Hai, terima kasih telah me-review JMA chapter 10: Bigfan, Lily Purple Lily, Rise Star, Alf Velyta, Devia Purwanti, Putri Greengrass, Akane Fukuyama, Atsilla, mikhaela malfoy, rest, DarkBlueSong, Hyuuga Cherry, yanchan, deejareed, Yuiki Nagi-chan, Shine, WatchFang, Ameliasinta5, Ferra, driccha, Yuina Noe-chan, SeiraAiren, tinaweasley, Reverie Light, megu takuma, tukang nguntit, rawit, Bluish3107, kira, Guest, VanVin, Uvii Radclieffe, Molly Efrisari, herianiyulia, Rin, tinkebot.

Lily Purple Lily: Ku memang punya rencana bikin tentang mereka lagi, tp nti, setelah KNG dan fanfic lain yang tertunda : )

Bigfan: Charlie Weasley nanti kucoba bikin, tp nanti, setelah KNG dan fanfic lain : )

Rest: Nah, jangan bilang tidak tahu harus me-review apa. Tulis update cepat atau next chapter atau fic bagus/fic aneh saja ku sudah senang. Setidaknya kan aku tahu, kau membaca apa yang sudah kutulis : )

Rise Star: Bukan. Thomas tu nama depan. Namanya Thomas Fluge, adik ayah Selina. Memang tidak ada di penjelasan awal, tapi aku menyebutkan tentang sepupu Selina, Amber, di KNG 8 chapter 6, coba dibaca lagi : )

tukang nguntit: Ya, nanti kuusahakan Scorose-nya kurang dari lima chapter, tapi aku tidak janji, karena aku sedang memasukkan genre baru : )


Selamat membaca KNG 9 chapter 1!

Disclaimer: J. K. Rowling

Image Rose Weasley: Tidak diketahui (berasal dari Harry James Potter Facebook)

Prequel: KNG 1,2,3,4,5,6,7,8 dan sequel-sequelnya.

KISAH NEXT GENERATION 9: AKU ADALAH HANTU

Chapter 1

PERHATIAN!

Catatan Harian ini adalah milik:

Nama: Rose Ginevra Weasley (telah direvisi)

Tempat Tanggal Lahir: London, 5 Mei 2006 (telah direvisi)

Jenis Kelamin: Perempuan

Status Darah: Darah-campuran (telah direvisi)

Warna rambut: Merah

Warna mata: Biru (telah direvisi)

Warna kulit: Terang, berbintik hitam.

Tinggi: 1 m, 70 c (telah direvisi)

Berat: 48 kg (telah direvisi)

Alamat: Malfoy Manor, Wiltshire (alamat sekarang); Godric's Hallow 146, West Country (alamat sebenarnya. Telah direvisi)

Tongkat sihir: 25 centi, kayu Holly dan bulu ekor unicorn (tidak digunakan. Telah direvisi)

Anggota Keluarga: Ronald dan Hermione (orangtua. Telah direvisi), Hugo (adik. Telah direvisi)

Catatan: Telah direvisi adalah catatan bahwa aku baru menambahkan keterangan itu kemudian, setelah aku bisa mengingat tentang kehidupan sebelum kematian-ku.

SANGAT PENTING, HARAP DIPERHATIKAN: Catatan harian ini tidak nyata, karena aku tidak menulisnya, aku tidak bisa memegang pena-bulu. Bagaimana akhirnya aku berhasil menulis catatan harian ini, aku tidak akan menjelaskannya di sini, karena itu adalah rahasia dunia alam roh yang tetap akan menjadi misteri selamanya.


Tanggal: ?

Waktu: 11:12:23 (entah siang atau malam, aku tidak tahu)

Lokasi: ?

Dear Diary, (ya, aku harus memulainya dengan itu, karena ini adalah catatan harian)

Entah bagaimana mulanya, aku sudah berdiri di sini bersama tiga orang lain. Orang pertama, yang berdiri di ujung sebelah kananku, adalah seorang laki-laki yang sudah benar-benar tua dengan tubuh kurus yang ringkih. Bayangan tulang terlihat jelas di balik kulitnya yang pucat, dan hampir tak ada rambut di kepalanya yang berwarna cokelat mengkilat. Matanya yang berwarna abu-abu tampak berkabut dan berair, sementara wajah tuanya yang lemah penuh dengan garis-garis halus. Punggungnya membungkuk, tampak sangat lemah, sepertinya dia telah menghadapi berbagai penderitaan berat yang membuatnya sangat lelah. Dia mengenakan jubah yang terbuat dari katun hangat, seperti yang biasa dipakai orang-orang sakit, berwarna ungu pucat. Jari-jarinya yang panjang dan kurus bergetar saat dia berdiri menopang pada sebuah tongkat penyangga yang terbuat dari batangan besi ringan.

Laki-laki tua itu berdiri membungkuk di samping orang kedua, seorang wanita paruh baya berambut cokelat gelap, yang tepat berdiri di sebelah kananku. Wajahnya yang sebenarnya cantik tampak mengerikan karena sebagian wajahnya—dari kepala sebelah kiri sampai leher—tertutup darah berwarna merah gelap yang terus mengalir sampai ke blouse warna biru muda yang dikenakannya. Tampaknya ada luka besar menganga di kepalanya. Tetapi wanita itu seperti tidak menyadarinya, dia terus saja menatap ke depan dengan mata gelap yang redup tanpa gairah.

Orang ketiga, yang berdiri di sebelah kiriku, adalah seorang bocah laki-laki yang tampak pucat ketakutan. Bocah ini kira-kira berumur dua tahun, mengenakan celana panjang dari bahan jeans dan kaos berlengan panjang berwarna merah. Rambutnya pirang gelap, matanya besar dan bulat berwarna cokelat kekuningan, seperti mata kucing. Dia sebenarnya adalah bocah yang lucu, kalau saja bayangan ketakutan dari mata itu bisa disingkirkan. Mata itu kini tampak berkaca-kaca, dan memandangku dengan sedih.

"Mommy," katanya, mengangkat tangan kecilnya dan memegang jari-jariku dengan erat.

Aku bukan Mommy-nya, aku tahu itu. Tetapi, aku tak ingin mengecewakan anak ini, dan aku tak ingin membuatnya semakin ketakutan. Jadi, aku membungkukkan badan dan memberinya senyuman menenangkan.

"Tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja," bisikku halus, lalu mengecup keningnya.

Dia mengangguk, dan aku tersenyum, meskipun aku tahu kata-kata itu adalah omong kosong. Tidak ada yang baik-baik saja di sini. Kami semua dicekam oleh ketakutan, menunggu sesuatu yang entah apa. Dan dilihat dari situasinya, kurasa yang kami tunggu bukanlah hal yang baik.

Lalu, setelah berdiri tegak lagi, aku memiliki kesempatan untuk memperhatikan diriku sendiri. Aku mengenakan gaun chiffon semi-formal tanpa lengan berwarna putih, yang panjangnya sampai ke lututku. Di kakiku ada sepasang sandal tali berwarna hitam. Hanya itu, aku tidak memakai perhiasan di tangan, di leher ataupun di jariku; juga tidak ada aksesoris di rambut merahku yang ikal berantakan dan jatuh sampai ke pinggangku, seperti ombak yang menggulung di tepi pantai.

Sebenarnya, warna rambutku tidak benar-benar merah, karena ada bayangan kecokelatan, seperti warna tembaga—meskipun begitu warna merahnya memang lebih dominan. Lengan dan kakiku panjang dan kurus—meskipun aku lebih suka mengatakan langsing—dengan bintik-bintik hitam di kulitku yang terang. Dari sana aku bisa menyimpulkan bahwa bintik-bintik hitam ini mungkin saja ada juga di wajahku, dan di bagian lain tubuhku. Lalu, karena warna kulitku terang dan rambutku merah kecokelatan, aku mungkin memiliki warna mata yang terang—bisa jadi biru, cokelat terang, atau cokelat kekuningan, seperti warna mata bocah di samping kiriku.

