PRISON

DISCLAMER : MASASHI KISHIMOTO

STORY BY AZALEA RYUZAKI

PAIR: SASUHINA

RATED : M

WARNING: AU, OOC, ALUR CEPAT

DON'T LIKE DON'T READ

.

.

.

Lorong disetiap rumah sakit ternyata terasa sama. Mencekam.

Mungkin karena kematian terasa begitu kentara disetiap sudut hingga tak meyisakan satu ruangpun untuk bersuka cita. Mereka yang berkeliaran disekitar lorong terlihat tahu betul hal itu. Karena sepanjang yang kulihat, tidak ada seorang pengunjungpun yang berani tertawa. Tidak ada sapaan ramah seperti yang biasa kita lihat di kafe-kafe atau gelak tawa ditempat ini. Yang ada hanyalah kumpulan wajah suram hilir mudik kesana-kemari.

Dan aku salah satunya.

Kecemasan dan kekhawatiran menyerangku sepanjang jalan menelusuri tiap jejak lantai rumah sakit menuju sebuah kamar dimana ia dirawat. Bahuku masih terasa ngilu dan sakit, tapi bukan itu yang membuatku gemetar ketakutan.

Aku hanya belum siap dengan segala kemungkinan.

Langkahku semakin perlahan seiring makin dekatnya aku dengan ruangan yang kutuju.

Apa tindakanku sudah tepat?

Apa aku benar dengan datang kemari?

Mungkin Sasuke tidak mau melihat wajahku setelah apa yang terjadi. Bahkan mungkin seluruh Uchiha sudah muak hanya mendengar namaku disebut.

Atau mungkin dia mengharapkan kedatanganku?

Aku kembali menghela napas frustasi dan melihat sekeliling hanya untuk menemukan bahwa aku sendirian.

Shino dan Kiba memang tidak keberatan mengantarku sampai kemari, tapi mereka merasa bahwa saat ini kehadiran keduanya tidak lagi dibutuhkan. Pertemuan ini hanya akan melibatkan aku dan Sasuke, sementara mereka tidak termasuk didalamnya. Shino pikir jika mereka berkeras ikut campur, hanya akan memperburuk keadaan yang ujungnya malah menghasilkan masalah baru yang lebih pelik.

Lagipula ia yakin: masalah yang sederhana tidak harus diselesaikan dengan cara rumit, dan ia percaya aku bisa.

Beberapa saat lalu aku juga meyakini hal itu, tapi sekarang aku sedikit ragu dan…takut.

Aku takut kehadiranku bukan sesuatu yang diharapkan.

Aku takut jika justru kehadiranku yang memperparah keadaan.

"Hinata?"

Suara yang menyapaku barusan cukup membuatku tersentak. Aku mengenal suara ini.

"Itachi-nii?"

Lelaki itu tersenyum lembut menanggapi sapaanku. Wajahnya masih terlihat tampan meskipun guratan disekitar atas hidungnya terlihat makin kentara. Lebih dari itu, kehadirannya menenangkanku.

Dia tidak terlihat marah.

"Menjenguk Sasuke?"

"A-aku…umm…ba-bagaimana keadaannya?" tanyaku pelan. Dengan sengaja mengalihkan pembicaraan. Anehnya, senyum Itachi malah makin terlihat lebih lebar mendengar pertanyaanku. Bahkan ia terkekeh geli tanpa rasa bersalah beberapa saat kemudian.

"Moodnya makin jelek setelah kau tusuk."

"Ma-maaf."

"Sudahlah, aku tidak punya kapasitas untuk menerima permintaan maafmu. Jadi berhenti mengucapkan kata itu," katanya sambil mengusap puncak kepalaku pelan. Kebiasaan sejak kami kecil yang selalu kusukai. Sentuhan tangannya membuatku merasa nyaman dan…terlindungi. "Temui dia. Dan selesaikan apa yang harus diselesaikan."

Senyuman yang lebih ramah terbentuk diwajahnya. Ia kembali mengusap kepalaku saat aku mengangguk dengan patuh.

"Terimakasih," bisikku pada lelaki yang usianya terpaut cukup jauh didepanku. "Nii-san."

Sekarang aku menyadari, kedatanganku bukan sebuah kesalahan.

.

.

"Kau yakin dia akan baik-baik saja?" tanya Kiba saat mereka keluar dari lobi rumah sakit. Shino yang berjalan disampingnya hanya mengangguk kaku.

"Aku sedikit khawatir," aku Kiba. Udara segar yang menyapa langkah mereka dalam perjalanan ke area parkir tidak mampu menghilangkan kecemasannya. "Aku merasa bersalah meninggalkannya sendirian."

"Dia tidak sendirian," sahut Shino tenang. "Dan dia aman."

"Ya, aku tahu. Tapi…apa kau baik-baik saja."

"Tentu. Saat ini sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dan apa yang lebih baik dari itu?"

"Kau tahu bukan itu yang kumaksud."

"Aku tahu. Tapi itu tidak lagi penting."

Kiba kembali menghela napas saat mereka telah memasuki area parkir. Dilihatnya Shino bergegas menuju mobil mereka yang terparkir disudut paling pojok. Deru mesin yang terdengar halus mengisi keheningan diantara mereka. Dan beberapa saat kemudian, tak ada obrolan yang terdengar. Shino yang dengan terampil menyetir mobilnya keluar menuju jalanan yang telah padat, lebih senang mengunci mulutnya dan berkonsentrasi pada jalanan. Sementara Kiba memilih tenggelam dalam pemikirannya.

Semua sudah berakhir tanpa ia tahu kapan semua ini dimulai.

Atau mungkin ia tahu tapi tidak menyadarinya.

Apapun itu, ia merasa bersalah.

Mereka bertiga terhubung karena sebuah toleransi yang rapuh. Dan kesalahan yang mereka buat adalah memperkuat kerapuhan itu. Semua berawal dari rasa diterima yang sangat jarang mereka terima. Kiba yang merasa terlalu nyaman berada dalam lingkup keluarganya menolak berbaur dengan individu yang lain. Shino yang tidak pandai bergaul. Dan Hinata yang pemalu tapi memiliki keinginan yang kuat untuk menjalin pertemanan.

Tiga insan dengan karakter saling bertolak belakang yang dihubungkan dengan cinta.

Ya, Kiba sangat menyadari hal itu. Ia tahu Shino jatuh cinta pada Hinata, gadis kecil yang kini berubah menjadi wanita cantik yang menawan. Ia tahu Shino akan melakukan apapun demi Hinata meskipun nyawa taruhannya. Dan ia tahu, Shino sama sekali tidak keberatan dengan fakta bahwa Hinata sama sekali tidak menyadari perasaannya.

Ia tahu semua itu.

Hanya saja Kiba tidak tahu cara bijak menyikapinya selain diam dan mengikuti arus. Ia takut jika bergerak terlalu jauh, persahabatan mereka yang terjalin dengan susah payah akan hancur. Ia takut kehilangan sahabatnya.

Dan entah sejak kapan, iapun turut ikut andil dalam arus yang diciptakan Shino. Entah sejak kapan mereka saling terikat untuk melindungi Hinata dengan cara apapun hingga Kiba merasa perasaan yang dimiliki Shino juga dimilikinya.

Dan seperti Shino, ia tidak keberatan.

Mengingat hal itu membuat Kiba tersenyum lagi, mereka bahkan belum mengucapkan kalimat perpisahan dengan benar. Yah, mungkin nanti Kiba akan datang mengunjungi Hinata, bukan karena harus, tapi karena dia memang menginginkannya. Ia takut jika tidak melakukan itu, mereka harus kembali menunggu selama tiga tahun hanya untuk bertemu dan melepas rindu.

Kali ini Kiba terkekeh pelan, disampingnya Shino tampak melirik sekilas tapi kemudian memutuskan untuk tidak peduli. Dan melihat sikap temannya itu justru membuat tawa Kiba makin kencang.

'Ah, kita sudah melewati jalanan terjal hanya untuk membuktikan kau salah Shino: tidak ada yang tidak penting dari sebuah perasaan.' Pikir Kiba miris. Tapi ia pikir akan menyimpan pemikirannya itu untuk sementara. Ia masih ingin menikmati dirinya yang pintar ini sedikit lebih lama.

"Hei Shino, ayo kita kepantai."

.

.

.

