Prolog
Seoul, Korea Selatan. Awal tahun 2013.
Hujan terus turun, menggantikan butir-butir putih yang menumpuk di akhir tahun 2012. Jalanan basah dan beberapa paret juga penampungan air tampak meluap. Angin berhembus sedikit kencang cukup untuk menerbangkan kertas-kertas dari tong sampah yang tidak ditutup, juga dingin seperti titik-titik es. Toko-toko menghidupkan lampu mereka kecil, karena langit yang menggelap karena awan.
Meski kota Seoul hari itu tampak muram, hal itu tidak menghentikan kesibukan warga Seoul. Mobil-mobil terus melaju silih berganti, masyarakat dengan atau tidak dengan payung berjalan sama cepatnya. Mengejar kereta super cepat milik kota Seoul dengan jadwal terpagi. Berbaju kemeja, casual, dress, juga seragam.
Seoul memang memiliki trademark sebagai negara tersibuk, juga salah satu negara paling berpengaruh di Asia setelah Jepang.
Seoul tentu memiliki nama tetap saja, di dunia ini pada dasarnya semua berdampingan. Sisi negatif dan sisi positif.
Namun kita tidak membicarakan Seoul ataupun Korea Selatan.
Kita membicarakan kehidupan sosial manusia.
Orang bilang, kita hanya hidup sekali.
Namun beberapa orang memilih hidup karena 2 faktor; 1. Ia terlahir hidup;2. Ia belum saatnya mati.
Sama dengan keadaan seorang pria muda yang masih dalam pencarian jati diri. Di mana rata-rata anak seumurannya haruslah memiliki pendamping yang bisa membantunya memilih jalan, tapi ia tidak. Ia berkembang dengan caranya sendiri. Seperti kepompong yang hendak menetas di tengah hutan hujan tropis pulau Borneo.
Kehidupan sosial yang intens.
Ia menjalani harinya sama dengan anak yang lain, hanya saja ia normal saat bangun pagi namun tidak normal saat ingin tidur. 50-50, ia bisa dikatakan sama. Ia masihlah pelajar. Seorang pelajar dengan tujuan utama mencapai universitas yang bergengsi, di mana jika tidak berhasil masuk universitas semua orang akan menatap dengan sebelah mata. Jika tidak memuaskan orang lain, kita tidak bisa bergerak.
Sama seperti jika kau kurang cantik, tidak akan banyak orang yang melihatmu. Andaikata kau secantik bunga, tanpa berpikir orang pasti akan menghampirimu.
Mungkin seperti itu.
Dan beralih kekehidupan nyata, bersyukurlah kau jika kau adalah bunga. Kau akan mendapatkan segalanya.
Pria itu, Do Kyungsoo, adalah bunga dinding. Apa kau tahu apa itu bunga dinding? Bunga yang sama sekali tidak diperdulikan keberadaannya, mau bunga itu ada atau tidak, tidak akan ada yang memperhatikannya. Meski ia berbunga dengan indahnya, orang pasti akan terus melewati tanpa dipandang sejenak pun.
Mau bagaimana lagi? Inilah hidup seorang Do Kyungsoo.
Dan di sisi lain, seorang pria bernama Kai mendapatkan segalanya. Harta, wajah, juga wanita. Hanya saja ia tampaknya tak bisa menjaga apa yang ia punya. Semua akan datang dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hilang seperti ditelan bumi. Namun Kai tampak menikmatinya, apa pedulinya akan orang lain? Ia adalah bunga, kupu-kupu pasti akan selalu menghampirinya tanpa perlu ia bergerak sedikitpun.
Biar saja angin yang membawanya.
Pagi ini seperti biasa, salah satu sekolah di Seoul kembali dipenuhi anak murid. Pemandangan yang sangat biasa di pagi hari jika ada yang memohon-mohon pada guru karena terlambat, juga beberapa geng dengan nama-nama yang konyol bermunculan.
Lalu di situlah Kyungsoo berjalan. Di atas lapangan hijau sekolahnya yang luas, ia berjalan menatap kakinya yang melangkah. Ia tak perlu buru-buru, gurunya pasti sedang menghukum anak-anak yang terlambat saat itu. Ia berpikir, setelah ia 3 tahun bersekolah apa yang sebenarnya ia dapatkan. Mungkin untuk seorang anak remaja, ia sangat sarkastik. Tapi itu adalah hasil pemikirannya yang selalu sempit.
Ia tak sempat berpikir panjang untuk hidupnya, ia lebih memilih untuk ada uang dari pada ilmu. Terdengar tak baik, namun apa yang bisa kau lakukan di umur 17 tanpa orang tua, tanpa teman?
Kyungsoo mendengar keributan di belakang tubuhnya. Ia tahu siapa penyebab keributan itu.
Kai.
