EPILOGUE :

1-Nichi, Akai Bara no Oujo-sama

"Rin! SELAMAT DATAAAAAANG!" ucap teman-teman riuh saat pertama kali kubuka pintu ruang kelas. Mereka tertawa dan memanggil namaku dengan bahagianya. Aku benar-benar dibuat terkejut oleh mereka.

Ini adalah hari pertama aku memulai kegiatan sekolahku lagi setelah beberapa minggu dirawat di rumah sakit. Aku tidak tahu bahwa mereka akan membuat kejutan seperti ini. Rei, sang ketua kelas pun terlihat begitu sangat senang. Aku pun tak pernah tahu kalau mereka benar-benar mengubah pandangan mereka terhadapku.

Aku melihat sekeliling kelas. Tapi tak kulihat Len dimana-mana. Kemana, Len? Apa dia belum datang?

"Terimakasih, semuanya!" aku tak kuasa menahan air mata bahagiaku.

"Syukurlah, Tuhan! Syukurlah kau nggak apa-apa, Rin!" ucap seorang gadis yang kukenal ia bernama Hiruno. Ia menggenggam kedua tanganku. Wajahnya terlihat seperti mencemaskanku.

"Wajahmu tak berubah, 'kan? Tak ada cacat di badanmu, 'kan?" gadis yang lain memegang pipiku dengan kedua tanganku.

"Nggak. Aku nggak apa-apa. Lagipula, semua lukaku sudah pulih. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku, teman-teman."

"Kami sangat mengkhawatirkanmu. Apalagi setelah kami tahu yang melakukan hal sekejam itu kepadamu adalah Kagari seorang diri." Ucap Hiruno lagi.

"Sudahlah. Masalah itu tak perlu dibahas lagi."

"Benar-benar! Kita nggak perlu membahas nenek sihir itu lagi!" ucap beberapa anak laki-laki.

"Baiklah anak-anak, kita memang senang Kagamine sudah dapat bersekolah lagi. Tapi jam belajar sudah dimulai. Bisa kita mulai pelajaran sekarang?" tanya seorang guru yang sudah berdiri diambang pintu kelas.

Jam belajar sudah dimulai? Kenapa Len belum masuk kelas? Ada apa dengannya?

"Maaf, apa ada yang lihat Len?" aku mencoba beranikan diri bertanya kepada yang lain. Entah kenapa perasaan khawatir menyelimutiku. Aku merasa akan ada sesuatu yang terjadi kepadanya.

"Len? Aku melihatnya memasuki gerbang sekolah pagi ini. Tapi benar juga, ya! Kenapa ia nggak masuk kelas?" ucap anak laki-laki yang lain.

Kupandang Rei. Kuharap ia tahu sesuatu. Rei menatapku balik. Tatapan wajahnya terlihat seperti seseorang yang bersalah. Ia seolah sedang menutupi sesuatu dari kami. Aku yakin, ada sesuatu yang ia sembunyikan.

"Ada apa, Rei? Kau pasti tahu sesuatu, 'kan?" tanyaku.

"Iya. Sebenarnya tadi pagi, Len memang datang. Tapi ia nggak langsung ke kelas. Dia, ke ruang kepala sekolah terlebih dulu." Jawabnya.

Kepala sekolah? Ada apa?

Jam pelajaran dimulai. Materi yang guru berikan tidak masuk ke kepalaku. Aku senang dapat kembali bersekolah. Tapi mengetahui Len seperti itu, aku merasa khawatir padanya. Mungkinkah ia terlibat dalam suatu perkelahian selama aku absen?

*Srek!* tiba-tiba pintu kelas terbuka, dan Len memasuki kelas dengan wajah normalnya. Seolah tak ada masalah.

"Dari mana, Len?" tanya guru yang mengajar di depan kelas.

"Ruang kepala sekolah, bu." Jawabnya santai.

"Cepatlah duduk dan ikuti materinya."

"Iya.."

Len melewati mejaku. Wajahnya menoleh padaku. Len...

"Selamat datang.." ucapnya pelan seraya tersenyum manis. Kemudian ia segera menolehkan wajahnya lagi kedepan, dan... kenapa ia menangis?

Pelajaran kembali berlangsung. Namun air mata Len yang tak sengaja terlihat olehku semakin membuat pikiranku makin kalut. Kutuliskan sebuah pesan disecarik kertas. Kemudian menyuruh teman memberikannya kepada Len secara estafet.

