Disclaimer: Naruto belongs to Kishimoto-san.


die Farbe

;kata benda, warna;

Chapter 1 : Rot

"Hei, seperti apa warna dunia sekarang?"

"Merah?"


Suara jarum jam membuat sebuah keheningan serasa lebih menakutkan. Dalam beberapa detik ke depan satu per satu jumlah penghirup oksigen di ruangan itu akan segera berkurang—atau mungkin akan bertambah. Suara pekik teriakan terdengar dari hampir seluruh penjuru. Barat atau timur, utara atau selatan. Tidak ada yang tahu persis dari mana suara-suara itu diidentifikasi secara spesifik.

Teriakan meminta hidup. Mengemis agar jiwa-jiwa itu dibebaskan, karena dalam keadaan ini mereka semua takut akan kematian. Bagaimanapun juga mereka percaya, semua ini adalah sebuah kesalahan dan mereka hanyalah korban.

Korban yang tak berdosa. Mereka tak sadar seperti apa dosa yang mereka perbuat. Itulah manusia.

Serpihan kaca yang berserakan di lantai, pot tanaman yang pecah membuat tanah yang semula menyokong tanaman untuk tetap hidup tercecer dimana-mana. Kemudian mereka berlari, berusaha menyelamatkan diri mereka sendiri, sudah tidak peduli apa yang terjadi saat ini dan kenapa bisa terjadi. Hanya untuk tetap hidup, berlari dan terus berlari.

Detak-detak jantung dari makhluk mungil di dalam tabung-tabung kaca berhenti satu per satu. Mereka yang biasanya memastikan detak-detak jantung itu tetap ada telah pergi entah kemana. Karena dalam situasi seperti ini—sangat kacau, kebiasaan tidak akan terus berjalan. Mungkin ini adalah akhir dari mereka. Entah dari makhluk-makhluk mungil itu atau mereka yang membuatnya—yang ikut ambil urusan dalam hal ini, kloning manusia.

Suara tembakan meletus dari berbagai arah seiring dengan pekik teriakan kesakitan dari mana-mana. Di dunia ini mungkin sudah tidak mengenal lagi hal semacam kemanusiaan. Entah karena menyenangkan atau karena terlalu terobsesi, mereka pembawa senjata api, bom, parang, pedang dan sebagainya itu terus saja melukai mereka yang berlari ketakutan. Jeritan-jeritan itu adalah sebuah ekstasi.

Memabukkan, seperti berada di surga.

Mereka menembak ke segala arah, karena ke arah manapun di arahkan pasti mengenai serat daging. Menembuskan hingga membuat darah segar terpecik keluar. Toh, jika seperti itu namanya bukan terpecik lagi. Dalam interfal waktu kurang dari satu menit belasan nyawa telah melayang. Entah karena tertembus peluru di dada, kepala, atau mana saja. Soal dimana mendaratnya timah panas itu bukan hal yang perlu dipermasalahkan, karena pada akhirnya mereka akan mati.

Ternyata timah panas itu bukan timah panas biasa, setelah masuk ke dalam tubuh perlahan benda kecil itu akan pecah. Bereaksi dengan hemogoblin dan terbakar. Membakar tubuh manusia dengan mudah dan cepatnya. Kematian yang mereka rasakan bukan hal yang menyenangkan, jika saja peluru itu langsung menembus jantung atau kepala, pasti mereka akan mati seketika. Ya, jika saja para penembak itu membiarkan kematian yang cepat. Mereka memilih untuk melihat korbannya menjerit kesakitan. Menyanyikan melodi kematian yang memilukan untuk mereka yang masih hidup, namun serenade untuk mereka yang mabuk akan darah.

Seorang anak kecil terdiam, ia bukan siapa-siapa dan tidak akan dibunuh, itu pikirnya. Namun salah, karena pada detik berikutnya sebuah parang menebas kepalanya. Cepat. Sangat cepat.

Merah darah dimana-mana, warna api menyokongnya sehingga membuat suasana di tempat ini sudah tidak dapat dikatakan bumi lagi. Jika saja kematian hanya mengirimmu ke tempat lain yang lebih baik. Toh, manusia tidak tahu.

Mati, akhir dari segalanya.

"Haa, aku berbaik hati membiarkan anak ini mati di tanganku," kata seorang laki-laki berambut putih sembari tertawa renyah.

