Ohayou minna-san,

Jonetsu sudah masuk chapter terakhir. Awalnya hanya ada dua chapter (sungguh), tapi cerita ini malah merembes (?) dan di chapter dua, cerita malah semakin panjang. Waah, dasar tidak tepat! (menyalahkan diri sendiri). Mempublish chapter ketiga ini benar-benar keajaiban.

Hana ucapkan terimakasih untuk namida07, Yuuzu Akihara, Aika Licht Youichi, NurHasanah, Nabila Mahfuza, Mayu, yang sudah mereviews cerita gaje ini :3. Dan untuk :

taulahsyapa : ya, saya tau dirimu. TUNJUKKAN DIRIMU KESATRIA BAJU PINK! Makasih like-nya. reviews lagi ya...

baiklah, kita mulaaai...

Walau jelek, author harap readers menikmatinya…


JONETSU. Chapter III

RIICHIRO INAGAKI & YUSUKE MURATA

Warning : Future fic, OOC, typo disana-sini, gaje, abal, nggak bisa komentar apa-apa lagi

Hurt/comfort, Romance

Hiruma Yoichi x Anezaki Mamori


Hiruma bergetar saat melihat wanita yang pucat dan lemah berbaring tak berdaya diatas tempat tidur, infus menggantung disebelahnya. Dengan cepat, ia menarik kursi kesebelah tempat tidur wanita itu

Hiruma duduk dan memperhatikan wanita itu yang tertidur, nafasnya berhembus teratur. Ia menggenggam tangan Mamori lembut.

"Kau, apa yang kau pikirkan Mamori. Apa bercandaku berlebihan? Aku hanya ingin membuatmu sadar kalau aku cemburu. Tapi mungkin aku bercanda disaat yang tidak tepat"

ia lalu menyenderkan kepalanya dikasur wanita itu, dan menyembunyikan tangan mungil yang dingin itu dibalik dadanya

"Kau memang pandai menipuku. Menutup dirimu seperti saat aku menyembunyikan trik-trik sadis"

"Jadi, bukalah matamu Mamori, kita selesaikan masalah ini. Salah paham sialan yang tidak penting ini. Aku mohon, jangan tutup matamu lebih lama dari ini. Aku... Aku takut Mamori. Aku takut kalau aku tak bisa meraihmu. Takut... Takut kalau kau jauh dari jangkauanku"

Hiruma membenamkan wajahnya dikasur wanita itu. Setelah itu, Hiruma mulai terlelap.


.

JONETSU!

.


"Hi... Hiruma?"

Hiruma mengeratkan genggamannya, menyentuh kulit Mamori yang begitu lembut. Suara Mamori menyentaknya yang sempat terlelap. Hiruma mendangakkan kepalanya, melihat Mamori yang sedikit mengigau.

Mamori mengerjap matanya pelan. Merasa ada sesuatu yang hangat menyentuh pipinya yang dingin. Lalu tangan itu pindah, menyentuh helaian rambutnya pelan. Lalu turun lagi menyentuh bibirnya yang pucat.

"Hai..." Ciuman singkat dipipi Mamori menyambutnya saat ia terbangun. Mamori lalu mengelus pipi Hiruma pelan.

"Hiruma? Bisa kau naikkan suhu dikamar ini. Aku kedinginan." Suara Mamori terdengar sangat lirih. Hiruma menaikkan alisnya. Ini musim panas yang mengerikan, dan Mamori berada dibalik balutan selimut yang tebal. Apa yang membuatnya kedinginan?

"Aku.. aku menggigil."

Hiruma melepaskan pegangan tangannya lalu berdiri disebelah Mamori. Ia membelai wajah wanita yang pucat itu. Iris biru sapphire itu lemah, Hiruma tidak lagi bisa merasakan pandangan hangat yang biasanya selalu memandanginya. Bahkan suara yang penuh semangat itu tidak didengarnya lagi.

