Naruto © Kishimoto Masashi.
This is a work of fanfiction. No material profit is taken.
harumangetsu
A Naruto fanfiction
.
[bagian satu]
.
.
Ruang makan luas mansion itu tampak senyap. Tidak terdengar suara apa pun dari tiga orang yang duduk di kursi makan yang ditata mengelilingi meja panjang dengan jumlah kursi tidak berimbang dengan banyaknya anggota keluarga yang ada, tidak pula dari gesekan alat-alat makan atau mulut-mulut yang dipenuhi makanan. Satu dari tiga anggota keluarga tersebut tiba-tiba berdiri setelah meletakkan pisau dan garpunya dan membersihkan mulut, menciptakan suara untuk kali pertama sejak makan malam itu dimulai.
"Aku sudah selesai makan." Pemuda itu, si putra bungsu, berujar pelan dengan nada monotonnya yang biasa.
Kepala keluarga yang duduk di kursi paling depan tidak mengubah ekspresi, masih tetap santai melahap makanan inti makan malamnya. Lain halnya dengan satu-satunya wanita di sana yang melirik tajam ke arah pemuda yang tengah berdiri itu.
"Ibu sangat yakin Ibu telah mengajarkanmu tata cara makan yang baik, Sasuke." Wanita itu berujar pelan dengan ketenangan yang tidak mengesankan adanya kemarahan atau emosi negatif lainnya, tetapi cukup untuk membuat pemuda yang dipanggil Sasuke kembali duduk. "Kau bahkan belum mencicipi steakmu," lanjutnya seraya meletakkan pisau dan garpu di sisi-sisi piring keramik bundarnya.
Sasuke menghela napas diam-diam. "Aku ada janji makan malam sendiri, Ibu."
"Kalau boleh Ibu tahu, dengan siapa? Naruto, 'kah?"
Ibunya bicara baik-baik, tenang, dan halus. Namun, pemuda dua puluh dua tahun itu tahu benar bahwa dia harus menjawab setiap pertanyaan yang diajukan ibunya. Tanpa kecuali.
Kali ini Sasuke menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk mendengar sesuatu yang mungkin akan kurang dia sukai. "Karin."
Bukan hanya ibunya, melainkan ayahnya yang sedari tadi diam pun turut mengerutkan kening. "Apa kau keberatan memberi tahu Ibu siapa dia? Ibu tidak yakin Ibu mengingat nama itu."
Sasuke merutuk dalam hati. Ibunya merupakan wanita paling anggun yang pernah dia kenal, mampu untuk tetap tenang di kondisi apa pun, sekaligus bersikap tegas jika memang diperlukan. Pemuda itu yakin, sangat yakin, ibunya tahu siapa itu Karin. Hanya saja, wanita itu selalu pura-pura meminta penjelasan untuk menunjukkan bahwa dirinya sebenarnya tidak tertarik pada siapa pun itu Karin, atau dengan kata lain, 'Karin' ini tidak cukup penting baginya untuk diingat.
"Dia gadis yang kukencani setahun belakangan ini."
Suara denting logam yang tiba-tiba mengalihkan perhatian Sasuke dari ibunya. Di ujung meja, ayahnya mengambil lap, membersihkan tepi mulutnya, kemudian berdehem. Walaupun samar, Sasuke bisa melihat perubahan air muka ayahnya yang sebenarnya merupakan hal yang jarang terjadi.
"Setahun?" Ibunya mengulang dalam nada lambat yang terkesan mengeja, seolah menggaungkan pertanyaan ayahnya. Ada keheranan dan curiga dalam suaranya.
"Ya, Ibu."
Ibunya, Uchiha Mikoto, menaikkan alis hitamnya yang tertata rapi alami. "Ibu tidak pernah menyadari putra bungsu Ibu telah menjalin hubungan yang terlalu lama dengan wanita lain."
Wanita lain? Sasuke mendapati keganjilan dalam pernyataan itu, tetapi memutuskan untuk tidak memancing penjelasan. "Aku pikir Ibu tidak mau memiliki putra yang suka mempermainkan wanita."
Mikoto meletakkan pisau dan garpunya, selesai menyantap makan malam yang nikmat, kemudian membersihkan tepian mulutnya dari sisa-sisa makanan. Wanita yang tetap cantik dalam usianya yang sudah memasuki kepala lima itu menggedikkan bahu, mengerling ke arah suaminya sejenak sebelum menatap putra bungsunya. "Ya, tentu saja. Karena beberapa pertimbangan, Ibu mengizinkan kau sedikit bersenang-senang sebelum menjalankan komitmenmu sepenuhnya."