Tidak peduli apapun itu. Hidan akan membunuhnya, sebenarnya ia kesal karena telah kehabisan pelurunya.

"Hidan, cepatlah."

"Tsk, kau tidak sabaran, Itachi."

Setelah memporak-porandakan tempat ini, mereka—berjumlah lima orang—dengan tenang berjalan menuju ruangan yang mungkin menjadi tempat dimana orang yang mereka cari berada.

Bangunan putih pucat ini seolah menjadi merah, kuas kekejaman telah mengubah warnanya. Perlahan namun pasti suara kehidupan dari lantai satu sudah tidak lagi terdengar, namun perlahan pula suara mencengkam semakin jalas. Suara keheningan.

Benar. Keheningan telah mendominasi tempat ini. Dari segala frekuensi tidak ada lagi gelombang. Kecuali dari layar yang terhubung dengan kamera CCTV yang ada di setiap sudut bangunan ini. Di sini, di ruangan utama dan dimana semua dosa yang mereka perbuat dilakukan, dikendalikan, dan diawasi. Empat orang mengamati setiap gerakan yang terlihat di setiap layar. Banyak sekali yang mati dalam kejadian ini, seratus, dua ratus, atau bahkan tiga ratus jika bakal manusia yang ada dihitung. Karena tempat—bangunan ini adalah sebuah laboratorium.

"Tsunade-sama,"

Wanita paruh baya ini—Tsunade memejamkan mata. Melihat para pekerjanya mati dalam kondisi seperti ini membuatnya panik. Tapi dalam situasi seperti ini ia harus memastikan jiwa yang tersisa masih bisa menghirup napas dan merasakan sinar matahari esok hari. Itu masih sekitar delapan jam lagi.

"Izumo, Kotetsu," Tsunade berdiri dari kursi empuknya. Membalikkan badan dan memandangi anak buah kepercayaannya itu dengan seksama. Mungkin hari ini akan menjadi hari terakhir ia melihat mereka. "Kalian dipecat," lanjutnya.

Izumo dan Kotetsu saling berpandangan, bingung. Sebelum mereka sempat bertanya kenapa, sebuah peluru mendarat di dada Izumo. Ia jatuh terpental beberapa kaki. Darah segar mengucur dari dadanya, namun tidak terlalu banyak.

Kotetsu membulatkan matanya. Dalam satu sisi ia ingin segara meraih Izumo yang terlentang di lantai. Lantai putih pucat yang kemudian ternoda oleh warna merah darah membuyarkan pikirannya. Ia ingin bertanya—lagi, dan lagi sebuah peluru menembus ruang udara kemudian mendarat tepat di tempat yang sama dengan peluru sebelumnya. Di dada Kotetsu dan ia pun jatuh, tersungkur. Darah lagi, ruangan ini ternoda lagi. Kenapa harus warna merah?

Shizune terdiam.

"Mereka tidak mati, sel-sel akan regenerasi dalam waktu dua jam. Ikuti aku."

Sebuah kalimat perintah kecil, namun Shizune tahu itu adalah kalimat mutlak untuk diikuti. Kemudian Tsunade berjalan ke arah sebuah rak buku tinggi menjulang. Dengan sebuah remote control di tangannya, rak buku itu terbelah menjadi dua. Menampakkan sebuah pintu besi yang besar.

"Tsunade-sama?" Shizune tidak mengerti apa yang terjadi.

"Mereka tidak akan mendapatkan formula itu."

Ya, bagi Tsunade formula itu adalah hidupnya. Ia menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk meneliti formula yang bisa membuat orang kehilangan kendali akan alam sadarnya, masuk ke dalam alam bawah sadar. Yang pada intinya membuat orang menjadi gila, denotasinya. Saat manusia bisa berada dalam titik itu ia akan ratusan kali lebih kuat.

Jika formula ini jatuh ke tangan yang salah, mungkin saja dunia yang ia inginkan selama ini hanyalah sebuah angan belaka. Orang-orang di tempat ini sudah cukup gila, tidak perlu bertambah gila lagi.

Tapi, untuk membuat formula ini saja sudah tidak terhitung dosa yang ia buat.

Saat pintu besi itu terbuka terlihat sebuah ruangan besar. Dengan warna yang kontras dengan warna ruangan yang menghubungkannya, warna merah marun. Sebuah tempat tidur queen size dibalut dengan warna putih susu. Kemudian meja rias dengan cermin yang besar, tapi tidak ada satupun benda yang berada di atas meja itu. Rak buku kayu berplitur gelap di sebelahnya dan juga sebuah jendela besar—membuat ruangan terlihat sangat kontras merah, putih susu, dan juga coklat.

Tsunade menyadari sebuah gerakan dari balik tirai merah marun. Kemudian perlahan ia berjalan mendekati sumber gerakan itu. Menyikapkan tirai itu sehingga memperlihatkan sosok gadis berambut merah muda. Ia menutup matanya, kedua tangannya meremas kuat rambutnya.

Tsunade terdiam sejenak, "Sakura."

Gadis itu mengangkat kepalanya. Kedua mata emerald menatap lurus tanpa fokus.

Tangan Tsunade meraih pipi gadis itu, perlahan mengusap pipi yang basah karena air mata. Sudah lama sekali ia ingin melakukan ini. Mengasihi gadis ini, mungkin jika ia melakukannya sekarang kesulitan yang dibuatnya untuk Sakura akan sirna. Bagaimanapun juga hari ini akan jadi hari terakhir ia bisa melihatnya. Semua nantinya terserah pada takdir, dimana ia akan membawa gadis ini. Tsunade hanya berharap Sakura bisa bahagia selayaknya gadis normal lainnya. Jauh dari penderitaan yang dibuatnya. Terlalu cerdas juga tidak akan membuatmu bahagia, hanya akan membuatmu tenggelam ke dalam pikiran yang terus terpikirkan tanpa henti.

Sakura adalah memori data-datanya. Tanpa password dan tidak akan mengatakannya pada siapapun. Tsunade percaya itu.

Walau tak melihatnya, Tsunade tahu bahwa Sakura dapat merasakannya. Merasakan nyawa-nyawa itu melayang. Ini bukan yang pertama kalinya Sakura merasakan ini. Tsunade masih sangat ingat bagaimana kondisi Sakura saat ia menemukan gadis ini dulu, sepuluh tahun yang lalu. Ketakutan karena melihat kejadian yang tidak dapat dirasakan dengan hati, terlalu kejam. Melihat kedua orangtua Sakura dibunuh di depan mata emerald itu.

Setidaknya Sakura tidak akan melihat warna merah darah itu lagi, karena saat ini ia tidak dapat melihat seperti apa warna dunia ini. Hanya dengan mengingat seperti apa warna crayon yang ia gunakan saat masih kecil dulu itulah yang membuat Sakura tahu warna apa saja.

Sakura buta.

Namun itu tidak akan berjalan lebih lama lagi, Tsunade berjanji akan itu.

Sakura memiliki ingatan fotografi. Ia dapat mengingat segalanya hanya dalam sekali lihat atau dengar. Karena itulah Tsunade memilihnya, hanya Sakura yang tahu semua rahasia yang dikatakan Tsunade tentang tempat ini, bagaimana tempat ini dibangun, dan untuk apa dibangun.

Bersyukur karena Sakura tidak dapat melihat. Tidak bisa dibayangkan butuh berapa tahun untuk melupakan kejadian ini jika gadis ini melihatnya. Mungkin Sakura akan melupakannya jika Sakura menjadi gila. Menjadi gila karena segala bentuk gambaran-gambaran mengerikan ini.

Mungkin.

"Shizune, ambil kotak putih di balik cermin itu," kata Tsunade tanpa mengalihkan pandangannya dari Sakura. "Semua akan berakhir," lanjutnya pelan.

Shizune menganggukkan kepala kemudian ia berjalan menuju depan cermin. Cermin yang besar. Sesaat ia melihat dirinya sendiri dan tersenyum tipis. Apapun yang terjadi ia akan setia pada Tsunade. Menghela napas panjang Shizune mengambil sebuah revolver dari balik jas laboratorium putih bersihnya. Ia bertanya, kapan warna putih ini akan diwarnai dengan warna lain. Ia sedikit bosan, eh?