"Apa ini lebih baik?" Hiruma memeluk Mamori lembut, memeluk dengan erat tubuh wanita yang rapuh itu. Detak jantung Mamori yang lemah terdengar jelas disela-sela bunyi jangkrik di malam itu. Aroma vanilla yang menguar dibalik leher wanita itu membuat Hiruma tenang, walau hanya sesaat. Hiruma tau, obat mengerikan itu mulai menidurkan syaraf-syarafnya.

"Kau ingin apa?" tanya Hiruma setelah ia melepaskan pelukannya.

"Bisa kau membawaku keluar? Aku bosan, disini pengap."

"Tidak!" jawab Hiruma cepat dan agak membentak, membuat Mamori sedikit tersentak.

"Aku hanya… tidak mau kau… kemana-mana. Disini saja ya? Bersamaku."

Mamori menunduk pelan, ia mengerti. Kesehatannya tidak memungkinkan dirinya berjalan lebih jauh lagi. Apalagi ia tidak ingin merepotkan Hiruma.

Mamori mencoba untuk duduk walau kesusahan,Hiruma membantunya. Ia menyanderkan punggung Mamori diantara bantal-bantal empuk itu.

"Apa kau kerasukan?" Mamori mengeraih poni yang menghalangi iris emerald kesukaannya itu lembut, lalu tersenyum.

"Kau benar-benar sangat tampan, Yoichi-kun"

Hiruma menarik selimut tebal untuk membalut tubuh Mamori. Hiruma duduk lagi ditempatnya, namun kali ini lebih dekat. Hiruma memposisikan kursinya mendekat kearah Mamori yang tergeletak di tempat tidurnya. Hiruma kembali meraih tangan wanita itu, dan menempelkan tangan itu di pipinya.

"Kau hangat sekali."

"Tidak, kau yang terlalu dingin" Hiruma mengecup jari-jari lentik Mamori perlahan. Nafas Hiruma terasa hangat menggelitik setiap lekuk jarinya. Setelah itu, Hiruma menempelkan lagi tangan yang dingin itu dipipi kirinya. Mamori tersenyum lebar. Rona merah tercetak jelas diwajahnya yang pucat itu.

Hiruma memperhatikan wanita yang sedang mengelus rambut blonde spike-nya itu. Hiruma menyenderkan kepalanya lagi di tempat tidur agar wanita itu bisa lebih leluasa mengelus rambutnya. Wajahnya yang cantik dan tangan dingin yang mengelus kepalanya itu benar-benar menenangkan Hiruma.

"Kenapa jadi manja begini?"

"Sudah lama aku tidak ada didekatmu Mamori"

"Kau lelah?"

"Tidak sedikitpun!"

"Bagaimana pertandingan kita?"

"Kau ingin tau? Cepatlah keluar dari rumah sakit sialan ini dan kita berlari bersama ke Saikyoudai."

Mamori terdiam, tanggannya masih sibuk menyisiri wajah Hiruma yang tampan itu. Membelai pelan telinga dengan tiga pearching itu. Dan terus terun ke tengkuknya, membuat Hiruma sedikit mendesah geli.

"Aku suka sekali wangi ini, mint. Benar-benar seperti dirimu."

Hiruma hanya diam, tidak merespon apapun. Ia masih meresapi kehangatan dari tangan dingin itu diseluruh tubuhnya.

"Aku bukannya marah padamu, Mamori. Aku hanya ehm… cemburu melihatmu yang akhir-akhir sangat memperhatikan si rambut sialan itu."

"Aku yang salah, Hiruma. Aku terlalu egois dan terlalu berlebihan."

"Tidak! Aku terlalu bodoh dan kekanak-kanakan. Membiarkanmu menanggung luka ini sendirian. Kalau sampai terjadi sesuatu padamu… aku… aku…"

"Aku hanya ingin kau mencintaiku Hiruma. Sampai aku mati. Aku hanya minta, jangan pernah lepaskan tanganmu dari tanganku yang lemah ini. Aku hanya minta, bawa aku yang lemah ini kedalam kehidupanmu yang penuh dengan kebahagian itu" guliran air mata mulai berjatuhan dari pelupuk mata Mamori. Hiruma mengelus pelan pipi itu dengan tangannya yang bergetar.