"Beberapa pertimbangan? Komitmen?" Kali ini Sasuke yang menaikkan alisnya dalam kebingungan. "Aku belum pernah mendengar beberapa pertimbangan yang Ibu maksudkan itu."
Kini mata Mikoto yang hitam menajam, memandang putranya dengan sorot mata ganjil. "Pada intinya, Ibu tidak suka kau terlalu mengikatkan diri dengan wanita lain. Mereka hanya sekadar pengisi waktu luangmu."
Uchiha Sasuke nyaris meledakkan tawa. Sejak kapan ibunya mengizinkan putra-putranya bertindak begitu merendahkan wanita dengan menganggap mereka sebagai pengisi waktu luang semata? Selama yang Sasuke tahu, ibunya selalu menekankan padanya dan kakaknya bahwa wanita bukan pengisi waktu luang belaka.
"Kau tidak boleh memiliki hubungan serius dengan wanita lain, anakku. Jangan lupa kau sudah berjanji di depan pada dewa untuk setia pada satu wanita."
Suara berat ayahnya, Uchiha Fugaku, memecah humor dalam diri Sasuke. Jelas sekarang Sasuke tidak punya alasan untuk tertawa. Humoris bukanlah sifat unggul seorang Uchiha, lebih-lebih Fugaku.
"Maaf?" Sasuke merasa tidak yakin dengan pendengarannya. Dia benar-benar bingung dengan arah pembicaraan kedua orang tuanya. Apakah dia melupakan sesuatu yang penting di sini? Pembicaraan malam mereka bertiga tampaknya menuju arah yang sama sekali berbeda.
"Ibu rasa ucapan ayahmu sudah cukup jelas, Sasuke."
Sasuke terdiam dan hanya bisa memandang kedua orang tuanya takjub bergantian.
Apa maksud mereka? Sasuke benar-benar tidak punya gambaran.
xox
Esok paginya, Uchiha Mikoto menyeret Uchiha Sasuke pagi-pagi dari ranjang dengan satu tujuan: mengunjungi Karin dan melakukan hal-hal yang perlu dilakukan. Dalam hal ini, hal-hal yang diperlukan tersebut berada sepenuhnya dalam versi Uchiha Mikoto.
"Apa yang mau Ibu lakukan?" Sasuke menggaruk bagian belakang kepalanya dengan resah.
"Meluruskan hal-hal yang sepertinya tidak mampu kau, anakku tersayang, luruskan pada wanita itu."
Sasuke berbalik menatap ibunya tepat ketika pintu lift yang mereka naiki terbuka dengan suara denting khas. Lantai dua puluh dua.
"Apa saja yang Ibu kategorikan sebagai hal-hal yang perlu diluruskan?"
Mereka berdua melangkah cepat menyusuri koridor gedung apartemen itu dengan Sasuke memimpin jalan. Suara ketukan berirama dari hak sepatu Mikoto memecah kesunyian tempat itu.
"Hal-hal yang membuatmu terikat begitu lama dengan satu wanita."
Sasuke mengacak rambutnya kasar. Dia benar-benar tidak paham sedikit pun dengan maksud ibunya kali ini.
"Di sini?{ Mikoto bertanya memastikan saat Sasuke berhenti di depan sebuah pintu bernomor 22-14. Pemuda itu mengangguk dan Mikoto segera memencet bel dengan mantap. Wajahnya cantik dalam ekspresi tenang dan tidak menunjukkan sedikit petunjuk pun mengenai apa yang hendak dia lakukan.
Tak lama setelah Mikoto memencet bel untuk yang kedua kalinya, terdengar suara kunci pintu dibuka dan pintu kayu bercat hijau itu mengayun ke dalam, menampakkan seorang wanita berambut merah kusut. Wanita itu mengerutkan kening bingung saat melihat Mikoto, tetapi kebingungan itu langsung lenyap begitu melihat sosok Sasuke berdiri di sisi Mikoto.
"A—"
Mikoto berpaling untuk menatap putranya. "Bisakah kau meninggalkan kami berdua bicara di dalam, Sasuke, sementara kau menunggu di sini?" Mikoto sama sekali tidak menunggu persetujuan putranya. Dia langsung saja berjalan masuk tanpa ragu, dan tetap anggun tentunya, ke kamar apartemen itu.
