Tiga minggu sejak terakhir kali aku melihat Shikamaru membuana dengan gadis lain, aku berusaha untuk sebisa mungkin menjauh darinya. Kupalingkan wajahku saat tanpa sengaja berhadapan dengan ia, mencoba lari tatkala dia memposisikan dirinya di dekatku. Memang sakit ketika menyadari ia sudah menjadi milik orang, tiada tara pedihnya. Namun, rupa-rupanya menghindari seperti ini, jauh lebih perih lagi.

Aku sudah menyakinkan diri untuk menghapus bayangannya dari pikiranku, membuang jauh-jauh asa mengenai ia dan kami, kuenyahkan harapan dari dalam palung hati untuk bersamanya. Sudahlah, aku menyerah; aku kalah. Dua puluh satu hari meniti, dan selama itu aku sudah tidak lagi sering bertegur sapa dengannya. Sesekali ia memanggil namaku untuk mengatakan sesuatu, yang kuresponi seperlunya saja.


Disclaimer: bukahkah seluruh karakter dalam Naruto milik Masashi Kishimoto?

Genre: Com-Rom (Comedy-Romance), Hurt/Comfort.

Main Chara: Ino Yamanaka and Shikamaru Nara

Warning: author amatiran, abal tak terkira, banyak kesalahan dalam penulisan, payah EYD, bergelimpungan typo(s), hanya berharap maklum dari para readers.

Summary: "Mencintainya semanis rasa madu, dan patah hati karenanya bisa berubah drastis menjadi sepahit empedu." Ini hanyalah masalah persoalan manis-pahit rasa mencinta di dalam kebisuan, rasa mennyukai di dalam diam, dan rasa sayang di dalam bungkam


Honey Bitters

Sialnya, terkadang sisi diriku yang lain mengkhianati tekadku. Aku masih saja mendireksikan netra padanya, sewaktu-waktu aku juga mengimajinerkan bisa berbincang dengannya tanpa harus berupaya keras. Katakan saja, aku memang pecundang. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa, atau lebih tepatnya aku yang tidak berani. Yaa, bisa dikategorikan aku gagal move on!

Kata orang, diam adalah emas. Tapi yakin saja bahwa bungkam bukan merupakan cara yang baik untuk mengakhiri permasalahan. Aku tahu, persoalan ini akan selesai apabila aku tidak takut mempertanyakan status hubungannya dengan Temari. Bukannya malah mengambil kesimpulan, dan akhirnya meratap seorang diri.

"Pagi!" tegurnya saat telah duduk di bangkunya yang bersebelahan denganku, dan kubalas dengan anggukan kepala serta senyum seadanya. Seperti biasa, ia mengeluarkan buku-bukunya sekedar untuk merapikan tas. Kuamati tindak-tanduknya dari ekor netraku, aku yang berpura-pura tak peduli namun terus menaruh atensi.

"Sepulang sekolah nanti, kau ada janji?" eeh, kenapa tida-tiba ia menanyakan tentang aktivitasku untuk hari ini? Aku hening sendiri, nanarku pastinya menunjukan isyarat yang tak menduga kalau pertanyaan itu akan ia berikan. Ingin menggeleng, yang sekalinya otakku malah memicu saraf respon sebaliknya – aku mengangguk.

"Ooh." Cukup, cuma itu saja yang menjadi tanggapannya atas jawabanku. Lantas selanjutnya ia pergi melanglang keluar kelas seorang diri. Bodohnya aku, padahal ini bisa menjadi kesempatanku untuk meminta klarifikasi kalau-kalau ia mengajakku pergi. Iya, mungkin saja. Satu bagian diriku optimis atas ujaran introgatifnya tadi; sisi yang lain merutuki betapa percaya dirinya aku, bahwa yang akan terjadi seperti pemikiranku.

Sibuk menimang prediksi, akhirnya kuputuskan untuk mengejarnya, dan mengatakan bahwa aku baru saja membatalkan janji hari ini. Na'as, kala aku sudah menemukan sosoknya, rupa-rupanya ia tengah mengobrol dengan gadis itu, Temari. Tapakan kaki yang awalnya kuterapkan maju, kini perlahan-lahan mundur.

Terlambat, aku selalu begini. Berulang-ulang, entah seberapa seringnya. Banyak kesempatan yang kulewati, yang pada akhirnya kusesali. Tepat di pojokan koridor langkahku terhenti, stagnan di tempat tanpa ada niatan untuk kembali menjejakan kaki. Aah, satu-dua bulir air mata terjatuh, menitik dari dasar indera visualku. Bersamaan dengan itu, aku bermonolog seorang diri menanyakan alasan mengenai butiran yang membanjiri pipi tanpa adanya notifikasi.

"Shikamaru,"kusebutkan namanya, dengan ini semakin meningkat frekuensi detakan jantungku, menjadi-jadi ritme dentuman bertalu tersebut. Aku menangis bukan karena melihat kebersamaan mereka, tapi aku menitikan air mata untuk diri dan keidiotanku. Ingin rasanya tidak mengakui perasaan yang menyiksa ini, seakan hanya ada di dalam mimpi. Namun, aku terlalu sadar untuk meyakini semuanya merupakan kenyataan.

