Disclaimer : All Character belong to Masashi Kishimoto

Story by me

Tittle : When Love Comes Late

Genre : Hurt/Comfort, Romance, Drama

Rate : T

Pairing : NaruSaku, slight SasuKarin, SasuSaku and NaruShion.

Warning : AU, OOC, OC, gaje, abal, ancur, minim deskriptif, typo(s), dll.

.

.

Summarry: Ketika cinta datang terlambat, apakah yang akan dia dapatkan? Penyesalan ataukah justru Cinta sejati? Sakura Haruno adalah seorang gadis cantik yang menganggap cinta itu menyakitkan semenjak ia berpisah dengan cinta pertamanya—Uchiha Sasuke—padahal bagi Ino, sahabatnya...cinta itu menyembuhkan segalanya. Akankah seorang Naruto Namikaze sanggup membuatnya berpaling dari Sasuke?

.

.

Chapter 8 : Regret

.

.

"I loved you yesterday, I loved you still, I always have, I always will..."—Naruto Namikaze—

oooOOcherryblossomOOooo

.

.

.

Tiba-tiba bel rumah mereka berbunyi. Kushina tersenyum senang.

"Itu pasti ayahmu. Syukurlah dia sudah pulang, aku kangen sekali padanya!"

"Memang sejak kapan Tou-san suka membunyikan bel? Bukankah dia punya kunci sendiri?"

"Benar juga. Kalau begitu siapa?" tanya Kushina menghela napas kecewa. Naruto hanya mengangkat bahu. Ia pun beranjak dari kursi lalu berjalan ke arah pintu untuk membukanya.

Naruto tampak terkejut saat melihat sosok seseorang yang kini tengah berdiri dihadapannya.

"Grandma?"

"How are you, my grandson?" sapa wanita itu sambil tersenyum. Namun meski senyum terukir dibirnya, Naruto bisa melihat dengan sangat jelas, tatapan mata neneknya yang ditujukan untuknya masihlah terlihat dingin dan menusuk.

"I'm fine, Grandma."

"Mom!" ujar Kushina menghampiri sosok ibu mertuanya. Ia tak kalah kagetnya dengan Naruto. Kenapa ibu mertuanya tiba-tiba saja datang tanpa pemberitahuan.

Naruto menunduk dalam. Tatapan mata neneknya yang ditujukan pada ibunya benar-benar terlihat berbeda. Tatapan itu terlihat ramah. Ya, ia tahu sejak dulu neneknya memang sangat menyukai ibunya, tetapi tetap saja hatinya terasa sakit. Sebelum kakeknya meninggal, neneknya tidak pernah memandangnya dengan tatapan yang menyakitkan seperti itu.

"Yo, dude! Nice to meet you again!" kata seorang pemuda tampan yang baru saja muncul di mulut pintu.

"Percy?" Naruto tersenyum lebar. Pemuda itu pun langsung memeluknya.

"Wow! Ada apa denganmu? Aku merasa kau agak kurusan?"

"Sejak kapan kau bisa bahasa Jepang?"

"Victoria yang mengajariku. Dia kan suka sekali dengan bahasa asing."

"Mom, mari kita ke ruang keluarga saja!" kata Kushina sambil tersenyum ramah. Ibu mertuanya pun lekas mengikuti Kushina diikuti Naruto dan Percy dibelakangnya.

Sakura yang mendengar suasana rumah jadi agak ramai merasa penasaran dan lekas turun ke lantai bawah. Sakura terheran-heran. Saat ia tiba di ruang keluarga, ia melihat Naruto sedang mengobrol seru dengan seorang pemuda tampan sekaligus gagah. Sekali lihat saja ia bisa langsung tahu kalau pemuda itu memiliki body yang sangat bagus. Sedangkan Kushina tampak mengobrol dengan seorang wanita yang sangat anggun. Sakura bisa menebak wanita itu pasti jauh lebih tua dari Kushina, tapi wajah wanita itu masih terlihat awet muda. Sakura jadi semakin bingung. Sebenarnya kedua tamu itu siapa.

"Saku-chan! Ayo kesini!" ajak Kushina yang ternyata menyadari keberadaannya. Sakura pun menghampiri mereka. Pemuda yang tengah mengobrol dengan Naruto tadi meliriknya sekejap lalu berbisik pada Naruto dengan bahasa inggis.

"Who? Your girlfriend?"

"Saku-chan, kenalkan ini neneknya Naruto!"

'Jadi dia neneknya Naruto? Aduh, kenapa aku mendadak gugup begini ya? Nenek Naruto terlihat jutex sekali sih.'

"Selamat malam, nyonya. Namaku Haruno Sakura. Senang bertemu dengan anda!"

'Eh? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku malah memperkenalkan diri dengan bahasa Jepang. Memangnya beliau mengerti?'

"Oh, jadi kau adalah Sakura yang sering diceritakan oleh Kushi-chan?" tanya nyonya Irene sambil tersenyum ramah.

'Eh? Ternyata beliau mengerti!'

"Yes, madam." Sakura balas tersenyum.

"Tak perlu panggil, madam. Panggil saja aku grandma!"

"Wakarimashita."

"Ayo duduk di sini, Saku-chan!" ujar Kushina sambil menunjuk sofa disamping kirinya. Sakura pun menurut. Setelah membungkuk sopan pada nyonya Irene, ia pun duduk disebelah Kushina.

"Ah ya, aku datang kesini karena ingin mengajak Nerro kembali ke London. Aku ingin ia mengelola perusahaan pusat dan menjabat sebagai direktur."

"Ha?" kaget Kushina.

"Tentu saja aku akan tetap menjabat sebagai presiden direkturnya, supaya bisa mengajarinya banyak hal, mengingat ia masih terlalu muda. Aku sudah tua dan puteraku sibuk mengelola salah satu cabang perusahaan kita. Sudah saatnya Nerro menjadi penerusku, kan?"

'Eh? Siapa Nerro? Jangan-jangan itu nama internasionalnya Naruto?' pikir Sakura seraya melirik Naruto.

"Grandma se-serius?" tanya Naruto terlihat kaget sekaligus bimbang pada saat yang bersamaan.

'Jadi benar itu nama internasionalnya, Naruto?' bathin Sakura. Mendadak matanya terasa memanas. Tiba-tiba saja ia merasa sedih. Belum juga satu tahun Naruto di Jepang. Masa ia harus segera pergi lagi.

"Ya, tapi tidak sekarang! Bulan depan, pokoknya kau harus ikut denganku! Dan sampai saat itu tiba, aku akan tinggal disini!" tegas nyonya Irene.

'Sakura-chan...' pikir Naruto seraya melirik Sakura dengan tatapan tak berdaya. Namun gadis itu hanya menundukkan wajahnya, entah sedang memikirkan apa.

Naruto sungguh ingin terus berada di suatu tempat dimana ada Sakura di dalamnya tetapi sejak kecil ia tak pernah sekalipun membantah ucapan neneknya. Sejak kecil ia selalu menuruti keinginan neneknya. Ia ingin membuat nenek dan kedua orang tuanya bangga. Ia ingin membuat mereka semua bahagia. Sekalipun ia tak ingin mengecewakan neneknya, terlebih dialah yang menyebabkan kakeknya meninggal. Meski begitu, ia tak ingin berpisah lagi dengan Sakura. Naruto memejamkan kedua matanya. Ia sudah menetapkan keputusan.

'Ini adalah harapan terakhirku, Sakura-chan. Kuharap kau mau melakukannya demi aku.'

"Sakura?"

"Ya, grandma?"

"Bisa buatkan aku british tea?"

"Tentu saja." Kata Sakura tersenyum, sebelum bergegas pergi ke dapur.

"Mom, kenapa menyuruh Saku-chan? Aku kan bisa membuatkannya untukmu!"

"Aku hanya ingin tahu, apakah ia layak menjadi calon cucu menantuku!"

"Ha?" kaget Naruto. Kushina mengedipkan sebelah matanya pada Naruto, sementara Percy nampak berusaha keras menahan tawa.

"Aku mau berbicara sebentar dengan Percy. Kami pergi dulu, Grandma, Okaa-san..." kata Naruto sambil membungkuk sopan, lalu meyeret Percy menuju ruang tamu.

