Andai dia tahu, bertahun-tahun tidakkan cukup untuk menghilangkan perasaanku terhadapnya. Andai dia tahu, setiap malam aku memimpikannya dan berharap aku juga selalu ada di dalam mimpinya. Andai dia tahu, bahwa aku mencintainya, selalu…
.
.
.
A Very Special Fict Dedicated For NARUHINA FLUFFY DAY! #4
Story by: Oryko Hyuuzu (Ory-chan) oryschan
Disclaimer: Masashi Kishimoto-sama
Rated
T
Paring
NaruHina
Genre
Romance/ Friendship / FLUFFY!
Warning
OOC, abal, gaje, typo, gak propesional, EYD hancur, AU, BERUSAHA UNTUK BIKIN FLUFF TAPI KALO GAGAL GOMENNE MINNASAANNN m-_-m
Don't like, don't read, don't flame^^
.
.
.
Happy Reading!
~Andai Dia Tahu~
Angin baru musim semi telah mulai berhembus dua minggu yang lalu, angin hangat yang menyebabkan pohon-pohon sakura mulai berainkarnasi untuk kembali menampakkan helaian kelopak bunga merah jambunya yang indah. Pada musim semi ketika bunga sakura mulai bermekaran, saat inilah orang Jepang melakukan hanami. Hanami merupakan kebiasaan orang Jepang untuk menikmati keindahan buka sakura yang bermekaran sambil makan-makan di bawah pohon sakura bersama yang terkasih.
Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya. Bayangan dirinya dan Naruto yang duduk di atas tikar, di bawah rindangnya pohon sakura yang baru saja mekar, lalu bercengkrama bersama, membuat pipinya sontak memerah padam. Namun tetap saja ia tidak bisa berbohong, melakukan hanami bersama Naruto berdua saja pernah ada dalam mimpinya. Sungguh.
Kini Hinata tengah berjalan menuju taman belakang—dimana pohon sakura tempatnya dan Naruto bertemu setiap hari berada—setelah kejadian dua minggu yang lalu ia dan Naruto memang lebih sering bertemu dan entah apa yang membuat mereka bisa kembali akrab dengan mudah. Lelaki itu, menurut Hinata, memang tidak berubah. Ralat, ia berubah, namun berubah menjadi Naruto yang dulu pertama kali ia kenal.
Ketakutan membayanginya, pikiran negatif itu selalu ada di kala mereka kembali berbicara dengan akrabnya. Bagaimana jika ini sama saja seperti yang dulu? Seorang Naruto yang datang lalu mereka berkenalan secara tidak langsung, akrab, kemudian hanya karena satu kalimat bodoh dari teman Hinata terhadap Naruto, lelaki itu sontak berubah, menjadi menjauhinya, menjadi dingin.
"Terlihat sekali kalau Hinata itu menyukaimu, dasar tidak peka,"
Hanya karena klaim kasar dari Karin, teman semasa SMP Hinata, yang diucapkan tepat di depan teman-teman sekelasnya, semuanya jadi berubah. Sikap Naruto terhadap Hinata, keakraban mereka, aktivitas facebook mereka. Bahkan mereka tidak saling mem-follow di twitter yang pada saat itu baru populer. Benar-benar seperti orang asing.
Ya, memang Hinata menyukainya. Memang Karin tidak salah, lalu kenapa? Kenapa pemuda itu justru menjauhinya? Kalau memang Naruto tidak balik menyukainya kenapa tidak katakan saja? Kenapa justru menjauhi dan membuat Hinata bingung seperti ini, sampai saat ini?
Hinata mengangkat wajahnya saat ia mulai memijak rerumputan taman belakang, pandangannya lurus ke depan, ke arah pohon sakura terbesar di sana. Manik ungu keperakkannya menangkap sosok Naruto yang tengah duduk di bawah rindangnya pohon itu, kelereng safirnya fokus membaca buku di tangannya sehingga ia tidak terlalu menyadari kehadiran gadis yang selama sepuluh menit ini ditunggunya.