Jam pulang sekolah. Tidak seperti waktu itu, kini teman-teman menyapaku dan mengatakan 'sampai jumpa besok'. Aku hanya bisa tersenyum dan menjawab seperlunya. Aku tak akan pulang lebih dulu. Aku ingin bicara pada Len. Seperti yang kupinta dalam isi surat kecil yang kuberikan pada Len tadi.

Setelah kuyakinkan kelas sudah kosong dan tak terdengar lagi aktifitas disekolah, aku mencoba memberanikan diri membalikkan badan kearah meja Len. Ia terlihat begitu lesu. Wajahnya tertunduk. Aku harus mendekatinya.

"Len..." sapaku memulai pembicaraan.

Ia mengangkat kepalanya dengan cepat. Kemudian tersenyum. "Ada apa, rin?"

"Jangan bohong. Ada apa denganmu?"

"Aku nggak apa-apa!" Ia tersenyum seperti biasa. Tapi aku tahu itu senyum untuk menutupi sesuatu.

"Kamu nggak perlu berbohong padaku. Aku melihatmu menangis pagi ini setelah kau menyapaku! Jelas saja kalau aku merasa kalau kau nggak baik-baik saja!"

Len terdiam. Seketika itu senyumannya hilang. Kemudian tertunduk lesu.

"Aku harus kembali ke orang tuaku. Pagi ini aku ke ruang kepala sekolah karena pamanku sudah berada disana lebih dulu bersama guru konseling."

Benar dugaanku. Terjawab sudah segala kecemasanku.

"Jadi.. kau akan pergi?"

"Sebenarnya sudah sejak 2 minggu yang lalu aku sudah diperintahkan untuk kembali, tapi aku meminta kepada orangtuaku untuk memberikan waktu sampai kau kembali bersekolah. Aku ingin merasakan satu kelas lagi denganmu, aku ingin melihatmu dikelilingi teman-teman sama sepertiku dihari terakhirku bersekolah disini. Dan semua itu sudah terjadi pagi ini, bukan?"

Len mengangkat kepalanya dan menatapku. Namun senyuman yang ia ingin lontarkan sepertinya urung ia lakukan. Aku sudah terlanjur menangis dan ia melihatku seperti ini.

"Lalu kenapa kau menangis pagi tadi?! Kelakuanmu seperti itu membuatku bingung. Jujur saja, aku merasa.. aku merasa.. kalau akulah yang jadi masalahmu.."

"Memang itu masalahku! Aku jadi merasa kalau aku nggak bisa lagi menjagamu. Aku merasa janjiku hanya kebohongan semata. Padahal ibumu sudah menitipkanmu padaku. Aku merasa tak berguna! Kalau tahu akan begini jadinya, aku tak akan mengobral janji! Apalagi kepadamu! Aku takut bagaimana jadinya kalau aku nggak ada disampingmu!" Len berkata seolah ia menyalahkan dirinya sendiri. Aku.. aku...

*Plak!*

Kutampar Len dengan tangan kananku. Seketika itu Len segera memegang pipinya dan menatapku.

"BODOH! Sebaiknya kau jangan khawatirkan aku! Kau pikir kalau kau tak ada, aku akan ketakutan?! Aku sudah bukan aku yang dulu! Aku seperti ini juga berkat segala bantuanmu selama ini! Kalau kau memang ingin pergi, silahkan! Aku tak akan mencegahmu. Akan kubuktikan kepadamu kalau aku bisa berdiri tanpamu! Jadi jangan jadikan aku penghalangmu untuk pergi..."

Len berdiri. Aku tahu ia menatapku yang berusaha menyembunyikan air mataku setelah membentaknya habis-habisan. Kemudian ia memelukku.

"Maaf, Rin. Maafkan aku.." ucapnya pelan.

"Len, BODOH! Berjanjilah, kau akan kembali lagi.."

Ia semakin memelukku erat.

"Aku janji.."

Keesokan harinya adalah hari terberat untukku. Aku harus menjalani hari-hari berat seorang diri. Seolah kehidupanku kembali seperti dulu, tak ada sosok Len dikelas. Sosok yang selalu membuatku bangkit. Sosok yang selalu menyemangatiku..

Sebenarnya aku sangat berterimakasih padanya. Sangat sangat berterimakasih. Berkatnya, aku bisa seperti ini. Aku yakin ia akan melakukan hal yang sama disana. Aku tak akan menangisi kepergiannya. Aku percaya pada janjinya. Ia pasti akan kembali. Aku yakin ia pasti kembali. Entah kapan, aku percaya padanya.