"Dengar, aku khawatir Sakura-chan tidak bisa membuatkan british tea sesuai dengan selera grandma. Bisakah kau memberitahuku! Kau kan tahu sendiri aku belum pernah membuatkan grandma teh..."

"Well, black tea dengan suhu yang tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin, dan dua tetes sugar syrup."

"Thankyou." Kata Naruto yang lekas merogoh ponsel miliknya, lalu mengirimkan pesan pada Sakura. Tidak lama kemudian sampailah pesan balasan dari Sakura.

'Aku sudah terlanjur memasukkan dua sendok gula pasir. Apa perlu kuganti?'

'Ganti saja! Grandma itu, jika kita membuat kesalahan sedikit saja suka protes!'

'Wakatta. Arigatou.'

.

.

"So, apa yang akan kau lakukan? Madam memintamu segera kembali ke London dan mungkin kau diharuskan tinggal disana selamanya? Apakah kau akan mengajak gadis itu?"

"Aku tidak yakin Sakura-chan mau, tetapi aku akan menyiapkan segala sesuatunya untuk Sakura-chan. Aku ingin selalu berada di daratan yang sama dengan Sakura-chan."

"Apa maksudnya dia tidak mau?"

"Cinta sepihak. Hanya aku yang mencintainya. Sakura-chan, tidak!"

"Payah! Jadi dia bukan kekasihmu? Kalau gitu, buat dia jatuh cinta padamu dong!"

"Aku sudah berusaha, Percy!"

"Lalu apa yang akan kau lakukan jika dia tidak ingin ikut ke London?"

"Maka aku akan menyerah. Ini adalah harapan terakhirku. Jika Sakura-chan tidak mau menanggapinya, aku akan menutup hatiku untuknya dan berusaha membuka hatiku untuk Shion."

"Siapa Shion?"

"Kekasihku."

"Kau gila, Nerro! Kenapa kau mau-maunya berpacaran dengan gadis yang tidak kau cintai?"

"Tadinya aku ingin move on dari Sakura-chan, makanya aku ingin mencoba menjalin hubungan dengan Shion, tetapi ternyata aku tidak pernah bisa."

"Dan sekarang kau masih punya waktu satu bulan! Buatlah pilihan yang bijak!"

"Hn. Oh ya, kau jangan memanggilku Nerro jika disini!"

"Aku tidak mau memanggilmu Naruto! Itu kepanjangan!" tegas Percy dan Naruto langsung sweatdrop mendengarnya. Bagaimana tidak, nama lengkap Percy jelas lebih panjang dari namanya. Percy Hugerald Lamercier, yang kalau ditulis dengan huruf katakana bisa menjadi Pereshi Hugerarudo Lamerushire.

"Hanya tiga kata dan kau bilang, itu kepanjangan?"

"Naru. Aku panggil kau Naru saja!"

"Whatever."

"Nee, Naru! Besok ayo kita pergi ke Harajuku! Sudah lama aku ingin ke sana!"

"Baiklah, kebetulan besok jadwal kuliahku hanya sampai jam dua belas siang."

"Kalau dia mau ikut ke London, ajaklah dia menaiki London Eye. Jika kau mengajaknya sore hari, itu akan menjadi moment yang romantis."

London Eye adalah sebuah kincir raksasa. London Eye memiliki ketinggian lebih dari seratus tiga puluh meter. Itu empat kali lebih tinggi dari Bianglala di dunia fantasy. Dari stasiun Waterloo, kincir raksasa itu tidak tampak seberapa, hanya berupa lingkaran kecil yang berpendar di cakrawala, yang menyembul malu-malu dari balik kumpulan bangunan abu-abu. Namun seiring kau mendekat ke objek, secara perlahan-lahan, tetapi pasti, London Eye akan terlihat jauh lebih besar hingga pada akhirnya akan menjelma menjadi mimpi buruk bagi orang-orang yang takut akan ketinggian, terutama bagi orang-orang yang menderita Hyperphobia seperti Percy.

Bagi bangsa Inggris pada umumnya, London Eye seratus persen aman. Dan bagi Naruto pemandangan yang akan kau lihat dari sana akan sepadan dengan pengorbananmu. Sepadan dengan banyaknya jumlah poundsterling yang harus kau keluarkan. Naruto juga tak masalah dengan London Eye yang menjulang tinggi. Rangkanya baja dan kulitnya kaca bening. Hanya saja untuk sekarang, baginya London Eye juga bisa menjelma menjadi mimpi buruk.

"Aku tidak pernah lagi menaiki London Eye sejak empat tahun yang lalu."

"London Eye itu kincir raksasa. Kapsulnya juga luas, ruang di dalamnya bisa muat lima belas hingga dua puluh orang."

"Bagiku tetap saja itu termasuk ruangan tertutup dan sempit."

"Tertutup apanya? Rangkanya baja dan kulitnya kaca bening. Pemandangan di atas sangat indah."

"...tapi—"

"Kau masih mengkhawatirkan claustrophobiamu?"

"Ya."

"Ingat tidak, aku ini Hyperphobia. Aku benar-benar takut berada di ketinggian, tetapi hari itu Victoria seakan menyihirku dengan kekuatan magis. Dia berhasil memaksaku naik London Eye."

Naruto mencoba mengingat-ingat. Kalau tidak salah, sebelumnya Percy memang sudah pernah bercerita soal ini.

"Awalnya aku sangat ketakutan, tubuhku gemetar, dan kakiku lemas. Jantungku seakan-akan mau copot. Tengkukku dibanjiri keringat dingin, saat salah satu kapsul penumpang London Eye berhenti di depan kami. Aku menahan napas dan membeku. Tanpa Victoria aku tak akan sanggup menaiki kapsul itu, bahkan aku hanya berani duduk di bangku sambil menundukkan kepalaku..."

"Ya, aku ingat. Kau bilang, saat itu ia merundukkan tubuhnya hingga posisi kepalanya lebih rendah dari kepalamu, lalu menyapamu dengan senyuman. Jari-jarinya menyentuh tanganmu. Dia mengajakmu berdiri, lalu menarikmu ke tepi dan berkata—"

"Jangan hanya duduk saja di situ. Lihat keluar. Indah sekali!" sambung Percy menirukan perkataan Victoria saat itu. Naruto tertawa kecil saat melihat wajah Percy langsung bersemu merah.

"Hari itu kali pertama aku bertemu dengan Victoria dan terus terang, aku langsung jatuh cinta kepadanya. Pemandangan kota London di sore hari benar-benar menciptakan suasana yang romantis."

"Lalu apa hubungannya denganku?"

"Ya, siapa tahu kalau kau menaiki London Eye bersama gadis pujaanmu, kau lupa untuk sesaat, kalau kau itu claustrophobia."

"Mmm. Aku tidak yakin."

"Hey, kau harus yakin! Oh ya, aku sengaja ikut madam ke Jepang untuk bertemu denganmu."

"Memangnya ada perlu apa kau denganku?"

Percy tersenyum. Lalu mengeluarkan kartu undangan dari tasnya dan menyerahkannya pada Naruto. Naruto menerimanya dengan kening berkerut. Ia pun lekas membuka kartu tersebut dan membacanya.

"Ha? Kau akan menikah dengan Victoria musim semi tahun depan?" teriak Naruto.

"Memangnya kenapa?"

"Serius? Kalian akan nikah muda? Victoria itu kan seumuran denganku!"

"Kata Victoria, lebih cepat, lebih baik. Dia tidak keberatan menikah di usia 18!"

"Gadis yang menarik. Tapi apa kau benar-benar yakin, usiamu baru 22 tahun. Emosimu juga terkadang masih suka labil."

"Aku takut kalau kami terlalu lama menjalin hubungan hanya sebatas pacar, Victoria akan merasa bosan. Hubungan kami menjadi renggang, lalu dia diambil orang. Aku dan Victoria memiliki prinsip yang sama. Kami hanya akan menikah sekali seumur hidup."

"Ha? Bilang saja kau sudah tidak sabar 'melakukan itu' dengannya! Victoria orang Asia Tenggara, jadi selama ini gaya hidupnya tidak seperti orang Eropa pada umumnya. Makanya dia selalu bilang dia hanya akan melakukan hubungan sex setelah dia menikah, sedangkan kau sudah tidak sabar, iya kan?" goda Naruto. Kontan saja wajah Percy semakin memerah seperti tomat matang.