Yah, aku tidak ingat apa-apa tentang diriku. Apa warna mataku dan bagaimana rupaku tidak kuketahui. Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa memakai gaun ini dan bagaimana aku bisa ada di tempat ini. Aku bahkan tidak ingat siapa namaku. Namun, aku tahu dengan pasti—entah bagaimana aku bisa tahu, aku tidak tahu—bahwa aku bukan ibu dari anak yang tangannya sedang mencengkram jari-jariku dengan erat ini.

Terlepas dari keberadaan kami yang tiba-tiba di tempat ini, aku harus mengatakan bahwa tempat kami berada ini adalah tempat yang sangat aneh. Tempat ini tak berbentuk. Sekeliling kami yang berwarna abu-abu juga tak ada bentuk, tak ada pola, tak ada apapun, selain abu-abu. Langit-langit di atas kami berwarna abu-abu, dan kami sedang berdiri di suatu permukaan abu-abu; bukan lantai, bukan juga tanah, hanya permukaan yang abu-abu. Kesannya, kami seperti sedang melayang di udara, tapi tak ada angin, tak ada udara, hanya kehampaan. Entah bagaimana kami bisa bernafas aku tidak yakin—yah, kurasa kami tidak bisa bernafas sama sekali. Kami tidak bernafas. Jika demikian, kami pasti bukanlah makhluk hidup. Namun, kami memiliki bentuk seperti manusia; punya mata, telinga, hidung, tangan dan kaki, kami bahkan bisa berbicara. Baiklah, kurasa kami bisa disamakan dengan zombie. Ah tidak juga, aku bukan zombie, aku tahu aku tidak semengerikan itu. Dan aku yakin zombie tidak memiliki perasaan, sementara aku memilikinya. Aku merasakan perasaan kasihan dan sedih, saat memandang bocah di samping kiriku; aku juga merasakan ketakutanya, karena itu adalah ketakutan yang sama dengan yang kurasakan. Lalu, kalau begitu, kami ini apa? Yang pasti bukan manusia karena kami tidak bernapas, ataupun Zombie karena kami memiliki perasaan. Satu-satunya panggilan yang cocok untuk kami adalah hantu, meskipun tanpa tubuh yang transparan.

Cengkraman tangan kecil di jari-jariku semakin erat, saat sesuatu tiba-tiba muncul di depan kami. Awalnya, mereka hanyalah seberkas cahaya putih menyilaukan, lalu berubah bentuk menjadi dua laki-laki berjubah putih, yang jubah dan wajahnya memancarkan cahaya terang—putih menyilaukan yang sama. Aku tidak dapat melihat wajah mereka, karena cahaya putih itu begitu berkilau dan mataku tidak mampu memandang mereka berlama-lama. Salah satu dari dua laki-laki bercahaya itu memegang buku besar bersampul hitam dengan sudut-sudut berwarna emas, sementara yang lain memegang sebuah jam rantai besar yang terbuat dari perak.

"Jam 11, lewat 12 menit, lewat 23 detik... Tiga kematian..." kata laki-laki yang memegang jam. Suaranya terdengar seperti suara halilintar yang menggelegar, menggema di tempat abu-abu ini. Suara itu juga mengandung hikmat dan wibawa yang besar, sehingga kami merasa sangat hina dan rendah, lalu menundukkan kepala.

"Mommy," kata bocah di sampingku dengan suara bergetar. "Aku takut..."

"Jangan, jangan takut, semua baik-baik saja... Kita akan baik-baik saja," kataku, merangkul pundak bocah itu, lalu menariknya merapat ke tubuhku.

Kata-kata itu bukan saja untuk bocah ini, tapi juga untuk diriku sendiri. Aku juga butuh diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja; bahwa ketakutanku ini bukan apa-apa. Meskipun dia tidak menyadarinya, kehadiran bocah ini membuatku bisa menyembunyikan ketakutanku sendiri dan berusaha untuk tegar menghadapi apapun yang akan terjadi nanti. Aku tidak boleh terlihat ketakutan, karena bocah ini bergantung padaku. Jika aku ketakutan, dia akan semakin ketakutan, dan aku sangat tidak tega melihatnya lebih ketakutan daripada yang telah dirasakannya sekarang.

Di depanku, laki-laki yang seorang lagi, yang memegang buku, segera membuka buku itu, lalu membaca dengan suara yang sama seperti orang pertama.

"Edison Gerreth Smith, 87 tahun, New Orleans... Politikus; banyak sekali mengatakan kebohongan; melakukan berbagai cara hina untuk mendapatkan kekuasaan; memakai dana sosial Education and Health for Children untuk dirinya sendiri; memiliki 20 orang wanita simpanan; merancangkan pembunuhan terhadap Samuel Horrison Walles dan Frederica Gonzales... Pintu sebelah kiri!"

Laki-laki tua yang ringkih itu tidak berkata apa-apa, dia melangkah pelan, membungkuk, menuju pintu hitam besar yang tiba-tiba saja sudah muncul di sebelah kiri kedua laki-laki yang bercahaya itu. Wajah keriput laki-laki tua itu berkilau dengan airmata, ketika pintu itu terbuka begitu saja di depannya dan dia masuk. Aku bisa melihat kobaran api jingga yang menyala-nyala, sebelum pintu itu terbanting, menutup tanpa suara.

"Mariane Elliene Francess Springerland, 46 tahun, Sidney... Pebisnis; menghabiskan masa kecil dengan menyakiti hati orangtua; menculik 19 bayi dan menjual 25 bayi; melakukan berbagai penipuan untuk mendapatkan uang... Pintu sebelah kiri!"

Wajah penuh darah wanita paruh baya itu sudah sama seperti kertas putih—pucat pasi; matanya tidak lagi kosong tanpa gairah, tapi terbelalak ketakutan. Dia lalu menjerit, dan berteriak keras mengeluarkan makian-makian yang tidak cocok untuk diucapkan di tempat seperti ini. Anehnya, dia juga merontak tak terkendali, seperti ada kekuatan lain, tak terlihat, yang memaksanya bergerak menuju pintu hitam di sebelah kiri.

"Kau sudah banyak bersenang-senang di dunia dengan melakukan berbagai hal yang menyedihkan hati banyak orang. Sekarang saatnya menerima hukuman untuk semua yang sudah kaulakukan. Dan, jangan menyesal, karena sebelum kau melakukan semua hal itu, kau sudah tahu di mana kau akan ditempatkan setelah kematian," kata laki-laki yang memegang jam dengan suara dingin menggelegar.

Wanita itu terus menjerit dan menjerit sampai dia tersedot masuk ke dalam pintu hitam itu. Pintu itu menutup, dan suara wanita itu lenyap, tapi aku merasa seperti mendengar suara lain—suara dingin mengerikan berkata: Milikku... Jiwamu adalah milikku.

Tubuhku bergetar hebat dan ketakutan melandaku bagai badai yang menerjang dengan dahsyat. Pintu hitam itu pasti adalah pintu yang menuju hukuman kekal, kesengsaraan abadi, menuju kematian. Aku tidak ingin ke pintu hitam itu, aku tidak ingin menderita terpanggang dalam kobaran jingga itu. Tetapi, aku tidak tahu apakah aku bisa selamat atau tidak, karena aku tidak ingat apa-apa saja yang sudah kulakukan. Apakah aku orang baik? Ataukah aku orang jahat? Dan apakah aku memang pantas menuju pintu hitam itu? Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak bisa mengingat apapun, seolah pikiranku telah tertutup oleh sesuatu yang abu-abu seperti tempat ini.