"Konbanwa Naruto-kun," sapa Hinata perlahan setelah dirinya hanya berjarak satu meter di depan pemuda pirang itu.
Yang di sapa sontak mengangkat wajah, "Hai Hinata," lalu tersenyum, membuat jantung Hinata seolah berhenti saat itu juga. Naruto segera menutup bukunya dan menepuk-nepukkan rumput di sampingnya, mempersilahkan Hinata untuk duduk di sampingnya.
Setelah Hinata menyamankan diri dengan posisi duduknya, Naruto kembali bersuara, berusaha sesantai mungkin. "Bagaimana kuliahmu?" pertanyaan biasa, basa-basi.
"Berjalan lancar. Naruto-kun sendiri?" jawab dan tanya Hinata, melirik sedikit kepada pemuda itu.
Naruto menghela nafas panjang, lalu bersandar pada batang pohon di belakangnya. "Tidak ada yang spesial."
"Ne," Hinata tertawa kecil. "Mungkin kau terlalu terbiasa dengan suasana London yang serba heboh itu, makanya kau bosan di Jepang."
"Eh, tidak seperti itu," sanggah lelaki itu cepat. "Aku hanya belum menemukan teman, makanya bosan, mereka semua itu maniak belajar, tidak ada yang mengasyikkan," jawab Naruto acuh sembari meletakkan lipatan tangannya ke belakang kepala sebagai sandaran.
Senyum Hinata memudar seketika, tanggapan buruk itu melayang lagi dipikirannya. Apa benar begitu? Naruto menyapanya hanya karena tidak ada lagi yang bisa ia ajak bicara di kampus ini? Dan saat lelaki tan ini menemukan teman ngobrol baru, maka ia akan kembali meninggalkannya? Hinata menggeleng keras. Ia tidak boleh selalu berpikiran negatif seperti ini!
"Tidak ada yang seperti saat di SMP dulu," lanjut Naruto yang ternyata belum selesai berbicara itu. Sontak Hinata menoleh, mengamati wajah lelaki yang kini terpejam menikmati angin hangat musim semi. Diperhatikannya lekukan wajah Naruto yang semakin tirus saja, menampakkan kedewasaannya melalu garis rahang yang lebih tegas itu. Naruto jauh lebih tampan dari yang ia ingat dulu.
Rona merah yang menyembul itu sontak semakin kentara kala safir yang semula tersembunyi kembali keluar. Gadis itu salah tingkah saat dipergoki tengah mengamati wajah lelaki itu, itu menurut Hinata sendiri. Padahal sih sebenarnya Naruto hanya heran mengapa gadis ni tidak merespon kata-katanya.
"Me..memangnya Naruto-kun saat di London tidak punya teman?" pertanyaan kekanakan yang memancing Naruto untuk tertawa dan membuat Hinata semakin salah tingkah dibuatnya.
"Kau ini," ucapnya sembari dengan santai mengacak poni Hinata dan membuat gadis itu memberengut dengan imutnya. Naruto terpaku sejenak sebelum menjawab pertanyaan polos Hinata itu. "Teman tentu saja ada, tapi bule semua. Tidak ada yang nyambung saat kuberi lelucon Jepang, yah jadi agak kaku. Apalagi saat musim-musim awal, mengingat aku yang lumayan payah dalam bahasa Inggris ini," ia terkekeh pelan.
Hinata kembali memberengut mendengar pernyataan merendah-untuk-meroket pemuda itu. "Apanya yang payah, aku bahkan hanya bisa beberapa kali mengalahkanmu dalam nilai bahasa Inggris saat SMP dulu."
Lelaki itu kembali tertawa, tawa lepas yang membuat perutnya sakit sendiri. Membuat Hinata hanya menatapnya sinis, benar-benar merendah-untuk-meroket, batinnya kesal. "Jangan malah tertawa Naruto-kun!"