Enggan terus-menerus berada di tempat yang itu-itu saja, setelah menghapus jejak tangisan, aku lanjut menyusuri koridor untuk kembali ke kelas. Kendati pelan-pelan, pasti akan sampai pada tujuanku. Aku berjalan dengan memfokuskan pandangan pada ujung-ujung sepatu, meski demikian aku dapat mendengar suara derap kaki setengah berlari dari belakangku. Entah siapa, aku tidak peduli.

Hingga pada akhirnya kurasakan tangan seseorang hinggap di pundakku, aku menghentikan jejak. Seloroh, aku langsung membalikan tubuhku pada arah ia yang menyentuhku. Begitu kudapati siapa pelaku yang membuat langkahku terdiam, sontak aku terkejut. Lantaran terlalu kaget, hingga aku kehilangan suaraku sendiri.

"Ada apa?" harusnya aku yang bertanya seperti itu, kan? Aku menggeleng sebagai respon pemulaku, dan semoga saja ia tidak mendapati sisa-sisa likuid yang mengalir sendu dari mataku. Ditatapnya netraku lekat-lekat, tentunya ia sedang mencoba untuk menyelidiki tingkah lakuku saat ini. Sedapat mungkin aku terlihat baik-baik saja, walau realitanya tidak seperti apa yang kutampakkan.

"Kau yakin?"

Untuk apa memperdulikanku, buat apa sulit-sulit memperhatikanku? Ia hanya semakin membuatku terpuruk dalam sensasi rasa yang tidak menentu. Ini yang ke sekian kali, terjadi lagi secara berulang, aku yang tidak mampu menguasai emosi apabila sudah berhadapan dengan ia. Ego mendominasi, sampai-sampai tanpa adanya keinginan dariku, tanganku bergerak untuk menampik pegangannya.

"Just… go away from me!" ucapan tersebut yang kulontarkan. Sungguh, sama sekali di luar mauku untuk berkata demikian. Sesaat, Shikamaru tertegun mendapatiku bertutur seperti itu, semerta-merta raut tak mengira ia tampilkan di wajahnya. Mengangguk-angguk pelan, melap bibir dengan indera pengecapnya, yang aku sama sekali tidak mengerti maksudnya.

"Sori," ujarnya, seraya memasukan tangan kirinya yang tadi tertampik dari salah satu bagian tubuhku ke dalam saku celana. Memperluas rentang dariku dengan mundur selangkah, tangan kanannya yang bebas terangkat untuk mempersilahkanku meneruskan tujuan pergi. Tanpa bla-bla-bla, aku membuana meninggalkannya.

Sebenarnya, kuingin ia menanyakan alasanku berlisan demikian. Sebetulnya, aku mau dia tidak mendengarkan kalimatku barusan. Harusnya, Shikamaru meminta klarifikasi dari perangaiku ini. Tapi tidak, tak ada dari satu opsi itu yang ia lakukan terhadapku. Kenapa dia biarkan aku berlalu, kenapa tidak dihentikannya langkahku, kenapa semudah itu Shikamaru percaya pada ucapanku? Dua-tiga pertanyaan bermunculan di benakku, yang sama sekali tidak kutemukan jawabannya.

Kududukan diri pada kursi belajarku, terdiam sendiri kendati Sakura menanyakan dari mana perginya aku. Kugelengkan kepala, dan malah memberikan perhatian pada jam dinding di kelas. Tinggal lima belas menit lagi bel isyarat pelajaran dimulai akan berbunyi, saat itu Shikamaru pasti telah memposisikan diri di sampingku.

Aku tak bisa, tidak memiliki kuasa untuk dapat menahan sakit yang menyeruak di dada. Sebuah keputusan akan kuberlakukan, dan kuambil tas ranselku serta menyampirkannya di punggung. Tidak berkata apa-apa, aku melangkah ke luar kelas. " Ino, kau mau pergi ke mana? Pelajaran akan segera dimulai, loh!" Sakura mengingatkan, tetapi itu tidak cukup menjadi alasanku untuk tetap tinggal.

"Aku tidak enak badan, Sakura."

"Kau sakit?"

"Yaa."

Tidak, aku tidak berbohong pada sahabatku. Aku memang seperti apa yang kuakui padanya. Aku tak dalam kondisi sehat, sangat malah. Hanya saja pasti berbeda persepsi dengannya; di mana ia mengira fisikku yang sakit; sebenarnya adalah, perasaanku yang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ia menghela napas pelan, dan bersiap kembali melanjutkan lisan.

"Kau mau pulang?"

Kuberikan tanggapan dengan menggerakan kepala naik-turun, menjadikan sahabatku tidak memiliki rasionalisasi untuk mencegah tapakan kakiku yang merentang. Aku tahu, dari direksi yang berlawanan dariku, Shikamaru berjalan dan berselisihan denganku. Saat tepat ia berada di sampingku, spontan kupejamkan mata rapat-rapat.