Walaupun begitu, entah bagaimana aku bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bukan pembunuh, atau telah merancangkan pembunuhan terhadap sesama manusia. Dan aku sungguh yakin, bahwa aku tidak pernah menjadi anggota sindikat penjualan bayi. Tetapi mungkin saja, ada kejahatan-kejahatan lain yang sudah kulakukan tanpa kusadari, kejahatan biasa yang kulakukan dalam hidup sehari-hari; mungkin saja aku tahu bahwa yang kulakukan itu sebuah kejahatan, tapi berdalih bahwa itu adalah demi kebaikan. Jika demikian, aku memang pantas masuk ke pintu hitam itu.

Menggelengkan kepala, aku menegarkan diri untuk mendengarkan laki-laki bercahaya yang memegang buku ini membacakan daftar panjang kejahatan yang sudah kulakukan. Namun, dia tidak membacakan daftar kejahatanku, sebaliknya dia berkata, "Daniel Jeremy BuDois, dua tahun, Geneva... Pintu sebelah kanan!"

Daniel Jeremy, dua tahun? Tentu saja, ini bukan namaku, karena aku yakin sekali namaku bukan Daniel Jeremy dan umurku bukan dua tahun. Itu berarti dia melewatiku. Mengapa? Apakah karena daftar kejahatanku sangat panjang dan mereka tidak ingin bocah di sampingku ini menunggu lama? Bisa jadi karena daftar kejahatanku begitu mengerikan, sehingga tidak pantas didengar oleh anak berumur dua tahun.

Bersyukur karena penundaan ini, aku segera menajamkan pendengaranku untuk mendengarkan daftar kebaikan yang telah dilakukan Daniel Jeremy, sehingga dia tidak dikirim ke pintu hitam di sebelah kiri. Namun, laki-laki bercahaya yang memegang buku itu sudah berhenti membaca, dia sekarang sedang memandang bocah di samping kiriku, yang sudah melepaskan diri dariku. Ketakutan tidak tampak lagi di wajahnya, dia tersenyum dan wajahnya memancarkan sinar seperti wajah kedua laki-laki di depanku. Bocah itu melangkah, bukan melangkah, tapi seperti melayang menuju pintu di sebelah kanan, pintu putih yang bercahaya sangat terang.

Setelah beberapa saat dalam kebingungan, aku akhirnya sadar bahwa dia cuma bocah. Tentu saja tak ada daftar kebaikan dan tak ada daftar kejahatan. Selama dua tahun hidupnya, dia pasti belum pernah melakukan apapun yang baik dan jahat. Dia belum tahu tentang yang baik dan yang jahat. Kurasa dia beruntung karena dia tidak tahu apa-apa tentang kekejaman dunia manusia.

Mau tidak mau aku tersenyum lega, aku sangat bahagia, karena bocah ini tidak dikirim ke pintu hitam itu. Sekarang dia tidak akan ketakutan lagi, dia akan hidup bahagia selamanya.

"Selamat jalan, Daniel... Kau pasti bahagia di sana," bisikku, melambai.

Daniel Jeremy tertawa riang. Suara tawanya benar-benar hangat, murni, ceria, dan merupakan satu-satu penghiburan menyenangkan bagiku di tempat abu-abu ini.

"Sampai jumpa, Mommy," katanya, lalu menghilang di balik pintu.

Dari pintu itu terdengar suara orang-orang bernyanyi gembira, menyanyikan himne riang yang tidak bisa kumengerti. Orang-orang di balik pintu itu mungkin ingin menyambut Daniel Jeremy yang baru saja bergabung bersama mereka. Dan aku tahu, pintu di sebelah kanan itu adalah pintu yang menuju ke kehidupan kekal, kebahagian abadi yang diinginkan semua orang setelah kematian menjemput. Pintu yang kuinginkan. Aku ingin masuk ke pintu itu.

Sementara itu, kedua laki-laki bercahaya di depanku ini memandangku dengan heran, seolah kehadiranku di sini sama sekali tidak dikehendaki.

"Kau siapa?" tanya laki-laki yang memegang buku, yang sudah tertutup di tangannya.

"Aku tidak tahu," jawabku jujur, juga agak bingung karena tampaknya aku tidak akan ditempatkan di mana-mana.

"Tidak ada namamu dalam Buku Kematian... Kami hanya punya tiga kematian di detik ke-23. Sebaiknya kau kembali," katanya.

"Aku—" aku ingin bilang bahwa aku tidak tahu harus kembali ke mana, tapi laki-laki yang memegang jam segera berkata, "Sebentar lagi detik ke-24, kita harus pergi..."

Lalu mereka menghilang begitu saja, dua pintu itu juga menghilang, meninggalkanku dalam lingkungan yang tetap abu-abu. Dan aku akhirnya menyadari di mana aku berada saat ini. Aku berada di detik ke-23 di dunia abu-abu, tempat antara hitam dan putih. Seharusnya aku sudah dikirim ke pintu hitam atau ke pintu putih, tapi mereka tidak melakukannya, karena namaku tidak ada dalam Buku Kematian. Rupanya, kematianku tidak terdaftar di detik ke-23. Jadi, aku mungkin saja mati pada detik-detik lain sebelum, atau setelah itu. Tetapi mengapa aku tidak berpindah? Mengapa aku tetap ada di detik ke-23? Dan kalau memang aku belum mati, bagaimana caraku kembali?

Bunyi langkah yang diseret terdengar dari sebelah kiriku. Aku berpaling dan melihat sosok berjubah hitam dan berpenutup kepala hitam melangkah ke arahku. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku bisa merasakan aura kegelapan, kekejian dan kekejaman berbaur di udara, dan aku bisa mencium sesuatu yang berasal dari tubuhnya—bau mengerikan, seperti campuran antara bau anyir darah, daging mentah, belerang dan wewangian yang ada di tubuh orang yang sudah mati. Tubuhku bergetar ketakutan, aku tahu sosok ini datang untuk membawaku menuju ke kematian abadi. Aku ingin mundur, menjauh atau berlari, tapi tak bisa. Aku terpaku di tempatku, seolah ada kekuatan tak terlihat yang membuatku tertahan di sini.

Sosok itu sudah berdiri di depanku, tingginya beberapa senti di atasku, sehingga aku perlu menengadah untuk memandangnya.

"Siapa kau?" tanyaku berani, meskipun suaraku sedikit bergetar.

Dia menurunkan penutup kepalanya, dan bayangan mengerikan tentang iblis berwajah merah dengan tanduk di kepala, langsung menghilang dari kepalaku. Yang berdiri di depanku adalah pemuda yang memiliki wajah menarik, dan mata abu-abu perak yang lebih menarik lagi. Nah, rupanya aku telah kehilangan kata-kata, karena aku hanya bisa menggambarkan pemuda ini dengan satu kata menarik. Jika aku kehilangan kata-kata berarti pemuda ini telah menciptakan getaran di hatiku, sehingga aku tidak menemukan kata lain untuk menggambarkannya. Mengapa dia menciptakan getaran di hatiku? Mana aku tahu. Terjadi begitu saja, tanpa bisa kucegah. Aku bahkan tidak peduli pada aura kegelapan dan bau mengerikan itu.

