Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi.

.

.

.

SKY CHORD

oleh dimlightcious

.

.

.

"Tetsuya? Kau mau kemana?"

Langkah Kuroko terhenti di depan pintu dapur yang menguarkan aroma sedap. Ibunya tidak menghentikan aktivitas memasaknya; tangan masih mengiris tomat dengan telaten di atas talenan. Sesaat, Kuroko bertanya-tanya, bagaimana bisa ibunya mengetahui keberadaannya dimanapun dia berada, meski tidak saling bertatap mata?

Kuroko menjawab singkat, "Jalan-jalan."

"Oh." Ibunya meminggirkan potongan tomat, memasukkannya ke dalam wadah.

"Aku pergi dulu."

"Ya."

Tidak ada kata pelepas pergi seperti 'hati-hati di jalan', atau 'jangan pulang terlalu malam'. Bukannya Kuroko peduli juga. Dulu iya, tapi sekarang dia sudah belajar untuk tidak berharap lebih pada apapun. Terkadang, mematikan hati itu lebih mudah daripada merasa sedih terhadap hal-hal yang dianggap tak berarti, yang tidak ada lagi yang peduli.

Ditutupnya pintu rumah nyaris tanpa menimbulkan suara seperti biasa. Kalau ayahnya yang mabuk semalam itu sampai terbangun karena dia terlalu berisik, dia bisa dipukul hingga lebam, atau paling parah hingga pingsan. Kuroko tidak mau terluka apalagi pingsan hari ini. Khususnya hari ini.

Kepalanya menengadah, matanya yang bersirobok dengan cahaya matahari yang terang sedikit menyipit. Langitnya biru sekali, nyaris tak berawan–berbanding terbalik dengan hari kemarin. Seolah-olah langit mencerminkan suasana hatinya saat ini.

Kuroko tersenyum, tipis.

Hari ini, dia akan bertemu dengan anak itu. Aomine Daiki.

Dalam perjalanan menuju lapangan basket yang ditetapkan sebagai tempat pertemuan, Kuroko menyusun skenario percakapan yang mungkin bisa dia praktekkan dengan Aomine nanti. 'Kamu sekolah dimana?' 'Rumahmu dimana?' 'Punya saudara berapa?' 'Apa kau suka basket?' 'Makanan favoritmu apa?' Dan lain-lainnya. Sejenak kemudian dia terpekur, menimbang-nimbang dengan bimbang, apakah dia terlalu banyak bertanya? Apakah Aomine akan menganggapnya cerewet dan terlalu ingin tahu? Apa ada pertanyaannya yang terlalu privat? Dan lainnya. Dan seterusnya.

Kuroko sampai di tempat tujuan dua puluh menit lebih awal. Tentu saja Aomine belum datang. Apakah dia terlalu antusias? Sambil meremas ujung kausnya dengan tangan yang sedikit berkeringat, dia memutuskan kalau nanti Aomine bertanya apa dia sudah menunggu lama, dia akan berbohong saja, bilang bahwa dia juga baru tiba. Malu rasanya.

Sepuluh menit pertama, Kuroko menyusun skenario percakapan saat nanti Aomine menampakkan batang hidungnya. 'Bagaimana kabarmu?' 'Hari ini makan apa?' 'Kau dari mana sebelum ini?' 'Hari ini cerah, ya?'

Sepuluh menit melewati batas waktu yang dijanjikan, Kuroko menyusun skenario percakapan saat nanti Aomine terlambat datang. 'Tidak apa-apa, tidak perlu meminta maaf.' 'Kau hanya terlambat sepuluh menit.' 'Aku tidak marah.' 'Aku tidak kecewa.'

Detik menjadi menit dan menit berganti menjadi jam. Langit cerah sudah menjadi oranye dan menggelap hingga lampu-lampu yang ada di pinggiran jalan mulai menyala, menerangi sosoknya yang masih berdiri seorang diri di lapangan basket tak berpenghuni.

Sudah dua jam dan Aomine belum datang.

Kuroko pulang dan berpikir bahwa mungkin saja dia benar-benar harus belajar untuk tidak berharap lebih pada apapun. Langit malam yang tak berawan sekarang seperti mengejek suasana hatinya.

.

.

.

Dua hari setelahnya, sepulang sekolah, Kuroko bertemu dengan Aomine.

Anak itu berdiri diatas jembatan tempat mereka bertemu tempo hari. Napasnya terputus-putus, dengan keringat bercucuran yang membuat kulitnya mengkilap. Sebuah bola basket terjepit diantara pergelangan tangan dan pinggangnya. Tas ranselnya masih ada di punggung, yang artinya dia langsung kemari selepas sekolah tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu.