Gugup, terang saja aku merasa sensasi aneh tersebut menyelubungi diriku.


o

O

o

Sayup-sayup, kudengar pembicaraan ia dengan sahabatku. Sayang, karena interval yang sudah lumayan jauh, aku jadi tidak bisa menangkap isi wacana mereka dengan jelas. Kusadari, satu sosok lain berusaha menyertai langkahku, Shikamaru berupaya untuk menyetarakan jejak kaki denganku. Aku yakin, ini pasti permintaan Sakura.

Padahal tadi aku sudah mengucapkan verbalisasi kasar agar ia pergi jauh dariku, dan memang aku merasa bersalah akan hal itu. Kurogoh ponsel dari dalam saku baju seragamku, memberikan pesan singkat agar kakakku datang menjemput. "Aku yang akan mengantarkanmu pulang," Shikamaru berlisan demikian, tatkala mengetahui apa yang kukerjakan.

"Aku tak butuh bantuanmu."

Menyesali kata-kata tidak baikku, memang. Namun alih-alih memperbaiki, aku malah semakin menjadi. Ia mengacuhkan penuturanku barusan, seolah bersikukuh akan melakukan seperti apa yang telah ia katakan. Seyogyanya aku mengulang kembali ucapanku, dan ia tetap tak bergeming. Bungkam lagi, di mana kondisi diam lebih mendominasi.

Sampai pada akhirnya kami di pintu gapura sekolah, dan tentu saja aku harus menunggu jemputan kakakku yang mengatakan akan segera datang. Shikamaru menyandarkan tubuhnya pada dinding pos penjaga gerbang, sesekali ia terlihat menendangi kerikil di hadapannya – mungkin sekedar mencari kesibukan kecil.

Teng…! Teng…! Teng…!

Tiga bait suara bel berbunyi dengan desibel menjulang, mengartikan pelajaran pertama akan segera dimulai. Shikamaru tidak menunjukan adanya aba-aba akan meninggalkanku, ia tetap dengan aktivitasnya yang sama di sebelahku yang menduduki bangku beton mengarah ke luar pagar. "Pergilah, sebentar lagi kakakku datang!" titahku, dan seperti sebelum-sebelumnya, ia mengacuhkan suruhanku.

Hingga satu kendaraan yang sangat kukenali terparkir di seberang jalan, itu pasti kakak semata wayangku. Kaca mobil diturunkan, dan aku tidak mendapati sang pemilik roda empat di dalamnya. Melainkan sahabatnya yang penuh tindikan di wajahnya, Pain. Bergegas aku mendekat, yang terhalang karena Shikamaru menarik lenganku.

"Siapa dia?" tanyanya, dengan sesekali memberikan arah netra pada pemuda yang menungguku di sana. Memang, dilihat dari tampang, Pain seakan tipikal manusia yang tidak ada baik-baiknya – urakan. Kuhempaskan genggamannya, "apaan, sih? Aku mau pulang!" percayalah, aku tidak bermaksud mengatakan kalimat tersebut dengan intonasi tinggi dan membentak. Sekalinya, hempasanku tak cukup kuat untuk terlepas dari pegangannya.

Sontak, Pain dari mobil mendekati kami, ia melihati aku dan Shikamaru dengan picingan yang tidak mengerti apapun. Sesekali mengarahkan netra fokusnya padaku, taklama berpindah pada Shikamaru. Akhirnya, ia putuskan untuk melarai aku dengan pemuda itu. "Ada apa ini?" tanyanya, meminta penerangan dari kami.

Tidak kumengerti, saat dengan tiba-tiba aku memeluk lengan sahabat kakakku. Serta-merta membelikan delikan skeptis pada Shikamaru, air mukaku menunjukan rona sarkastis yang benar-benar terlihat jelas. "Dia pacarku. Puas?" di detik selanjutnya, Shikamaru memberikan reaksi dengan tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya pelan.

"Eeh, eeh…?!" Pain tampak gelagapan mendengarku berlisan barusan, sepertinya ia mau memberikan penjelasan berupa kejujuran; ia tak lebih dari sahabat Deidara, kakak laki-lakiku. Sebelum ia mentindak lanjuti keinginannya, segera aku memboyongnya untuk memasuki mobil. Menyuruhnya untuk menjalankan kendaraan, dan meninggalkan alokasi sekolah – atau lebih fokusnya, menjauhi Shikamaru.

Di dalam perjalanan, aku tidak mengatakan apa-apa. Membiarkan Pain mengendari mobil untuk mengantarkanku pulang, serta kadang mengamatiku. Pemuda dengan piercing memenuhi wajah itu turut bungkam, meski aku tahu ada yang ingin ia sampaikan. "Aku diminta Deidara untuk menjemputmu, karena dia…"

"Maaf, harusnya aku tidak bersikap childish seperti itu."

Aku memotong ucapannya, isi selaanku pun menyampaikan permohonan maaf atas tindakanku beberapa saat sebelumnya. Dari ekor mataku, kudapati ia mengangguk-angguk pelan. "Kekasihmu?" satu kata introgatif, mengacu pada status orang yang bertengkar denganku di hadapannya tadi. Aku menggeleng, "temanku."