Yah, kurasa kata menarik saja tidak cukup untuk menggambarkan pemuda ini. Dia memiliki rambut pirang keperakan yang menutupi hampir seluruh keningnya, dan jatuh dengan indah di belakang kepalanya. Kulitnya pucat, namun tampak bercahaya di tempat abu-abu ini. Matanya indah berwarna abu-abu perak, terpasang di wajah yang sangat tampan dan maskulin dengan sedikit belahan di dagunya yang tegas. Dia tampak begitu sempurna. Kurasa banyak cewek yang tergila-gila padanya dan tidak akan menolak satu ciuman yang panjang. Dan dia mungkin juga telah mematahkan hati mereka dengan mudah, seperti mematahkan sebuah ranting kering.

"Kau tidak mengenalku, Red Rose?" tanya pemuda itu.

Suaranya seperti irama lonceng kecil yang indah, yang membuat jantungku berdebar kencang—yah itu hanya sebuah kalimat kiasan, karena jantungku tidak berdetak sama sekali; aku sudah mati. Dan rasanya, aku pernah mendengar suara ini, dan kukira aku pernah melihat wajah ini sebelumnya, tapi di mana dan kapan, aku tidak bisa mengingatnya.

"Aku—yah, kupikir aku pernah mengenalmu sebelumnya, tapi aku tidak ingat," kataku menyesal. Wajah seperti seharusnya tidak bisa dilupakan dengan mudah.

Dia tersenyum, menampilkan gigi putih yang berjajar rapi, membuatku tak mampu bernafas. Oh ya, aku kan memang sedang tidak bernafas.

"Aku adalah Scorpius Malfoy, pacarmu. Bisakah kau mengingatku sekarang?"

Scorpius Malfoy? Scorpius... Tidak! Aku tidak bisa mengingatnya. Dan, Wow! Dia adalah pacarku, kami berkencan. Namun, aku tidak ingat pernah berkencan dengannya. Kalau aku memiliki pacar setampan ini, seharusnya aku mengingatnya, kan? Argh, aku tidak ingat! Meskipun begitu getaran di hatiku, karena melihatnya, sudah membuktikan bahwa dia memang seseorang yang memiliki tempat yang khusus di hatiku.

"Maafkan aku, Scorpius, tapi aku masih belum bisa mengingatmu."

"Tidak apa-apa... Kau akan mengingatnya nanti. Ayo!" kata Scorpius, meraih tanganku lalu membawaku melangkah menuju ke sebuah pintu yang tiba-tiba saja sudah muncul beberapa meter di depan kami.

Pintu itu besar berwarna hitam, sangat mirip dengan pintu yang menuju ke kesengsaraan kekal, tapi aku tidak yakin, karena tidak mungkin pacarku sendiri membawaku tempat mengerikan itu, bukan?

"Kita mau ke mana," tanyaku ragu, memandang pintu itu.

"Kita akan ke tempat, di mana kita seharusnya berada," katanya, terus membawaku melangkah.

Setelah jarak kami dari pintu itu sudah semakin dekat, aku bisa melihat bayangan cahaya jingga menyala-nyala di balik pintu itu. Aku tahu ini adalah pintunya, pintu yang kiri, pintu yang menuju ke kesengsaraan kekal. Tetapi mengapa Scorpius ingin aku ke pintu itu?

Aku menancapkan kakiku di permukaan yang abu-abu.

"Aku tidak ingin masuk ke pintu itu, Scorpius," kataku, berusaha melepaskan diri darinya.

Dia memegang tanganku dengan erat. "Mengapa, Red Rose? Tempatmu di sana," katanya, memaksaku berjalan.

"Tidak!"

"Jiwamu adalah milikku, jadi kau harus ke sana..."

"Tidak... Scorpius, kumohon lepaskan aku!"

Aku tidak ingin berjalan ke arah pintu itu, tapi kakiku bergerak maju tanpa kukehendaki.

"Aku senang mendapat satu jiwa lagi..." kata Scorpius. Suara dingin dan kejam, membuatku bergetar ketakutan.

Dengan sekuat tenaga aku berusaha menyingkirkan kekuatan tak terlihat yang memaksa kakiku untuk melangkah ke pintu itu, tapi aku tak berhasil. Kakiku terus berjalan maju. Sementara itu, pintu itu sudah terbuka, dan aku memandang sebuah perapian raksasa yang menyala-nyala; kobaran api jingga muncul dari segala arah, dan udara panas terpancar dari dalam melepuhkan kulit dan meluluhkan tulang. Suara jeritan kesakitan penuh penderitaan dan berbagai teriakan tanpa kata terdengar bergema dari dalam perapian.

"Selamat datang di neraka, Red Rose!"

Aku memejamkan mata. Baiklah, kalau ini memang akhirku aku akan menerimanya. Mungkin aku memang telah melakukan berbagai hal mengerikan yang menyakiti hati banyak orang.

Namun, setelah beberapa saat aku tidak merasakan panasnya kobaran jingga yang melalap tubuhku, melainkan aku mendengarkan suara mirip halilintar yang mengelegar.

"Lepaskan dia!"

Kekuatan yang memaksaku melangkah lenyap dan aku mendapatkan kontrol atas tubuhku lagi. Aku membuka mata, berbalik dan melihat seorang laki-laki yang memancarkan cahaya dari jubah dan dari wajahnya. Dengan cepat, aku melepaskan diri dari Scorpius, berjalan menuju laki-laki bercahaya itu dan berdiri di sampingnya.

"Kau tidak punya hak untuk membawanya bersamamu, Kematian," kata laki-laki yang bercahaya itu.

Kematian, yang kukenal sebagai Scorpius, tertawa keras mengerikan. "Mengapa aku tidak boleh membawanya? Jiwanya adalah milikku..."

"Namanya tidak ada dalam Buku Kematian... Jiwanya masih belum menjadi milikmu. Dia harus kembali."

"Dia ada di sini. Bukankah itu berarti dia sudah mati?"

"Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya, tapi namanya tidak ada dalam buku Kematian. Itu berarti dia harus kembali," ulang laki-laki bercahaya itu dengan ketegasan yang kelihatannya tak bisa terbantahkan.

Kematian tertawa dan mengulurkan tangannya ke arahku. Aku merasakan sebuah kekuatan aneh yang memaksaku menuju ke arahnya, dan aku memang melakukannya. Aku melangkah ke arah Kematian.

Tetapi sebuah tameng bercahaya memblokir langkahku menuju ke arah Kematian.

"Aku sudah bilang jiwanya masih belum menjadi milikmu," kata laki-laki bercahaya itu dengan suara yang menggelegar menakutkan.

Kematian menyeringai, memandangku, lalu memandang laki-laki bercahaya itu.

"Aku menginginkan jiwanya, dan aku pasti akan mendapatkannya," katanya, lalu menghilang bagaikan asap, membawa pintu besar hitam itu bersamanya.

"A-apa yang terjadi?" tanyaku, memandang laki-laki bercahaya itu.

"Kau harus segera kembali, karena Kematian tidak akan bisa menyentuhmu saat kau tiba di dunia..."

"Tapi, Scorpius—"

"Dia bukan Scorpius Malfoy... Dia adalah Kematian."

"Bagaimana—"

"Kau tidak bisa melihat wujud asli Kematian, karena kau manusia... Kematian akan menampakkan diri di depan manusia dalam wujud yang paling diinginkan manusia itu... Di depanmu, dia tampak seperti Scorpius Malfoy, karena kau sangat menyukai Scorpius Malfoy."

Aku terpana, lalu cepat-cepat menanyakan pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan sejak namaku tidak ada dalam Buku Kematian, "Mengapa aku ada di sini, jika namaku tidak terdaftar dalam Buku Kematian?"

"Aku tidak bisa memberitahumu. Dan sudah saatnya kau kembali," katanya, lalu mendorongku dengan lembut, dan aku terjatuh. Terus terjatuh menembus kabut abu-abu.