"Sudah kuduga."

"Lagian, kenapa orang Indonesia seperti dia sih? Padahal dia kan bukan seorang muslim."

"Mungkin hal itu bertentangan dengan moral di Negara-nya atau mungkin ibunya yang mendidiknya begitu. Aku juga tak menyangka, padahal ada darah Inggris yang mengalir di tubuhnya."

"Bicara soal Victoria... kalau dia ngambek, dia suka mengomel dengan bahasa ibunya. Aku benar-benar tidak mengerti."

"Makanya belajar bahasa Indonesia juga dong!"

"Ya, kurasa kau benar, aku harus belajar bahasa Indonesia juga."

"Menurutmu kalau seandainya Sakura-chan bersedia ikut ke London bersamaku, pada hari pertama kami di London, aku harus mengajaknya kemana?"

"Berjalan bergandengan dengannya disepanjang bantaran sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye."

"Hahahaha..."

"Kenapa kau malah ketawa?"

"Kau mengutip kalimat itu dari novel siapa, huh?"

"Aku serius tahu!"

Tawa Naruto semakin kencang melihat wajah Percy yang tampak kesal.

"Urusaii!"

"Gomen."

"Di London banyak tempat-tempat yang menarik, terutama bangunan-bangunan tua pada abad 19-an. Bagunan-bangunan itu sangat terawat. Kalau kau membawanya ke tempat-tempat terkenal di London, kujamin gadis itu akan terkagum-kagum."

"Yah, mungkin aku harus mengajaknya melihat; Westminster Abbey, House of Parliament, Big Ben, dan Ministry of Defense juga."

"Setuju!"

"Akh, sudahlah! Apa gunanya berkhayal macam-macam, Sakura-chan belum tentu mau ikut denganku?! Aku sadar, sampai kapanpun Sakura-chan hanya akan mencintai orang itu. Sudah berkali-kali aku ditolak olehnya."

Percy menghela napas panjang, saat melihat wajah Naruto yang terlihat sendu. Ia jadi ingat pertemuan pertamanya dengan Naruto dulu. Dulu, Naruto sangat pendiam dan tertutup. Wajahnya selalu terlihat muram. Anak yang tidak pandai bersosialisasi, hingga ia harus susah payah untuk bisa menjadi temannya.

"Nee, Percy! Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?"

"Kalau aku jadi dirimu aku pasti akan sangat bingung. Aku mencintai Sakura tetapi aku juga tidak ingin menyakiti hati Shion."

"Akh, kau malah membuatku pusing. Tidak ada satupun solusi yang bisa aku tangkap darimu."

"Maka jangan tanya aku!"

Naruto terdiam membisu. Benar juga yang Percy katakan. Selama ini Shion sudah baik padanya, rasanya tidak enak juga kalau ia harus menyakiti hati gadis itu. Lagipula Sakura tidak pernah mencintainya. Mungkinkah ia harus membuka hatinya untuk Shion mulai dari sekarang? Tidak! Itu akan sangat sulit dan pasti akan sangat menyakitkan. Ia benar-benar bingung.

"Kau yang memulai semua ini, maka kau juga yang harus mengakhirinya!"

"...tapi apa yang harus aku lakukan?"

"Ikuti kata hatimu!" kata Percy seraya menepuk bahu Naruto dan tersenyum.

Naruto menoleh pada Percy dan membalas senyumannya. Yah, Percy benar. Satu-satunya cara yang terbaik adalah mengikuti kata hatinya. Ia hanya bisa berharap, apapun keputusannya nanti, tidak akan menimbulkan sesuatu yang buruk.

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, namun meski waktu terus berjalan, Sakura tetap tidak bisa tidur. Disatu sisi ia merasa senang karena sepertinya nenek Naruto menyukainya. Buktinya beberapa jam yang lalu, ia bisa mengobrol akrab dengan dua wanita terpenting dalam hidup Naruto. Ibunya dan juga neneknya. Namun disisi lain, ia merasa sedih. Air mata kembali jatuh membasahi wajahnya. Naruto akan kembali ke London dalam waktu dekat. Itu berarti Naruto akan meninggalkannya lagi.

'Kenapa kau selalu meninggalkanku? Kau bilang kau mencintaiku... tapi kali ini, bisakah aku mempercayaimu lagi?'

Sakura mengambil ponsel yang tergeletak disamping bantalnya. Ia kemudian membuka galeri dan mengamati foto-foto selcanya bersama Naruto.

'Kenapa kau mempermainkan perasaanku seperti ini? Kau datang padaku untuk kemudian pergi lagi? Mungkinkah ini karma dari Kami-sama karena aku terlambat menyadari, kalau aku mencintaimu?'

Sakura semakin terisak. Hatinya benar-benar sakit. Kenapa Naruto selalu membuatnya menjadi gadis cengeng seperti ini. Ia pikir ia adalah gadis yang kuat. Ia pikir ia bisa jauh lebih tegar dari Ino, tetapi sepertinya ia tidak akan pernah bisa. Naruto selalu bisa membuatnya menangis dan tertawa. Bisakah ia hidup dengan baik tanpa ada Naruto di dekatnya. Di sisinya.

'Apa yang harus aku lakukan?'

oooOOcherryblossomOOooo

.

.

.

"Kenapa kau memaksaku untuk ikut? Memangnya tidak cukup bila hanya ibunya saja yang menemui dokter psikiaternya?" tanya nyonya Irene seraya melirik Kushina yang sedang fokus menyetir.

"Maafkan aku, tetapi Miroku-san memang harus berbicara denganmu, mom!"

"Naze?"

"...karena menurutnya, itu yang terbaik!"

"Terbaik buat siapa, huh?"

"Untuk kita semua, terutama untuk Naruto dan juga untukmu, mom!"

"Memangnya apa hubungannya claustrophobia Naru denganku?"

'Huh, mertuaku ini belum sadar juga rupanya!'

"Mom, onegai! Kali ini saja, aku mohon bantuanmu!" sambung Kushina dengan puppy eyes no jutsu.

"Baiklah."

'Dia menyerah juga, dattebane!' pikir Kushina sambil tersenyum senang. Memang menyenangkan bila memiliki ibu mertua yang menyayangimu sekaligus menyukaimu.

.

.

Setibanya di rumah sakit tempat dokter Miroku bekerja, Kushina langsung mengajak ibu mertuanya ke ruangan dokter Miroku. Saat itu juga, dokter Miroku menceritakan semua tentang kondisi Naruto kepada dua wanita cantik didepannya. Mata Kushina sudah tampak berkaca-kaca, sedangkan nyonya Irene terlihat shock karena ia tidak menyangka kalau selama ini Naruto terus menyalahkan dirinya atas kematian Jiraya, adalah gara-gara sikapnya selama ini.

"Sejujurnya aku tidak membenci anak itu, sensei. Aku justru sangat menyanyanginya karena Naruto adalah cucu kesayanganku. Dia adalah anak dari Minato. Dan Minato adalah puteraku dan juga Jiraya. Jadi mana mungkin aku membenci Naruto!"

"...tapi—"

"Aku hanya ingin menyalahkan seseorang karena hari itu aku harus kehilangan suamiku. Aku sangat mencintai suamiku, karena itulah sampai sekarang pun aku belum bisa menerima kenyataan, kalau dia sudah tiada."

"Mom..."

"Setiap hari aku selalu mencoba merelakan kepergiannya, tetapi aku tidak pernah bisa. Aku terlalu mencintainya. Hidup tanpanya benar-benar membuatku tersiksa. Selama ini ia selalu menghiburku dengan semua kekonyolannya. Itulah sebabnya aku merasa hampa. Bagiku rasa cinta dan kasih sayangnya kepadaku tidak akan pernah tergantikan."

"..."

"..."

"Aku sadar dia tidak mungkin kembali lagi, tetapi tetap saja setiap malam aku terus memanggil namanya. Aku sangat merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya lagi."