Dewi Haru selalu menolongku. Ia mendengar doa-doa dan semua harapanku. Ia yang mempertemukanku dengan Len, ia juga yang memisahkanku dengannya. Tapi aku juga percaya, Dewi Haru juga yang akan mempertemukanku kembali dengannya.

Itsuka, kitto...

Nazenara, watashi wa Akai bara no Oujo-sama...

The End


Author time!

Kini giliran saya yang buka suara :3

Pertama, saya mohon maaf atas "terlalu lamanya" nge-apdet FF yang satu ini. Banyak kerjaan yang nggak bisa ditinggal *pundung* Tapi akhirnya tamat juga, kok! #plak

Yang pasti nggak puas kalau endingnya ngegantung begitu~

Jadi, terciptalah extra chapter yang sedikit membantu meng-ending-kan(?) FF saya kali ini.

Terimakasih buat yang udah ngikutin FF gaje nan terlalu drama ini, kala itu saya memang sedang kerasukan drama-mama(?)

Aaa~ mou!

Mata aeru, ne~ [N.K]


Mina : akhirnya aku muncul lagi! *barks* Arigatou, Kumi-sama!

Kumi : douita ne, Mina~ saya harap kamu puas buat ending yang saya buat ini *smile smile(?)*

Mina : *roll over* Kumi-sama! AISHITERU!

Kumi : he? *shock*

gaKun : ELECTRIC EYE! *setrum Mina*

Nanashi : please deh, itu gaya gue! *facepalm*

Kumi : abaikan! Abaikan! Abaikan percakapan ini! #bow #bow

Extra Chapter :

Reunion

Musim hingga musim terus berganti. Kehidupan Rin kini kian membaik. Ia begitu yakin kepada dirinya kalau ia mampu menunjukan bahwa dirinya bisa mewujudkan apa yang dijanjikannya kepada Len.

Singkat cerita, sudah 2 tahun semenjak kepergian Len dari Akaibara. Tak mungkin sosok Rin yang begitu dekat dan sangat menyayangi Len itu tidak merindukannya. Bagaimana ia sekarang, sedang apa ia disana, apa Len juga selalu memikirkannya, hanya itu yang ada dibenak Rin selama Len tak disisinya.

"Rin?" panggil seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya.

Panggilan sang ibu membuyarkan pikiran Rin yang sedang duduk memandang langit siang dijendela kamarnya. "Ada apa, bu?"

"Selamat atas kelulusanmu, ya!"

"Terima kasih, bu!" ucap Rin seraya memeluk ibunya.

"Maafkan ibu, ya! Kamu jadi terpaksa nggak bisa melanjutkan sekolah ke kota sebelah."

Sebenarnya Rin ada sedikit rasa iri terhadap teman-temannya yang dapat pergi ke kota sebelah untuk melanjutkan pendidikan ke universitas. Namun ia harus berpikir dua kali untuk membujuk ayahnya yang berprofesi sebagai petani biasa.

"Siapa yang akan membantu ayah mengantar lobak ke kios? Siapa yang akan menjaga kios selama ibu pergi ke kota sebelah mencari bibit? Siapa yang akan mengurus Mina? Siapa yang akan membiayai sekolahku disana? Lalu... bagaimana dengan Len kalau ia kembali dan aku tidak disini?" begitulah yang sebelumnya Rin pikirkan setelah menerima hasil kelulusannya pagi tadi. "Aku nggak mau merepotkan ayah dan ibu..." jawab Rin menghibur dirinya sendiri.

Ia berusaha untuk tidak mengkhawatirkan ibunya karena dirinya hanya dapat menuntaskan wajib belajar 12 tahun. Memang tidak diwajibkan untuk meneruskan pendidikan ke universitas, namun diantara semua teman sekelas Rin, yang tidak melanjutkan sekolah hanya dirinya dan 2 teman lainnya.

"Kamu nggak marah atau kecewa pada ibu, 'kan? Ibu mengkhawatirkanmu. Sejak tadi kamu hanya terdiam memandang keluar jendela..." ibunya terlihat sangat cemas.

"Mana mungkin aku seperti itu? Aku hanya sedang nggak ada yang ingin kulakukan saja, bu! Selebihnya, aku baik-baik saja. Percayalah!" Ujar Rin seraya tersenyum.