"Ibu—"
Sasuke hendak menyuarakan protes, tetapi pintu itu dengan cepat tertutup. Dia menghela napas berat. Entah menapa kepalanya terasa pening.
xox
"Apa yang Ibu bicarakan dengan Karin tadi?"
Sasuke mencoba membuka percakapan. Mereka berdua dalam perjalanan pulang dari apartemen Karin dengan Sasuke yang mengemudikan mobil. Entah apa yang ibunya katakan pada gadis itu selama sejam lamanya. Begitu Mikoto keluar dari apartemen itu, ibunya langsung mengajak—ralat: memaksanya pulang. Sama sekali tidak dia biarkan Sasuke melihat kondisi Karin di dalam.
"Nonomiya," koreksi ibunya dengan suara bernada keras. "Sudah Ibu peringatkan. Jangan sembarangan memanggil seorang wanita dengan nama kecilnya."
"Aku tidak sembarangan. Dia—"
"Tidak lagi." Mikoto memotong dengan cepat kalimat Sasuke begitu menyadari apa yang hendak putranya katakan. "Ibu sudah menegaskan kepadanya untuk tidak mendekatimu. Dan hal serupa juga berlaku bagimu."
Uchiha Sasuke menggertakkan gigi. Rahangnya mengeras ketika bicara. "Mengapa Ibu melakukan itu? Ini hidupku!"
Mata Mikoto menyipit tajam. Bahunya turut menegang akibat terpengaruh suasana panas di dalam mobil yang bermula dari emosi Sasuke. "Ibu benar-benar tidak bisa menolerir seorang pria yang tidak bisa menjaga komitmennya, apalagi terhadap sesuatu yang sangat sakral."
Sasuke menggelengkan kepalanya tidak percaya. Rahangnya menggeretak makin keras. Apa yang tengah dibicarakan ibunya? Pemuda itu setengah mendengus ketika menimpali, "tapi Ibu baru saja menghalangiku menjaga komitmenku padanya."
"Tidak akan lebih penting dari komitmenmu dulu."
Percakapan mereka terusik oleh ponsel Sasuke yang tiba-tiba berdering. Tanpa melihat siapa sang penelepon, Sasuke mengangkatnya.
"Ya?"
Begitu menyadari suara peneleponnya, Sasuke secara refleks melirik ibunya. Gerakan sekecil itu tentu tidak dia harapkan luput dari pengamatan Mikoto. Oleh karena itu, dengan pasrah Sasuke membiarkan ibunya meraih ponselnya yang kemudian menutup telpon itu tanpa sedikit pun melirik layar. Wajah wanita itu memperlihatkan ekspresi keras yang tidak bisa Sasuke bantah.
Sasuke mendesah gusar. "Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang Ibu katakan. Tapi aku yakin, sangat yakin, komitmenku pada Ka—" Sasuke merutuk dalam hati dan cepat-cepat mengoreksi kalimatnya, "Nonomiya juga sama pentingnya."
Uchiha Mikoto tidak tampak tertarik. Konsentrasinya ditujukan pada ponsel Sasuke yang sekarang ada di dalam genggamannya. "Oh ya? Memangnya apa komitmen yang sudah kau buat dengannya? Menikahinya?"
"Ya," jawabnya mantap. Sebenarnya tidak. Hubungannya dengan Karin tidak pernah sampai sejauh itu. Mereka berdua hanya sedikit lebih dekat dari kekasih-kekasih Sasuke sebelumnya. Keduanya tidak pernah membicarakan hal-hal seperti pernikahan. Sama sekali belum. Tidak pernah sekalipun Sasuke membayangkan pernikahan dengan wanita lain.
"Apa kau punya tanggung jawab tertentu padanya?" tanya Mikoto sambil lalu. Kentara sekali bahwa dia sama sekali tidak tertarik menanggapi berlebih jawaban putranya tadi. Dia tetap sibuk mengutak-atik ponsel Sasuke di tangannya.
Sasuke mengerutkan keningnya mendengarnya. Dia tidak begitu yakin dengan maksud pertanyaan Mikoto. "Tanggung jawab yang seperti apa?"
"Kau menidurinya?"
Sasuke sejenak memandang ibunya dengan takjub. Baru kali ini dia mendapati ibunya berbicara dengan bahasa yang blak-blakan, jika enggan dikatakan kasar.
Pemuda itu menggeleng gamang dengan kepala masih dipenuhi ketakjuban dan kebingungan. "Tidak." Dia paksa matanya berpindah dari sosok ibunya ke arah jalan di depan.