Ruangan yang kumasuki sedikit lebih dingin dari tempat ku dirawat kemarin. Sekilas, ruangan ini tidak berbeda jauh dari kamar lain yang ada di rumah sakit pada umumnya: cat dan perabotan yang didominasi warna putih, bau alkohol yang menyengat dan bau asing lain yang bercampur di udara. Yang membedakan, ruangan ini sedikit lebih luas sehingga menjadikannya lebih nyaman.

Dan di ranjang kecil itulah, sosok yang sudah sangat kukenal terbaring dengan mata terpejam. Lengannya dihiasi selang infus, kulitnya terlihat lebih pucat dari biasanya, dan meskipun tertutup pakaian, aku bisa melihat lilitan perban ditubuhnya.

Saat ku pikir aku telah datang diwaktu yang salah dan berniat untuk kembali lagi lain kali. Mata yang tajam itu perlahan membuka. Warna kelam yang biasanya mengintimidasi sekarang terlihat lemah. Saat itulah aku menyadari betapa pucatnya lelaki ini.

Dan ia tersenyum padaku.

"A-apa aku membangunkanmu?" tanyaku gugup. Tapi tidak seperti dugaanku, Sasuke masih tetap memajang senyum lemah dan mengisyaratkanku untuk mendekat.

"Maafkan aku," bisik ku pelan seraya memperhatikan wajah tirusnya yang terlihat sangat pucat. "Maafkan aku."

"Bagaimana keadaanmu?"

Aku sedikit mengernyit saat suara yang keluar dari bibir lelaki itu terdengar lebih parau dari biasanya dan aku harus menggigit bibirku kuat-kuat untuk bisa menenangkan diri. Rasa bersalah yang sejak tadi ku tekan kini terasa menyesakkan.

"A-aku baik. Sebenarnya…" Aku harus menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk mencegahku terisak di depan pria ini. Sekaligus menenangkan deru jantungku yang berpacu dua kali lipat dari biasanya sebelum melanjutkan ucapanku. "A-aku sebenarnya ingin mengembalikan ini."

Sasuke tampak tidak terlalu tertarik pada benda yang ku sodorkan kearahnya dan malah terus menatapku dengan tatapan bosan.

"Shino mengambilnya dari meja kerjamu dan memutuskan memberitahuku," lanjutku lagi. Penjelasan yang rasanya tidak perlu, mengingat sikap acuh Sasuke. Tapi entah kenapa, aku merasa harus menjelaskannya. Dan lagi, dengan terus berbicara aku bisa melepas rasa gugupku sedikit-semi sedikit.

"Dia mengambil apa yang aku ingin ia ambil," sahut Sasuke masih dengan ekspresi bosan dan tidak tertarik. Sementara aku harus mengerahkan seluruh kesabaranku untuk tidak meledak di depan mukanya.

"Kau…sengaja!" tuduhku tak percaya yang dibalas seringaian menyebalkan dan wajah tanpa dosa.

"Hanya saat aku yakin kau akan menerimanya."

Untuk beberapa saat kami kembali terdiam sampai akhirnya aku memutuskan untuk kembali membuka suara.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kau sangat menginginkan…aku? Ma-maksudku, aku bukan jenis perempuan yang diinginkan siapapun. Riwayat hidupku tidak jelas, aku seorang yatim piatu, dan aku hanya pembantu dirumahmu. Aku bukan siapa-siapa."

"Benar. Kau bukan siapa-siapa," sahut Sasuke tenang. Tapi setiap kata yang telontar, diucapkan dengan bersungguh-sungguh. "Dan aku menginginkanmu."

Dan setelahnya, aku tidak bisa menahan diriku untuk menangis. Rasanya terlalu menyenangkan hingga terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama hidup dengan predikat no body, kini ada seseorang yang mengatakan dengan terang-terangan bahkan ia menginginkanku karena hal itu.

Dan tangisanku makin kencang saat Sasuke merengkuh tubuhku kedalam pelukannya.

"Jangan menangis."

Tapi aku tidak bisa menghentikan tangisanku dan dia tahu itu. Kami terdiam selama beberapa saat sampai aku sedikit lebih tenang.

"Menikahlah denganku," ucap Sasuke tepat di telingaku. "Dan kau akan melihat sebesar apa aku menginginkanmu."