Kyungsoo sadar betapa sempurnanya seorang Kai. Ia memiliki segalanya, apapun yang ia mau orang-orang pasti akan langsung memberikannya. Kai itu adalah symbol kebebasan anak remaja, ia bebas melakukan apapun yang ia mau, sampai kalau ia membenci seseorang di sekolah ini, ia bisa saja mengeluarkannya begitu saja.
Tanpa alasan. Dan tidak akan ada yang menolak.
Kyungsoo meletakkan sepatunya di dalam loker dan menggantinya dengan sepatu yang disediakan oleh sekolah, sepatu tipis bewarna putih dengan namanya tertulis kecil di ujung kepala sepatu. Ia mengenakannnya dengan cepat dan langsung berjalan menuju kelasnya.
Ia adalah senior.
Mungkin kalian benar-benar berpikir bahwa ia tidak memiliki teman, namun ia punya satu. Namanya Baekhyun. Lebih baik dari pada tidak ada sama sekali kan? Dan pagi ini tampaknya Baekhyun sedang dilanda masalah. Ini sudah sering.
Sehun, salah satu bunga juga teman Kai, berada tepat di depan mejanya tampak kesal. Kyungsoo mendekat namun berhenti saat melihat Sehun tidaklah sendirian.
Konyol, pikirnya.
"Kau tahu, kau tidak seharusnya melakukan itu. Kau mempermalukan Luhan di depan umum!" Bentaknya membuat beberapa orang mengerumuni mereka kerena panasaran. Kyungsoo langsung teringat kejadian semalam saat Baekhyun memberanikan diri untuk ikut dalam audisi peduan suara sekolah mereka.
Baekhyun suka sekali bernyanyi. Dan Kyungsoo mendukungnya sepenuh hati.
Saat itu Baekhyun adalah peserta nomor. 5 sedangkan Luhan adalah jurinya. Luhan juga seorang bunga, bunga yang selalu mekar. Dan sepertinya saat itu Luhan sedang dalam keadaan tidak enak badan, sehingga saat Baekhyun tampil semua orang menatap Baekhyun tidak percaya, begitu juga dengan Luhan. Namun bunga yang mekar tidak akan dengan mudah layu, ia menantang Baekhyun untuk menyanyikan lagu yang lebih susah.
Kyungsoo ingat betapa ia merasa khawatir Baekhyun akan dipermalukan di depan panggung, namun Baekhyun menghancurkan semuanya. Ia bernyanyi dengan hati, lebih baik dari pada penyanyi aslinya. Kyungsoo ingat wajah Luhan yang tampak memerah saat itu, antara malu setelah merendahkan Baekhyun dan gagal, juga marah.
Mungkin inilah alasannya mengapa Sehun ada di dalam kelas dan membentak Baekhyun. Mungkin Luhan menceritakan hal lain.
Baekhyun tergagap ingin menjawab, namun tatapan Sehun membuatnya bungkam kembali. Kyungsoo menerobos dan merangkul pundak temannya itu. Sehun dan tetek bengeknya kaget melihat keberanian Kyungsoo. Sehun hendak membentakknya, namun terdiam saat Kyungsoo membuka mulut.
"Apa kau ingin dikontrak oleh perusahaan entertainment? Kau membuat ini seperti drama murahan yang tayang setiap minggu. Kau pikir bisa memutar balik fakta? Ini kehidupan manusia. Bukanlah dirimu yang mengaturnya, juga bukan Luhanmu yang "sempurna" itu. "
Sehun tersentak, wajahnya memerah. Juga dengan tetek bengeknya yang tampak kaget. Kyungsoo menarik Baekhyun untuk pergi bersamanya, ia lelah dengan keadaan seperti ini. Baekhyun masih dengan air matanya yang mengalir. Kyungsoo tidak suka menangis.
Kyungsoo berhenti berjalan dan menatap temannya itu.
"Kau bisa mereka keluarkan." Ucap Baekhyun lemah.
Kyungsoo tahu. Ia hanya tidak peduli dengan itu semua. Kyungsoo mengelus puncak kepala Baekhyun dan memelukknya. Ia tidak berkata-kata. Ia hanya ingin temannya mengerti bahwa ia ada, meski suaranya tak terdengar juga raganya tidak ada.
Baekhyun membalas pelukannya dan terisak, "Aku ingin pindah. Aku benci tempat ini"
Kyungsoo menghela, "Tidak bisa, Baek. Tempat lain juga tidak akan ada bedanya"
A/N : Uhmm.. seperti yang udah ditulis di awal, ini hanyalah prolog. Kalau banyak yang minat, saya akan lanjutkan. Jika tidak.. ya... begitulah.
Rasanya saya ini banyak minta ya sebagai author baru.. tapi! Tetap saja.
Mohon review nya~~~ ^^
(Typo(s) is accidentally made. Terribly sorry for that.)
:2era: