My Temporary Wife

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Story by ShokunDAYO

Cast: Hinata Hyuuga x Itachi Uchiha

Rated : T semi M

Warningnya masih sama kayak yang D.U.L.U

DLDRDB

(DON'T LIKE DON'T READ DON'T BASH)

.

.

.

Mengedarkan pandangan pada sekelilingnya yang masih terlihat asing. Hinata menurunkan topi pikniknya untuk memblokir cahaya matahari yang mencoba menyilaukan matanya. Sesekali memicingkan mata mencoba mengamati lukisan biru yang terhampar megah didepannya. Hinata mengucek matanya sekali lagi untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Apakah benar kalau-

"Bagaimana Hinata? Kau menikmati pemandangannya?" Melingkarkan tangannya pada bahu mungil Hinata yang hanya tertutup tali baju dress putih one piecenya. Itachi menanyakan pendapat sang istri akan estimasi tempat perayaan bulan madu yang terlambat. Pria itu sengaja berdiri dengan gestur intim disebelahnya sembari melemparkan death glare ala Uchiha yang terkenal kepada siapa saja yang memandang penuh minat kearah wanitanya.

"I-indah sekali." Jawab Hinata terbata-bata sedikit tidak nyaman akan kedekatan yang dirasakannya. Tentu indah, berdiri diatas hamparan pasir pantai ekslusif berisi orang-orang bonafit yanh tidak tanggung-tanggung dalam menguras kapasitas kartu keditnya. Pastilah Hinata mendapatkan pemandangan eksotis yang memanjakan mata. Pantai private dengan segala keasrian dan kemewahan yang terjaga apik dan hanya bisa dikunjungi orang-orang kelebihan duit.

"Ta-tapi apa tidak terlalu berlebihan untuk pergi ke tempat seperti ini?" Hinata kembali membuka mulutnya untuk menyuarakan keengganannya akan tingkah laku suami yang terlalu memanjakannya. "Aku merasa ini terlalu berlebihan." Lanjut Hinata sembari menghela nafas panjang. As if you trully love me padahal kau tahu statusku ini hanya sebagai istri kontrakmu.

Itachi menaikan satu alisnya. Sedikit terusik akan kata-kata Hinata yang membuat dirinya seperti tak pantas untuk mendapatkan ini semua. Gezz, apa Hinata tidak tahu? Bahkan jika berpundi-pundi kantong emasnya jebol hanya untuk membawa Hinata pergi ketempat yang diinginkan. Maka Itachi rela mengosongkan hanya untuk membawa istrinya memijakan kaki didestinasi pilihannya tersebut. Toh uang bukan masalah sang penyandang marga Uchiha disini. Jadi jangan heran bila istrinya meminta maka dia dengan senang hati akan menurutinya. Sayang, Hinata tak pernah bersikap manja pada dirinya bahkan sekedar untuk bersikap egois mengatakan keinginannya walau hanya sekali saja.

"Kenapa kau bicara seperti itu? Tentunya Nyonya Uchiha layak untuk mendapatkan ini semua." Pilihan kalimat yang salah karena selanjutnya yang direfleksikan iris violetnya adalah senyuman penuh luka yang melengkung tipis dibibirnya. Mengerjapkan matanya sejenak, Hinata hanya bisa membuang muka untuk menghindari tatapan intens yang Itachi tujukan padanya.

"Ka-kalau begitu terima kasih. Aku suka." Kehabisan kata, Hinata hanya bisa mengumamkan ucapan terima kasih sebelum akhirnya memusatkan perhatiannya pada hamparan biru samudra yang seolah menyentuh langit.

Seulas senyum tipis tersungging dibibirnya dengan rona merah muda yang mewarnai pipinya takkala mereka ulang ingatan Itachi yang tiba-tiba mengajaknya pergi berlibur untuk menikmati bulayn madu yang tertunda. Ah, mengarungi bahtera rumah tangga bersama Itachi membuatnya seperti sedang menaiki roller coaster. Dalam sekejap mampu membawanya melambung keatas, tetapi dalam hitungan detik pula mampu menjatuhkannya dengan cepat kebawah.

"Kau tahu sayang, aku membawamu kesini untuk mengatakan sesuatu." DEG! Perasaan tidak enak tiba-tiba menghampiri dadanya saat Itachi melontarkan kalimat tersebut. Mata yang awalnya berkilat bahagia kehilangan percikan apinya. Memandang nanar Itachi yang masih betah mengagumi keindahan pantai dengan mata onyxnya. Hinata didera rasa panic yang mendadak hingga tak sadar bahwa keringat dingin mulai keluar membasahi pelipisnya.