"Hahaha baiklah," susah payah Naruto mengatur nafasnya agar tawanya tidak kembali lepas. "Tapi benar lho, Hinata-chan," ia kini kembali berbicara serius, terlihat dari sinar matanya yang tepat menuju manik rembulan sang Hyuuga. "Aku benar-benar merindukan semuanya."
Hinata hanya tersenyum memaklumi.
"Juga benar-benar merindukanmu."
Lalu senyumnya memudar. Ia terdiam sejenak. Lalu dilepaskannya kontak mata antara dirinya dan Naruto. Entah kenapa dadanya terasa sesak sekarang. Ia tahu, ia seharusnya senang. Lelaki idamannya itu baru saja mengakuinya, mengakui bahwa ia merindukannya. Harusnya senang bukan?
Namun setelah lelaki itu menjauhinya empat tahun lalu, semenjak mereka baru naik dari kelas 2 SMP, hanya karena kalimat jujur dari Karin, apakah Naruto masih pantas berkata begitu di hadapan Hinata?
Hinata mengangkat tangannya, merasakan jantungnya yang terasa sakit, terluka. Hinata benar-benar tidak mengerti apa yang kini ada di pikiran Naruto, apakah lelaki itu akan mengulangi semuanya? Akan bersikap baik—lagi—seperti ini lalu kembali menjauhinya dan meninggalkannya?
Kelereng mata itu terasa memanas, dirasakannya air hangat mendesak keluar di ekor matanya. Buru-buru Hinata membuang wajah, memposisikan duduknya agar membelakangi Naruto. Ia ingin sekali lari saat itu juga, namun entah mengapa kakinya terasa kram, kram yang menyakitkan. Ia ingin bumi menelannya saat itu juga, sebelum isakkannya lepas dan air hangat itu mengalir keluar menerobos kelopak mata bundarnya.
Sementara Naruto terheran sendiri melihat reaksi Hinata. Ada apa dengan gadis itu? Apakah ia malu, malu karena…pernyataannya tadi? Tapi ekspresinya sangat berbeda, pipinya tidak merona seperti biasanya, seperti prediksinya.
"Hinata, ada apa?"
Ada apa katanya?
"Oi,"
Dasar bodoh, tidak peka, bodoh, kejam, bodoh!
"Hina-chan,"
Mengapa Naruto memanggilnya seperti itu? Membuat jantungnya berdegup semakin cepat dan terasa perih secara bersamaan.
"E—eh? Kau menangis?" tanyanya saat melihat tubuh itu agak berguncang. Naruto menegakkan duduknya lalau memberanikan diri mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak Hinata. "Hina—"
"Naruto-kun," Hinata mengusap matanya yang basah karena air matanya yang telah jatuh itu lalu sedikit berbalik sembari menunduk, tidak berani menatap lelaki yang kini berada di sampingnya.
"Ada apa?" tanya Naruto lagi lalu ia mendekatkan duduknya dengan Hinata agar ia dapat mendengar suara Hinata lebih jelas.
"Apa…" Hinata menggantung sejenak, ragu. "Apa…yang akan kau lakukan… jika ada seseorang yang kau sukai… dulu menjauhimu tanpa alasan yang jelas," jeda sebentar. "…lalu kini tiba-tiba datang padamu dan… dan mengatakan kalau ia merindukanmu?"
Pada akhirnya Hinata mengangkat wajahnya, mempertemukan lavendernya yang sembab kepada safir yang membulat itu. Hinata yakin kali ini kata-katanya itu pasti mengena pada lelaki itu, Naruto tidak sebodoh itu kan?
Namun kemudian si surai pirang justru tertawa meledek, seolah pertanyaan Hinata tadi adalah pertanyaan terkonyol di dunia. Hinata tetap memandanginya, tidak bereaksi apa-apa melihat lelaki itu terkekeh, walau luka di hatinya kini menganga lebih lebar.