Kushina tidak tahan lagi mendengar curahan hati ibu mertuanya. Ia pun menangis. Sebagai seorang istri, ia sangat memahami perasaan ibu mertuanya. Sebagai sesama wanita, ia mengerti rasa sakit itu. Dulu pun ia pernah mengalaminya, saat ia harus bercerai dengan Minato hanya karena kesalah pahaman semata. Meski Naruto ada bersamanya, tetap saja ia merasa sedih dan sakit hati, terlebih Naruto sangatlah mirip dengan Minato.

"Jiraya meninggal karena menyelamatkan Naruto. Itulah sebabnya ia langsung menjadi sasaran kemarahanku, tetapi aku sangat menyayangi anak itu... jadi aku tidak tega membentaknya apalagi membencinya. Setiap manusia memiliki dua sisi di dalam hati. Aku pun sama."

"Mom, sudah cukup!" ujar Kushina seraya menggenggam tangan ibu mertuanya.

Kushina tidak suka melihat ibu mertuanya itu mengeluarkan air mata. Ibu mertuanya yang ia kenal adalah seorang wanita yang tegas, kuat, dan juga anggun. Meski ia sering kali bersikap dingin pada semua orang, sesungguhnya ia adalah wanita yang lembut dan penyayang.

"Memang di satu sisi aku menyanyangi Naruto, tetapi di sisi lain aku sangat kesal kepadanya. Aku sangat marah karena setiap kali aku melihat Naruto, aku selalu teringat pada Jiraya. Aku cemburu karena selama ini dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk cucu kami itu. Dan emosiku jadi tidak terkendali setiap kali aku tersadar, kalau Jiraya yang pernah berjanji padaku untuk selalu bersama, malah meninggalkan aku lebih dulu."

"Naruto sangat mengkhawatirkan anda. Apa anda tahu apa yang dia katakan waktu itu?"

"Baiklah, akan aku dengarkan semua yang dia katakan! Anda bisa menceritakan semuanya padaku, sensei!"

"I was in a very dark place. Cold, felt unsure... has grandpa been staying in a place like that all the time. Grandpa has gone because of me. I'm make grandma sad. I hate myself."

"Dia bilang begitu?"

"Ya!"

"Lalu apa lagi yang dia katakan?"

Miroku baru saja akan mengucapkan kalimat selanjutnya, saat tiba-tiba saja ia menangkap sosok seseorang berdiri di depan pintu ruangannya, menutup pintu, lalu berjalan pelan menghampiri mereka.

"Saat aku terjebak didalam lift... grandpa menyelamatkanku, tetapi ia membayarnya dengan nyawanya sendiri. Setiap malam aku selalu mendengar suara tangis grandma. Dia tidak pernah menyalahkanku, tetapi aku tahu... dari lubuk hatinya yang paling dalam ia pasti membenciku. Jadi apakah kau membenciku, grandma?"

Kushina menoleh cepat, ia sangat mengenali suara itu. Dan ia langsung terbelalak saat melihat sosok Naruto berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca. Saat itu juga ibu mertuanya langsung berdiri dan ikut menoleh ke arah sumber suara. Kini ibu mertuanya dan Naruto saling berhadapan. Lalu dalam hitungan detik, Naruto langsung berlutut sambil menangis.

"Maafkan aku. Maafkan aku. Seharusnya hari itu grandpa tidak mati. Seharusnya hari itu aku saja yang mati."

"Naru apa yang kau lakukan? Bangunlah, sayang!" sambung Kushina, tetapi Naruto tidak bergeming dari posisinya.

"Kumohon hentikan! Aku sudah tidak tahan lagi! Grandma boleh membentakku sesuka hatimu. Grandma boleh saja memukulku, menuntutku, mengutukku, atau apapun itu! Tetapi kumohon jangan hanya bungkam dan memandangku dengan tatapan seperti itu!"

"..."

"Tatapan yang begitu dingin dan menusuk seakan-akan aku adalah monster. Aku tidak tahan melihatnya. Dulu grandma tidak pernah memandangku dengan tatapan seperti itu."

Pertahan Miroku pun runtuh, kini ia tidak bisa menahan air matanya lagi. Kejadian yang terpangpang jelas didepannya benar-benar mengharukan.

Untuk sekian menit, nyonya Irene hanya bisa mematung. Ia tak menyangka kalau selama ini, ia sudah memandang Naruto dengan tatapan yang berbeda. Mungkin dari lubuk hatinya yang paling dalam ia memang membenci cucunya itu. Selama ini dia sangat egois. Begitu egoisnya hingga ia tak sadar kalau bukan hanya dirinya yang tersiksa setelah suaminya pergi. Bukan hanya dirinya yang merasa kehilangan sosok Jiraya.

"Aku juga sangat kehilangan ayah, tetapi meski begitu akhirnya aku sadar... kalau semua itu adalah takdir." Perkataan Kushina semakin menyadarkan dirinya.

"Begitu juga aku!" sambung suara seseorang yang baru saja tiba.

Kushina tersenyum kecil, sebelum berangkat ke Tokyo, ia memang sempat menghubungi Minato. Ia memberitahu kalau kemarin ibu mertuanya datang bersama Percy, dan mereka baru saja akan menemui dokter Miroku di Tokyo Hospital. Ia ingin hari ini Minato pulang ke rumah. Tak disangka Minato langsung menyusul mereka kemari.

Minato segera menghampiri Naruto dan menegakkan tubuh puteranya itu, namun Naruto malah menepis tangannya kasar dan kembali berlutut di dekat kaki ibunya yang masih diam mematung.

"Kumohon maafkan aku, grandma!"

"Cukup, Naruto! Kau tidak perlu sampai berlutut segala!" tegas Minato seraya mengulangi tindakannya tadi, namun kali ini dengan tenaga yang jauh lebih kuat hingga Naruto tidak bisa berontak lagi. Detik itu juga ia langsung memeluk Naruto seraya mengusap-ngusap punggungnya pelan.

"Maaf karena sejak kau masih kecil, aku dan ibumu selalu sibuk!" bisiknya lembut. Minato melirik Kushina dan memberi isyarat mata karena Naruto masih terisak.

"Hey, kalau kau menangis terus, aku akan merekamnya dan memperlihatkan videonya pada Saku-chan lho..." sambung Kushina.

"Bisa-bisanya anda berkata seperti itu pada saat seperti ini, Kushina-san!" sambung dokter Miroku.

"Dan lagi siapa itu, Saku-chan?" lanjutnya.

"Ha? Itu... itu—"

"Grandma sudah memaafkanmu, Naru. Dan grandma juga minta maaf. Mungkin grandma hanya tidak bisa menerima kenyataan. Grandma memang merasa sangat kehilangan. Tapi sepertinya grandma tidak pernah tahu, kalau kaulah yang paling merasa kehilangan."

'Apa aku sedang bermimpi? Mom, sedang meminta maaf?' pikir Kushina.

"Begitu juga dengan Minato dan Kushina. Maafkan aku karena selama ini aku sangat egois. Dia adalah ayahmu, Minato. Dan dia adalah ayah mertuamu, Kushina. Harusnya sejak awal aku sadar, kalau kalian juga sangat kehilangan Jiraya. Kalian bertiga mau memaafkanku, kan?" kata nyonya Irene yang akhirnya mengeluarkan suaranya.

Naruto terbelalak. Apa ia tidak salah dengar. Atau mungkin ia sedang bermimpi. Ia pun mengalihkan pandangannya pada neneknya, dan wajahnya langsung memerah saat ia melihat neneknya tengah tersenyum dengan cantik. Tidak ada lagi tatapan menyakitkan yang neneknya lemparkan kepadanya. Mata biru neneknya seakan ikut berbicara, bahwa ia tulus memaafkan dirinya. Saat itu juga, tiba-tiba saja ia melihat sosok transparan tengah berdiri disamping neneknya. Sosok tinggi besar berambut putih jabrik yang tengah tersenyum lebar. Kontan saja tubuhnya langsung gemetar dan bibirnya terasa kelu.

"Ada apa denganmu, nak?" tanya Minato. Ia benar-benar cemas karena tiba-tiba saja tubuh Naruto terasa gemetar dan berkeringat.

"Ha-han...hantu!" ujar Naruto yang langsung tak sadarkan diri dalam pelukkan ayahnya.

"Naruto!" teriak Kushina dan Nyonya Irene bersamaan.

"Apa maksudnya dengan hantu?" tanya Minato kebingungan.

