A/N: Selamat ketemu lagi dengan Nami! Kali ini yang saya pilih pairing canon, KagaKuro! Senangnyaa~ *fangirling**guling-guling*
Warning: OOC (perubahan sifat karena faktor usia [KagaKuro dewasa]) and also... typo(s)?
Ok, let's enjoy but don't forget to REVIEW, onegai?
.
Their Love
By Retatsu Namikaze
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Cover from Google
.
Cinta tentang mereka adalah sebuah kecupan selamat pagi, rasa asin air mata, tragedi, penyesalan, dan satu awal baru.
"Ohayou Tetsuya~" erang pemuda tinggi yang berjalan malas menuju dapur. Ruangan bergaya modern-minimalis tersebut nampak tenang seperti pagi kemarin-kemarin. Hanya ada Kuroko Tetsuya di sana, dengan apron biru muda, tengah berurusan dengan penggorengan dan ricecooker. Bau sedap menyeruak memenuhi udara. Dan inilah alasan kenapa dirinya rela bangun lebih awal.
"Ohayou, Kagami-kun," suara baritone menyambut Kagami yang bersungut, "Taiga-kun," ralat Kuroko. Memang, sudah terlalu sering Kagami mewanti-wanti Kuroko agar tidak lagi menyebutnya dengan nama keluarga−karena mereka sudah tinggal seatap lebih dari dua tahun−tapi pemuda bermuka tanpa-ekspresi itu selalu saja menggodanya.
"Ah, masak apa pagi ini?"
"Nasi−sosis goreng juga." Nada bicaranya masih saja datar, sedatar pembawaannya.
"Itu saja?" mantan Ace tim basket Seirin itu melongok dari belakang pundak Kuroko. Ada dua puluh sosis mengambang di atas minyak yang bergolak. Pasti delapan belas miliknya, dan dua milik si koki.
"Aku juga buat telur rebus!" aku Kuroko bangga, karena itu lah bakat awal memasaknya.
"Ya ampun Tetsuya, bukankah aku sudah membelikanmu buku resep? Kenapa tidak Kau pelajari?" tanya Kagami menyelingi kegiatan menguapnya.
"Aku tidak bisa kalau hanya membaca begitu Taiga-kun, memasak itu bukan teori." Dengan spatula kayu Kuroko memindahkan sosis itu satu-persatu ke atas piring.
"Jadi harus selalu aku yang mengajarimu?"
"Tentu!" Setelah mematikan kompor, dia beralih pada ricecooker, meninggalkan Kagami yang masih berdiri di tempatnya.
"Kalau begitu akan kuajari cara membuat daging asap enak untuk isian burger." Kagami mengekor Kuroko, "Nah, sekarang berterima kasihlah padaku."
"Arigato Taiga-kun."
Mendengar komentar polos orang terkasihnya membuat Kagami tertawa, dia mengacak rambut biru miliknya yang dibalas dengan dengusan Kuroko. "Oi Tetsuya, hari ini aku berangkat kerja."
"Hari ini juga?"
"Osh!" Kagami menyahut antusias. Menggeluti profesi sebagai firefighter adalah bagian dari hidupnya−setelah Kuroko dan basket−karena itulah, Kagami akan selalu siap sedia di station pemadam kebakaran, menunggu orang yang membutuhkan bantuannya. Bagi Kagami, tak ada yang lebih membanggakan dirinya kecuali saat dia melihat orang membutuhkan pertolongan bisa lolos dari maut.
Kuroko terdiam sebentar, "Ya," gumamnya.
"Ada pesanan? Kau ingin sesuatu misalnya? Oleh-oleh?"
"Memangnya Taiga-kun bisa bawa apa? Arang?"
"Ya, tidak mesti arang, My Dear Tetsuya," Nah, Kagami sudah mulai dengan gombalannya.
Kuroko−akhirnya−menoleh pada Kagami, ditatapnya wajah yang menawan itu. Dibandingkan dengan terakhir kali dia mengingat garis wajahnya ketika mereka satu SMA dahulu, kini dia jauh lebih dewasa, terlihat tegas tapi jenaka secara bersamaan. "Kalau begitu aku minta Kagami Taiga," ucapnya hampir berbisik.