Dia benar-benar tidak pernah melakukan hal semacam itu dengan wanita mana pun. Memang rasanya sulit dan penuh godaan, mengingat dirinya merupakan pemuda yang sehat dan normal, tetapi Sasuke masih bisa menahan diri. Dia selalu ingat pesan-pesan ibunya. Hal-hal seintim itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah terikat pernikahan.
"Nanti kau akan mengetahuinya, Sasuke. Ada hal-hal tertentu yang harus diusahakan—walaupun sulit. Ketika waktu yang tepat sudah datang, kau tidak akan menyesal telah berusaha lebih. Hal itu merupakan hal yang suci, harus dilakukan setelah melalui upacara yang sakral, yaitu pernikahan."
Begitu kata ibunya dulu ketika Sasuke mulai menginjak remaja dan pengaruh hormon-hormon mulai sulit dikendalikan.
Mikoto mengalihkan pandangan ke arah Sasuke dari ponsel di tangan sambil tersenyum, kemudian mengulurkan ponsel yang Sasuke yakini telah dibersihkan. "Kalau begitu, kita tidak perlu mendiskusikan hal ini lebih lanjut."
Sasuke menghela napas. Biasanya dia tidak akan membantah lebih lanjut, tetapi kali ini Sasuke merasa harus mengetahui alasan penentangan ibunya. Selama ini, baik Mikoto maupun Fugaku tidak pernah mencampuri urusan romansa kedua putranya. Mengapa sekarang tiba-tiba Sasuke diperlakukan seperti ini? Bukannya dia tidak rela atau apa. Toh Sasuke selalu mempercayai keputusan ibunya. Namun, Sasuke menilai sikap ibu dan ayahnya terlalu ganjil dan hal itu membuatnya penasaran sekaligus heran.
"Bagaimana jika seandainya aku telah menidurinya?" tanya Sasuke sedikit menguji.
Uchiha Mikoto merebahkan punggung ke sandaran empuk kursi mobil. Keningnya mengernyit, menunjukkan ketidaksetujuannya dengan pemikiran itu. "Harus ada pertanggungjawaban tentu saja, tapi akan Ibu pastikan itu bukan melalui pernikahan," jawabnya mantap.
Sasuke terdiam. Matanya terfokus pada jalanan yang lumayan ramai. "Mengapa Ibu sangat menentang?"
Uchiha Mikoto mengubah arah pandang matanya ke jendela di sampingnya, kemudian berujar ringan, "karena wanita itu, jelas, tidak sesuai dengan apa yang Ibu harapkan."
"Karena dia tidak berasal dari keluarga terpandang seperti kita?"
Mikoto mengerjapkan mata, sedikit keheranan melihat putranya yang menunjukkan terlalu banyak kekeraskepalaan untuk sesuatu yang seharusnya sudah jelas bagi dirinya. "Karena dia tidak memiliki apa yang diperlukan untuk menjadi pendamping seorang Uchiha. Percayalah, dia tidak memiliki cinta yang cukup besar untuk bertahan di sisimu nantinya, kalau kau memang memaksa menikahinya juga. Kau hanya merasakan ketertarikan sesaat."
xox
Uchiha Sasuke memang keras kepala. Sifat itu entah memang selalu menurun dalam keluarganya atau karena didikan keras semata. Dengan kekeraskepalaan yang sebenarnya sangat menyebalkan, satu-satunya hal yang bisa meredakan kekeraskepalaan seorang Uchiha adalah perkataan ibu dan istrinya—dalam kasus hanya terjadi pada Uchiha Fugaku karena baru ayahnya lah yang menjadi bukti. Ah mungkin juga pada Uchiha Itachi, kakaknya, yang tidak pernah bisa menolak permintaan tunangannya. Sasuke tentu saja tidak bisa membantah perintah ibunya untuk menjauhi Karin, tidak peduli dengan alasan apa.
Hal itu mudah saja ternyata. Setelah percakapan dengan ibunya waktu itu, Sasuke semakin sadar bahwa dia tidak pernah punya perasaan khusus pada gadis yang setahun belakangan ini dekat dengannya. Terbukti dengan tidak adanya hambatan bagi dirinya untuk berhenti menghubungi atau berbicara pada gadis itu.
"Kau benar sudah putus dari Karin, Sasuke?"
Sebuah suara yang sangat Sasuke kenali memaksa pemuda itu untuk mengangkat kepala dari atas bangku kuliahnya pagi itu. Uchiha Sasuke mengerutkan kening. Dia ingat betul belum memberitahu teman dekatnya itu, Uzumaki Naruto. Jadi, dari mana dia itu tahu?