"A-aku rasa aku bisa mendengarnya nanti." Ada nada tidak berkenan dikalimatnya yang diabaikan Itachi mengingat cengkramannya yang semakin erat di pundak mungil Hinata.

Memejamkan mata rapat-rapat sembari mengigit bibir bawahnya. Otaknya memutar ilustrasi tragis yang akan terjadi saat Itachi mengungkapkan semuanya. Apa yang sebenarnya ingin dia katakan? Bahwa dirinya lebih memilih Karin dan akan menceraikan dirinya? Apalagi kemarin saat mengkonfrontasi Karin, dia dengan berani menentang Karin untuk menceraikan sang suami dengan alasan bahwa yang berhak mengakhiri semua kontrak ini adalah Itachi sendiri. Apakah Karin bercerita kepada Itachi hingga kemudian dia mengambil keputusan bahwa inilah waktunya untuk mengakhiri semuanya?

Tidak sadar bahwa dirinya mengenggam erat rok dressnya hingga kusut. Hinata masih sibuk tenggelam dalam segala pikiran negatifnya yang berenang-renang memenuhi benaknya. Jadi kebahagiaan ini cuma sementara? Benarkan apa yang ditakutkannya saat ini. Dia takut terlalu bahagia, terlalu menikmati apa yang suaminya berikan padanya. Karena dibalik kebahagiaan yang dikecapnya ini, menunggu nasib penuh nestapa yang akan menghampirinya setelah berpisah dengan sang Uchiha sulung.

Sekali lagi, Hinata merutuki kebodohannya karena mau berpartisipasi dalam perjajian terkutuk ini. Kalau tahu dirinya hanya akan menggali lubang kuburnya sendiri. Hinata lebih memilih meminjam uang tebusan biaya rumah sakit kepada lintah darat dan hidup ketakutan dikelilingi oleh debt kolektor. Ya! Hidup susah seperti itu setidaknya lebih menggiurkan ketimbang hidup dalam cinta yang bertepuk sebelah tangan dengan suami sendiri. Garis bawahi itu! Suami sendiri!

"Hinata? Kau tidak apa-apa?" Pertanyaan bernada khawatir disebelahnya membawa Hinata kembali ke alam sadarnya. Mengerjapkan mata sejenak untuk mencerna pertanyaan yang mengalir masuk ke telinganya. Hinata dengan sigap segera mengadahkan kepalanya hanya itu mendapati raut wajah Itachi yang melukisnya kecemasan akan tabiat dirinya yang sedikit aneh.

"Tidak apa-apa." Hinata memaksakan kedua ujung bibirnya naik membentuk garis lengkung. "Aku hanya tidak tahan terkena sinar mataharinya dan aku sedikit lelah setelah perjalanan jauh kemarin." Bohong! Bukan terik sinar matahari pulau Dewata yang membuatnya tak tahan. Bukan pula karena perjalanan panjang Jepang-Bali yang membuatnya kelelahan. Hinata tidak tahan dengan semua sandiwara ini. Hinata lelah dengan semua kepura-puraan ini. Menolehkan kepalanya kembali kehamparan lukisan biru didepannya. Hinata membiarkan angin sepoi-sepoi membelai kulit lembutnya sembari berdo'a bahwa neraka dunia yang sedang dipijaknya ini sebentar lagi akan usai.

.

.

.

"Ayam betutu ini masakan khas Pulau Bali. Kau wajib mencobanya." Menaruh potongan daging ayam berlumur sambal dan rempah-rempah lainnya dipiring Hinata. Itachi mulai mengiris daging bagiannya sendiri sebelum akhirnya berhenti mendapati Hinata yang tak juga mengangkat garpunya untuk mencomot apa yang ada didepannya. Malahan satu tangannya terangkat menutupi hidungnya seolah aroma masakannya tidak berkenan di indra penciumannya.

"Kenapa Hinata? Kau tidak suka makanannya?" Bingung akan perilaku Hinata yang biasanya tidak memilih-milih makanan. Itachi melontarkan pertanyaan yang ditanggapi Hinata dengan gelengan kepala. Bersiap memanggil pelayan untuk mengganti menu makan malam mereka. Itachi dihentikan oleh helaan nafas panjang didepannya.

"Bukan begitu, aku hanya merasa uhhmm- tidak tahan dengan baunya. Bau sambalnya membuatku mual. Dan ohh- aku ingin puding mangga." Rengek Hinata untuk pertama kalinya.

