disana, Kai sudah merencanakan kedatangannya dengan novelis tukang pindah rumah ini, dan lagi Pak guru juga mengajar di kota kecil ini, kata Jongdae.

"Hallo, sepupu." Kata Kai, Jongdae di meja kasir menoleh, membenarkan posisi kata matanya dan baru berseru.

"Ah, Juriyaldeu Boi!" Dia sengaja memebuat pelafalan yang kental akan bahasa Korea untuk mengingatkan Kai akan tanah airnya.

"Juilliard Boy, Juilliard Boy." Kata Kai dalam pelafalan Inggris yang sempurna, menunjukan rasa bangga pada tempat dimana dia menuntut ilmu, Juilliard nun jauh di New York.

"Bagaimana Juilliard-mu, Kai?" Tanya Jongdae, berusaha agar pelafalannya pada kata Juilliard terdengar sempurna.

"Menyenangkan seperti biasa, kau akan pusing sendiri kalau kujelaskan."

"Ayolah, aku sedang butuh setting sekolah."

"Kenapa tidak tanya Pak guru saja?"

"Karena aku butuhnya darimu." Kata Jongdae.

Kai jadi curiga. "Apa yang tulis kali ini? Sudah kubilang jangan bawa bawa aku."

Tapi Jongdae malah tertawa. "Christmas Rose, Hellebore. Kau ingat tentang bunga itu?"

"Ck." Kai jadi tertawa sendiri pada akhirnya. "Sudah kubilang jangan bawa bawa aku untuk novelmu."

"Tentu tidak, warga New York, aku hanya bawa Pak guru saja."

"Memangnya dia masih memelihara tanaman beracun itu?"

"Tanya saja dia."

"Sekarang lihat ke sana." Jongdae menunjuk dinding kaca dan dia menarik Kris pergi ke belakang.

"Sekarang hanya tinggal kau dan aku, juga makanan ini, tapi jangan ribut itu bisa mengacaukan rencanaku." Kata Jongdae, tapi itu sudah tidak terdengar di telinga Kai, dia juga tidak mendengar suara laptop Jongdae yang ditutup.

Matanya adalah satu satunya indera yang bekerja saat ini dan itu hanya untuk melihat seseorang yang mungil untuk ukuran pria menenteng jas dan tasnya, dia melepas dasinya dan membuka kancing kemeja pas badannya, salahkan teman teman wanita di Juilliard yang peduli sekali pada jahitan kemeja, mereka selalu mengukur dan memerhatikan bahu teman mereka saat mengenakan kemeja dan itu sepertinya menular pada Kai.

Orang itu mendorong pintu kaca dan masuk ke toko bunga ini seperti masuk ke rumahnya sendiri.

"Selamat siang, kau sudah makan Jong-" Dan dia tercekat saat yang dilihatnya bukan Jongdae yang biasanya duduk di meja kasir dari pagi sampai pagi lagi.

"Siang, Pak guru." Kata Kai, pemuda berjuluk Pak guru itu tidak bergerak, Kai dengan cepat menelitinya lagi, dia sekarang berambut hitam pendek dan itu membuat pipinya terlihat sedikit tembam walau itu bisa juga karena istri sepupunya memberinya terlalu banyak makan, dari kemejanya yang terbuka terlihat kerah kaos putih yang dia kenakan, warna putihnya masih mendekati warna kulit pemuda itu yang kelewat putih, lalu pinggangnya, kakinya, Kai memutuskan berhenti sebelum pikirannya berubah jadi macam macam.

"Kai…" Panggilnya, dia terlihat nyaris menjatuhkan tas dan jasnya dan dia berjalan mendekati Kai.

Hellebore, Christmas Rose, seperti yang Jongdae bilang, bunga itu memang menyimpan kenangan untuknya, mengingatkannya pada sosok dihadapannya saat ini, yang putih seputih kemejanya yang seputih Hellebore yang dulu dia tanam.

"Hallo, Hyung."

Hellebore itu beracun, seperti sosok dihadapannya ini yang meracuni Kai untuk tidak melupakan rasa di dadanya, tapi Hellebore tidak mekar di musim panas, jadi dia merasa beruntung bisa menemukan Helleborenya di musim panas.

Kai menariknya duduk di sebelahnya, tapi mereka masih terdiam. Wajah terkejut sosok itu masih sama saat dia mendengar kabar Kai akan merantau beberapa tahun lalu. Juilliard, Hellebore, dan ciuman pertama, ada ingatan yang tergambar jelas di benak masing masing.

"Bagaimana Hellebore-mu?" Tanya Kai.

"Ba-baik, dia baik, hanya saja dia sedang tidak mekar, tapi dia selalu hijau." Katanya, ada berbagai macam nada yang membuatnya terdengar manis dan Kai tertawa kecil.

"Hellebore, kan, memang selalu hijau, Hyung." Kata Kai.

Pemuda itu menunduk dengan sepuhan merah di kulit putihnya, Kai sampai tidak yakin pemuda ini tiga tahun lebih tua darinya. Mata itu melirik, membuat debaran tiba tiba di jantung Kai, lalu debaran itu jadi cepat, sangat cepat.

Kai menggenggam tangan pemuda itu, menaruhnya di pipinya sendiri. Tangan yang dingin di cuaca yang panas, Kai menikmati bagaimana dinginnya menjalar di kulitnya.

"Suho Hyung…" Panggilnya lembut.

"Kau masih sendiri, Kai?" Tanya Suho, Hellebore milik Kai.

"Kenapa, Hyung?" Tanya Kai.

"Tidak." Suho menurunkan tangannya ke lututnya.

"Kau sendiri, Hyung?"

"Aku selalu sendiri."

Kai menangkap apa yang diinginkan Pak guru satu ini, tapi keduanya terlalu malu untuk mengungkapkan keinginan yang Kai yakini sama. Kenapa harus malu? Harus ada yang lebih dulu bicara untuk akhir yang bahagia.

Keduanya mengangkat kepala mereka di saat yang bersamaan, membuat mata bertemu dan itu mengingatkan pada apa yang pernah terjadi pada mereka. Melihat rasa yang sama di mata masing masing, mereka bergerak mendekat, mempertemukan bibir mereka yang sudah lama tidak bertemu, kali ini dengan lembut, tidak ada gigi yang terbentur lagi, tidak ada orang tua yang akan memergoki lagi.

Kai mengulang apa yang dulu mereka lakukan, dia memegang bahu Suho dan lehernya, menariknya mendekat, Suho menarik rahang Kai dan tangan dinginnya meremas rambut Kai, dengan senang hati membuka mulutnya untuk Kai.

Debaran jantung jadi terasa mengganggu saat ini, setidaknya bisakah jantungnya netral sedikit? Tapi ini Suho, satu satunya yang membuatnya merasa seperti remaja belasan tahun saat dia sudah kepala dua. Hellebore-nya punya racun luar biasa yang membuatnya bisa mati karena cinta.

Dan selain jantung, paru paru juga mulai mengganggu, sesak karena kehabisan napas membuat mereka harus menyudahi ciuman itu. Terengah dan Kai jadi berani bicara.

"Aku mencintaimu."

+FIN+