"Dari mana kau tahu?"
Pemuda bermata biru itu memilih duduk di sebelahnya, meletakkan tasnya asal di meja, kemudian mengangkat bahu acuh. "Kelihatan saja. Yah, walaupun tidak ada yang bisa menunjukkan perbedaan kau punya pacar atau tidak."
"Lalu?" Sebelah alis Sasuke terangkat.
Uzumaki Naruto memutar bola mata bosan. Dikeluarkannya sebuah buku tebal dari dalam tas dan sebuah bolpoin hitam. Bolpoin itu dimain-mainkan di antara jemarinya, sementara salah satu tangan menyangga kepala dan kaki kanan ditumpukan di atas lutut kaki kirinya. "Hanya menebak-nebak saja. Kau yang memutuskannya?"
Uchiha Sasuke mendengus. "Ibuku," jawabnya singkat, seolah jawabannya sudah sangat jelas.
Kali ini alis emas pemuda itu naik sekian senti dari tempatnya semula. "Bibi Mikoto? Tumben sekali? Kau yakin kau tidak sedang bercanda?"
Bukan tanpa alasan Naruto berkata demikian. Setahunya, Bibi Mikoto bukan seorang ibu yang terlalu ikut campur dalam menentukan pilihan anak-anaknya, termasuk urusan pasangan. Ibu dua anak itu lebih suka menyerahkan hak pembuatan keputusan itu, tetapi tetap memastikan dia tahu segala hal mengenai putra-putranya.
"Untuk apa aku bercanda, bodoh."
"Wah." Dia bersiul. "Mengapa kedengarannya lucu sekali?"
"Aku juga berpikir begitu." Sasuke menggedikkan bahu. "Mereka berdua bersikap aneh belakangan ini. Menyinggung-nyinggung soal komitmen, ikatan sakral, atau apalah. Aku sama sekali tidak mengerti."
"Kau sudah menikah ya?"
Kalau saja Uchiha Sasuke tidak tumbuh dengan menjadikan ayahnya sebagai panutan, pemuda itu pasti sudah akan tergelak tawa. Sayangnya, tidak. Sasuke tidak mewarisi atau mengadopsi sifat periang dan cerah ibunya. Wajahnya tetap tenang seperti biasa walaupun tidak bisa dia pungkiri, ada hal yang belum dia ceritakan pada temannya itu yang belakangan ini terus mengganggunya. Dan sedihnya, hal itu berhubungan dengan pernikahan. Konyol.
"Apa maksudmu?"
"Siapa tahu kau sudah menikah sembunyi-sembunyi dan siapa tahu kau sudah lupa," seloroh Naruto penuh canda.
Sasuke memicingkan mata, sama sekali tidak tergerak oleh humor garing temannya. "Bagaimana bisa seseorang melupakan fakta bahwa dirinya telah menikah?"
"Apa pun bisa terjadi di dunia ini, teme."
Uchiha Sasuke terdiam. Alasannya sama sekali bukan karena merenungkan ucapan Naruto yang baginya tidak masuk akal, bukan juga karena dia menyetujui perkataan itu. Namun, entah bagaimana obrolan mereka kembali mengingatkan Sasuke pada mimpi-mimpi yang terus terulang beberapa bulan belakangan ini.
"Belakangan ini aku sering memimpikan hal konyol."
"Seberapa sering?" Kali ini Naruto tidak terlalu terfokus pada percakapan mereka. Tangannya sibuk membuka buku tebal bertema auditing di depan hidungnya.
"Hampir setiap hari, kecuali kalau aku sudah sangat lelah dan tidur terlalu lelap."
Naruto mengerutkan kening. "Sudah berapa lama?"
Uchiha Sasuke menghitung-hitung dalam hati. "Hampir setahun belakangan ini," jawabnya sedikit ragu.
"Aneh sekali. Apa yang kau lihat?"
Kali ini Sasuke yang terdiam cukup lama hingga membuat Uzumaki Naruto melemparkan tatapan heran padanya. "Mimpi itu terasa sangat nyata. Selalu mimpi yang sama." Matanya bergerak-gerak gelisah dari meja ke buku milik Naruto ke meja lagi. "Ada seorang pendeta Shinto membaca doa-doa di depanku."
Uzumaki Naruto menaikkan alis. "Mungkin itu mimpi yang mengingatkanmu untuk lebih rajin berdoa ke kuil," humornya renyah. Ada gelak tawa dalam kata-katanya.