Itachi hanya menaikan satu alisnya heran sebelum dengan sigap segera memanggil pelayan yang tadi tertunda oleh panggilan Hinata. Memesan puding mangga seperti yang diinginkan oleh istrinya. Itachi semakin terkejut kala Hinata menginterupsinya untuk menambahkan beberapa pesanan makanan seperti cream puffs, ice cream banana split, dan berbagai macam makanan manis lainnya yang sebenarnya beberapa dari namanya tidak tercantum dimenu. Tapi karena ini merupakan titah seorang Uchiha maka mereka punya kewajiban menyediakannya. Toh, pada akhirnya juga sang pasangan Uchiha tidak akan protes melihat nota yang harus mereka bayarkan.

"Kau benar-benar akan memesan sebanyak itu?" Lagi-lagi pertanyaan itu muncul akibat tingkah laku antik Hinata yang tidak pernah diperlihatkannya. Bukan hanya ini pertama kalinya Hinata meminta sesuatu pada Itachi tapi ini pertama kalinya pula Hinata tidak menahan diri didepannya sangat vokal menyuarakan keinginannya tanpa sungkan. Padahal biasanya jika mereka sedang melaksanakan acara makan diluar seperti ini. Pasti Hinata bersikap pasif dan membiarkan Itachi untuk memesan semua menu makannya.

"Ah! Ma-maaf sepertinya aku berlebihan." Berdiri dari duduknya untuk menghampiri sang pelayan yang sudah berlalu pergi menuju dapur. Hinata yang baru menyadari bahwa apa yang dipesannya merupakan suatu pemborosan ingin sesegera mungkin membatalkan beberapa pesanannya sebelum terlanjur dibuatkan. Yah, hanya beberapa.

"Tidak berlebihan kok." Itachi mencekal tangannya dan membimbing kembali Hinata yang sudah terlanjur bangkit dari tempat duduknya. "Malahan dengan senang hati akan aku belikan apapun keinginanmu. Ini pertama kalinya kau meminta suatu padaku." Mengelap ujung bibirnya dengan serbet yang telah disiapkan, Itachi memberikan senyuman tulus yang membuat kalimat protes Hinata yang sudah diujung lidah kembali tertelan ditenggorokannya.

"Te-terima kasih." Dengan wajah yang memerah, Hinata menundukan kepalanya menghindari tatapan lembut yang Itachi arahkan padanya. Mengigit pipi dalamnya dengan gelisah, Hinata dikagetkan oleh tangan Itachi yang tiba-tiba membawa dagunya keatas untuk menengadahkan kepalanya. Hitam jelaga bertemu violet lavender, membasahi tenggorokannya dengan meneguk air liurnya sendiri, Hinata tidak siap menghadapi kilatan jahil yang berpedar dimata sang suami.

"Aku kau tidak sedang mengidamkan?" Itachi mencoba bertanya sendari memasang tampang yang datar walau nyatanya detak jantung bertalu-talu seperti genderang perang. Reaksi Hinata yang membulatkan matanya lebar-lebar menanggapi tebakannya mau tak mau membuat laki-laki berusia 27 tahun itu sedikit menyimpan harapan semu sesuai dengan scenario yang telah dirancangnya. Apakah—

"Tidak—" Dan satu jawaban tegas dari Hinata membuat kuncup yang belum mekar itu layu seketika. Melepaskan tangannya dari dagu sang istri, Itachi segera menyambar gelas panjang berisi anggur putih yang dipesannya dan mengosongkannya dengan cepat guna menekan rasa kecewa yang bersarang dihatinya.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar setelahnya sampai sang pelayan membawakan semua pesanan Hinata ke meja saji mereka. Memulai makannya dari puding mangga berlumur vla vanilla didepannya. Hinata melirik kearah Itachi yang terlihat melamun dan tak menyentuh makanannya lagi. Padahal tadi dirinya baru memakan beberapa suap daging ayam saja.

"Uchiha-sama—" Sedikit bergumam Hinata memanggil suaminya yang langsung direspon Itachi dengan menegakan kepala menatapnya. "Kau tidak menghabiskan makananmu?"

"Itachi saja." Jujur, Itachi sudah lelah berkali-kali meminta Hinata untuk memanggil namanya saja bukan marganya. Tapi dasar Hinata keras kepala, bila mereka berdua seperti ini pasti dirinya memanggilnya dengan nama marganya dan sialnya lagi masih setia menggunakan embel-embel formal membuatnya merasakan dinding pemisah yang diciptakan sulit dihancurkan. Bahkan setelah semua yang mereka jalani berdua, Hinata berniat menjaga jarak dengannya?

Hinata diam, tidak mengiyakan atau menganggukan kepalanya. Menyeruput susu coklat hangat yang dipesannya setelah menyingkirkan gelas panjang berisi minuman serupa dengan yang Itachi nikmati. Hinata kembali membuka mulutnya untuk menanyakan pertanyaan yang sama sekali belum Itachi berikan jawabannya.