"Aku takut sendiri, Yoichi."

Sedetik kemudian, Mamori bisa merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya. Bibir Hiruma, menyentuh lembut bibirnya yang pucat itu. Ciuman yang lembut dan hangat, walau itu hanya sebatas sentuhan, Mamori merasa ciuman itu benar-benar sangat menyejukkan hatinya

Hiruma melepas ciuman di bibir Mamori, lalu memindahkannya ke kening wanita itu. Setelah itu, dia menunduk. Mamori terkikik kecil melihat Hiruma yang sedikit merona. Baginya, membuat Hiruma merasa malu dan merona adalah hal lucu yang bisa dihitung jarinya. Sementara, dia sendiri sudah ratusan bahkan ribuan kali dibuat senang sampai merona.

Hiruma memainkan jari Mamori pelan, mengaitkan jari telunjunjuknya yang panjang itu kejari-jari Mamori yang mungil.

"Tangan mungil ini, yang nanti akan menggendong anakku!"

"Hah?"

"Aku sudah janji pada orang tuamu untuk segera melamarmu. Begitu kita keluar rumah sakit, aku akan menikahimu"

Mamori menutup mulutnya. Entah kebahagian apa yang ia rasakan, ia tidak bisa mengungkapkannya. Tangisan Mamori meledak bersama pelukan Hiruma.

Setelah itu, keduanya terdiam cukup lama. Namun, sentuhan tangan keduanya seperti dapat mengartikan setiap bahasa yang tidak dapat dilontarkan lewat mulut.

"Aku pernah berjanji padamu untuk selalu bersamamu, kan?" Mamori membuka percakapan.

"Hah?"

"Sepertinya aku, tidak bisa menepatinya."

"Berhenti..."

"Sampaikan maafku pada Yamato yang selalu merepotkannya, dan untuk semuanya juga, termasuk ayah dan ibuku. Bisakah kau lakukan itu untukku?"

"Berhenti bicara. Sekarang istirahatlah!" Hiruma menaikkan kepalanya dan duduk tegak, mimiknya terlihat marah dan gusar.

"Aku selalu ingin bertemu dan bersenang-senang dengan semuanya. Aku selau berharap, aku bisa tertawa bersama kalian. Diteriaki olehmu, dijaga Yamato, membaca bersama Taka, menjahili Banba bersama Jumonji, Agon juga Ikyu, dan bermain dengan semuanya. Sena, Suzuna, dan teman-teman dari Enma. Semuanya..." Mamori menarik nafasnya, dan menghembuskannya perlahan. Ia merasa kepalanya berat, dan sulit mengambil nafas.

"Tapi sepertinya, aku harus melihat kebahagian itu dari tempat lain, melihatmu tertawa diwaktu yang lain. Melihat kalian sukses dari jarak yang cukup jauh. Aku hanya bisa… memandangi acara pernikahanmu dari jauh."

Hiruma kembali meraih tangan Mamori. Sekilas, ia merasa tangan itu bergetar. "Aku... Aku ingin kau terus melihatku. Aku ingin kau melihatku sukses menjadi kapten Saikyodai. Aku mau kau disampingku, begitu juga saat kita ada di altar itu, bersamaku. Kita akan punya anak yang banyak, lalu membesarkan mereka. Kita akan melihat mereka tumbuh dan sukses seperti kita. Lalu, kita akan mati tua bersama"

"Aku… me… menyayangimu Hiruma."

"Tidak, jangan ucapkan apapun Mamori! Aku tidak akan membiarkanmu mengatakan kata selamat tinggal!"

"Aku tidak meninggalkanmu Hiruma, aku bersamamu. Hanya saja aku tidak bisa disebelahmu lagi, aku akan melihatmu dari jarak yang mungkin tidak bisa kau tempuh."