Dan aku kembali menangis. Kali ini karena bahagia.

.

.

.

Epilogue

.

.

Suara tangisan bayi memecah keheningan sekaligus meruntuhkan ketegangan di dalam rumah besar itu. Meskipun lemah dan sedikit teredam oleh pintu yang tertutup, namun jeritan kecil itu masih dapat terdengar ke tempat Sasuke dan para Uchiha serta tamu undangan yang menunggu diruang tamu.

Sasuke, yang beberapa saat lalu sempat diliputi perasaan lega, kini mulai sedikit khawatir. Pasalnya, suara tangisan yang lantang itu kini berubah menjadi jeritan yang mulai mengganggu indra pendengarannya.

Apa bayi itu baik-baik saja?

Diliputi perasaan cemas, ia berniat memeriksa apa yang sebenarnya membuat bayi itu merasa tidak nyaman namun segera berubah pikiran saat mengingat ada hal penting yang harus ia pastikan.

Hinata.

Apa dia baik-baik saja?

Kenapa dokter yang membantu persalinannya tak juga menemui Sasuke?!

Tanpa banyak berpikir lagi, ia segera memasuki kamar yang beberapa saat lalu dipakai untuk persalinan dan menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah seusai melahirkan. Dan untuk pertama kalinya setelah beberapa jam yang menegangkan, Sasuke akhirnya bisa bernapas lega. Hinata memang terlihat lemah dengan wajah yang telihat sangat kelelahan, tapi ia baik-baik saja, begitu pula dengan bayi mereka jika mendengar jeritan yang memekakkan telinga itu. Bayi yang senang menjerit berarti paru-parunya kuat kan?

Dan kecemasannya yang berlebihan beberapa saat lalu yang kini dirasa konyol sebenarnya cukup beralasan.

Mereka berdua sedang berkunjung kerumah ayahnya sekaligus mencari rumah sakit yang cocok saat melahirkan nanti. Kelahiran itu sendiri diperkirakan akan terjadi dua minggu lagi. Sehingga mereka tidak terlalu terburu-buru saat memilih rumah sakit, mengemas pakaian ke dalam tas, kendaraan mana yang akan dipakai, dan persiapan kecil lainnya.

Semuanya sudah direncanakan.

Sasuke bahkan tidak terlalu khawatir saat keluarganya mengadakan pesta barbeque dihalaman belakang rumah dengan mengundang teman Hinata: Shino dan Kiba serta beberapa kenalan lain. Tapi tetap saja Sasuke masih tidak terlalu suka dengan kedua cecunguk itu.

Pesta itu semakin meriah dengan adanya kembang api yang dibawa Itachi ditambah kepulangan Sai yang tiba-tiba tanpa pemberitahuan makin menyemarakan suasana.

Mereka bersenang-senang dan semuanya masih dalam kendali penuh sampai Hinata merasakan sakit dibagian perutnya.

Awalnya Sasuke tidak begitu khawatir. Ia pikir Hinata hanya kelelahan setelah kemarin menempuh perjalanan jauh dan malam ini dipaksa mengikuti pesta hingga larut malam.

Ia baru benar-benar panik saat melihat darah yang merembes dari balik pakaian yang dikenakan Hinata.

Dan seluruh rencananya kacau dengan seketika.

Mereka tidak bisa mengantar Hinata kemanapun karena rumah sakit incaran sedang penuh malam itu dan Sasuke tidak mau memasukan Hinata ke dalam rumah sakit yang belum ia ketahui kualitasnya.

Mereka harus terlibat perdebatan sengit tentang hal itu hingga beberapa menit sampai akhirnya Sai memanggil seorang bidan kerumah yang ternyata laki-laki. Alhasil, Sasuke kalap dan nyaris baku hantam dengan si dokter.

Bayangkan ricuhnya keadaan setelah itu.

Keadaan baru bisa benar-benar dibilang tenang setelah Itachi memanggil kenalan dari teman wanitanya: Yamanaka Ino. penampilannya yang terlalu modis dengan rambut pirang panjang yang diikat rapi sedikit membuat Sasuke ragu. Tapi pilihan apalagi yang dia punya selain menerima?

Dan sekarang disanalah ia, wanitanya, tersenyum kepadanya dengan raut wajah lelah tapi tetap terlihat cantik. Melihat senyuman itu, Sasuke menyadari: kecemasannya tidak sia-sia.