Sasuke memberengut, kemudian berdecak tak sabar. "Kalau saja pendeta itu tidak membaca doa-doa pernikahan, aku tidak akan pusing-pusing memikirkannya."
Naruto tergelak. "Kurasa itu mimpi untuk mengingatkanmu agar segera menikah."
Sasuke kembali berdecak gusar, merasa frustasi oleh mimpi konyolnya sendiri. "Jika berdasarkan mimpi itu, aku sudah menikah sekarang. Itu terjadi saat aku berumur sembilan atau sepuluh tahun!"
Naruto berhenti tertawa, berdehem keras karena hampir tersedak tawanya sendiri. "Jadi maksudmu, mimpi itu terasa sangat nyata sampai-sampai kau berpikir kau benar-benar menikah saat berusia sembilan atau sepuluh tahun?"
"Hn."
"Tenang saja. Aku sudah mengenalmu sejak umur lima dan aku tidak ingat pernah menghadiri upacara pernikahanmu di kuil Shinto." Naruto berusaha keras menahan gelak tawanya. "Apa kau juga memimpikan siapa gadis yang kau nikahi?"
"Ya, dengan bocah yang aku yakin umurnya tidak lebih dari lima tahun."
Sungguh, kali ini Naruto tergelak keras-keras. Temannya yang satu itu sungguh pandai melucu!
xox
Langkahnya terhenti di ujung tangga lebar melingkar mansion. Sasuke mengernyitkan kening. Dengan mata yang masih mengantuk akibat bangun terlalu pagi—menurut versi jam biologisnya tentu saja, pemuda itu melihat seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang keluarga. Seluruhnya. Ada ibu, ayahnya yang jarang sekali menampakkan diri pagi-pagi, dan seorang pria yang tak lain adalah kakaknya! Uchiha Itachi telah pulang!
Sasuke sudah hendak berlari menuruni tangga kalau saja dia tidak melihat seorang lagi yang duduk di antara ibu dan kakaknya. Wajah asing. Mungkin tamu? Atau teman kakaknya?
"Sudah bangun, Sasuke?" Ibunya tersenyum menggoda begitu melihat Sasuke melangkah hati menuruni tangga dengan kening yang mengerut erat. Dia tahu betul putranya yang satu itu paling susah untuk bangun pagi karena selalu tidur lewat tengah malam. Penampilannya pagi ini juga tidak lebih rapi dari pagi-pagi sebelumnya—hanya bermodal celana jins abu-abu selutut dan kaus tanpa lengan yang agak kusut. Mikoto benar-benar berharap bukan kaus itu yang Sasuke pakai tidur semalam.
Dengan rambut yang masih acak-acakan dan wajah lembab sehabis cuci muka asal-asalan, Sasuke menyeringai ke arah kakaknya, Uchiha Itachi, yang balas memberinya seringai. Walaupun wajah itu tidak banyak berekspresi, bagi orang yang sudah mengenal Sasuke dengan baik, wajah menyeringai seperti itu sudah cukup menandakan bahwa pemuda itu tengah senang.
"Bagaimana kabarmu, Adik?" Itachi bangkit dari sofa, kemudian maju untuk memeluk adik kesayangannya.
Sasuke menggedikkan bahu. "Seperti inilah," jawabnya santai setelah Itachi melepaskan pelukan kuatnya.
Itachi menyeringai semakin lebar. "Kau pasti sangat senang."
"Tentu saja," jawabnya. Dia belum sadar bahwa jawaban singkatnya itu tidak merujuk pada hal yang sama dengan pertanyaan bernada menggoda yang Itachi lontarkan.
"Cepat duduk. Bintang utama pagi ini bukan kau, Itachi."
Itachi kembali duduk di sebelah tamu mereka, sementara Sasuke memilih duduk di samping ayahnya yang tengah menyesap secangkir kopi hitam. Sasuke sedikit heran melihat ibunya yang tampak sumringah pagi ini. Jarang sekali keluarga mereka berkumpul lengkap seperti ini, kecuali jika keberadaan tamu itu tidak dihitung.
"Apa kau betah di Inggris, Sakura? Kau sehat-sehat saja 'kan selama di sana?"
"Aku baik-baik saja, Ibu. Inggris sangat indah. Aku betah di London." Tamu itu, yang ternyata seorang wanita—ah gadis, menjawab dengan suara lirih ragu.
Sasuke membatin dalam hati. Mengapa tamu keluarganya memanggil Mikoto dengan sebutan ibu? Setahu Sasuke, selama ini tidak ada siapa pun di luar keluarga mereka yang bisa memanggil Mikoto dengan panggilan anak kepada wanita yang melahirkannya.