"Mungkin ada Jiraya-sama didekat kita." Jawab dokter Miroku degan wajah pucat karena beberapa menit sebelum Naruto pingsan, ia memang merasa merinding.

"Kyaaa!" teriak Kushina yang memang paling takut dengan hantu.

.

.

.

"Hahaha, yang benar saja! Itu tidak mungkin!"

"Aku serius, Sakura-chan! Aku benar-benar melihat hantu Ero-jiisan!"

"I don't believe you!" kata Sakura sembari meleletkan lidah.

"Akh, kenapa kau tidak percaya, Sakura-chan?!"

"Aku tidak akan pernah percaya sebelum aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Itu pasti cuma halusinasimu saja, Naruto!" kata Sakura yang kembali sibuk bermain ayunan.

Malam ini mereka memang sedang berada di taman dekat apartement Sakura. Naruto sendiri sedang berdiri dihadapannya.

"Akh, entah itu halusinasi atau bukan? Yang jelas aku benar-benar melihat hantu Ero-jiisan!"

"Terserahlah! Daripada itu, sebenarnya untuk apa kau datang kesini?"

Naruto menghela napas, lalu duduk di bangku ayunan yang satunya. Ia ingin sekali mengatakan hal itu secara langsung pada Sakura, tetapi mendadak keberaniannya lenyap. Ia tidak siap menerima sebuah penolakan lagi. Akhirnya yang bisa ia katakan hanyalah kalimat tak penting.

"Hanya ingin melihat gadis musim semiku."

"Baka! Kau jauh-jauh kesini hanya untuk itu?"

"Apa boleh buat, aku sangat merindukanmu, Sakura-chan."

Sakura berhenti menggerakkan ayunannya. Ia menundukkan wajahnya. Setelah ini dialah yang akan sering merindukan Naruto, sebab Naruto akan segera terbang ke London, dan mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Kemungkinan terburuknya, Naruto mungkin akan berpaling darinya dan menjalin hubungan yang lebih serius dengan Shion. Naruto akan semakin jauh hingga ia tidak akan pernah bisa menggapainya lagi.

Rasanya ia ingin bilang pada Naruto sekarang juga, bahwa ia mencintainya, bahwa ia ingin Naruto segera putus dengan Shion. Namun ia tidak memiliki keberanian. Naruto mungkin tidak akan mempercayainya, mengingat sudah berkali-kali ia menolak ungkapan cinta pemuda itu. Akhirnya ia memutuskan, bila satu kali lagi, Naruto mengatakan bahwa ia masih mencintainya, maka ia akan menerimanya dengan senang hati. Namun jika Naruto mengatakan sebaliknya, maka ia akan menyerah. Meski ia tersiksa, jika itu memang yang terbaik untuk mereka, ia bersedia mengorbankan perasaannya dan akan selalu berdo'a agar Naruto bisa bahagia bersama Shion. Ya, ia tidak boleh egois.

Naruto melirik Sakura, sejak tadi gadis itu hanya diam saja. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Sasuke kah? Kenapa wajah Sakura terlihat sedih? Mungkinkah gadis itu sudah tahu bahwa Sasuke telah berpacaran dengan Karin? Rasanya ia sudah tidak punya kesempatan lagi. Namun ia sudah memutuskan satu hal. Ia tidak akan terlalu berharap tetapi ia akan mencoba cara terakhir itu.

"Nee, Naruto! Bisakah kau dorong ayunanku?" tanya Sakura melirik Naruto.

"Baiklah! Setinggi apa kau mau pergi, Sakura-chan?" tanya Naruto dengan semangat.

"Pokoknya aku ingin terbang dengan tinggi biar bisa merasakan angin!" balas Sakura sambil tersenyum.

"Baiklah, tapi kau harus berpegangan yang kuat!" tegas Naruto. Ia kemudian bangkit dari ayunan yang didudukinya tadi, lalu berjalan ke belakang Sakura dan mulai mendorong ayunan itu sekuat tenaga.

Sakura tertawa kencang selama Naruto terus mendorong ayunannya. Rasanya ia ingin malam ini tidak pernah berakhir, namun begitu ia teringat kalau Naruto akan meninggalkannya lagi, ia tidak bisa lagi menahan air matanya.

Mendengar suara isakan Sakura, Naruto berhenti mendorong ayunan itu. Setelah gerakan ayunan benar-benar terhenti, ia berpindah ke hadapan Sakura, lalu memegang kedua tangan Sakura lembut.

"Kenapa kau menangis, Sakura-chan? Maafkan aku! Apa kau merasa pusing karena aku terlalu kuat mendorongmu?"

"Iie."

"Lalu kenapa kau menangis?"

"Itu karena angin. Anginlah yang sudah membuat mataku berair."

"Oh, begitu."

'...dan kaulah angin itu, Naruto baka! Kau benar-benar seperti angin. Datang dan pergi seenaknya. Bisa kurasakan namun sepertinya tidak akan pernah bisa aku sentuh.'

"Kenapa kau selalu pergi sesuka hatimu?"

"Ha?"

"Aku tidak berbicara denganmu! Aku berbicara dengan angin!"

"Oh."

'Baka!'

"Nee, Sakura-chan! Hari ini aku menginap di rumahmu, ya?" kata Naruto sambil tersenyum lebar.

"EH?"

"Ayolah, aku lapar nih! Buatkan aku ramen!"

"Ya sudah! Kalau begitu ayo kita pergi!"

"Yosh!"

Setibanya di depan lift, Sakura langsung melirik Naruto yang terlihat gelisah.

"Kau masih tidak bisa naik lift?"

"A-aku rasa, kali ini aku akan mencobanya."

"Nani?"

"Ya, a-asal kau terus menggenggam tanganku, Sakura-chan."

"Baiklah, ayo masuk!"

Pintu lift mulai terbuka. Naruto mengangguk seraya menelan ludah. Sakura malah menjadi cemas, sebab belum masuk saja wajah Naruto sudah berubah pucat. Kini pintu lift itu sudah tertutup kembali.

"Kau naik tangga darurat saja sana! Aku tidak mau kau terkena serangan jantung hanya karena memaksakan diri menaiki lift! Meski grandma sudah memaafkanmu, aku yakin kau masih memerlukan banyak waktu untuk bisa melakukannya."

"Baiklah. Sampai jumpa di lantai 22, Sakura-chan!"

Sakura tersenyum. Setelah pintu lift kembaliterbuka, ia pun bergegas memasuki lift tersebut. Setibanya didepan pintu apartementnya, Sakura mengalihkan pandangannya ke sepanjang koridor. Rupanya Naruto masih belum sampai. Sakura pun segera masuk, lalu lekas berjalan ke dapur. Menyiapkan panci kecil berisi air, menyalakan kompor, dan mulai mengiris bawang dan sayur-sayuran. Tidak lama kemudian bel pintunya berbunyi, Sakura pun segera membuka pintu. Ia terkikik geli saat melihat Naruto ngos-ngosan dan bajunya agak basah karena keringat.

"Hh-hhh, capek! Kau punya air dingin?"

"Ambil saja di kulkas!"

"Ha'i." Kata Naruto yang langsung bergegas ke dapur lalu membuka pintu lemari es, dan meminum air mineral langsung dari botolnya.

"Jorok sekali! Kenapa tidak pakai gelas?" kata Sakura sambil berkacak pinggang.

"Ha? Kau seperti grandma saja, Sakura-chan!"

"Apa kau bilang? Shannarou!" teriak Sakura yang langsung memberi Naruto bogem mentah.

"Itaaiii!" protes Naruto seraya mengelus pipinya yang sakit.

"Rasakan! Yah, kau boleh menonton televisi atau apalah selama aku memasak! Anggap saja rumah sendiri!"

"Fuh, dia tetap saja tempramental." Gumam Naruto yang kemudian duduk di sofa, lalu menyalakan televisi.

"Nah, ini dia ramen special buatan Haruno Sakura!" kata Sakura seraya menghidangkan dua mangkuk ramen di atas meja.

"Wah, baunya enak sekali!" seru Naruto yang lekas menyantap ramennya dengan lahap. Sakura pun mulai menikmati ramen buatannya. Sesekali ia melirik Naruto yang masih assik makan.