"kau baik-baik saja?" tanya Sasuke sembari menghampiri ranjang tempat Hinata masih terbaring. dikecupnya dahi wanita itu dengan sayang. rambutnya terasa lembab karena keringat saat telapak tangan Sasuke membelainya.

"Aku baik-baik saja, Sasuke." bisik Hinata pelan. Tubuhnya yang penuh keringat baru saja dibersihkan dan pakaiannya yang bersimbah darah telah diganti dengan yang baru. Hal itu sedikit banyak membuat Hinata merasa lebih nyaman.

"Kenapa kau tidak membiarkanku menemanimu?" tanya lelaki itu lagi setelah mereka terdiam beberapa saat. Ada nada kesal dan tidak terima yang terdengar dalam suara pria itu. Hinata yang menyadarinya hanya bisa menahan tawa pada pria yang dulu dikenalnya sebagai pria arogan brengsek kini tengah merajuk hanya karena hal sepele seperti itu.

"Kau menakuti dokternya." jawab Hinata berniat menenangkan lelaki itu, tapi bukannya tenang, suaminya justru makin terlihat ngambek.

"Yang benar saja," ucap Sasuke dengan dengusan tersinggung yang membuat senyum Hinata makin lebar. "Aku hanya bertanya apa ia tahu apa yang akan ia lakukan."

"Dengan menghardiknya?"

"Aku sedang panik." sahut Sasuke sambil mengedikkan bahu menolak dipersalahkan. "Orang-orang selalu bertingkah irasional saat panik."

"Benar, tapi bukan berarti kau boleh mencengkram leher dokter itu seperti tadi." sergah Hinata lagi yang dibalas Sasuke dengan mengangkat bahu cuek dan kembali mengusap kepala Hinata dengan lembut. Dan saat Sasuke seperti itu, Hinata merasa harus mengerahkan seluruh kesabarannya jika menghadapi lelaki ini. Tapi berhubung tenaganya masih belum pulih, ia memutuskan menyimpan tenaganya dan menikmati perlakuan sang suami yang biasanya minim ekspresi itu. Mereka terdiam beberapa saat dalam suasana damai itu sampai seseorang membuka pintu dan mengganggu kebersamaan mereka.

"Putri anda," kata salah seorang suster yang ikut serta dengan dokter Yamanaka itu, sambil tersenyum lebar sembari menyerahkan buntalan kain berwarna pink kedalam pelukan Sasuke yang masih terpaku.

Bayi dalam pelukannya tengah tertidur lelap tanpa peduli debaran jantung Sasuke yang berdebar kencang. Disamping tempat tidur, Hinata tersenyum melihat suaminya yang tampak terpesona pada putri mereka.

"Dia cantik," bisik Sasuke takjub saat melihat bayi dengan pipi bulat kemerahan yang masih terlelap tanpa terganggu saat tubuh mungilnya dipeluk tubuh kekar ayahnya.

"Apa anda sudah menyiapkan nama?"

"Akari," jawab Sasuke tanpa melepas tatapannya pada bayi perempuan itu. "Namanya Uchiha Akari."

"Nama yang sangat bagus, tuan. Lalu nama apa yang akan anda berikan pada putra anda?"

"Putra?" tanyanya sedikit tidak yakin. mereka memang tahu Hinata akan melahirkan anak kembar. Tapi Sasuke tidak pernah mengira jenis kelaminnya akan berbeda. Dokter yang biasa memeriksa Hinata kesulitan menentukan jenis kelamin anaknya karena posisi keduanya yang terlalu rapat dengan bobot kecil yang sedikit mengkhawatirkan. inilah alasan mengapa Sasuke begitu cemas akan proses persalinan ini.

Kali ini suster yang luput dari perhatian Sasuke maju selangkah dan menyerahkan sesuatu yang dibalut dengan kain biru pada Hinata. Berbeda dengan saudaranya, si kecil itu sedikit menggeliat mencari posisi nyaman dalam pelukan ibunya. Bibir mungilnya bergerak lucu dengan mata yang terkatup rapat membentuk garis lurus.

"Dia lucu sekali."