Stop, Pain sadar untuk tidak memberikan pertanyaan apapun lagi terhadapku. Kali ini ia benar-benar menaruh perhatian penuh pada ruas-ruas jalan, dan aku sendiri terdiam. Benar-benar, semua yang kulakukan di luar kemauanku. Seluruhnya terjadi begitu saja, tanpa adanya pertimbangan apa-apa dariku. Perasaan dan isi benakku tidak dalam satu jurusan, keduanya bermusuhan. Sekarang, benar yang dikatakan seorang pujangga bernama Woody Allen, bahwa…

'Alangkah sulitnya mendapati hati dan pikiran kita sejalan dalam hidup ini. Untukku, keduanya akrab pun tidak.'


o

O

o

Aku bersembunyi di dalam kamarku, merebahkan diri di atas kasur sambil mencoret-coret buku, dan sedari datang memang hanya itu yang kulakukan. Bahkan, baju seragam sekolah pun tidak kuganti, rasanya aku tidak memiliki tenaga sekedar untuk mendekati lemari pakaian. Kubenamkan wajahku pada bantal, tanganku kembali bergerak untuk menuliskan beberapa kata pada kertas putih.

Kubentuk garis-garis yang berusaha menyerupai wajah Shikamaru, tetapi belum selesai sudah kuhancurkan dengan memberikan tanda silang di atasnya. Menuliskan kata yang tidak bisa kuucapkan pada ia, bahwa aku menginginkannya – sangat menyayangi. Terus-menerus kukerjakan, berulang-ulang hal tersebut yang kulakukan.

'Aku adalah kebodohan. Aku tahu, karena mencintaimu, dan karena mengutarakannya dalam puisi yang meratap'. Mungkin benar untukku mengutip satu quotes milik John Donne itu, seperti demikianlah keadaanku saat ini. Menyedihkan, itulah akibat karena aku selalu mengulur-ulur waktu yang kumiliki. Sakit, tapi aku tidak bisa menyalahkan orang lain.

Bosan akan terus dalam posisi baring, aku bangkit untuk mendirikan tubuh. Kurapikan kondisi tempat tidurku yang berantakan akibat ulahku, dan membereskan komponen-komponen alat tulis yang tadinya menjadi korbanku. Duduk di tepi kasur, dan direksi mataku tertuju pada selimut dan bantal yang pernah kukenakan pada Shikamaru ketika ia tertidur di sofa ruang tengahku.

Kuambil kedua esensi pelengkap tidur tersebut, memeluknya erat-erat serta mencoba untuk mendapatkan seberkas ketenangan darinya. Tapi tidak, perasaanku semakin kacau-balau dibuatnya. Aku yang satu mengatakan, bahwa memang sebaiknya aku meninggalkan segala tentangnya; diriku yang lain terus mengatakan, kalau aku takkan bisa berhenti mengharapkan ia mengerti isi hatiku.

Kuucapkan pada diriku untuk menjauhinya, dan aku malah menemukanku tidak seperti yang kukatakan. Kutangguhkan untuk pergi darinya, namun kudapati diriku selalu saja memperhatikannya. Bertekad untuk menghapus ia dari ingatanku, yang malah dirinya semakin tertanam kuat di pikiranku. Here's my dilemma!

Tok…! Tok…! Tok…!

"Ino, buka pintunya!" pinta kakakku, dan aku tidak langsung melakukan apa yang diperintahkannya padaku. Aku terdiam sendiri, pandanganku bahkan masih trans akibat terlalu khidmat menangis sebelumnya. " Ino, buka pintunya!" kelakuanku yang terus bungkam, membuat kakakku mengulang perkataannya.

Percuma, sia-sia saja, pasalnya aku tidak memiliki niatan untuk berpindah dari posisiku barang satu senti pun. Dei-nii kembali mengetuk, juga diputarnya gagang akses keluar masuk kamarku. " Ino, jangan sampai aku mendobrak pintumu, yaa?!" ia mengancam, yang membuatku terpaksa bergerak untuk melakukan suruhannya.

Tepat beberapa detik setelah kunci kubuka, ia memasuki ruang pribadiku. Mendudukan diri di meja belajarku, dan mengamati sekeliling isi kamarku yang telah jauh nampak tertata dari sebelumnya. Menghela napasnya terlebih dahulu, "syukurlah, kukira kau menghancurkan isi kamarmu." Sudah, telah kubuat berantakan seluruh isi ruang pribadiku tadinya. Anggap saja, antisipasi dari hal-hal selidik seperti saat ini.

"Kata Pain, tadi kau berkelahi dengan…"

"Shikamaru," jawabku, menuntaskan kalimat yang dilepaskannya terhadapku. Dei-nii kembali mengambil tarikan pemasok oksigen untuk paru-parunya, terus saja menatapiku tanpa berkedip sekalipun. Untuk sesaat, kami berdua sama-sama bungkam. Aku yakin, kakak semata wayangku ini sedang merangcang kalimat introgasi membosankan di dalam otaknya.

"Kalau kau suka, kenapa malah bersikap seperti itu?" nah, kan, tepat seperti yang kukatakan! Mau menjawab apa, aku sendiri juga tidak mengerti alasan mengenai prilaku menyebalkanku itu. Aku hanya bisa tertunduk, lalu kembali menatap lawan bicaraku. Kuangkat kedua bahuku secara bersamaan, kode dari aku yang tidak memiliki jawaban.