"Kau tidak menghabiskan makanannya?" Menunjuk pada piring yang masih terisi penuh dan hanya berkurang beberapa sendok. Hinata hanya bisa menghela nafas saat Itachi memberikan jawaban nonverbal dengan cara menggelengkan kepalanya.

"Mungkin kau mau mencicipi puding manggaku?" Refleks menawarkan bagiannya pada Itachi, Hinata secara tak sadar mengangsurkan sendok kecil berisi potongan puding mangga yang sedang dimakannya kearah mulut Itachi. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, mulut Itachi terbuka secara otomatis menerima suapan kudapan ringan dari sang istri.

"Astaga mereka pasti pasangan yang baru saja menikah." Mendengar kalimat yang dihaturkan menggunakan bahasa inggris yang fasih, Hinata dengan sigap segera menarik sendoknya dan menatap tangannya yang seolah telah melakukan dosa besar dengan mata terbelalak lebar. "Ya ampun, istrinya malu. Lucu sekali." Melirik dari ekor matanya, Itachi merutuki komentar tak pada tempatnya kedua turis asing asal Eropa yang membuat momen-momen langkanya bersama sang istri terganggu.

Melemparkan pandangan sarat penyesalan sekaligus bergumam meminta maaf. Hati Itachi dibuat remuk mengetahui bahwa Hinata masih menganggap bahwa dirinya tak pantas untuk menunjukan kemesraan mereka ditengah khalayak luas yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Bukankah dia yang seharusnya merasa tidak pantas bersama dengan Hinata? Bukankah dia yang seharusnya merasa hina dihadapan Hinata? Kalian tanya kenapa? Tentu saja karena dialah yang memanfaatkan keadaan Hinata untuk kepentingannya sendiri, dialah yang menyeret Hinata dalam permainan hidup menguras hati seperti ini.

"Jangan kau dengarkan mereka." Berdiri dari tempat duduknya, Itachi mencondongkan tubuhnya kedepan untuk mengecup dahi Hinata yang tertutup oleh poni tebalnya. "Aku menyayangimu." Lanjutnya tanpa sadar lagi-lagi membuat Hinata membuka kelopaknya lebar-lebar sebelum akhirnya iris violetnya menangkap sesuatu yang familiar didepannya.

"Aku juga." Memejamkan mata sebelum setetes air mata lolos dari kelopaknya. Hinata meresapi ciuman yang Itachi berikan sebelum akhirnya lepas karena tepukan sapa yang mendarat dipunggung Itachi. Yang tadi itu cuma sandiwara—Hinata mencoba menyakinkan dirinya sendiri. Sandiriwara didepan kolega kerja sang suami palsu yang tiba-tiba menyapanya dan memuji-muji kemesraan keduanya yang dipertontonkan dimuka umum.

Tanpa tahu bahwa yang Itachi ucapkan adalah kebenaran yang hakiki.

.

.

.

Beratus-ratus kilometer dari tempat mereka yang sedang terpaksa bergabung dengan kolega kerja Uchiha yang memaksa mereka bergabung dengan rombongan makan malamnya. Karin dengan balutan kimono mandinya berkutat dengan serangkaian nomor pada telepon genggamnya. Dengan tidak sabaran, Karin menunggu nada berdering disebrang beberapa kali hingga untungnya sebelum kesabarannya habis seseorang telah mengangkat teleponnya membuatnya menyunggingkan senyum licik yang terpatri dengan baik dibibir penuhnya yang pucat karena tidak memakai olesan lipstick.

"Apakah ini dengan kediaman keluarga Uchiha? Aku ingin bicara dengan Uchiha Fugaku—" Ucapnya tanpa basa-basi bahkan melewatkan salam yang menjadi suatu etika penting ketika sedang menghubungi seseorang lewat telepon. "Ah, ya—saya Karin Uzumaki. Saya ingin memberikan informasi tentang Itachi dan istrinya Hinata." Dan tidak ada yang lebih indah daripada melodi nada tunggu yang kemudian disusul oleh suara berat yang menyapanya indra pendengarannya. "Selamat malam Fugaku-sama, sepertinya anda perlu tahu—"

.

.

.

TBC

.

.

.

Ha-halo

Masih ada yang ingat Sho-kun?

Maaf ya updatenya laaaamaaaaaa banget, ada yang sudah berubah jadi batu akik?

Ups belum ya?

Pendek ya? Iya masih baper gara-gara fic Masker yang part. 2 hilang kena format

Hilang, lenyap tak bersisa bersama-sama fic-fic yang lainnya :")

Ini salah satu yang selamat karena diketiknya dihp bukan dileppi

Yah begitulah, semoga masih ada yang inget. Bentar lagi tamat kok, sabar ya.

With love, ShokunDAYO