'Aku akan sangat merindukan moment-moment saat aku berduan denganmu, Naruto.'

oooOOcherryblossomOOooo

.

.

.

Waktu terus berjalan, dan besok adalah saatnya ia kembali ke London. Kini ia sedang berada di tepi danau bersama seorang gadis. Berat sekali untuk mengatakan ini. Ia tidak tega menyakiti hati gadis ini tetapi ia harus melakukannya apapun resikonya nanti. Ia bahkan sudah bersumpah akan mengabulkan apapun permintaan gadis ini, khusus untuk hari ini saja.

"Maaf. Aku tetap tidak bisa. Jadi kurasa sudah saatnya kita akhiri semuanya."

"Sudah kuduga kau akan mengatakan itu."

"Ini sudah perjanjian awal. Hanya tiga bulan dan kurasa, hari inilah waktu yang paling tepat untuk mengakhirinya. Lagipula besok aku akan terbang ke London."

"Berangkat jam berapa?"

"Jam sembilan pagi. Arigatou untuk semuanya. Aku menyayangimu, Shion!"

Shion tertunduk lesu. Isak tangisnya mulai terdengar. Ia tak menyangka rasanya akan sesakit ini. Ia benci dirinya sendiri yang tidak pernah bisa membuat Naruto jatuh cinta kepadanya. Ia bisa merasakan Naruto menarik tubuhnya dan menyandarkan kepalanya pada dadanya yang bidang lagi hangat.

"Sebenarnya kalau kita bisa bersama lebih lama lagi, mungkin aku akan jatuh cinta padamu." Kata Naruto sembari membelai kepala Shion dengan lembut.

"Aku tidak percaya!"

"Nande?"

"Tanyakan saja pada dirimu sendiri!"

"Padahal yang aku katakan itu serius lho..."

"Aku mencintaimu sejak itu. Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan seterusnya, tapi kenapa kau tidak pernah mencintaiku sedikit pun?" tanya Shion seraya menatap Naruto tajam.

"Carilah lelaki lain yang lebih baik dariku, Shion! Kau harus bahagia agar aku bisa memaafkan diriku sendiri, karena telah menyakitimu. Sungguh aku menyesal karena memulai semua itu denganmu, sebab aku sadar, perjanjian yang kita buat dulu malah membuatmu semakin terluka."

Tangis Shion semakin kencang. Ia benar-benar sangat sedih. Ia sakit hati, dan ia cemburu pada Sakura. Ia juga menyesal telah menyetujui permintaan Karin saat itu. Kalau saja ia tidak setuju, ia mungkin tidak akan pernah jatuh cinta pada Naruto.

"Kita masih bisa menjadi sahabat, kan?"

"Ya, tentu saja, Naruto-kun."

"Aku tidak akan memintamu untuk memaafkanku. Aku sadar aku adalah orang yang brengsek karena sudah menyakitimu seperti ini."

"Akan aku maafkan dengan satu syarat!"

"Benarkah? Apa itu?"

"Cium aku sekali saja! Di bibir!"

"Ha?"

"Kenapa? Kau tidak mau?"

Naruto terdiam. Ia tak menyangka inilah permintaan Shion, tetapi ia sudah terlanjur bersumpah, untuk mengabulkan apapun permohonan gadis ini.

"Anggap saja ini yang pertama dan terakhir kalinya!"

"Baiklah, pejamkan matamu!"

Setelah Naruto berkata demikian, Shion pun mulai memejamkan kedua matanya. Ia merasakan tangan Naruto menarik wajahnya mendekat. Setelahnya ia bisa merasakan deru napas Naruto, dan sentuhan bibir Naruto di bibirnya. Shion pun melumat bibir itu seraya mencurahkan segenap perasaannya, tetapi entah kenapa hatinya terasa hampa.

Naruto membiarkan gadis itu melumat bibirnya. Ia memang membalas ciuman itu untuk sesaat, namun ia tidak menutup mata. Hanya tatapan dingin yang terlihat. Yah, ia memang tidak bisa menikmati ciuman itu. Tidak ada perasaan di dalamnya. Hanya sebatas kedua bibir mereka yang saling bertautan.

'Gomen.'

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.45 keesokan harinya. Naruto menaiki tangga itu satu persatu. Senyuman terukir indah dibibirnya. Yah, inilah harapan terakhirnya. Ia memegang amplop itu erat-erat. Amplop yang berisi tiket pesawat menuju London, surat cintanya, dan berkas-berkas penting lainnya.

Sementara itu, Shion yang sejak tadi mengikuti Naruto diam-diam sudah memasuki lift dan menekan tombol 22. Dimatanya tergambar kemarahan dan rasa dendam. Ia menyeringai.

"Sebenarnya kalau kita bisa bersama lebih lama lagi, mungkin aku akan jatuh cinta padamu."

"Jika aku tidak bisa memilikinya, kau pun tidak boleh!" tegas Shion.

Naruto sudah menekan bel berkali-kali, tetapi gadis itu tidak juga membuka pintunya. Perasaannya jadi tidak enak. Sebenarnya dimana Sakura. Bukankah hari ini gadis itu tidak ada jadwal kuliah. Tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Ia pun merogoh ponsel tersebut dari sakunya, lalu membaca pesan singkat yang baru saja terkirim ke nomornya.

'Madam dan ibumu sudah uring-uringan sejak tadi. Cepat berangkat ke bandara! Kami juga sudah hampir sampai!'

'Masalahnya aku belum bertemu dengan Sakura-chan! Apa yang harus aku lakukan, Percy?'

'Tinggalkan saja amplop itu. Toh penerbangan untuk Sakura itu besok, kan? Jangan sampai kau ketinggalan pesawat!'

Setelah membalas pesan dengan kata 'Okay'. Ia mengamati jam tangannya.

"Datanglah ke Bandara! Aku menunggumu, Sakura-chan!" Ujarnya yang kemudian menyelipkan amplop itu dibawah pintu apartement Sakura. Ia menekan bel itu sekali lagi sebelum pergi.

Shion membuka topi sekaligus kaca mata hitamnya. Nampaknya penyamarannya berhasil. Naruto tidak menyadari keberadaannya. Setelah merasa yakin bahwa Naruto sudah jauh, ia pun mengambil amplop yang diselipkan Naruto tadi lalu membukanya.

"Tiket pesawat? Begitu? Jadi kau berharap ia akan datang kepadamu?" sinis Shion yang lantas merobek amplop itu beserta seluruh isinya.

"Apa yang kau lakukan? Apa itu?" tanya Sakura yang baru saja datang seraya memegang kantong belanjaan berisi minuman dan beberapa bungkus roti. Ia jadi curiga kenapa pagi-pagi begini Shion sudah ada di depan pintu apartementnya.

"Wah, Sakura! Rupanya kau baru saja pulang dari minimarket? Pagi sekali kau kesana? Barusan pangeranmu datang kemari lho! Jaa, Sakura-chan!" sinis Shion yang kemudian bergegas berjalan menuju lift.

Sakura mengamati lantai koridor. Potongan kertas mengotori lantai tersebut. Dan Sakura terbelalak saat melihat sebuah tiket pesawat tujuan London sudah terpotong menjadi tiga bagian. Dengan panik entah karena apa, ia pun menyatukan sobekkan tiket tersebut.

"Apa maksudnya ini? Tiket ini atas namaku?"

Sakura mengambil sebuah amplop berwarna cokelat yang juga sudah robek menjadi beberapa bagian. Dan di dalam amplop tersebut ia juga menemukan sebuah amplop lain. Amplop surat berwarna jingga. Kondisi amplop itu juga tidak kalah mengenaskan. Amplop tersebut robek, dan Sakura yakin surat di dalamnya pun sama. Sakura segera memasuki apartemenntnya dan meletakkan kantong belanjaannya di sofa. Setelah itu ia pun mengeluarkan satu lembar surat yang ternyata sudah robek pula. Syukurlah kali ini jejak sobekan itu tidak terlalu parah hingga Sakura masih bisa membaca surat tersebut.

.

Sakura-chan, apakah kau mau terbang bersamaku?

Umm, bagaimana mengatakannya, ya?

Nee, Sakura-chan! I loved you yesterday, I loved you still, I always have, I always will...

Bagaimana denganmu?