"Kau bukan tidak tahu. Kau hanya tidak mau mengakuinya."

Benar, itulah sebenarnya yang terjadi padaku sekarang. Aku mengerti dengan baik apa yang aku rasakan, hanya saja sulit bagiku untuk menerima perasaan itu. Aku yang cemburu, aku merasa kalah, aku menyia-yiakan banyak kesempatan. Aku yang sangat menginginkan Shikamaru mengerti perasaanku, meski tidak kuberitahu.

"Shikamaru mungkin memang genius, tapi setiap laki-laki punya sisi bodohnya tersendiri." Untuk moment yang satu ini, aku diam karena sungguh-sungguh menaruh perhatian pada tiap untain kalimat kakakku. Ia tersenyum padaku, bahkan dengan gaya sok cool terbaiknya, ia memperbaiki tatanan poni. Untung saja , sebab kali ini aku tidak dalam mode destruktor. Jika iya, yakin saja aku akan melempar bantal ke arah raut yang terlihat bergaya tersebut.

"Orang seperti Shikamaru mungkin cepat paham dalam bidang akademik. Di luar dari pada itu, ia mengalami kesulitan untuk mengerti." Sesaat aku memberikan nanar yang mengartikan bingung atas ucapan Dei-nii, lantas gulir bola visualku berpindah dari kiri ke kanan dan sebaliknya – arti dari aku yang mencoba menela'ah kata per kata yang dilontarkannya.

"Dia takkan tahu apa yang kau rasakan untuknya, apabila kau tidak memberitahunya." Kalau memang seperti itu, jika yang ada demikian, maka sia-sia saja harapanku yang menginginkannya sadar dengan sendirinya. "Bahkan, mungkin dia sendiri tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan," Dei-nii mengimbuhkan.

"Maksudnya?"

"Dia juga menyukaimu, Ino-chan. Hanya Shikamaru tidak tahu cara menunjukannya dengan tepat." Aku hening sendiri, tidak memiliki pasokan lisan yang kurasa baik untuk kujadikan sanggahan. Pada dasarnya, aku tidak bisa menyakini perasaan Shikamaru terhadapku seperti yang dikatakan Dei-nii. "Aku…" bingung mau memverbalisasikan apa, hingga hanya satu kata mengawang itu yang bisa kusebutkan.

"Kau mau ia tahu dengan sendirinya? Jangan berharap setinggi itu hanya gara-gara otak cerdasnya," ujar Dei-nii di tengah-tengah kesibukanku menyusun kalimat. Sontak aku terkejut demi mendengar ucapannya barusan, tepat seperti yang aku pikirkan selama ini. Lawan bicaraku tertawa, karena mendapati raut mukaku yang terlihat lucu tentunya.

"Tidak semua lelaki bisa paham untuk masalah perasaan, apalagi tipikal Shikamaru."

Loh, bukankah Shikamaru itu pintarnya ampun-ampun, yaa?! Ia bisa mengerjakan soal-soal pelajaran yang rumit dengan hanya melihat contoh dibuku pelajaran, ia dapat menjadi juara umum di sekolah kendati tanpa susah-susah belajar. Tapi kenapa untuk memahami perasaanku saja, dia tidak mampu? Aku teringat akan beberapa lisan sebelumnya dari Dei-nii, bahwa setiap kaum Adam memiliki sisi bodoh tersendiri.

"Waktu itu, aku melihatnya dengan teman satu sekolah kami," aku berkata, menceritakan peristiwa lama yang menjadi pemicu perangaiku saat ini. "Dia tampak menyenangkan dengan gadis itu, sedangkan denganku…" aku tidak langsung menyelesaikan kalimat yang kuberikan, terlebih dahulu aku memasok oksigen dengan menghirup udara sedalam yang kumampu.

"Selalu saja menyebalkan!"

"Mungkin, dia berpikir hal yang sama tentangmu."

Skakmat! Kalah telak, total tidak mampu berkutik atas penuturan yang diberikan Dei-nii. Aku tahu, betapa mengesalkannya diriku sehari-hari terhadap ia. Melakukan berbagai hal seenaknya, dan ia masih saja bertahan kendati kelakukanku semena-mena padanya. Aku memintanya mengerjakan ini-itu, menyuruhnya berjam-jam untuk mendengarkan kisah klise buatanku.

"Tidak ada salahnya menyampaikan isi hatimu, Ino-chan."

"Meski ia sudah punya pacar?"

Kakakku tidak memberikan respon lisan dari pertanyaan yang kulepaskan, serta-merta hanya memberikanku sebentuk bibir yang meruncing di tiap sudutnya. Namun dari sirat matanya, ia sudah menyampaikan banyak hal. "Kalau hanya memberitahu perasaanmu, rasa-rasanya itu bukan suatu kejahatan," demikianlah verbalisasi yang akhirnya dilontarkan kakakku.