Sincerely

Red Rose (menurut Kematian berwujud Scorpius Malfoy)

Gadis yang bahkan tidak tahu siapa namanya.

PS: Aku tidak tahu aku akan berakhir di mana, tapi di manapun itu, kuharap aku bisa mengetahui siapa namaku.


Tanggal: Senin, 2 Juli 2023

Lokasi: Malfoy Manor, Wiltshire

Waktu: 7 a.m

Dear Diary,

Setelah perasaan sedang terjatuh dari dunia abu-abu, aku sekarang merasa sedang terbaring di suatu permukaan yang empuk, lembut dan nyaman. Ingin rasanya aku terus berbaring dan tak usah terbangun lagi untuk paling tidak lima atau enam jam. Namun, udara hangat menerpa wajahku, dan bunyi nafas seseorang terdengar sangat dekat dengan wajahku. Aku membuka mata dan langsung memandang sebuah wajah. Aku menjerit sekeras mungkin dan bergegas duduk. Saat itulah aku menyadari bahwa aku sedang berada di atas sebuah tempat tidur mewah yang besar. Dan aku rupanya tidak benar-benar terduduk ataupun tertidur di tempat tidur itu. Perasaan sedang terbaring di permukaan empuk, lembut dan nyaman tadi hanyalah ilusiku sendiri karena ingin merasakan perasaan itu. Sebenarnya aku sedang melayang di udara, terduduk beberapa inci dari permukaan kasur berbulu angsa, yang kelihatannya lembut ini.

Menyadari apa yang terjadi aku segera melayang turun, menjatuhkan kakiku di karpet, dan memperhatikan keadaan tubuhku. Aku masih memakai pakaian dan sandal yang sama seperti sebelumnya, namun aku merasakan sesuatu pada tubuhku, sesuatu yang agak berbeda dari sebelumnya. Tubuhku sangat ringan, seperti udara, karena itulah aku melayang tanpa benar-benar menginjakkan kakiku di karpet. Dan kurasa aku bukanlah tubuh, tapi hanya sebuah jiwa yang melayang-layang karena tak memiliki tubuh. Meskipun tidak tampak transparan, aku tahu aku ini hantu. Aku yakin aku bisa menembus dinding beton kamar ini, jika aku mau.

Sebenarnya, aku tidak mengharapkan keadaan seperti ini. Saat disuruh kembali oleh laki-laki bercahaya itu, aku mengharapkan aku terbangun dalam tubuh yang solid, tubuh manusiaku. Tetapi sepertinya itu tidak terjadi, kurasa aku akan tetap seperti ini sampai Kematian datang lagi untuk menjemputku.

Aku mengedarkan pandangan di seluruh ruangan dan terkagum-kagum memandang betapa mewahnya kamar ini. Sebuah lampu gantung, berwarna perak dengan lilin-lilin putih mengelilingi bentuknya yang bulat dan bersusun seperti kue pengantin, tergantung di langit-langit ruangan yang tinggi dan berwarna hijau muda, berukir sesuatu yang tampaknya adalah bentuk samar dari seekor kalajengking raksasa berwarna perak. Lantai yang mungkin adalah keramik berwarna hijau, tertutup karpet persia berwarna hijau gelap bersulamkan gambar kalajengking raksasa warna perak, sementara dindingnya tertutup kertas dinding berwarna hijau zamrud dengan gambar deretan ular kecil berwarna perak. Dinding sebelah kanan tidak terbuat dari tembok, tapi terbuat dari kaca tebal yang di tengah-tengahnya terdapat pintu kaca yang membuka ke arah balkon. Gorden hijau berenda yang menghiasi dinding kaca itu tidak sedang tertutup, sehingga aku bisa melihat langit jingga di ufuk timur. Rupanya sebentar lagi matahari akan segera terbit di balik pegunungan.

Selain pintu kaca yang menuju ke balkon, ada tiga pintu lain di ruangan ini: sebuah pintu cokelat gelap terbuat dari kayu ek tebal berukir, terletak di dinding sebelah selatan; dua pintu lain terletak di dinding sebelah kiri. Salah satunya berwarna cokelat muda, mungkin menuju ke kamar mandi, karena sebuah keset kaki tebal berwarna hijau kekuningan terletak di bawah pintu; dan pintu yang satunya berwarna hijau gelap dengan naga perak terukir di seluruh permukaannya. Mungkin pintu itu adalah pintu walk in closet, karena aku tidak melihat lemari pakaian di ruangan ini.

Interior kamar ini juga benar-benar wow. Sebuah perapian besar melekat di tembok sebelah kiri. Di depannya ada sebuah chaise longue—kursi panjang empuk tempat orang bisa duduk bersandar sambil menjulurkan kaki— berwarna hijau emerald, sementara di atas perapian berjajar beberapa foto dalam bingkai dan sebuah vase dari kristaldengan bunga krisan di dalamnya. Di ujung lain ruangan, di dekat dinding kaca, yang berhadapan dengan perapian ada sebuah sofa hijau terang berbentuk melengkung dengan bantal warna perak yang tampaknya berisi bulu angsa. Di depan sofa ada meja kopi pendek warna hijau olive, yang permukaan dan kakinya berukir naga perak. Sementara itu, di dinding sebelah utara, ada sebuah permadani hias besar berwarna hijau zamrud dengan ular perak di tengahnya, dan di bawah gambar ular ada tulisan Slytherin, yang diukir dengan tinta perak. Lalu, di bawah permadani hias itu, ada sebuah tempat tidur king size berwarna hijau terang, sewarna sofa, dengan seprai, sarung bantal dan bedcover-nya bermotif ular perak dengan warna dasar hijau zamrud. Dan semua benda dalam ruangan ini, dari sarung bantal, karpet, sampai pintu dan jendelanya, diembos dengan lambang aneh, mirip tameng berwarna hijau kehitaman dan hijau muda dengan ujung-ujung runcing—ujung bagian atas berlilitkan dua ular—dan ada naga kembar dengan sayap terbuka di samping kiri dan kanan tameng itu. Huruf besar M berwarna perak terukir di tengahnya, sementara di bawahnya bertuliskan Sanctimonia Vincet Semper, yang dalam bahasa Inggris berarti Purity Will Always Conquer—Kemurnian darah akan selalu bertahan.

Lalu, di atas tempat tidur, di balik bedcover hijau itu, terbaring seorang pemuda menarik berambut pirang keperakan. Dia sedang tertidur pulas, sama sekali tak terpengaruh oleh apapun, bahkan oleh jeritanku beberapa saat yang lalu. Aku memperhatikan pemuda itu dengan seksama dan menyadari bahwa dia adalah pacarku, Scorpius Malfoy—entah dia ini asli, atau hanyalah Kematian yang sedang menyamar, aku tidak yakin. Tetapi mungkin saja dia ini asli, karena Kematian tidak mungkin tertidur pulas seperti ini, tanpa menyadari keberadaanku, bukan? Aku juga tidak merasakan aura kegelapan dan bau memuakkan itu di udara, jadi dia adalah Sorpius Malfoy yang sebenarnya.

Oke, pertanyaannya adalah mengapa aku bisa berada di—yang aku yakin adalah rumah Scorpius? Mengapa aku tidak terbangun di tubuhku sendiri, atau melayang-layang di kamarku sendiri? Meskipun dia pacarku, kami tidak mungkin tinggal bersama, kan? Dan mengapa jiwaku malah melayang-layang di rumah pacarku, yang bahkan tidak sedih dan tidak menyadari bahwa aku sudah meninggal.