"Mengapa baru sekarang pulang, Sakura?"
Keramahan Fugaku yang ditunjukkan dari nada suaranya ganti membuat Sasuke kaget. Pulang? Siapa gadis asing yang tiba-tiba bertamu pagi-pagi, tetapi disambut dengan sukacita seolah menyambut kepulangan anggota keluarga? Mungkinkah gadis itu adalah saudara yang Sasuke tidak pernah ketahui keberadaannya?
Uchiha Fugaku yang selama ini selalu mendekam di ruang kerjanya di pagi hari sampai menyempatkan diri duduk manis di sofa keluarga sambil menikmati secangkir kopi. Hal tersebut bukanlah hal yang lumrah, bahkan terhadap kedua putranya sekalipun.
"Maafkan aku, Ayah."
"Apa e-mail dari Ibu tidak kau baca?"
Gadis itu menunduk dan memandangi ujung-ujung sepatu kets ungunya yang sedikit kotor. "Aku sudah membacanya, tapi aku ingin menyelesaikan sekolah di sana sebelum pulang."
Sasuke hanya terdiam memandang gadis bernama Sakura itu. Umurnya pasti tidak lebih dari dua puluh tahun, atau mungkin kurang dari itu. Gadis itu tidak tampak terlalu pendek saat duduk. Dia malah beberapa senti lebih tinggi dari Mikoto yang tergolong tinggi untuk standar wanita Jepang. Pakaiannya terbilang sederhana untuk ukuran gadis yang tinggal lama di luar negeri. Hanya kaus krem berlengan panjang yang terlalu besar untuk tubuh rampingnya dan celana jins cokelat ketat. Rambutnya yang berwarna kemerahan terang dibiarkan tergerai melewati bahu. Matanya dibingkai kaca mata besar yang berkali-kali merosot ke ujung hidung saat gadis itu menggerakkan kepala tiba-tiba. Wajahnya tirus dengan tulang pipi yang tidak terlalu tinggi dan hidungnya kecil. Bibirnya segar, penuh, dan entah bagaimana bisa dengan mudah menyedot hampir seluruh perhatian Sasuke. Dia jadi membayangkan bagaimana rasanya mengecap bibir itu.
"Aku tahu kau pasti sudah tidak sabar untuk berduaan dengan Sakura, tapi bisakah kau menjaga pandanganmu? Kuharap kau masih ingat kalau kita masih mengadakan perkumpulan keluarga."
Suara penuh canda ibunya menyentak keluar Sasuke dari pikiran-pikirannya. Segera dia alihkan tatapan matanya, yang baru dia sadari terlalu intens, ke sekitar ruang keluarga. Otaknya tidak sempat mencerna baik-baik godaan ibunya. Tidak sabar?
Pandangan matanya menangkap tumpukan kardus besar dan satu koper besar yang diletakkan tak jauh dari sofa tempat mereka duduk bersama. "tu semua barang-barangmu?" Sasuke melirik gadis itu melalui ekor mata. Kalau matanya tidak berbohong, dia melihat wajah tirus itu diwarnai rona kemerahan samar di kedua pipi.
"Itu semua barang-barangmu selama di sana, Sakura?" Kali ini Itachi turut menyuarakan ketakjubannya melihat jumlah barang yang mungkin dimuat dalam kardus-kardus itu.
"Hanya koper itu saja yang berisi pakaian. Kardus-kardus itu berisi buku-bukuku."
Sasuke berusaha untuk tidak tersedak menahan tawa. Seorang gadis yang tinggal lama di negara modern seperti Inggris hanya mempunyai satu koper pakaian? Satu hal yang selalu melekat kuat dalam diri seorang wanita, menurut Sasuke, adalah jumlah pakaian yang terlalu banyak. Namun, gadis yang baru dia temui ini justru hanya memiliki satu koper. Memangnya berapa banyak pakaian yang bisa koper itu tampung?
"Kau yakin kau tidak menjarah buku-buku perpustakaan sekolahmu?" Sasuke tidak bisa menahan diri untuk tidak komentar, yang merupakan hal yang sangat jarang baginya. Dia bukanlah tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain.
Mendengar komentar itu, Sakura semakin menundukkan kepala. Rona merah yang mewarnai wajahnya lebih banyak tersembunyi.
"Mengapa tidak kau tinggal saja di sana saja, Sakura? Kau bisa mencari buku-buku yang sama persis di sini." Uchiha Fugaku angkat bicara seraya meletakkan cangkirnya di meja.