Iya, benar. Aku hanya membuat ia tahu isi hati yang selama ini kupendam padanya. Tidak lebih, aku takkan memaksanya untuk menyambut perasaanku. Paling penting adalah, aku yang tidak tersiksa akan kemelut rasa yang tak kumengerti kejelasannya. Masalah ditolak atau diterima, itu bukan prioritas saat ini. Ia harus tahu, setidaknya sedikit paham.

Kuarahkan netra pada jam dinding kamarku, dan mendapati waktu di mana saat pulang sekolah. Shikamaru pasti masih ada di lab MIPA, ia takkan pulang kecuali ada hal yang lain harus dilakukannya. Tak bisa ditunda, paling tidak saat sekarang, tatkala aku sudah memiliki keyakinan serta keberanian untuk mengatakan langsung. Aku takut, bila berlarut-larut, hanya akan menjadi penyesalan yang semakin dalam dari sebelumnya.

Kontan aku beranjak dari duduk, menarik lengan kakak semata wayangku walau tanpa bersuara sekecil apapun. Menyeretnya ke garasi mobil, dan rasanya Dei-nii mengerti ke mana arah destinasi kami. Alih-alih menyalakan starter mobil, ia hening sendiri sembari menatapiku penuh selidik. Heh, apa benar ia paham mengenai tujuan perginya kami?

"Kau tidak menyukai Pain, kan?" astagaaa…! Kirain apa, rupanya malah meminta klarifikasi dari tindakanku yang seloroh mengakui temannya sebagai kekasih. Mungkin ia menduga, ada secret messages dari apa yang kulakukan tadi pagi. Bagaimana, sih, bukankah ia tahu bahwa yang kumau itu Shikamaru? Serius, spontan kekagumanku yang hanya bertahan beberapa menit, menjadi luluh lantah olehnya.

"Dia sudah punya pacar, loh. Nanti dia akan mempertemukannya dengan kami. Dia…" Dei-nii tak melanjutkan kalimatnya, atau lebih tepat memilih untuk tidak menyelesaikan lisan ketika mendapatiku memberikan tatapan sinyalir pada ia. Semerta-merta memasukan digit pin immobilizer, menyalakan starter mobil, memainkan persneling, dan membawa kendaraan roda empatnya membuana.

Belum juga berhadapan dengan orangnya, aku sudah gemetaran seperti ini. Nervous telah kurasakan, kendati tidak ada Shikamaru di depanku. Tapi mundur bukan pilihan yang tepat, pulang kembali untuk melanjutkan ratapan sama sekali tidak disarankan. Now or never, lakukan sekarang atau tidak akan pernah terjadi.


o

O

o

Sesampainya ke sekolah, aku langsung berjalan setengah berlari menuju laboratorium MIPA. Kakakku terpaksa meninggalkanku, pasalnya ia ada janji bertemu dengan rekan-rekan alumninya. Aku yakin Shikamaru masih di sana, dan semoga saja prediksiku tentang keberadaannya tidak salah. Namun, kontan langkahku terhenti saat mendapati satu pemandangan yang benar-benar menyita perhatianku. Temari, gadis berkuncir empat itu berjalan berselisihan denganku dengan menggandeng seseorang.

Bukan, bukan Shikamaru orangnya, dan itu menjadi alasan kuatku untuk menghampirinya. "Temari-san, Shikamaru di mana?" tanyaku saat sudah berdepanan langsung dengannya. Temari tersenyum padaku, "kau tahu ia di mana. Bukankah, kau yang paling mengenalnya?" eeh, tanya balas tanya, sepertinya sia-sia saja lisan introgatif yang kuucapkan padanya.

Seorang pemuda memandangi Temari, dengan arti nanar yang menunjukan raut meminta kejelasan tentang diriku." Ooh, dia pacarnya Shikamaru!" tahu apa yang terjadi padaku, kala Temari bertutur demikian? Iya, aku tersipu, rona merah padam hingga panas di area wajah pasti kentara sekali terlihatnya. Lelaki berambut burning red itu tersenyum, "kau persis dengan sahabatku."

"Sudahlah, Sasori, kita harus cepat! Nanti teman-temanmu marah karena kau terlambat, " Temari berkata kembali, dan diresponi dengan anggukan pemuda yang tadi dipanggilnya Sasori. Pasca mengucapkan kata pamit untukku, mereka melanjutkan arah perginya, dan aku meneruskan destinasi langkah kakiku menuju laboratorium.

"Ino, tunggu!" Temari berkata dari rentang yang sudah agak jauh dariku, di detik kemudian ia kembali mendekatiku seorang diri. Mengambil sesuatu dari dalam kantong tasnya, serta menyerahkannya padaku. Beberapa lembar uang, yang aku tidak mengerti apa tujuan dari pemberiannya ini. Ia juga turut bungkam, namun bersiap memberikan klarifikasi.

"Aku selalu lupa memberikannya pada Shikamaru. Jadi, tolong kau saja, yaa?" usai menjelaskan ia melangkah menjauhiku, dan kali ini benar-benar melanglang pergi. Aku masih diam di tempat, menyimpan apa yang kuterima darinya di saku bajuku, dan melanjutkan tujuanku yang beberapa kali tertunda.