Kuroko tidak menghentikan langkah. Aomine tidak menoleh bahkan meliriknya yang melintas di depan mata.

.

.

.

Seminggu berlalu dan Aomine masih berdiri di tempat yang sama dengan kondisi yang serupa. Namun, hari ini ada yang berbeda. Ada orang lain yang menemaninya; seorang anak laki-laki berambut hitam dengan poni belah tengah yang tertawa-tawa dengan ceria. Kelihatannya mereka berasal dari sekolah yang sama. Mereka membicarakan soal basket. Oh, mungkin mereka teman satu klub juga.

Seperti biasa, Kuroko tidak menghentikan langkahnya. Aomine masih tidak menoleh dan tidak meliriknya yang melintas di depan mata.

Tapi, Kuroko terkejut ketika pergelangan tangannya disambar oleh seseorang.

"–Uuups. Aku hampir saja melewatkanmu."

Kuroko menoleh demi melihat siapa gerangan yang menghentikannya. Anak rambut hitam itulah yang mengunci tangannya.

Mata Kuroko mengerjap berkali-kali, bingung. Dia tak yakin anak itu berbicara dengannya. Mereka tidak saling kenal.

Siapa? Kenapa?

"... Ada apa?"

Anak berambut hitam itu bukannya merespon pertanyaannya. Dia malah berpaling pada Aomine.

"Apa dia yang kaucari, Aomine?"

Kuroko ikut menatap Aomine, yang dari ekspresi bingung berubah menjadi–

"AAAAH! KUROKO!"

Teriakan lantang dari Aomine membuat Kuroko terkejut untuk kali kedua. Aomine langsung melompat ke hadapannya, kedua tangan mengunci kedua lengannya; seolah takut Kuroko akan kabur atau apa.

Kebingungan Kuroko semakin menjadi. Tapi, satu hal yang Kuroko bisa simpulkan dengan yakin; teriakan Aomine barusan bukan teriakan amarah. Justru ada emosi lain yang berkelebat kuat di wajah Aomine sekarang. Apa, tepatnya? Lega?

"Kau benar, Takao! Dia yang aku cari! Terima kasih! Kau benar-benar membantuku! Kau boleh pulang sekarang!"

"Hahaha, tidak masalaaah~" Anak yang dipanggil Takaoi itu melepaskan Kuroko sambil tertawa. "Tapi, aku tidak menyangka dia benar-benar seperti Mayuzumi-senpai! Benar-benar seperti hantu–" Anak itu lalu melirik kearah jam tangannya. "Ah, aku ada janji dengan Miyaji-senpai. Maaf, aku tidak bisa ikut hari ini. Aku pergi dulu, ya. Daah."

"Dah! Aku benar-benar berterima kasih, Takao!"

"Okie dokiee~"

Setelah puas melambaikan tangan pada sosok Takao yang menjauh, Aomine berbalik untuk menghadap Kuroko.

"Kuroko! Aku benar-benar minta maaf karena tidak datang ke lapangan basket waktu itu! Aku lupa!"

Kepanikan yang nyata. Mata yang tak manipulatif. Kata-kata yang bersih dari dusta. Aomine Daiki adalah seorang bocah yang jujur namun pelupa. Kuroko menghargai kejujurannya, namun tetap saja dia kecewa. Dia dilupakan, entah seperti apalagi Kuroko harus terbiasa dengannya.

"Tidak apa-apa, Aomine-kun..."

"Apanya yang tidak apa-apa! Harusnya kau marah!" Kenapa sekarang Aomine yang malah marah-marah, Kuroko juga diam saja. "Aargh, aku benar-benar lupa hari itu aku membantu Satsuki pindahan! Apa kau tidak tahu aku setiap hari menunggu disini untuk meminta maaf padamu? Kukira aku bisa bertemu denganmu lagi disini secara kebetulan atau apa, tapi kita tidak pernah bertemu–atau, kalau aku menyimpulkan setelah berhari-hari, aku tidak bisa melihatmu! Di sekolahku juga ada Mayuzumi-senpai yang keberadaannya susah disadari lalu aku ingat kau dan membawa Takao kemari atas saran Akashi! Dia punya indera keenam atau Hawk Eye atau apalah, katanya! Ternyata berhasil! Terima kasih, Akashi! Terima kasih, Takao! Akhirnya aku bertemu denganmu lagi, Kuroko!"