"Tentu saja," Naruto mengatur nafas sebelum kemudian kembali menancapkan bola samuderanya kepada mata rembulan itu, dalam. "Tentu saja aku tidak akan mempercayainya. Walaupun aku menyukainya, aku tidak akan percaya dengan mudah."
Hinata masih memandanginya, namun kini alisnya bertaut heran. Apa yang kini ada di pikiran pemuda berkulit tan itu ia tak tahu. Namun Naruto kembali mengeluarkan suaranya. "Tadi kau bilang alasannya tidak jelas, maka sebelum aku mempercayai kata-katanya, aku akan menanyakan alasan itu terlebih dahulu," jawabnya dengan seulas senyum.
Gadis itu bergeming, lalu menunduk kala pipi-pipinya terasa memanas. Ia tidak mengerti mengapa ia dan Naruto kini justru seolah tengah berbicara satu ama lain namun dalam sudut pandang yang berbeda, seperti….bermain kode-kodean. Konyol.
Hening lagi, membuat Naruto jengah dibuatnya, ia tidak suka keheningan yang seperti ini. Ingin sekali ia segera memeluk tubuh berkulit putih ala Asia itu, namun tidak. Tidak sebelum ia menjelaskan semuanya.
"Maaf."
Satu kata yang cukup membuat Hinata mengangkat wajahnya.
"Aku memang sungguh sangat bodoh…" kini justru Naruto lah yang menunduk, sambil duduk bersila dan kedua tangannya menggenggam kuat buku bacaannya tadi. "…dan kekanakan."
"Naruto-kun."
"Aku hanya terlalu senang saat itu, namun juga tidak menyangka. Aku—entahlah—bingung bagaimana harus bersikap. Saat itu aku juga agak kesal, padamu."
Hinata memandang heran. Tepat pada saat itu Naruto mengangkat wajahnya namun hanya memandang langit dengan sendu, membuat Hinata justru mengalihkan pandangannya ke rok rampelnya.
"Aku paling tidak bisa menyukaimu secara diam-diam tanpa melakukan apapun. Maka dari itu aku…menyapamu," rona merah dengan lambat merambati pipi mereka, namun masing-masing tidak melihatnya karena mereka sama-sama melihat ke arah lain.
"Hanya itu, dekat denganmu, hanya itu yang aku mau saat itu. Aku tidak pernah bermimpi kau akan juga menyukaiku," kembali Naruto menundukkan wajahnya, menatap kosong ke arah bukunya. "Sampai Karin mengatakan bahwa kau menyukaiku, aku merasa senang namun juga merasa kesal. Aku merasa itu tidak mungkin dan kau hanya mempermainkanku yang terlalu mengagumimu."
Hinata terkejut dengan apa yang didengarnya. Bagaimana bisa Naruto berpikiran seperti itu…dulu? Ia mendengar Naruto tertawa singkat, tawa pahit. "Kekanakan sekali. Bodoh."
"Aku terlambat menyadari, bahwa perasaanmu kepadaku itu… sungguhan. Aku begitu terlambat sampai takut mengatakannya, takut kau membenciku karena perlakuanku yang dingin terhadapmu. Kau tahu, aku serba salah kala itu. Karena kebodohanku, aku terlalu takut."
Naruto menoleh, melirik Hinata dengan ekor matanya. Dilihatnya gadis itu hanya memandangi dan meremas kain rok kobaltnya, namun ia tau gadis itu masih mendengarkan.
"Sampai kubulatkan tekatku untuk mengatakan semuanya padamu saat malam perpisahan sekolah," Naruto mengulas senyum tipis yang kemudian berubah pahit. "Tapi ternyata Otou-san memutuskan untuk mengirimku ke London untuk bersekolah di sana selama tiga tahun. Aku tidak mungkin, menyatakan perasaanku padamu lalu pergi meninggalkanmu selama tiga tahun."