Aku melayang menuju tempat tidur dan mengulurkan tangan untuk membangunkan Scorpius, tapi aku tidak bisa menyentuhnya. Tanganku menembus tubuhnya. Benar, meskipun tidak transparan, aku hanyalah jiwa yang melayang-layang, aku hantu; tentu saja aku tidak bisa menyentuh Scorpius. Aku lalu menjerit sekeras-kerasnya dan membuat keributan, yang menurutku bisa membangunkan seluruh orang di rumah ini, tapi dia tetap tidak terbangun. Dia terus saja tertidur, seolah dia tidak mendengarku. Dan yang pasti dia memang tidak mendengarku.

Aku terduduk kembali di udara, melayang-layang di dekat lampu gantung, dan memandang Scorpius yang tertidur pulas. Kukira aku akan menjadi hantu yang benar-benar kesepian; Scorpius tidak bisa mendengarku dan aku yakin dia mungkin juga tidak bisa melihatku. Lalu apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku bisa tahu aku ini siapa dan mencari tubuhku? Bagaimana aku bisa menjalani hidupku, tanpa berbicara dengan orang lain?

Sekarang sinar matahari sudah masuk ke ruangan melalui dinding kaca. Scorpius mendesah, dan tanpa membuka mata, mengulurkan tangannya meraba-raba sesuatu di dekat bantalnya. Dia menarik keluar tongkat sihirnya, menjentikkannya pada jendela dan gorden hijau berenda itu langsung menutup, membuat ruangan jadi remang-remang. Dia lalu kembali terbaring nyaman di balik bedcover-nya.

Dan mengapa aku bisa tahu bahwa kayu tipis itu adalah tongkat sihir? Sebuah pertanyaan lain lagi. Aku tahu begitu saja, seperti aku tahu bahwa aku bukanlah ibu Daniel Jeremy, aku tahu bahwa aku bukan berasal dari dunia manusia yang biasanya, aku berasal dari dunia sihir. Walaupun aku hanya jiwa yang melayang-layang, aku yakin masih ada kekuatan sihir dalam diriku. Namun, bagaimana aku bisa mengeluarkan kekuatan sihirku, jika aku tidak bisa memegang tongkat sihir? Ah, sudahlah, untuk sementara aku akan melayang-layang saja di sini tanpa berbuat apa-apa. Aku akan menunggu, mungkin saja ada keajaiban yang terjadi dan aku bisa kembali ke tubuhku.

Setelah beberapa menit, atau satu jam—matahari sudah meninggalkan puncak pegunungan—Scorpius bergerak bangun. Dia tidak memakai apa-apa selain celana pendek berwarna hijau. Aku memelototi lengan, dada dan perutnya yang sempurna, juga kakinya yang kuat. Oke, sebagai gadis baik-baik aku seharusnya tidak boleh memelototi tubuh laki-laki, jadi aku memalingkan wajah dan memandang permadani hias bergambar ular perak Slytherin, sementara Scorpius berjalan masuk ke kamar mandi.

Bunyi air terdengar bersamaan dengan ketukan pelan di pintu. Lima detik kemudian, peri-rumah mungil berpakaian seperti toga berwarna putih bersih dengan lambang keluarga Malfoy berserta motonya— Kemurnian darah akan selalu bertahan—diembos di dada kiri toga itu, masuk dan mulai membersihkan ruangan yang menurutku sama sekali tidak kotor. Sementara peri-rumah itu sibuk bersih-bersih dan membereskan tempat tidur, aku berpikir tentang moto keluarga Malfoy: Kemurnian darah akan selalu bertahan. Keluarga Malfoy ternyata masih mementingkan kemurnian darah, meskipun masyarakat sihir sekarang ini—setelah Harry Potter berhasil mengalahkan Voldemort— tidak lagi mempersoalkan status darah seseorang. Namun, Scorpius dan keluarganya, sepertinya masih menjunjung tinggi moto ini. Di Hogwarts saja, dia hanya berteman dengan teman-teman Slytherin-nya yang berdarah murni.

Aku tersentak... Ya, aku ingat. Aku ingat tulisan dalam halaman-halaman Sejarah Sihir yang sudah Direvisi, tentang bagaimana Harry Potter dan dua sahabat karibnya berjuang untuk mengalahkan Voldemort, juga apa yang terjadi pada perang Hogwarts. Aku juga ingat tentang Hogwarts dan asrama-asramanya. Kurasa aku dulu pernah belajar di sana, atau mungkin saja aku masih murid Hogwarts. Dan kurasa keluargaku berdarah-murni, bukankah aku pacar Scorpius? Tidak mungkin Scorpius mau berkencan denganku, jika aku berdarah campuran atau kelahiran-Muggle. Kurasa aku tidak perlu khawatir lagi. Dengan sedikit usaha aku mungkin akan segera mengingat kehidupanku sebelum kematian.

Penasaran dengan rupaku sendiri, aku melayang turun untuk berdiri di depan cermin besar, yang menyatu dengan dinding di dekat perapian. Aku mungkin akan mengingat kisah hidupku sebelum kematian, jika aku tahu bagaimana wajahku. Tetapi cermin itu tidak memantul apa-apa, selain sofa dan dinding kaca di ujung ruangan. Tidak ada bayanganku di cermin. Yah, seharusnya aku sudah tahu, aku adalah hantu, jiwa yang melayang-layang tak berguna, jadi mana mungkin cermin ini akan memantulkan bayanganku.

Scorpius keluar dari kamar mandi dengan tubuh tertutup jubah mandi. Rambut pirang peraknya yang basah menempel di kepala, sementara tetesan air mengalir dari rambutnya ke jubah.

"Berikan tongkat sihirku, Rucky!" perintahnya pada si peri-rumah, lalu berjalan menembusku untuk berdiri di depan cermin.

Aku cepat-cepat menyingkir dan dia berhenti selama beberapa detik untuk memandang berkeliling dengan heran. Sementara aku bertanya-tanya, apakah dia merasakan keberadaanku? Apakah dia merasa dingin saat tiba-tiba menembusku?

"Tuan Muda Scorpius," kata Rucky, mengulurkan tongkat sihir pada Scorpius yang sekarang sedang memandang bayangannya di cermin.

Scorpius mengambil tongkat sihir, mengeringkan rambutnya, lalu mulai melakukan hal-hal aneh pada rambutnya—belah kiri, belah kanan, belah tengah, diatur lurus ke belakang tanpa belahan—sambil tersenyum dengan berbagai model senyum aneh di depan cermin. Dia beberapa kali mendengus, sementara aku cekikikan. Yah, Scorpius, menurutku kau tetap tampan meskipun kau tersenyum aneh, dan mengubah gaya rambut. Tetapi gaya rambutmu yang lama membuatmu tampak benar-benar menakjubkan.

"Tuan Muda Scorpius sangat tampan," kata Rucky, membungkuk rendah di sampingnya.

Mendengus, aku memandang jengkel pada Rucky. Melihat caranya memuja Scorpius, dia pasti akan tetap mengatakan Tuan Muda Scorpius sangat tampan, meskipun Scorpius sedang menggosok wajahnya dengan arang.

"Rambutku terlalu lembut dan rapi," kata Scorpius, jengkel memandang rambut pirangnya, yang jatuh dengan rapi di tengkuknya. "Semua gadis suka cowok berambut berantakan. Lihat saja si Albus-aku-adalah-playboy-Hogwarts-Potter, banyak cewek yang tergila-gila padanya!"

Aku tidak tahu siapa Albus-aku-adalah-playboy-Hogwarts-Potter, tapi tampaknya Scorpius sangat tidak menyukainya.

"Tuan Muda Scorpius pernah mengatakan bahwa Albus Potter disukai banyak gadis karena dia adalah anak Harry Potter," kata Rucky.