Aku tidak tahu apakah kau masih mencintai Sasuke atau tidak?

Jika kau masih mencintainya, aku harap kau jangan pernah menyerah untuk mendapatkan Sasuke. Meski Karin-Nee sudah menjadi kekasihnya, kau masih memiliki banyak peluang untuk mendapatkan hatinya. Namun jika kau sudah tidak mencintai Sasuke lagi... maukah kau mencoba membuka hatimu untukku?

Jika kau mau memberiku kesempatan. Besok kau harus menyusulku ke London. Aku sudah memesan tiket pesawat atas namamu, dengan jadwal penerbangan jam empat sore esok hari. Aku sengaja tidak memesan tiket dengan jadwal penerbangan yang sama denganku, karena kupikir kau pasti membutuhkan waktu untuk berpikir sekaligus untuk berpamitan dengan kedua orang tuamu, Ino, Shikamaru, dan yang lainnya.

Sebenarnya saat aku memintamu untuk menemuiku di taman dekat apartementmu beberapa minggu yang lalu... aku ingin mengatakan kalau aku mencintaimu, Sakura-chan. Dan aku ingin mengajakmu pergi ke London bersamaku. Sayangnya aku tidak berani. Aku belum siap menerima penolakanmu lagi. Maka aku putuskan untuk mengatakannya lewat surat, sekalian mengirimkan berkas-berkas ini untukmu. Aku sedih sekali. Aku ingin selalu berada di daratan yang sama denganmu. Aku tidak ingin meninggalkanmu lagi, Sakura-chan.

Kutunggu jawabanmu hari ini juga. Datanglah ke Bandara, Sakura-chan, onegai!

.

"SHION TEME!" maki Sakura yang lekas mengambil kunci mobilnya. Lalu berlari tergesa-gesa.

"NARUTO BAKA!" teriaknya, yang kini tengah fokus menyetir. Ia harus segera sampai di Bandara. Ia tidak ingin sampai terlambat. Ia pun mencoba menghubungi Naruto dan sialnya ponsel Naruto sudah mati.

"Jangan sampai aku menyesal Kami-sama. Kumohon biarkan aku memberikan jawaban untuknya sebelum dia pergi."

Sakura sudah bertekad, jika ia sampai di Bandara sebelum pesawat Naruto lepas landas. Ia tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengungkapkan semua isi hatinya. Ia juga tidak akan segan untuk menceritakan perbuatan jahat Shion pada Naruto. Dan suatu hari nanti, ia pasti akan menyusulnya ke London.

Sayangnya ia terlambat, pesawat pertama menuju London sudah lepas landas 10 menit yang lalu. Sial! Padahal hanya 10 menit. Ia pun terduduk di lantai bandara yang dingin dan menangis sejadi-jadinya. Ternyata cinta yang datang terlambat rasanya sesakit ini. Ia bahkan tidak peduli meski saat ini ia diperhatikan orang banyak, yang ada dipikirannya saat ini hanyalah Naruto.

"Naruto, aku mencintaimu, baka!"

.

.

Naruto tertunduk di kursi pesawat. Bukan karena claustrophobianya. Meski claustrophobianya masih belum sembuh, setidaknya ia sudah bisa menaiki pesawat. Hanya saja hatinya teramat sakit karena ternyata Sakura tidak menanggapi harapan terakhirnya.

"Jangan salah paham! Yang kau pikirkan saat ini belum tentu benar!"

"Tidak usah menghiburku! Jelas-jelas dia tidak pernah mencintaiku!" katanya, dan saat itu pula Percy bisa melihat sahabatnya itu menangis.

"Naru..."

Percy melirik Madam Irene dan Kushina yang memandang Naruto dengan tatapan khawatir dari kursi sebrang. Kushina memang sengaja ikut ke London untuk mengantarkan ibu mertuanya, tetapi minggu depan ia akan kembali ke Jepang. Ia akan mendampingi Minato yang masih harus tinggal di Jepang, untuk mengelola salah satu cabang perusahaan Namikaze, di Tokyo.

"Ibu dan ayahmu masih akan tinggal di Jepang. Maka tidak lama lagi, kau akan segera tahu apa jawaban gadis itu."

"Jawaban yang akan menyakiti hatiku lagi, huh? Yah, kurasa ini adalah karma karena aku sudah melukai Shion!"

"Sudah kubilang jangan salah paham dulu! Sebenarnya kau itu mencintainya atau tidak?!" bentak Percy, namun Naruto malah memalingkan wajahnya.

'Astaga, dia benar-benar terluka! Jangan-jangan hatinya sudah hancur?!'

.

.

OWARI

.

.

.

EPILOG

.

.

Tiga tahun sudah berlalu sejak saat itu. Selama tiga tahun pula, ia tidak pernah peduli lagi pada cinta pertamanya. Meski ayah dan ibunya sering menghubunginya dari Jepang, ia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali mereka mulai membahas tentang Sakura. Bahkan setiap kali ia mendapatkan telepon dari seseorang yang entah siapa, ia tidak pernah mau mengangkatnya, hanya karena nomor telepon tersebut berkode negara Jepang. Tidak hanya itu, dia juga tidak pernah berminat untuk membuka Yahoo! Messengger, Facebook, Twitter, Line, dan akun jejaring sosial lainnya. Selama ini, ia hanya menghabiskan waktunya untuk bekerja dan bekerja. Ya, ia memang selalu sibuk semenjak ia kembali ke London untuk mengelola perusahaan pusat. Lebih tepatnya, ia sengaja menyibukkan diri sendiri untuk bisa melupakan Sakura.

Sejak ia terbang ke London, Shion juga tidak pernah menghubunginya lagi, padahal hari itu, Shion sudah bersedia untuk menjadi sahabatnya. Gadis itu seakan menghilang ditelan bumi. Yah, mungkin Shion sudah menemukan cinta sejatinya sekarang.

Hari ini ia tidak pergi ke kantor karena neneknya menyuruhnya untuk cuti. Sepertinya neneknya ingin ia berlibur selama beberapa hari untuk beristirahat. Neneknya pasti khawatir karena setiap hari ia terlalu banyak bekerja. Kini ia tiba di stasiun Underground, membeli tiket, untuk pergi ke daerah Southbank. Yah, ia rasa ia harus mulai mempraktekkan hasil terapinya minggu lalu, dan pilihannya kali ini adalah London Eye. Ia harap setelah ini claustrophobianya bisa sembuh.

Setibanya di tempat tujuan, ia mendongakan kepalanya. London Eye menjulang tinggi, sangat tinggi. Cahaya putih kekuning-kuningan mengelilingi struktur baja yang membentuk kincir raksasa itu sehingga London Eye tampak kontras dengan langit malam yang gelap.

Naruto merogoh saku jasnya untuk mengambil kamera digital. Ia ingin mengambil beberapa foto. Lalu ia mulai membidik London Eye dengan kamera itu. Tepat saat Naruto hendak menekan tombol shutter, sebutir air menitik di permukaan lensa kamera.

Naruto kembali menengadahkan wajahnya ke langit. Kali ini sebutir air menitik di wajahnya. Lalu butir-butir yang lain menyusul.

"Ah, hujan," gumam seseorang.

Naruto berpaling ke arah sumber suara dan mendapati seorang gadis berdiri di sebelahnya. Gadis itu mengenakan gaun putih selutut serta jaket dengan warna senada. Gadis itu mengenakan topi fedora putih dengan syal yang menutupi sebagian wajahnya, hingga Naruto tidak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas.

"September. Hujan turun terus menerus pada bulan September." Ujar Naruto.

"Kalau kau tahu hujan terus menerus turun pada bulan ini, kenapa kau tidak membawa payung?" sepasang mata berwarna hijau itu menatap matanya. Suaranya terdengar familiar. Gadis itu tersenyum manis dibalik syalnya, lalu menyodorkan sebuah payung berwarna bening ke arahnya. Dan sekarang ia hanya memandang gadis itu dengan tatapan heran.

"Jangan sampai asmamu bertambah parah!" ujar gadis itu pula.

"Ha?"

Gadis itu menurunkan syalnya hingga syal tersebut tidak lagi menutupi sebagian wajahnya. Dan wajahnya—

"Sakura-chan?"

"Ini pertama kalinya aku melihat London Eye. Kau mau tidak menemaniku naik?"