"Hm?"
Kuroko tersenyum, mengetahui laki-laki itu masih saja kurang pandai−bodoh−untuk tidak mengerti maksudnya, "Pulanglah dengan selamat Taiga..."
"Kalau itu sudah pasti! Bukankah aku berjanji akan mengajarimu masak?" ucapnya seraya memamerkan deretan gigi putih dan mengacungkan jempol.
Sekali lagi Kuroko tersenyum. Namun kali ini tatapannya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang dia rasakan. Bekerja menyelamatkan nyawa orang dengan taruhan nyawa pula. Rasanya terlalu mahal. Kuroko pernah menyarankan Kagami untuk tetap fokus di dunia olahraga, tapi si maniak basket itu justru mengelak; menyelamatkan seseorang lebih berarti dibandingkan sebuah kemenangan, begitu katanya. Sampai di sini, Kuroko tidak bisa berbuat lebih jauh.
Suasana hening selama beberapa saat.
Kagami memperhatikan Kuroko yang sibuk menyiapkan sarapan, menata piring dan mangkuk-mangkuk di meja, mengambilkan nasi untuknya, dan sesekali bertanya apakah nasinya sudah cukup atau perlu dia tambah lagi. Ah, bukankah dia itu mirip sesosok istri? Kagami tersenyum malu sambil menggaruk tengkuknya.
"Ng, Tetsuya−"
Tidak ada jawaban.
"Sepertinya ada yang salah dengan hidungku," keluh Kagami sambil menggosok hidungnya keras-keras.
"Hidung?" heran Kuroko, dia menoleh dan−
Kena! Tanpa permisi lagi Kagami mencuri cium. Dikecupnya bibir itu dalam-dalam sebagai morning kiss yang seharusnya diberikan di awal. Dan sebagai luapan cinta yang tak terbendung hatinya.
Ciuman yang tiba-tiba itu tentu membuat Kuroko kaget, matanya membelalak sempurna. Dasar Kagami-kun 'sialan', bukankah itu tipuan bodoh? Kemarin matanya, sekarang hidung, lalu besok apa? Tapi toh, dia pun terperangkap dan dalam detik berikutnya mukanya sudah semerah sosis(?) yang baru saja dia goreng.
"Bercanda~"
Terlalu malu untuk menanggapi Kagami, Kuroko kembali menyibukkan diri dengan nasi. "Duduklah KAGAMI-KUN dan habiskan sarapanmu!" Dalam hati Kuroko Tetsuya bertekad; besok, dirinya tidak akan tertipu lagi!
Iseng, sebelum beranjak Kagami mencium pipi kanan Kuroko dan menjawil sisi lainnnya. Tak ayal kalau Kuroko dengan senang hati memberikan Kagami sosis panas ekstra di jidatnya.
Cinta tentang mereka adalah sebuah kecupan selamat pagi, rasa asin air mata, tragedi, penyesalan, dan satu awal baru.
Saat itu Kuroko sedang memasak menu untuk makan siang−berminggu-minggu setelah berlalunya pagi harmonis terakhir yang pernah dia ingat−dia dan Kagami, laki-laki yang seharusnya selalu mengatakan I love you sambil menyisiri helai rambutnya, dan satu-satunya orang yang kemudian akan menerima balasan berupa senyuman paling tulus yang dia miliki, kembali ribut. Awalnya hanya sebuah adu mulut, namun selalu berakhir dalam pertengkaran hebat.
"Kagami-kun lah yang egois!" Suara Kuroko tidak kalah keras dengan bentakkan sebelumnya. Sekarang, dia tidak pernah bisa lagi berdiri dengan wajah terpahat datar. Emosinya terus meluap, membayangkan bagaimana mereka semestinya hidup rukun namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Pemuda bersurai merah berdiri di ambang pintu, mengangkat dagu, "Lalu Kau sebut apa dirimu?! Kau kan yang selalu menceritakan masalah kita pada teman-temanmu itu! Kau tahu?! Pada akhirnya mereka selalu menuduhku bahwa aku TIDAK PERNAH BISA MEMBAHAGIAKANMU KUROKO!" Kagami mendekat pada Kuroko, "Itu yang Kau inginkan?! Terus mempermalukanku di depan mereka?!" Alisnya menukik semakin tajam dan matanya berkilat geram menatap sosok yang lebih rendah di bawahnya.