Hening melanda kedua insan itu. Taman itu sepi, karena memang jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Sedangkan kuliah malam baru dimulai pukul tujuh nanti.
Naruto memasukkan buku tadi ke dalam ranselnya, lalu membebani pundaknya dengan ransel itu. "Tapi sekarang," ia bangkit berdiri, "sekarang aku akan mengatakan semuanya padamu, Hinata-chan," lalu mengulurkan tangannya pada gadis yang masih terduduk itu.
Hinata mendongak, menatap Naruto yang menjulang tinggi. Matanya kembali bertemu safir memabukkan itu, safir yang sejak dulu selalu bisa membuat jantungnya berhenti bekerja sesaat. "Apa kau… percaya padaku?"
Percaya… pada Naruto-kun?
Perlahan namun pasti, tangan kanan Hinata terangkat, menyambut uluran tangan berbalut kulit tan itu. Naruto menarik Hinata perlahan, membuat sang Hyuuga berdiri dari duduknya. Berdiri pun tak membuat Hinata berhenti mendongak, ia mengadah sedikit untuk melihat wajah lelaki yang sembilan senti lebih tinggi darinya itu.
Tangan mereka masih bertautan, sedang tangan kanan Naruto yang bebas terangkat untuk merapihkan anak rambut Hinata yang maju terterpa angin musim semi. Wajahnya tersenyum menatap gadis manis yang kini memandangnya dengan alis yang saling bertaut.
Lengan kanan Naruto turun untuk meraih tangan Hinata yang terkulai bebas di sisi pemiliknya. "Dulu aku sangat menyukaimu dan tidak berani mengatakannya padamu. Rasa takutku itu… mengalahkan perasaan sukaku padamu."
Hinata menunduk, memandang kedua tangan mereka yang saling bertautan. "Tapi sekarang perasaan itu telah berubah," salah satu tangan itu terlepas, dan justru bersarang di dagu Hinata, memberinya aba-aba untuk kembali menatap samudera itu lagi. "Rasa takutku sangat kecil terkalahkan oleh rasa baru yang sangat besar untukmu."
.
.
.
"Hinata. Give me some sunshine. Give me some rain. Give me another chance, I want to grow up once again," Naruto berucap tanpa memutuskan kontak mata mereka, seolah safir itu terlahir untuk sepasang lavender keperakkan sang gadis Hyuuga. "Aku ingin memperbaiki semuanya."
.
.
.
"Daisuki, iie, aishiteru. Aku mencintaimu, Hinata Hyuuga."
.
.
.
Mata itu memburam dan memanas, cairan bening itu memaksa untuk keluar lagi, namun dalam alasan yang berbeda kali ini. Hinata hanya bisa terisak tiap kali ia mencoba untuk bersuara. Ia benci ini, mengapa dirinya harus menjadi secengeng ini diwaktu yang sangat tidak tepat seperti ini!
Tangan berbalut sweater ungu tipis itu terangkat, hendak menahan air yang akan keluar dari matanya. Namun jemari Naruto mendahuluinya, ibu jari itu mengusap lembut embun-embun yang siap terjun dari kelopak berbulu lentik milik Hinata. "Jangan menangis," ucapnya lembut.
Hinata justru meninju pelan lengan Naruto yang terangkat itu kemudian tertawa kecil sambil meneriaki "Baka!" lalu memeluk Naruto dan kembali merengek di sana. Membuat Naruto tentu bingung dibuatnya.
"Hinata—"
"Su..sudah jangan banyak komentar!" suara Hinata agak teredam.
"Kau kenapa?" tanya Naruto entah bodoh atau hanya menggodanya saja.
"Aku sedang bahagia tahu!" jawabnya, membuat Naruto tersenyum dan mendekap gadis mungil itu lebih dekat lagi.
"A..aku…" Hinata berkata setelah isakannya mereda. "Aku juga mencintaimu, Naru."