Sejujurnya, Kuroko tak begitu mengerti ucapan Aomine yang terlalu cepat, apalagi banyak nama-nama asing yang tak dikenalnya disebut beberapa kali. Aomine mengucapkannya dalam dua tarikan napas. Hebat. Tapi, setidaknya Kuroko tahu bahwa Aomine yang setiap hari dijumpainya berdiri di jembatan ini bukannya tanpa alasan; ternyata Aomine menunggunya. Sayangnya dia tidak menyadari keberadaan Kuroko.

Aomine benar-benar menyesal sudah melupakan janji pertemuan mereka, menungguinya setiap hari di tempat yang sama demi mengumbar kata maaf untuknya.

Bagaimana bisa rasa kecewa berganti menjadi haru dengan begitu mudahnya?

Sadar bahwa sedaritadi bocah mungil ini diam saja, Aomine menurunkan desibel suara, ekspresinya berubah menjadi cemas.

"Hei, kau mau memaafkanku? Aku benar-benar minta maaf..." Di mata Kuroko, ekspresi Aomine mirip anak anjing yang baru saja dimarahi majikannya. Bayangan itu membuat ujung bibir Kuroko tertarik keatas sedikit.

Kuroko mengangguk. Cemas di wajah Aomine langsung berubah menjadi cengiran lebar. Tapi, dia terkesiap dan secara refleks menangkap tinju Kuroko yang menyasar perutnya.

"Wah! Apa-apaan, Kuroko!"

"... Refleks yang bagus."

"APA?"

Kuroko menatapnya. "Aku memaafkanmu. Tapi, aku tetap saja kesal karena kau ingkar janji. Jadi, aku ingin meninjumu–siapa tahu kekesalanku hilang."

Aomine tercengang, lalu tertawa. Dia melepaskan tangan Kuroko. "Oh! Hahahahaha! Rupanya begitu! Hahaha–baiklah, tinju saja. Aku memang pantas mendapatkannya, kok."

Aomine meletakkan bola basketnya diatas jalan, dan merentangkan tangannya lebar-lebar. Melihat itu, Kuroko memiringkan kepalanya.

"Aku mau meninjumu, tapi kenapa Aomine-kun melebarkan tangan? Kau ingin aku memelukmu?"

"HAH! Bukan! I-ini maksudnya aku menerima pukulanmu dengan lapang dada! Kok, kamu mengartikannya begitu?"

"... Oh. Baiklah."

Tapi, tinju Kuroko terhenti di tengah jalan. Dia mengamati tangannya beberapa lama, lalu menurunkannya.

"Setelah kupikir lagi, tidak jadi." Kuroko berkata. "Tapi, Aomine-kun berhutang sesuatu padaku karena sudah ingkar janji."

"Ah, aku tidak suka berhutang pada orang! Langsung pukul saja!"

"Tidak mau."

Aomine menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Bingung dan kalah. "Terserah sajalah."

Dia meraih tangan Kuroko.

"Bagus! Sekarang, aku akan bertanding mini basket di blok sebelah! Ayo kesana, Kuroko! Aku kenalkan pada teman-temanku!"

Kuroko tidak melawan ketika pergelangan tangannya ditarik oleh Aomine. Mau melawan pun sebenarnya dia tidak bisa, dan tidak ingin juga. Dia ingin mengenal anak dengan senyum secerah matahari ini lebih dekat. Ingin menjadi temannya. Ingin berteman dengan teman-temannya juga.

Kuroko ingin melihat dunia seperti apa yang dilihat oleh Aomine Daiki setiap harinya, yang membentuk senyum melengkung tanpa cela dan tanpa beban di bibirnya.

Aomine menoleh kearahnya, seperti takut bahwa Kuroko akan hilang ketika dia mengalihkan pandangan. Matanya bertemu Kuroko. Senyumnya melebar, pegangan tangannya menguat.

Kuroko merasakan ujung bibirnya ikut tertarik keatas. Dia tidak pernah merasakan langkah kakinya seringan ini. Dia mengimbangi langkah-langkah lebar dan cepat milik Aomine dengan mudah, seolah tubuhnya tak berbobot. Tangan yang lebih besar menggenggam tangannya, membimbingnya keluar dari cangkang, menyambut sebuah jalan yang terang.

Dan di ujung jalan itu, Kuroko melihat pelangi.

.

.

.

.

.

... end?

.

Itu pelangi apa pelangi? Ehew.

Iya, iya. Tanggal publish-nya nggak usah dibahas. Uhuk.

Betewe, Aomine manggilnya masih Kuroko. 'Kan belum kenal akrab. Nanti ya manggil pake panggilan sayangnya. :"" /hus

Ini aslinya sudah rampung sejak Minggu AoKuro tahun 2015. Nganggur karena pengen dikasih tambahan sana-sini biar wordsnya naik tapi malah lupa di-publish uhuk. /dezig