"Semuanya berisi catatan-catatan. Aku tidak bisa meninggalkan mereka di sana."
Pemuda itu menaikkan sepasang alis hitamnya. Ketika matanya tak sengaja menatap jam antik yang berdiri di sudut ruangan, pemuda itu mengernyit. "Sudah sesiang ini. Aku bisa terlambat kuliah."
"Tinggallah. Hari ini saja tidak perlu datang kuliah. Kau 'kan harus menemani Sakura."
Karena ini Fugaku yang mengatakannya, Sasuke tidak bisa melawan maupun menghilangkan keheranannya. Mengapa ayah, ibu, bahkan kakaknya yang baru datang itu bersikap aneh? Sasuke tidak lekas menjawab. Pemuda itu hanya diam ketika ayah dan ibunya bangkit dan hendak meninggalkan ruang keluarga itu.
Tiba-tiba Sakura ikut berdiri, kemudian menarik lengan Fugaku dan menyelipkan sebuah amplop berwarna hijau pucat yang tampak kusut ke genggaman pria itu. "Kalau Ayah dan Ibu tidak keberatan, aku ingin sekolah di sana."
Fugaku mengerutkan kening menatap amplop di tangannya. Dia keluarkan secarik kertas putih lusuh berukuran A4 dari dalamnya yang dilipat empat. "Kau sudah diterima di Universitas T melalui seleksi masuk?"
Gadis itu mengangguk mantap, diiringi tatapan tak percaya dari Sasuke dan siulan panjang Itachi. Universitas T merupakan universitas terbaik Jepang, tempat Sasuke sekarang menempuh pendidikan Manajemennya. Ujian masuknya melalui tes yang sangat sulit dan kabarnya menjadi yang tersulit di Jepang.
"Sekolah dokter? Kau yakin, Sakura?" Mikoto ikut menimpali setelah mendapat giliran membaca surat itu.
Sasuke meneguk ludah kaget, nyaris tersedak. Program dokter, katanya?
"Iya, Ibu. Aku yakin."
"Baiklah, itu keputusanmu. Ayah mendukung."
"Terima kasih, Ayah."
"Ah, hampir saja." Mikoto berujar. Dia melambaikan tangan memanggil seorang pelayan yang kebetulan berjalan melewati ruang keluarga. "Tolong bawa barang-barang Nona Sakura ke kamar Sasuke. Sekaligus tambah meja rias di kamar itu. Ganti sprei, karpet, dan gordennya juga."
Sasuke terbelalak. "Apa maksud Ibu?"
Mikoto menoleh dan melemparkan tatapan tak sabaran. "Seharusnya Ibu yang bertanya begitu. Sikapmu seperti orang asing saja pada Sakura." Perhatiannya kembali terarah pada Sakura. Dia tersenyum manis. "Istirahatlah setelah kamar kalian dibersihkan. Kalau kau tidak lelah, mintalah Sasuke atau Itachi mengantarmu berkeliling rumah." Mikoto memeluk Sakura sekilas, kemudian mengecup dahi Sakura sebelum berlalu bersama Fugaku.
Sasuke sudah hendak memanggil ibunya saat melihat wanita itu berlalu jika saja bahunya tidak ditahan oleh kakaknya. "Apa, Itachi?" tanya Sasuke tidak sabaran.
"Kau tidak ingat padanya?" tanya Itachi seraya menunjuk Sakura yang terlihat bingung melihat kedua bersaudara itu.
Sasuke mengerutkan kening. "Haruskah aku mengingat orang yang baru pertama kali kutemui hari ini?"
"Kau benar-benar serius?" Uchiha Itachi berdecak. "Astaga, Ibu dan Ayah sama sekali tidak memikirkan kemungkinan putranya ini akan lupa. Kemari, Sakura." Dia kembali memandang adiknya yang tampak kebingungan, tak melewatkan kilat pesona di matanya ketika melihat Sakura di posisi yang lebih dekat. "Ini konyol sekali, Adik." Pria itu menghela napas, setengah menyeringai geli. "Sepertinya kau sudah melupakan seseorang yang sangat penting. Kalau begitu, Sasuke, kuperkenalkan Haruno Sakura—ah bukan, Uchiha Sakura, istrimu."
Kali ini Sasuke benar-benar tidak mampu mempertahankan ketenangan baik dalam ekspresi wajah maupun suaranya.
"Hah?"
Ini pasti lelucon yang sama sekali tidak lucu.
xox