Kutemukan Shikamaru memang di situ, ia bahkan tertidur pulas dengan menumpukan kepala pada tangannya di atas meja. Kertas-kertas berisikan catatan berantakan di sekitarnya, dan ia tampak benar-benar kelelahan. Aku mengeliminasi jarak dengannya, bukan untuk membangunkan lelapnya, tetapi malah merapikan benda mati yang berserakan tersebut.

Sadar akan eksistensi orang lain, ia lalu terbangun. Mendapatiku stagnan kaku, tatkala indera visual kami saling beradu. Tuhaaaan, napasku sesak! Belum mengatakan apa-apa, ia terlebih dahulu menopang setengah berat badannya pada sandaran kursi. Menyilangkan kedua tangannya, menghela napas pendek dan masih saja menbungkamkan diri.

Kikuk, kutaruh objek mati yang sedari tadi mendiami genggamanku di atas mejanya. Melap-lap telapak tangan yang basah akibat keringat di rok seragamku, dan mulai membuat skema kata per kata yang mungkin cocok untukku lisankan. "Maaf," ujarku, yang entah setelah berpikir agak lama, hanya satu morfem itu yang dapat kututurkan.

"Kau tidak tahu,"imbuhku, dan tidak tahu apakah tepat bagiku berkata demikian. Ia masih tak bergeming, sedangkan aku yang tidak berani beradu pandang dengannya, hanya bisa tertunduk. Menurutku, sedikit meminimalisir rasa bertalu ini, saat bukan pantulan bayangannya yang diterima retinaku.

"Aku, aku selalu memperhatikanmu. Tapi aku…" ia beranjak berdiri, berjalan dan memperluas jarak tempuh dariku. Selangkah, dua langkah, di tiga tapakan berikutnya ia terhenti, membalikan badannya pada direksiku. "Shikamaru," sebutku akan panggilannya lirih, dan ia terus memandangiku dengan nanar yang tidak kumengerti isyaratnya.

"Kali ini, kau mau bercerita apa? Pacarmu diambal orang, atau bagaimana?" Kali ini, aku yang terdiam. Hening, sunyi, sepi, dan aku sama sekali tidak mengira itu yang akan menjadi penuturan awalnya. Menebak sekiranya apa yang akan kuucapkan terhadap ia, dan aku yang tidak mampu menjawab deretan tanya dari Shikamaru.

"Sudahlah, kau takkan mau tahu!" aku tidak mengerti dengan penuturannya kali ini. Sedangkan ia, malah seyogyanya melanjutkan tapakan kaki yang sempat terhenti. "Sudah kubilang, kalau aku selalu memperhatikanmu, kan?" lisanku barusan sukses membuatnya kembali menyerahkan seluruh atensinya padaku. Tepat di ambang pintu, dengan netranya ia mengamatiku secara terperinci.

"Jika aku mencintaimu…" Shikamaru berujar lagi, yang kali ini isi wacanya mengenai perandai-andaian. "jika aku mencintaimu, apakah ada artinya bagimu?" kutatap matanya, ia yang yang memberikan arah visual tajam nan serius padaku. Tubuhku membatu, rasanya kaku hingga bernapas pun sulit, suaraku bahkan bersembunyi entah di mana.

Mendapati prilakuku yang masih saja tidak meresponi, Shikamaru tersenyum sembari bersiap untuk meneruskan langkah pergi. Tidak, jangan ke mana-mana, tetaplah di sini dan dengarkan aku! Harusnya memang aku memintanya untuk tidak bergerak, tapi rupa-rupanya aku masih tidak mampu untuk sekedar menyebutkan namanya.

Namun tidak tinggal diam, tubuhku lebih cepat beraksi dari pada penuturanku. Hingga dengan sigap, aku mengejar ia dan menggenggam jemarinya. "Apa kau tahu, semua ceritaku palsu? Aku berbohong agar kau mengerti bahwa…" syukurlah, meski ucapanku tidak terselesaikan, setidaknya ada yang mampu kulontarkan dalam bentuk verbal.

"Aku menyukaimu, bodoh. Sangat!" selesai, untungnya kali ini otakku selurus dengan perasaanku, sampai tidak ada kesalahan saat aku mengatakannya. "Jadi jangan tanyakan artinya bagiku, karena itu terlalu penting," tambahku untuk ke sekian kali. Air mataku menitik pelan, sebisa mungkin agar tidak terisak parah, hingga aku sulit berbicara.

Aku tidak tahu ransangan apa yang kuterima, hingga satu impuls aneh yang kudapat membuatku memberanikan diri untuk mencium bibirnya. Anggap saja, itu ucapan kalau aku sungguh menginginkannya melalui tindakan. Aku yang dulu sudah bereuforia hanya karena mengecup pipinya, kini bisa mencium bibirnya. Kulepaskan pagutanku, tangan sebelah kiriku menangkup pipi kanannya.

"Kenapa tidak bilang dari dulu, idiot!" bukannya mengatakan ucapan mesra, ia malah balik mengataiku. "Aku tidak akan paham, bila tak kau katakan," ia menambahkan rentetan lisannya dengan bertutur demikian. Aku tersenyum, begitu sumringah, serta-merta langsung menabrak tubuh tegapnya untuk kurengkuh.