"Aku tidak seperti itu! Lagipula aku berbuat demikian karena Kagami-kun! Setiap hari pergi lebih awal dan pulang ketika larut−lalu pada siapa lagi aku bisa bercerita kalau terus sendirian? INI SEMUA KARENA KAGAMI-KUN YANG TIDAK PERNAH ADA DI SAMPINGKU!" Kuroko meninju pipi kanan Kagami, membekaskan sedikit lebam pada kulit tan itu.
Rahang Kagami mengeras. Dia mencengkeram kaos putih yang dikenakan Kuroko, menariknya ke atas, si pemilik tetap mengatupkan mulutnya rapat-rapat meskipun itu terasa sangat sakit. "Kau tahu tuntutan pekerjaanku−dan Kau pikir untuk siapa aku kerja banting tulang, HAH?!"
Kuroko menahan napasnya, "Lebih mencintai pekerjaan−lalu kenapa Kau memintaku untuk tinggal bersamamu! Kalau Kau memang hanya membutuhkan pembantu dan penjaga rumah−"
"Oh tentu, kenapa Kau tidak MENGHILANG saja, huh?! Lagipula memang siapa yang lebih pantas disebut EGOIS!"
Kuroko terbelalak. Menghilang katanya. Tentu saja menghilang tadi bukanlah pemintaan Kagami untuk menyuruhnya melakukan misdirection seperti yang sering pemuda itu keluhkan, bukan juga sebuah gurauan, ucapannya barusan benar-benar...
Kagami melepaskan cengkeramannya, dia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan dapur. Beberapa saat kemudian terdengar bantingan keras pintu. Dari arah ruang tamu.
Saat itulah Kuroko ambruk. Kepalanya membentur kabinet. Dia tidak bisa lagi membendung air mata. Kagami-nya. Kagami yang selama ini dikenalnya. Di mana sosok itu?
Sekuat tenaga, dibantu dengan tumpuannya pada meja makan, Kuroko kembali berdiri. Dia tidak bisa terus duduk di lantai yang dingin, kalau saja Kagami mau tahu, suhu tubuh Kuroko bertambah tinggi lagi sejak dua hari belakangan. Kecapekan dan stres, begitu komentar Midorima, karibnya yang kini bekerja di klinik. Meski berat, Kuroko tetap memaksa tubuh yang sudah bercucuran keringat dingin itu untuk beringsut, berjalan menuju kamarnya−kamar dia dan orang yang dicintainya−di lantai dua.
Dengan menyeret kakinya susah payah, tiap anak tangga berhasil dia naiki perlahan, meski sesekali terhuyung dan nyaris jatuh terjungkal, tapi akhirnya Kuroko sampai juga di depan sebuah ruangan sederhana tempat dia dan Kagami dahulu sering menghabiskan waktu bersama. Kuroko menatap sendu tiap sudut kamar dan semua kenangan yang seakan menari-nari di hadapannya.
Sebuah meja jati yang menghadap langsung ke arah jendela; tempat ia ketika serius mempelajari berbundel-bundel resep, dengan Kagami yang berdiri di belakangnya, menunjuk tiap-tiap poin caramemasak, menjelaskannya panjang lebar dan membandingkannya dengan 'Kalau di Amerika...' sementara tangan kanannya bersangga pada sandaran kursi yang Kuroko duduki. Bahkan dia masih ingat betul sensasi dingin-mengelitik cincin yang dikalungkan Kagami ketika bergelantung dan menyentuh tulang pipinya.