"Pergilah keluar. Ajak Mina berkeliling taman. Ia pasti suntuk seharian di kandangnya."

"Baiklah. Aku pergi dulu, bu!" Rin meninggalkan tempat duduknya. "Aku lupa!" Rin kembali dan mencium pipi ibunya. "Aku sayang ibu!"

Dalam benak Rin, tak ada kekecewaan dihatinya. Ia sudah bertekad untuk hidup seadanya. Ia tak ingin merepotkan orang banyak. Ia ingin berkembang jauh lebih baik meski hanya dengan kemampuannya.

Sesampainya di taman, suasana masih terasa sangat sepi. Siang itu cuaca memang sangat panas. Sehingga mustahil ada banyak penduduk yang datang.

"Sepi sekali~" rengek Rin setelah berkeliling melihat keadaan taman. "Kamu yakin masih mau main disini, Mina?" tanyanya kepada anjing coklat mungil kesayangannya itu.

"Nguuk~" Mina mungil pun terlihat begitu kecewa. Biasanya ia berlari-larian dengan kucing liar yang berkeliaran disekitar taman. Namun tak satupun kucing yang terlihat disana.

"Kita pulang saja, yuk! Aku buatkan susu hangat untukmu nanti!" ajak Rin.

Tiba-tiba Mina terlihat begitu aktif. Ekornya dikibas-kibaskan ke udara. Hidungnya mulai mengendus-endus sesuatu yang sepertinya sudah tidak asing lagi. Dan ia juga mulai mengonggong riang.

"GUK! GUK! GUK!" Mina melompat lompat dihadapan majikannya.

"Aduuuh! Bisa nggak kamu tenang sedikit? Kenapa tiba-tiba kamu begini?" omel Rin seraya menahan Mina agar tidak kabur.

Sebenarnya tak akan jadi masalah meski Rin melepaskan Mina dan membiarkannya pergi kemana ia mau. Karena Mina sudah tahu semua pelosok desa Akaibara. Mina memang terlihat liar, namun sebenarnya ia benar-benar jinak.

Rin sudah tidak dapat menahan Mina dengan kedua tangannya. Anjing itu meronta-ronta minta dilepaskan. "MINA!" panggil Rin ketika ia melihat anjingnya berlari melesat secepat kilat meninggalkannya dibelakang.

"GUK! GUUK! GUK! GUUUK! GUK!"

Anjing itu berlari dan menggonggong dengan girangnya. Rin merasa aneh dengan peliharaannya itu dan segera berlari mengejarnya. Gadis itu berlari mengejar anjingnya kemana ia berlari.

"Mina! MINA! Tunggu! Kembali kemari! Jangan bermain jauh-jauh!"

Anjing itu berlari keluar dari area taman, melewati pasar, alun-alun, dan akhirnya masuk kedalam hutan. Rin berhenti di perbatasan desa dengan hutan Akaibara itu. Ia ragu untuk masuk kedalam hutan itu.

"Kalau aku nggak segera mencari Mina sekarang, Mina mungkin akan hilang.. tapi kalau aku mencarinya kedalam sana, dan tidak menemukan Mina... mungkin kami berdua yang akan hilang..." pikir Rin. "Hutan itu rimbun sekali. Memang tak ada hewan buas seperti harimau atau singa. Tapi serigala, rubah, dan ular berbisa pasti ada.."

Namun segala keraguan dalam hati, Rin pendam dalam-dalam. Bagaimanapun juga, Mina adalah tanggung jawabnya. Apapun yang akan terjadi, sudah jadi resikonya sebagai seorang majikan. Rin terpaksa menelusuri hutan dan terus memanggil-manggil nama anjing kesayangannya itu.

"Minaaa! Minaaa!" Sejujurnya, Rin sudah mulai takut. Hutan rimbun yang ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi itu menambah suasana gelap selama berada didalam hutan itu. Gadis itu berkali-kali memanggil nama anjingnya. Namun tak ada jawaban sama sekali.

Setelah beberapa menit berjalan terus kedalam hutan, Rin menemukan cahaya terang benderang dari arah depannya dan ia segera berlari mendekati cahaya itu.

"Mina!" panggil Rin sekali lagi.

"Guk! Guk! Guk!" Mina menjawab panggilan majikannya. Dan suara itu berasal dari arah cahaya itu.