"Benar," kata Scorpius, mengatur rambutnya seperti semula, membiarkannya terjatuh begitu saja di sekitar kepalanya. "Lagipula, buat apa aku mempermasalahkan itu, itu bukan urusanku..."

"Rucky setuju, Tuan Muda Scorpius..." kata Rucky. "Sekarang saatnya anda untuk berganti pakaian dan turun sarapan..."

"Baiklah," kata Scorpius.

"Dan anda ditunggu di ruang makan utama?"

"Ruang makan utama? Mengapa? Bukankah biasanya kita sarapan dengan santai di breakfast room?" tanya Scorpius agak bingung. "Apakah ada tamu?"

"Tidak ada, Tuan Muda Scorpius, tapi Tuan Draco ingin anda bertemu dengannya di sana..."

"Kalau begitu apakah aku harus memakai jubah formal?"

"Tidak perlu, Tuan Muda Scorpius, seperti biasa saja..."

"Baiklah," kata Scorpius, mengangkat bahu, sementara Rucky mundur dan keluar kamar.

Scorpius memandang bayangannya sebentar, lalu melangkah masuk ke dalam walk ini closet. Dan aku duduk lagi di udara sambil berpikir betapa anehnya orang-orang kaya ini. Rumah mereka begitu besar, sampai tempat untuk makan malam dan sarapan saja berbeda.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Scorpius dengan jubah berwarna hijau bersulam benang-benang perak sudah keluar dari kamarnya dan berjalan melalui koridor berkarpet merah dan turun tangga di ujung koridor, sementara aku dengan posisi duduk di udara, melayang mengikutinya.

Ruangan yang disebut ruang makan utama ini adalah ruang yang terletak di lantai dasar. Ruangan ini sangat luas, mirip Aula Besar di Hogwarts, tapi tanpa empat meja. Di sini hanya ada satu meja besar dan panjang, terbuat dari kayu ek dengan ukiran indah di kaki meja. Sekitar enam belas kursi dengan ukiran yang sama, mengelilingi meja itu.

Di meja itu sudah berkumpul empat orang. Dua laki-laki yang mengenakan jubah resmi berwarna hitam dengan rambut pirang keperakan yang sama seperti rambut Scorpius; seorang wanita pirang yang mengenakan jubah dari sutra berwarna pink lembut, dan seorang wanita lain berambut gelap yang mengenakan jubah resmi warna hijau.

"Kurasa kau terlambat dua puluh detik, Scorpius," kata laki-laki yang memiliki rambut panjang sebatas bahu, saat Scorpius menarik kursi dan duduk di sebelah wanita berambut gelap. Laki-laki ini memiliki wajah yang tegas dan agak kejam dengan keriput-keriput halus di sekitar mata dan dahinya. Kurasa dia adalah kakek Scorpius.

Scorpius duduk tegak dalam diam, tampaknya sedang berpura-pura tak mendengar.

"Dia tidak akan terlambat lagi nanti..." kata laki-laki di ujung meja, dia memiliki warna mata yang sama seperti Scorpius, dan wajahnya juga mirip dengannya. Yah, laki-laki ini mungkin adalah ayah Scorpius, yang bernama Draco Malfoy.

Wanita pirang yang duduk di sebelah kakek Scorpius, memberikan kedipan singkat tak terlihat pada Scorpius, yang membalasnya dengan cengiran. Wanita itu cantik, meskipun kerutan halus sudah tampak di wajahnya. Rambut pirangnya tergulung rapi di kepala membuatnya kelihatan sangat berwibawa dan harus dihormati. Namun, kedipan singkatnya pada Scorpius membuktikan bahwa dia tidak benar-benar bersikap formal dan resmi, seperti yang tampak di permukaan. Kukira dia mungkin adalah nenek yang benar-benar menyayangi Scorpius, sehingga tidak masalah meskipun Scorpius terlambat dua jam untuk sarapan.

Sementara itu, sekitar lima peri-rumah mulai menghidangkan berbagai sarapan lezat, yang hanya dihidangkan di meja orang-orang kaya.

"Nah, hari ini, aku sengaja mengumpulkan kita di sini, bukan sarapan terpisah di breakfast room, karena aku ingin mengumumkan bahwa beberapa hari lagi kita akan kedatangan tamu, yang akan tinggal di Manor selama liburan musim panas," kata Draco Malfoy.

"Aku senang... Tidak ada yang pernah menginap di Manor sejak bertahun-tahun yang lalu," kata nenek Scorpius, tersenyum pada Draco Malfoy, lalu pada wanita berambut gelap yang mungkin adalah ibu Scorpius.

"Siapa yang akan menginap, Draco?" tanya kakek Scorpius.

"Cucu Mentri Sihir Rusia, Veronique Berovic," Draco Malfoy tersenyum pada Scorpius. "Dia adalah gadis yang sangat menarik..."

"Kau sudah pernah bertemu dengannya, Scorpius... Kau ingat malam Natal di Kementrian Sihir, kan?" kata ibu Scorpius. Seorang wanita yang juga cantik dengan mata tajam berwarna gelap. Dia tampak resmi, dengan gaya yang mirip seperti suaminya.

"Ya, aku ingat... Yang berambut pirang, kan?" tanya Scorpius, tampak tak peduli.

"Benar," kata Draco Malfoy. "Dan tugasmu Scorpius adalah menemaninya, selama dia tinggal di sini..."

"Baiklah..." kata Scorpius, memandang sarapan di meja.

"Aku juga ingin kita semua menyambutnya dengan baik dan pastikan dia senang di sini..."

"Kau sedang berbisnis dengan Rusia, Draco?" tanya kakek Scorpius.

"Ya, Dad... Aku akan membicarakan detail kerja sama ini denganmu, setelah sarapan... Nah, baiklah, semua, ayo sarapan!"

Aku melihat Scorpius bernafas lega, lalu menarik roti panggang ke arahnya, sementara peri-rumah mulai bermunculan lagi membawakan koran pagi dan meletakkannya samping sarapan semua orang.

Sementara orang-orang itu sarapan sambil membaca koran, aku melayang di dekat lampu kristal raksasa yang tergantung di langit-langit ruangan dan duduk memandangnya sambil merenung. Si gadis pirang, Veronica Balandere, atau siapa namanya tadi, rupanya adalah tamu kehormatan di Manor. Dari cara mereka berbicara, aku bisa menyimpulkan bahwa mereka ingin Scorpius dan gadis itu lebih dari sekedar berteman. Dan Scorpius tampaknya santai-santai saja, seolah dia tidak peduli apapun yang akan terjadi nanti. Dia bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia ingat padaku, pacarnya. Apakah aku memang benar-benar pacarnya? Ataukah itu hanya omong kosong Kematian, karena dia tahu aku menyukai Scorpius Malfoy? Aku tidak tahu, tapi aku berharap, aku segera mengingat apa yang terjadi padaku sebelum kematianku.

"Oh astaga..." Nenek Scorpius, yang duduk di depannya berseru tertahan. Dia sedang memegang Daily Prophet di tangannya. "Scorpius, lihat halaman tujuh!"

Scorpius meletakkan roti panggangnya dan menyambar korannya, sementara aku melayang turun di sisi kiri Scorpius. Aku tidak tahu apa yang harus aku baca, karena halaman itu penuh baris-baris iklan mini tentang kelahiran, pernikahan, kematian, sapu bekas yang dijual, buku-buku dan jubah-jubah bekas dan segala macam barang-barang lain. Tetapi mataku menangkap sebuah nama yang tampaknya tidak asing dalam iklan kematian.