"Bagaimana kalau kita panggil Akira?" usul Sasuke yang langsung disetujui Hinata.

"Itu nama yang sangat bagus." gumam Hinata yang dibalas senyuman puas Sasuke. lelaki itu perlahan-lahan duduk disamping istrinya, saling merapat memperhatikan putra dan putri mereka yang baru lahir.

Dan akhirnya mereka kembali menikmati kebersamaan satu dengan yang lainnya dalam keheningan setelah membiarkan kedua suster itu mohon undur diri. Hinata sedikit melupakan rasa letihnya saat merasakan kehangatan dari makhluk kecil yang berada dalam pelukannya.

Putranya.

Sementara Sasuke, ia hanya senang menikmati keadaan tenang ini. Setelah kehebohan dan ketegangan yang ia alami beberapa saat lalu, rasanya sangat wajar saat ia ingin terus seperti ini. Melupakan sepenuhnya keberadaan orang-orang yang berdesakan diruang tamu yang masih setia menunggu diijinkan melihat keturunan Uchiha yang baru lahir.

Tapi sasuke tidak bisa disalahkan, kan? karena kini ia telah menjadi seorang ayah.

.

.

"Rumah yang sangat ramai," komentar Kiba yang tertangkap jelas oleh telinga Sai. Saat ini waktu sudah melewati tengah malam tapi aktifitas penghuni di dalam kediaman Uchiha jauh dari kata sepi. Ia bisa melihat Shino yang mencoba berbaur dengan mengajak nenek Chiyo mengobrol. Disudut ruangan dekat perapian, lelaki yang dikenalnya sebagai kakak tertua Sasuke tengah terlibat percakapan serius dengan gadis muda berambut pirang yang Kiba lihat membantu persalinan Hinata tadi. Dan disekitar meja ramai dengan para kenalan yang mendiskusikan sesuatu yang kelihatannya tidak begitu penting. Hal itu mau tidak mau menghela napasnya frustasi. "Dimana Aku akan tidur?"

"Kau bisa tidur diranjangku, Inuzuka," kata Sai dengan murah hati. Tapi di telinga Kiba yang sensitif, tawaran itu terlalu ambigu untuk bisa diterima dengan senang hati. Apalagi senyum ramahnya itu, mencurigakan.

"Bersamaku," tambah Sai dengan polosnya.

Dan Kiba, ia merasa harga dirinya baru saja tercemar.

Dimasa depan, ia akan berhati-hati agar tidak bertemu dengan saudara Sasuke ini. Kenapa para Uchiha terlahir sebagai makhluk yang berbahaya ya?

Disisi lain, Sai hanya sedang senang mempraktekan bulir-bulir petunjuk yang terdapat dalam buku 'Bergaul dengan menyenangkan" tanpa sempat menilik ke-multi-tafsiran ucapannya barusan.

.

.

author notes:

hai hai minna, akhirnya chapter ini update juga (dengan kurang ajar mengubah genre-nya di menit terakhir. haha.)

by the way, lea ingin mengucapkan terimakasih banyak pada semua yang telah mendukung lea selama ini. secara pribadi, lea menyadari fanfic ini terlalu banyak kekurangan, apalagi endingnya maksa banget. dan lagi, lea sempet berpikir cerita yang lea tulis tidak sebagus buatan author SH lain sehingga lea ngerasa: mau update cepet atau lelet toh gak akan ada yang merhatiin. fic ini di discontinue juga gak akan ada yang kehilangan. lagian fic abal gini siapa yang mau baca dan nungguin?

dan lea bener-bener terharu saat melihat banyaknya dukungan yang lea terima, baik dikotak review, pm, member yang fav/foll, silder yang selalu setia nunggu fic ini update (lewat komen-komen menyenangkan di fb).

lea bener-bener berterimakasih.

terimakasih sudah mendukung lea selama ini.

terimakasih sudah mau membaca, me-review, memberi saran dan memberi banyak masukan untuk fanfic ini.

terimakasih, minna.

special thanks for:

SweetMafia95, azzahra, , Nivellia Neil, Eigar alinafiah, aindri961, Kin Hyuuchi, .777, Amu B, hinatauchiha69, noverius2012, himenaina, Mint River, lulukminamcullen, Hinataholic, hakeriouss, kirigaya chika, n, guest, SMAN1RHLOVMHPxUztad, hana37, Rini Andriani Uchiga, virda, Hinata Hikari, Binca Hibikii, ai0l0, AgnesiAlex, Anna, uchihapachira,

terimakasih sudah membaca ^^

.