Naruto tersenyum lembut kemudian terkekeh pelan. "Memang sudah seharusnya begitu kan?" ucapnya enteng sembari memainkan ujung rambut panjang Hinata. "Karena kalau kau bilang tidak, aku akan berlari ke hutan Aokigahara sekarang juga dan tidak akan pernah kembali lagi."
"Dasar bodoh," ucapnya pelan, mulai merasa nyaman dalam dekap hangat kekasih hatinya itu.
.
.
.
~Andai Dia Tahu~
"Andai dia tahu. Setiap malam aku selalu memimpikannya. Bertemu dengannya yang sangat jauh— walau hanya di mimpi—sudah membuatku ingin mati saking senangnya. Melihatnya tersenyum padaku, mengatakan hal-hal manis hanya untukku. Walau hanya di dalam mimpi, sudah membuatku ingin pingsan dalam rona kebahagiaan."
"Andai dia tahu. Aku selalu berusaha melupakannya, menganggapnya tidak pernah ada di dalam kehidupanku dalam dimensi apapun, namun gagal selalu. Karena menyukainya terus menerus terasa menyakitkan, merindunya dalam diam sangat memilukan. Hanya melihat sosial medianya saja, terdiam seperti orang bodoh menatap layar kotak itu."
"Andai dia tahu. Selalu saja aku berpikir bahwa dia adalah cinta sejatiku. Karena aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk segera menghapuskan perasaanku padanya jika memang ia bukanlah untukku. Tapi Tuhan tidak juga menghapusnya, Ia justru membuat rasa ini semakin membesar setiap hari, walau tak lagi kulihat wajahnya dari dekat."
"Andai dia tahu. Pikiran itu selalu ada, berputar diotak, memusingkan, sampai ingin muntah rasanya. Bayangan dirinya yang membenciku, melupakanku, membenciku. Dia dengan gadis lain yang ia cintai, yang itu bukan aku. Dan apa yang akan terjadi nanti jika suatu saat kita akan bertemu kembali?"
.
.
.
"Inilah yang akan terjadi."
CUP
Ciuman itu mendarat tepat di pipi chubby Hinata. Segera saja pipi-pipi porselen itu memerah dalam. Bukan hanya ciuman itu, namun Naruto yang memeluknya dari belakang membuat dirinya menegang karena jantungnya yang seketika lupa cara memompakan darah.
"Naru-kun no baka," Hinata berontak begitu tersadar dan membuat posisi mereka kini menjadi berhadapan dengan tangan Naruto yang masih saja setia melingkari pinggang ramping gadis itu.
"Kau ini bisanya protes saja," ucap Naruto dengan wajah dongkol yang dibuatnya. "Asal kau tahu 'Andai dia tahu' milikku yang kutujukkan untukmu itu jauh lebih banyak. Andai kau tahu bagaimana susahnya tinggal di negeri orang saat cintamu tertinggal di negeri asal."
Hinata hanya terkikik geli melihat betapa lucunya wajah Naruto saat ini. "Gomenasai, Naruto-kun."
Lelaki itu hanya memberengut lalu mendekatkan wajah mereka yang membuat mata Hinata membulat panik. Namun Naruto tidak ingin menunggu lama lagi. Andai Hinata tahu, ia selalu ingin mencium gadisnya itu yang sebentar lagi akan menjadi wanitanya, baiklah, maksudnya dua tahun lagi, Hiashi tidak mengizinkan putrinya itu menikah muda dan Naruto bukan tipe lelaki yang akan merebut keperawanan kekasihnya begitu saja tanpa ikatan pernikahan.
Di bawah pohon sakura tempat mereka bertemu empat tahun lalu. Taman yang memang selalu sepi pada pukul setengah lima sore. Angin musim semi yang hangat, membawa mereka pada indahnya dunia. Dunia yang dahulu selalu mereka kutuk atas apa yang ia lakukan pada mereka. Dunia yang dahulu mereka kira tengah mempermainkan mereka, takdir, dan perasaan. Menciptakan keputusasaan dan rasa frustasi.