Tanggal, 1 Juli 2023, Godric's Hallow 146, telah meninggal dunia dengan tenang, Rose Ginevra Weasley, anak tercinta dari Ronald dan Hermione Weasley, dan kakak tercinta dari Hugo Weasley, dalam usia 17 tahun. Diiringi rasa dukacita dari keluarga besar Weasley dan keluarga Potter. Bunga harap dikirim ke The Burrow, Ottery St Catchpole, Devon.

Aku memelototi iklan kematian itu dengan jantung berdebar. Rose Ginevra Weasley... Rose Weasley... Red Rose. Apakah ini aku? Apakah aku adalah anak dua orang dari Golden Trio, Ronald dan Hermione Weasley? Jadi, aku benar-benar sudah mati, tapi mengapa namaku tidak ada dalam Buku Kematian? Dan misalkan aku jadi hantu, mengapa tubuhku tidak tampak transparan? Lalu mengapa tidak ada yang melihatku atau mendengarkanku?

"Beritanya ada di halaman sembilan," kata Draco Malfoy tiba-tiba, rupanya dia juga sudah membaca iklan itu.

Scorpius membuka halaman sembilan dan aku ikut melihat sebuah foto hitam putih seorang gadis berambut berantakan, di bawah foto itu ada tulisan hitam.

Rose Weasley: Benarkah sudah Meninggal?

2/7/2023—Harry Potter mengirim beberapa Auror Penyelidik ke Godric's Hallow 146 pagi ini. Kepala Kantor Auror ini menolak memberi keterangan tentang tujuan pengiriman Auror ini, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ini ada hubungannya dengan isu kematian tiba-tiba Rose Weasley, anak dari dua Golden Trio dunia sihir, Ronald dan Hermione Weasley; yang juga adalah keponakan Kepala Kantor Auror itu.

Keluarga Weasley menolak memberi keterangan tentang isu kematian ini, namun beberapa saksi yang bisa dipercaya berkomentar bahwa Rose Weasley tampak baik-baik saja di Hogwarts.

"Ya, dia baik-baik saja," kata Suzanne Finnigan, sahabat Rose Weasley, ketika diwawancarai Daily Prophet di rumahnya pagi ini. "Dia tidak tampak sakit atau apapun, dia bahkan sangat bersemangat untuk berlibur musim panas bersama sepupu-sepupunya."

Sementara itu, juru bicara penyembuh di St Mungo memberikan komentar yang sama.

"Tidak ada pasien bernama Rose Weasley... Dia belum pernah dibawa ke St. Mungo," katanya, semalam. "Penyembuh kami bahkan tidak menandatangani surat keterangan kematian... Jadi, berita kematian itu mungkin tidak benar..."

Namun iklan kematian telah dipasang dan sejumlah karangan bunga dari orang-orang terdekat sudah berdatangan di The Burrow sejak semalam. Sementara itu, kediaman pribadi Ronald Weasley, Godric's Hallow 146 tidak bisa diakses oleh wartawan kami. Mantra perlindungan telah dipasang di rumah itu sejak isu kematian ini beredar.

Sehubungan dengan pengiriman Auror ke Godric's Hallow 146, juru bicara Kantor Auror mengatakan bahwa ini tidak ada hubungannya dengan isu kematian ini.

"Kami sedang menyelediki sesuatu dan ini tidak ada hubungannya dengan isu kematian itu," kata David Stateman, juru bicara Kantor Auror, pagi tadi.

Namun dia menolak memberikan keterangan lebih lanjut tentang masalah ini.

Sampai berita ini diturunkan, tidak ada satupun dari pihak keluarga Weasley yang membantah isu kematian ini... DP

Scorpius masih memandang berita itu, sedangkan aku melayang ke arah lampu kristal, memandang lampu itu tanpa benar-benar melihatnya. Apakah Rose Weasley adalah aku? Apakah sebenarnya aku memang sudah mati, tapi mengapa namaku tidak ada dalam Buku Kematian? Lalu mengapa Scorpius tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan? Apakah kami sebenarnya tidak berkencan? Yah, kami memang tidak berkencan. Kematian telah menipuku dengan mengatakan hal-hal yang ingin kudengar agar aku bisa mengikutinya ke pintu hitam itu. Kalau begitu mengapa aku ada di sini? Mengapa di rumah Scorpius Malfoy, bukan di rumahku sendiri, Godric's Hallow 146 atau di The Burrow, atau di rumah keluarga Weasley yang lain?

"Apapun yang terjadi pada cucu Arthur Weasley, itu bukan urusan kita," kata Kakek Scorpius, meletakkan korannya dan mulai menghabiskan sarapannya.

"Aku sudah pernah melihat anak perempuan ini saat di Irlandia," kata Draco Malfoy. "Dia yang bermain sebagai Chaser, kan?"

"Ya," kata Scopius, yang sudah meletakkan korannya, lalu memandang ayahnya. "Dia baik-baik saja di Hogwarts... Bagaimana mereka bisa mengatakan bahwa dia sudah meninggal?"

Draco Malfoy mengangkat bahu. "Dia mungkin menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan seperti kanker atau yang sejenisnya..."

"Tidak mungkin," kata Scorpius menggeleng, lalu melanjutkan, "Dia tidak kelihatan seperti seseorang yang sedang menderita kanker..."

"Kau kan tidak tahu seseorang itu menderita sakit atau tidak, Scorpius," kata ibunya.

"Kalau begitu mengapa mereka mengirim Auror untuk menyelidiki rumah mereka? Apakah Auror memang biasa menyelidiki kematian-kematian seperti itu?"

"Tidak, mereka tidak menyelidiki kematian yang wajar," kata Draco Malfoy. "Tapi mereka akan melakukan penyelidikan, jika kematian itu tidak wajar seperti pembunuhan; mungkin saja Ron Weasley sudah bosan pada anaknya, dan membunuhnya... Atau bunuh diri. Anak perempuan itu kelihatannya mudah sekali depresi, dia mungkin sudah bosan hidup dan memutuskan untuk mati muda."

Scorpius memandang ayahnya tanpa berkedip.

"Mengapa kau begitu tertarik, Scorpius?" tanya kakek Scorpius, memandangnya dengan tajam. "Kau tidak terlibat dengan para Weasley, kan?"

Scorpius mengerjap dan memandang kakeknya.

"Tidak, tentu saja tidak, Grandfather... Aku hanya ingin tahu, karena aku mengenalnya di Hogwarts."

"Sudahlah, itu bukan urusan kita," kata Draco Malfoy, lalu semuanya kembali sarapan dalam diam.

Aku memandang mereka dari posisiku di dekat lampu kristal, dan mendengus. Keluarga Malfoy adalah keluarga yang hanya mementingkan keluarga mereka sendiri. Kematian seseorang yang tertulis dalam iklan kematian di halaman iklan baris Daily Prophet sama sekali bukan urusan mereka, meskipun orang itu adalah orang yang dikenal. Sebenarnya tidak ada salahnya jika mereka menunjukkan sedikit rasa simpati, atau sekedar mengatakan, kasihan anak perempuan itu, mudah-mudahan saja keluarganya tidak terlalu sedih. Dan, walaupun aku menyukai Scorpius Malfoy, aku tidak ingin terlibat dengan keluarga yang dingin, sedingin penampilan mereka.

Sincerely,

Rose Weasley (belum begitu yakin akan nama ini)

Hantu yang tidak yakin dengan apapun juga.

PS: Aku sungguh berharap bahwa perasaanku pada Scorpius Malfoy hanyalah rasa suka, bukan cinta, karena aku tidak ingin jatuh cinta pada salah satu dari anggota sebuah keluarga yang tidak memiliki perasaan kasih pada orang lain yang ada di luar lingkungan keluarga itu.


Review, please!

RR :D