.

.

side story (just for fun)

hinata 5 tahun

sasuke 8 tahun

itachi 11 tahun

.

.

Uchiha Itachi, sulung dari tiga bersaudara, merasa sangat bosan di siang yang cerah seperti ini. Ya, dia bosan. Sangat bosan.

Dia bosan belajar.

Dia bosan ngotak-atik komputer.

Dia bosan bermain dengan adiknya.

Dia bosan melihat wajah ayahnya.

Dia bosan jadi kakak.

Dan dia bosan terus bosan seperti ini!

Intinya: Itachi sekarang berada dalam level hidup segan, mati tak mau.

What the hell!

Tapi ngomong-ngomong…dimana adik bungsunya yang imut dan lucu itu ya? Jam segini biasanya Sasuke akan mampir ke kamarnya dan minta dihajar.

Bukan salah Itachi!

Adiknya itu yang memang kurang ajar. Kakak baik hati seperti dirinya di tendang?! Dimana sopan-santunnya pada yang lebih tua?!

Ah, Itachi ingat dia masih punya seekor adik lagi. Walaupun tidak semenyenangkan si bungsu buat dijahili, tapi Sai enak diajak huru-hara. Sayangnya, ia tidak menemukan sang adik meskipun sudah mencari ke setiap sudut rumah.

Ish! Kalau begini terus Itachi bisa mati kebosanan.

Saat masih sibuk dengan pikirannya, sudut mata Itachi menangkap sekilas bayangan kecil yang tengah melintasi taman belakang.

Didukung oleh rasa penasaran yang tinggi dan waktu luang yang cukup banyak, Itachi memutuskan mengikuti bayangan itu. Mengendap seperti maling disiang bolong, ia dengan hati-hati menelusuri jalan setapak menyusul sang bayangan.

Dan setelah jarak mereka cukup dekat, Itachi merasa ia mulai mengenali sosok yang sejak tadi ia buntuti.

Rambut hitam mencuat, memakai kaos biru dan celana putih…itu adiknya, kan? Dan bocah sialan itu sedang menggandeng tangan seorang gadis mungil berambut pendek yang Itachi duga adalah Hinata, gadis kecil yang dirawat oleh sang pengurus rumah.

Brengsek! Si chibi sudah mulai kencan.

Itachi saja sebagai anak tertua belum pernah pacaran apalagi pegangan tangan tapi Sasuke sudah berani melangkahinya? Benar-benar sialan!

Dengan pikiran dongkol, Itachi mulai merangsek maju. Makin mendekat. Meskipun kesal, tapi ia penasaran juga gimana kencannya anak-anak. Lumayan buat tambahan ilmu.

Tapi setelah beberapa saat, tak ada hal special yang dilakukan kedua bocah yang masih saling bergandengan tangan itu. Atau dalam hal ini Itachi curiga: Sasuke yang asyik menyeret si gadis cilik mengelilingi taman, sehingga tak ada adegan romantis yang tercipta. Dan mereka hanya terus berputar-putar sampai Itachi yang setia membuntuti dari belakang merasa capek sendiri.

Baru kemudian, setelah rasanya hampir tiba waktu makan. Itachi melihat kedua bocah itu terlibat percakapan serius. Dan percakapan itu pula yang kembali memunculkan minat Itachi untuk mendekat. Jarak tempatnya bersembunyi saat ini memang menyulitkan dirinya menguping apapun yang tengah diobrolkan kedua makhluk imut itu.

Sayangnya, taman yang didominasi bunga-bunga hias yang terawat baik ini tidak akan bisa menyembunyikan sosok bongsor Itachi jika ia memaksa bergerak lebih dekat. Hasilnya, Itachi terjebak dibalik pot besar yang jaraknya 15 kaki dari objek yang sedari tadi ia intai.

15 kaki jelas bukan jarak ideal. Buktinya sejak tadi telinga Itachi tidak bisa menangkap satu kalimatpun dari percakapan yang terjadi didepannya.