Cahaya itu semakin dekat. Rin berlari semakin mendekati cahaya itu. Ketika sampai di ujung cahaya itu, angin berhembus sangat kencang. Spontan gadis itu berhenti berlari dan menutup wajahnya dengan lengan kanannya. Kedua matanya tertutup rapat untuk menghindari debu dan daun daun yang berterbangan.

"Ugh!" Rintih Rin.

"Guk!"

"Mina?" panggil Rin pelan seraya membuka kedua kelopak matanya. "Wow.."

Begitulah kata pertama yang Rin ucapkan ketika ia sadar ia telah mencapai kokoro no mori. Kokoro no mori adalah sebutan untuk letak tengah dari hutan Akaibara yang menurut cerita para orangtua, tidak ditumbuhi pepohonan. Hanya padang rumput hijau, dan konon katanya terdapat rumah dari sang oujo-sama dan pemuda dalam legenda Akaibara.

Dan disitulah Rin melihatnya langsung dengan kedua matanya. Cerita dan dongeng orang tua itu terbukti keberadaannya. Rumah tua itu tetap berdiri kokoh di tengah-tengah padang rumput hijau itu. Sekelilingnya terdapat semak semak yang ditumbuhi mawar merah yang ukurannya dua kali lebih besar dari yang tumbuh di kota.

Rin tidak dapat berkata. Tubuhnya seperti telah tersihir oleh pesona dari kokoro no mori. Dan ternyata Rin tidak disana seorang diri. Ada seseorang yang berdiri di depan rumah sang oujo-sama legenda Akaibara sambil menggendong seekor anjing yang ternyata anjing itu adalah Mina.

"Mina?" Rin menatap sosok itu dan mencoba untuk memanggil Mina agar kembali ke pelukannya.

"Ternyata ini anjingmu?" tanya sosok misterius itu.

Sosok itu bersuara seperti seorang pemuda. Disampingnya terdapat koper yang sangat besar.

"Siapa?" tanya Rin.

"Mina ini anjingmu? Kalau begitu, kau pasti Kagamine Rin, ya?" tanya sosok pemuda itu lagi seraya menurunkan Mina ke tanah.

Mina segera berlari mengitari keduanya. Ekornya dikibas-kibaskan. Kemudian berlari kearah Rin dan mendorong kedua kaki Rin dengan tubuh mungilnya. Ia bermaksud agar Rin bergerak mendekati sosok itu.

Rin mencoba mendekat. Barulah terlihat jelas wajah sosok pemuda itu ketika Rin hanya beberapa meter berdiri dihadapan pemuda itu. Kilauan cahaya matahari yang membuyarkan lensa matanya telah menghilang.

"Len..." panggil Rin setelah ia sadar siapa sosok yang berdiri dihadapannya.

"Tadaima, Ri~n!"

"LEEEENNN!"

Rin berlari mendekati Len dan segera memeluknya. Sosok yang telah lama ia nantikan kedatangannya kembali setelah 2 tahun lamanya tak pernah bertemu, tak pernah bertatap muka, tak pernah bertegur sapa, dan tak pernah saling memanggil nama akhirnya kembali lagi padanya.

"Astaga, Rin!" ucap Len seraya memeluk Rin balik.

"Kau buat aku menunggu lama sekali!" Rin semakin memeluk Len erat. Air matanya tak terbendung. Rin menangis dalam pelukan Len.

Len paham, bahwa Rin benar-benar sangat merindukannya. "Maaf, Rin! Aku mengerti, maafkan aku." Len mengusap kepala Rin lembut. "Aku juga sangat merindukanmu..."

Rin menenggelamkan wajahnya pada tubuh Len. "Jangan pergi lagi..."

"Tak akan."

"Sungguh?" Rin mengangkat wajahnya dan menatap Len.

"Aku kembali untukmu." Len tersenyum seraya mengapus air mata Rin dengan jarinya. "Rin.."

"Len.." keduanya saling melempar pandangan dan menatap wajah satu sama lain.

"Aishiteru.." ucap keduanya bersamaan.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Len mencium bibir Rin lembut. Rin terlihat begitu terkejut, namun disisi lain ia merasakan bagaimana kebahagiaan itu kembali. Kebahagiaan yang sempat hilang darinya. Semua itu berkat kesabaran dan keyakinannya yang kuat. Sejak awal ia selalu mempercayai hatinya agar selalu menerima pahit manisnya kehidupan dan pertolongan dari Sang Dewi. Karena Rin tahu, Dewi Haru akan selalu menolong orang percaya kepadanya...

EXTRA CHAPTER : REUNION [END]