"Dengar Mamori, kau harus berjanji padaku. Kau harus berjuang. Dan, kau tidak akan pernah menyerah. Apapun yang terjadi. Kau harus bertahan, kita akan berjuang bersama." Hiruma menggenggam tangan Mamori kuat, ia bisa merasa. Sesuatu yang hangat jatuh ke pipinya.

"Hi... ru... hiru... ma" suara Mamori sangat berat dan serak. Hiruma pucat.

"Mamori dengar aku. Aku mohon bertahanlah, kita lalui bersama. Aku akan bersamamu. Kita lewati bersama, apapun... aku… Aku janji akan… akan…"

Hiruma berhenti berbicara saat denyut nadi di layar monitor sebelahnya terlihat tidak stabil.

"MAMORI!" jeritan Hiruma terdengar keras. Tak lama, Yamato masuk kedalam kamar.

"Ada apa?"

"Detak jantungnya!"

"Kenapa?"

"Panggil dokter itu! CEPAT!" teriah Hiruma, dia berusaha menggoyangkan badan Mamori. Sementara Yamato berlari kencang memanggil dokter.

Hiruma mengusap kepala Mamori. Layar dimobitor itu semakin terlihat datar.

"Mamori… Mamori! Sadarlah Mamori, lihat aku! Aku disini, tetaplah disini bersamaku!" rintikan air mata mulai menetes dari mata Hiruma dan jatuh di pipi Mamori.

"Aku.. sampai… kap… kapanpun selalu… men… mencintaimu"

"Aku tau! Makanya, TERUSLAH HIDUP BERSAMAKU!"

"Hi… ru… maa…"

Setelah itu, Mamori terdiam. Denyut nadinya terlihat benar-benar datar di layar monitor. Selang beberapa menit, perawat dan dokter datang melakukan tindakan pemyelamatan.

"Keluarlah" seorang perawat mempersilahkan Hiruma dan Akaba keluar.

"Tidak sialan, biarkan aku disini!"

"Hiruma!"

"LEPASKAN TANGANKU! BIARKAN AKU BERSAMANYA!"

"HIRUMA!"

Setelah beberap paksaan dari Yamato, akhirnya Hiruma mau keluar juga.

Akaba menghubungi beberapa teman dan orang tua Mamori, sementara Hiruma terduduk dengan wajah pucat dan keringat yang membanjiri wajahnya.

Setelah sepuluh menit berlalu seorang dokter kemudian keluar dengan wajah putus asa. Hiruma merasa jantungnya berdegup sangat kencang. Sampai satu kata keluar dari mulut dokter itu.

"Maaf, kami sudah berusaha" dokter itu pergi meninggalkan Hiruma dan Yamato.

Semua hal terasa hitam bagi Hiruma, ia benar-benar tidak tau harus berbuat apa. Lututnya bergetar hebat. Setelah itu ia tidak lagi mendengar suara apapun.

Tidak lama, semua datang dengan suara tangisan yang menyayat dirinya. Setelah itu, ia merasa seperti disayat, tak mampu berdiri.

Cerita ini hanya menunjukkan kisah perjalanan cinta yang sudah ditempuh mati-matian akhirnya runtuh hanya karena keegoisan dan salah paham yang sepele. Keegosisan tidak dapat menyelesaikan apapun!


OWARI

Selesai sudah perjuangan saya, ini semua berkat readers sekalian yang sudah membaca atau mereviews. Terima kasih banyak! Dan untuk reviews pembangkin semangat dari (pembaca), reviews kalian benar-benar berharga! Terima kasih! #hiks.

'Jonetsu' artinya jangan menyerah. Setidaknya, judulnya masih sesuai dengan cerita yang aneh ini.

Kritik dan saran silahkan tulis di kotak dibawah ini, saya sangat SANGAT menghargai setiap reviews para readers. Terimakasih sudah membaca, sampai jumpa…