"Ba-bagaimana bisa kau..."

"Nande?" kali ini Sakura berbicara dengan bahasa Jepang.

Seketika Naruto sadar, sejak tadi ia tengah memeloti gadis itu. Ia pikir ia sedang bermimpi. Tak pernah terbayangkan olehnya, bahwa ia bisa melihat wajah elok itu lagi. Gadis yang selama ini sangat ia rindukan. Ia semakin cantik seiring umurnya yang bertambah dewasa. Garis-garis wajahnya begitu halus dan sempurna. Naruto pun segera menundukkan pandangannya. Kedua pipinya menghangat. Jantungnya berdebar kencang.

"Kenapa diam saja? Cepat pakai payungku!"

"Ti-tidak perlu. Hujan ini tidak ada apa-apanya ba-bagiku. Ka-kau saja yang pakai payung itu!"

'Sial! Kenapa aku jadi tergagap begini?'

"Tapi udara malam sangat dingin lho... bisa-bisa asmamu kumat lagi. Kalau begitu, ayo kita pakai payung itu berdua!"

"Baiklah."

Sakura tersenyum. Naruto mulai membuka payung tersebut dan memegang gagangnya. Mungkin ini adalah takdir. Sakura sangat bahagia. Ini hari pertamanya di London dan ia langsung berjumpa lagi dengan Naruto. Seiring umurnya yang bertambah dewasa, Naruto semakin tampan, bahkan ia semakin mirip dengan ayahnya. Sangat keren. Terutama style rambutnya. Entah kenapa ia suka sekali dengan style rambut seperti itu. Ia nyaris tak percaya melihat penampilan Naruto yang jauh lebih rapi. Saat ini Naruto mengenakan kemeja putih berdasi, celana panjang hitam, lengkap dengan jasnya yang berwarna senada.

"Kau benar-benar seperti seorang direktur." Ujar Sakura yang kemudian tertawa kecil.

"Kau mengejekku atau memujiku sih?"

"Pikir saja sendiri! Ayo kita kesana! Aku ingin naik London Eye!"

Kini mereka berdua berdiri bersisian, berlindung berdua dibawah payung yang sama dari hujan yang sunyi. Sakura memberanikan diri untuk menggandeng tangan Naruto sekaligus menyeretnya berlari menuju pintu masuk London Eye yang berada di ujung plaza.

Malam ini kincir raksasa tersebut sepi. Antrean pengunjung di loket pembelian tiket tidak seberapa panjang. Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama agar bisa naiik. Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di dalam salah satu kapsul, bersama enam orang lainnya.

Naruto duduk di bangku itu. Kepalanya tertunduk dalam. Ia memejamkan matanya dan mulai mempraktekan hasil terapinya minggu lalu. Ia tersenyum, sepertinya kali ini ia berhasil. Kali ini, baginya kapsul London Eye bukan lagi salah satu tempat yang tertutup dan sempit.

London Eye mulai berputar. Kapsul bergerak pelan dan halus searah jarum jam. Di tengah suasana temaram, orang-orang mulai berkomentar macam-macam, dan Sakura mengekspresikan kekagumannya dengan antusias. Ia pun menarik Naruto ke tepi.

"Lihat keluar! Indah sekali bukan?" ujarnya.

Naruto tersenyum dan melakukan apa yang dikatakan oleh Sakura. Ia menegakkan kepalanya dan menatap lurus ke depan. Semula ia hanya melihat bayangan dirinya sendiri di kaca yang basah. Lalu, bayangan tersebut memudar dan sebagai gantinya, muncul pemandangan London yang menakjubkan.

"Naruto, ada apa denganmu? Selama ini aku terus berusaha menghubungimu, tapi kau tidak pernah mengangkat telepon dariku. Apakah kau marah padaku?"

"Akh, aku hampir lupa soal ini!" kata Naruto yang baru saja tersadar. Ia pun menatap mata emerald Sakura lekat-lekat.

"Kenapa kau bisa ada disini?"

"Tentu saja karena kau merindukanmu!"

"Merindukanku sebagai sahabatmu?"

"Tidak juga. Kurasa kau harus tahu kenapa aku merindukanmu!"

"Kenapa?"

"Aku mencintaimu. Itulah sebabnya aku merindukanmu setiap hari."

"Mencintaiku? Kalau kau mencintaiku, kenapa hari itu kau tidak datang ke bandara? Kau bahkan tidak menanggapi ajakanku!"

"Aku sudah datang. Sayangnya aku terlambat, sama seperti rasa cinta yang tumbuh di hatiku untukmu. Hari itu pesawat kalian sudah lepas landas, dan saat itu juga aku langsung patah hati karena kau meninggalkanku lagi. Aku tidak bisa menyusulmu keesokan harinya, meski aku sangat menginginkannya."

"Kenapa?"

Sakura pun menceritakan semua perbuatan Shion. Semula Naruto tampak terkejut, dan setelahnya ia mengepalkan kedua tangannya.

"Maaf, aku memang bodoh. Aku selalu salah paham terhadapmu."

"Tak apa, lagipula aku akan melanjutkan kuliah S1-ku di London. Jadi kita bisa memulainya dari awal lagi! Itu juga kalau hatimu masih tetap untukku."

"I thinik I'm in love again!"

"Apa? Pada siapa?" wajah Sakura sudah mulai berkaca-kaca. Mungkinkah ia sudah benar-benar terlambat.

"Tentu saja kepadamu, Sakura-chan. Mari kita mulai semuanya dari awal!" tegas Naruto sambil tersenyum.

Sakura tersenyum dengan air mata yang mengalir. Ia benar-benar bahagia. Sangat bahagia. Rupanya cinta yang datang terlambat bisa mengantarkannya pada cinta yang sejati. Naruto menyentuh bibirnya dengan jari telunjuknya sambil tersenyum jahil, seakan memberi isyarat bahwa Naruto ingin, ia mencium bibir itu dengan bibirnya. Saat itu juga Sakura langsung berhambur ke dalam pelukkan Naruto dan keduanya sama-sama memejamkan mata sebelum akhirnya, bibir mereka saling bertautan. Sakura tidak peduli dengan orang-orang disekeliling mereka karena baginya, malam ini dunia hanyalah miliknya dan Naruto.

.

.

.

Yosh! Akhirnya fict ini tamat juga. Arigatou buat readers yang udah sudi meninggalkan jejak reviewnya, dan juga yang udah follow and nge-fav fict ini. ^^

Wah, di review kemarin banyak yang nebak kalau yang dateng itu Shion, ya? Tapi banyak juga yang tebakannya bener. Omedettou! *bener nggak nulisnya?* :D / Gomen, karena updatenya telat satu minggu, maklum kalau lagi liburan, saya malah malas ngetik #ditendangReaders. Epilog fict ini terinspirasi dari novel 'LONDON' karya Windry Ramadhina. Saya harap kalian semua suka dengan endingnya. Minna-san, mind to REVIEW?! Review please and No Flame. Arigatou. ^^

.

.

Balasan review chapter 7 yang nggak login:

Guest, Nagasaki: Maaf karena baru bisa update sekarang. Ini udah dilanjut. Arigatou. ^^

Darmawan Ryoshi: Hehehe, sayangnya yang datang itu bukan Shion. Arigatou reviewnya. ^^

Namikaze Sakura: Hahaha, bener. Kok tahu sih? Arigatou. ^^

Kayagi: Bukan Shion, kok. Nah, di chapter end ini moment NaruSaku-nya udah banyak, lum? Arigatou ne. ^^

Zip: Hahaha, bisa dong. Yang dateng bukan SasuKarin ataupun ortu Sakura. Ini udah dilanjut, ya. Arigatou. ^^

Dorara Doremi: Hahaha, sayang sekali yang dateng bukan Shion. Ah iya, bener juga. Aku kok baru nyadar #dilemparSendal. Ya, mungkin karena aku paling suka genre Hurt/Comfort /plak. Okay, kalau berminat silakan RnR. Ini udah dilanjut. Arigatou. ^^

Debi Putra: Romantis itu manis, hahaha. Terus terang aku bingung pas mau nulis adegan Naruto mutusin Shion. Akhirnya jadi kayak gitu deh. Ha'i. Arigatou ne. ^^