Kulepaskan dekapanku terhadapnya, dengan polosnya aku tertawa-tawa sendiri. Malu, terang saja aku merasa seperti itu. Sekarang, berganti di mana ia yang menggenggam tanganku, mengajakku untuk ke luar dari alokasi yang itu-itu saja. Eeh, sekarang dia pacarku,kan? Bisa dikatakan seperti itu, kan?! Sudahlah, intinya dia punyaku!

Bip…! Bip…!

Ponselku berdering, kode dari notifikasi adanya pesan baru kudapatkan. Tidak tahu siapa perusak suasana menyenangkanku kali ini, cepat-cepat kurogoh smartphone-ku dari dalam saku baju. Menemukan subjek pengirim adalah kakak semata wayangku, ia yang mengabarkan bahwa tadi salah seorang sahabat baiknya telah bertemu denganku di sekolah.

Menjadikanku memiliki alasan kuat untuk menganguk-anggukan kepala. Tidak salah kalau lelaki bernama Sasori itu merasa aku memiliki kesamaan fisik dengan salah satu kawannya. Kembali juga aku mengingat titipan Temari, dan langsung kuberikan pada Shikamaru yang tampak hanya memfokuskan perhatian pada jalan.

"Apa ini?" tanyanya seraya mengamati apa yang baru saja kuberikan. Bersiap mengimbuhkan, "kau tidak perlu menyogokku untuk menjadi kekasih ." Aah, benar apa yang dikatakan kakakku, semua lelaki mempunyai sisi bodohnya sendiri-sendiri! Kuhela napasku pelan, "Temari tadi menitipkan ini untukmu,"jawabku dengan tiap penekanan di tiap silabelnya.

Ia mengangguk-angguk, "ooh, kemarin dia memang ada meminjam uang untuk membeli gelang, saat kami keluar mencari keperluan lab," ujarnya begitu teringat. Ia melanjutkan penerangan," dompetnya tertinggal, sih." Detik itu juga, indera visualku membulat secara otomatis. Padahal, aku sudah berpatah hati ria karena berpikir itu pemberiannya untuk Temari. Inilah akibatnya, bila mengambil konklusi tanpa dasar penarikan kesimpulan yang benar.

Tidak mungkin aku mengatakan hal ini, ia bisa jadi besar kepala dan semakin memojokanku saja nantinya. Ringannya langkah kakiku meniti, sama sekali berbeda dari beberapa saat yang lalu. Syukurlah, aku memiliki keberanian untuk mengatakan apa yang kupendam. Untung saja, aku bisa mengutarakannya sebelum semua benar-benar terlambat.

Tapi, bukankah itu seninya cinta? Di mana ada manis pahit yang menyatu hingga sulit bagimu untuk menentukan perbedaan, berisikan madu bercampur empedu yang semua orang mampu menyadari betapa anehnya rasa tersebut. Yakin saja, saat kau sudah menyadari cinta, kau harus siap menerima segala dilematisnya!

Dan terakhir, kuharap ia tidak lagi mengulang kalimat yang ia ambil dari seorang pujangga. Bahwa…

'Jika aku mencintaimu, apakah ada artinya bagimu?'

Atau kau harus membayar royalti mahal kepada Johan Von Goethe, Shikamaru. Lagipula, kau sudah sangat mengerti jawaban apa yang akan kau terima dariku.

Fin.


A/N:

Yesss…! Akhirnya aku bisa mengeksekusi sekaligus mengeliminasi fic ini dari daftar utang story-ku yang menumpuk (*senengnya gelindingan). Lagipula, fic ini memang sudah saya nyatakan tidak akan memiliki progress selama fic-fic yang lain, makanya berusaha keras agar secepatnya tamat.

Harusnya saya mengerjakan fic yang lebih lama stag, hanya saja saya lebih memutuskan untuk menyelesaikan fic ini secepat mungkin. Makanya, saya mohon maaf bagi teman-teman yang menunggu kelanjutan Foolish Heroic, Sweet September, Edoseika Flowers, dan The Back-up Plan. Tapi tenang saja, pasti satu per satu akan saya lanjutkan, kok.*cari aman.

Terimakasih bagi yang sudah menyempatkan diri untuk sekedar membaca dan memberikan tanggapan untuk fic ini. Saya sangat senang apabila readers menyukainya (*nyengir kuda). Aah, bebanku hilang satu. Senangnyaaa…! Dan maaf bila fic ini berakhir dengan teramat sangat aneh, maksa. Saya sudah berusaha meminimalisir hal tersebut.*nangis di pojokan.

Ooh, iya, untuk Co-Bebh, maaf juga soalnya baru nyelsein fic kado pernikahan kita yang entah kapan terlaksananya. Ai luv yuuuuu…!

Uuh, bingung mau bilang apa. Hanya meminta pada teman-teman yang sudah membaca cerita ini untuk meninggalkan apa saja tanggapannya dalam bentuk review.*best sparkle eyes.

So, review please...

And last...

Long live for ShikaIno...!

'your SHADOW always in my MIND'

Salam,

Pixie (yank)-chan

The Pixie of C-SIF.