Begitu pula poster-poster pemain basket yang tertempel acak di salah satu sisi tembok. Bukan poster pemain basket NBA, tapi poster Kagami, yang kebanyakan diperoleh dari bonus majalah-majalah olahraga−edisi khusus ketika dirinya menjadi perbincangan hangat; 'Kiseki no Sedai Lainnya'−Kuroko ingat bagaimana kehebohan orang itu, protes karena dirinya menempelkan poster anggota Keseki no Sedai. "KISEDAI hanya mengganggu pemandangan! Kalau mau postermu saja yang ditempel, sisanya tidak boleh!" Tapi Kuroko sendiri tidak suka kalau gambarnya terpampang, akhirnya hanya muka Kagami yang memenuhi tembok. Kuroko tersenyum masam mengingat kekonyolan Kagami ketika berkacak pinggang dan terkekeh mirip Namahage, menatapi fotonya sendiri sebelum tidur.
Pandangan Kuroko kemudian jatuh pada kasur king size yang terbalut seprai rapi. Secara tak sadar dia memegang kenop pintu lebih kuat. Dahulu, tempat itu begitu hangat. Dengan Kagami yang sepanjang malam memeluknya, membiarkan Kuroko meringkuk nyaman, sementara dia membenamkan muka di puncak kepalanya. Tapi kini Kuroko hanya tidur berselimutkan dingin malam, dan paginya, yang dia dapati adalah kerutan-kerutan di tempat tidur di sampingnya; semalam Kagami pulang dan sekarang sudah berangkat.
Kuroko memejamkan mata, berusaha mengusir bayang-bayang itu. Setelahnya dia menutup pintu dan segera memutar kunci. Tapi dia tertegun, lagi, melihat gantungan kunci yang terayun dan bertumbukkan. Sebuah bola basket mini dan dua buah mini jersey hitam berbahan karet, yang satu bertuliskan angka 10 dan satunya angka 11. Semuanya adalah pemberian Kagami ketika mereka baru saja pindah ke rumah itu.
"Kuroko, gantungkan ini di kunci kamar!" Kagami mengacungkan tiga gantungan kunci di hadapan muka Kuroko.
"Di kunci pintu depan saja."
"Tidak. Kunci kamar kita lebih penting dari kunci mana pun di dunia!"
Ada tekanan di perutnya yang menguap, membuat dadanya terasa panas dan sesak. Sudah Cukup! Kuroko mencabut kunci itu, menggenggamnya kuat-kuat, lalu melemparkannya ke luar jendela, melewati pohon-pohon red cedar yang tumbuh tinggi di halaman tepat di bawah kamar, dan terjatuh di jalan. Sebuah mobil sedan melintas dan menggilas kunci itu. Dan salah satu dari sekumpulan anak laki-laki yang melewat setelahnya tidak sadar telah menendang kunci tersebut hingga terlempar ke dalam semak belukar.
Kuroko menutup jendela keras. Kakinya yang sedari tadi bergetar hebat tidak bisa lagi menahan bobot tubuhnya. Alhasil dia merosot dengan dahi yang terseret permukaan tembok.
Seharusnya tidak berakhir seperti ini. Dia dan Kagami!
Meskipun telah bersikeras menolak, bayangan itu tetap berputar di kepalanya; tentang senyumnya, kebodohannya, dan semua kenangan yang mestinya terasa manis, tapi justru menjadikan mulutnya terasa semakin pahit. Sungguh, Kuroko sebenarnya tidak menyesal bertemu dengan Kagami. Dia selalu percaya, bersama Kagami−hanya dengan dia−dirinya akan bahagia. Tapi rasa sakit diabaikan oleh orang yang dicintai, bahkan jika dia mengharapkannya agar menghilang...
Air mata kembali mengalir deras. Kuroko menggigit bibir bawahnya agar teriakannya tertahan, yang justru membuat tenggorokannya seakan mau meledak.
Lama. Kuroko terus tersedu. Membiarkan bulir air mata jatuh bersusulan membasahi pangkuannya. Dalam keheningan itu, Kuroko merasakan kepalanya semakin berat dan pandangannya memburam. Dia lalu terpejam. Membiarkan dirinya terbuai rasa kantuk. Lupa, bahwa dia meniggalkan masakannya, membiarkan kompor itu tetap menyala.
TBC
Next issue:
Cinta tentang mereka adalah sebuah kecupan selamat pagi, rasa asin air mata, tragedi, penyesalan, dan satu awal baru.
Fict ini dibuat karena 'kok rasanya Kagakuro menyepi ya?'
Oke deh, sebelum pergi... review?