Apa adiknya sedang merayu? Mengingat ini kencan, rayuan atau gombalan bukan sesuatu yang tabu. Tapi…Sasuke? Ngerayu?

Hmm…mengingat siapa adiknya, rasanya tidak mungkin ia bisa. Muka datar gitu.

Atau mungkin mereka cuma sedang ngobrol santai. Walaupun kemungkinannya kecil sih, apalagi pasangan kencannya Hinata. sepengetahuan Itachi, gadis itu selalu ketakutan jika ditinggal sendiri dengan Sasuke.

Jadi…apa lagi ya yang biasanya diobrolkan anak-anak saat kencan?

Saat tengah disibukkan dengan berbagai asumsi, tiba-tiba saja Itachi melihat Sasuke membenturkan bibirnya ke bibir hinata.

Waduh, si chibi udah berani maen sekuhara!

KAMERA! MANA KAMERA?!

"Kenapa nangis? Diam bodoh!"

Mendengar bentakan khas adiknya, Itachi langsung memasang telinga dengan awas. Hanya untuk jaga-jaga. Melupakan kepanikan sesaatnya barusan.

Bukannya berhenti terisak, tangis Hinata justru makin kencang. Saat Sasuke sudah tidak tahu harus berbuat apalagi, Itachi memutuskan muncul dihadapan dua sejoli itu dan langsung merengkuh Hinata kedalam pelukannya. Tidak tega melihat dari jauh terus.

"Kenapa Hinata-chan? Sasuke mengganggumu lagi?" tanya Itachi dengan nada menghibur. Lalu terdiam saat dilihatnya bibir Hinata yang merah dan sedikit luka.

Errr…anak-anak kalau udah nafsu emang nyeremin ya. Atau hanya berlaku pada adiknya? Hmm…rasanya memang adiknya yang bermasalah. Buktinya Sai tidak pernah terlibat aksi pelecehan sekecil apapun. Sementara Sasuke…jangan ditanya berapa kali Itachi harus ikutan kabur karena Pheromone yang dimiliki adiknya terlalu kuat.

Maksudnya, Sasuke yang di kejar batita maniak tapi Itachi yang kena?

Gak adil dong.

Itachi mintanya perempuan dewasa yang enak buat dipegang-pegang, bukan gadis cilik yang masih pakai popok.

Dan kini, dalam pelukannya ada seorang gadis kecil yang harus diselamatkan. Gadis kecil yang baru beberapa bulan lalu dikenalkan secara resmi oleh nenek Chiyo. Padahal kalau boleh jujur, Hinata bukan gadis tercantik yang pernah dilihatnya. Tapi kenapa adik bungsunya terpesona begitu saja ya.

Dan itu masalah. Benar-benar masalah. Karena kalau dianalogikan, Sasuke itu singa imut sementara Hinata kelinci manis. Saat mereka berdekatan, mudah ditebak siapa yang bakal mati duluan. Buktinya baru ditinggal beberapa menit, bibir Hinata sudah bengkak begini. Mana lecet-lecet lagi.

Anak orang diapain?!

Dengan putus asa ia berbalik menghadap si bungsu yang akhir-akhir ini kelakuannya memang sulit ditebak. Bengal minta ampun. Bahkan setelah melakukan kesalahanpun wajah adiknya tetap saja datar. Itachi sudah tidak sanggup mendidik si chibi ini lagi. Sasuke terlalu…gimana ngomongnya ya? Sarap?

Apapun itu, pokoknya dia menyerah jadi kakak!

Sembari menghela napas lelah, Itachi menatap adiknya dengan prihatin yang justru dibalas dengan delikan tajam. Lihat? Belum apa-apa Sasuke sudah galak duluan.

"Sasuke."

"apa?"

"Merkosa orang juga ada adabnya."

Dan dalam beberapa detik yang menyenangkan, Itachi melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana wajah datar sang adik berubah merah menyala dengan drastis. Mirip kepiting rebus.

Wuhuuu…

Sasuke? Malu-malu?! Apa yang lebih baik dari itu?

"BERISIK!"

Aih…ternyata adik bungsunya masih tetap manis. Itachi merasa bersemangat lagi jadi kakak. Terbayang sudah dipelupuk mata 1001 cara menjahili sang adik.

Hidup ini indah ya.