Rasakanlah, seperti Naruto yang merasakan betapa manisnya bibir mungil Hinata di lidahnya. Percayailah, seperti Hinata yang mempercayai Naruto-nya dan dekapan hangat yang lelaki itu berikan hanya untuknya.
Rasakan dan percaya, bahwa seseorang tengah menunggumu di sana dengan senyumannya. Tangan yang terbuka untuk memelukmu dan menunjukkan segala sisi indah dunia. Cinta sejatimu takkan pergi jauh, karena ada satu benang yang Tuhan ciptakan untuk kalian berdua. Benang yang disebut cinta.
Andai dia tahu, dia cinta sejatiku, aku mencintainya selalu.
.
.
.
~Andai Dia Tahu~
Selesai
.
.
.
Balasan REVIEW!
Hoshi no Nimarmine
Ini sudah disambung. Syukurlah tepat waktu fufuu*v* maaf ne kalau mengecewakan….Terimakasih reviewnya! Arigatooooo!
Fufu tebakan bagus. Tapi sepertinya agak melenceng dari pemikiran awal kamu fufu *pede* terimakasih semangatnya, terimakasih sudah review, maaf ne kalau mengecewakan!. arigatoooo!
Shen Meileng
Ini udah lanjut terimakasih ya teman sesama nasib Ory :') #watadoss yah semoga kita semua yang bernasib sama pada Hinata awal akan bernasib sama dengan Hinata di akhir cerita ini nyo, Tuhan gak tidur kok hehehe…
hanazonorin444
Daisuki mo... #plak salah wkwkwk terimakasih sudah review!^^
Bebhe-Chan
Aseeekk dirivew sama Bebhe-chan hehehe ternyata #promositerselubung Ory gapernah sia sia /dibakar/ ini udah update dan yah kita senasib kok^^ terimakasih sudah review!
amexki chan
Ya ini udah update chapternya dan…..gomenne kalo gak fluff! Happy NHFD #4 yuhuu #ganyambung hehe terimakasih reviewnya ame-chan :)
.
.
.
A/N:
Err… jadi beginilah hasil galauan Ory terhadap orang yg Ory suka. Udah curhat sana sini malah jadi fict #sebenernyainigapenting #malahbukaaib #cuih dan ditengah2 nulis fict ini sempet2nya Ory nge tweet begini:
oryschan: It sucks doesn't it? Knowing you can make million beautiful love stories when yours aren't even pretty good ones. Go hell authors :))
#promositerselubung
Dan WAW ternyata banyak juga ya yg senasib sm Ory jadi terharu u,u apa mungkin orang menjadi 'penulis' karena kehidupannya yang terlalu pahit makanya dia ingin menuliskan kehidupan yang lebih baik seperti apa yang dia inginkan? :| /dikeroyok penulis seluruh dunia/
Merenung sejenak, dengerin lagu galau lalu kembali menulis. Huakakakakakakakaka #epic
Maaf banyak kata2 picisan dari fict ini, Ory cuman berusaha bikin fluff tp berhubung ini terinspirasi dari cerita sendiri dan cerita kehidupan Ory memang lebih ke tragedy *tersenyum pahit* #salah #sangatsalah makanya jadi gakerasa deh fluffnya hoho…..hoho…
Cuman ingin meramaikan NHFD #4 karena Ory belum pernah ikut event ini sebelumnya, maybe :| *lupa plak wkwk oiya kalo banyak typo mohon maaf karena ini wordnya pake autotext yg sangat mengganggu dan Ory gatau gimana cara nont aktifinnya-_-
Reviewnya diharepin bangettt karena Ory sedang kena WB berat kemarin, semoga review dari anda bisa mengobati WB Ory sehingga Ory bisa lebih sering berkarya dan meramaikan NH di FFN hihihihihi^^
#SeribuReviewUntukOry
!