Mengarahkan revolvernya lurus ke arah cermin dan menarik pematiknya. Suara ledakan kecil terdengar disertai pecahnya kaca itu menjadi bagian-bagian kecil yang tercecer di lantai. Memantapkan pecahannya, Shizune menginjak pecahan itu saat ia berjalan mengambil sebuah kotak putih yang kini terlihat.

Segera, ia memberikannya kepada Tsunade.

Tsunade meraih tangan kiri Sakura, mencari dimana keberadaan pembuluh vena. Setelah menemukannya, Tsunade mengusapnya dengan kapas yang telah diberi cairan pensteril. Setelah itu dengan dibantu Shizune, Tsunade menyuntikkan jarum menembus kulit Sakura perlahan. Sakura menggigit bibir bawahnya.

Satu suntikan sekitar lima mililiter cairan kuning, yang entah itu apa.

…kemudian suntikan kedua, ketiga, hingga akhirnya Sakura merasa seluruh badannya memanas. Seperti dibakar.

"Setelah kau bangun, hanya ada satu orang yang bisa menyelamatkan nyawamu," kata Tsunade pelan, lalu jarum suntikan keempat dicabut dan saat itulah Sakura mulai kehilangan kesadarannya.

"Sasuke Uchiha."

Itulah hal yang Sakura dengar sebelum kesadarannya benar-benar hilang.

Sasuke Uchiha.

Mendengarkan namanya saja sepercik ketenangan Sakura rasakan, siapapun orang ini Sakura yakin ia akan menemukan kedamaian, ketenangan, dan mungkin kebahagiaan saat bertemu dengannya kelak.

Saat Akatsuki sampai di ruangan yang mereka tuju, semua telah kosong. Hanya dua tubuh manusia yang tergeletak tak bernyawa.

"Cih," decak Deidara saat melihat kegagalan mereka, "Ini semua salahmu, Hidan! Kau terlalu menikmati ikan-ikan teri itu," Deidara meraih beberapa geranat kecil di sakunya, melemparnya ke layar yang memperlihatkan keadaan di seluruh bangunan itu. Demi apapun, dimana mereka meletakkan kamera-kamera itu, karena sudah dipastikan mereka telah menghancurkannya. "Lihat kita kehilangan tuna!"

Kisame mengayunkan pedangnya hingga menyenai beberapa layar. Percikan api dari benda elektronik itu selanjutnya membuat keheningan di antara mereka tercipta. Ia tidak suka gurauan Deidara tentang ikan. Jika bukan salah satu partner, sudah dipastikan Kisame akan menebas lehernya.

Ada pertahanan lapis kedua yang tersembunyi. Sangat tersembunyi.

Itachi hanya terdiam. Mata onyx-nya mengamati sekitar ruangan itu. Ruangan ini cukup sempit untuk ukuran ruangan pengendalian. Tidak ada hal-hal spesifik yang dicatat di whiteboard, hanya beberapa jadwal operasi kecil dan juga nama sebuah bunga, sakura. Tidak ada pintu keluar selain pintu utama, selain itu tidak ada jendela di ruangan ini.

Seharusnya tidak ada jalan keluar lagi.

Tapi…

Itachi berjalan dengan cepat menuju rak buku. Aneh karena dengan posisinya, hampir semua bagian yang tidak terisi penuh bukunya terjatuh miring. Kedua mata onyx-nya terpejam kemudian berubah menjadi mata merah semerah darah. Mengamatinya, ternyata itu adalah sebuah kamar. Namun hanya kamar biasa, tidak ada gerakan atau tanda-tanda kehidupan di tempat itu. Tidak perlu masuk Itachi bisa melihatnya. Sekarang yang menjadi pertanyaan Itachi adalah bagaimana mereka bisa keluar? Di ruangan di balik rak buku ini tidak ada pintu keluar, walau ada sebuah jendela besar, itu hanyalah sebuah kaca bening besar yang dibuat agar cahaya matahari bisa masuk. Apa yang Itachi lihat dengan matanya berwarna hitam dan putih. Bisa melihat menembus benda lain, itu salah satu kemampuan yang bisa dimiliki seorang Uchiha. Kemudian Itachi menyadari ada pecahan kaca yang berserakan di lantai.

Sebelum sempat Itachi menggerakan tangannya, Kisame mengangkat tangannya. Mengisyaratkan untuk diam. Semua menyadarinya.

"Sepertinya saingan kita datang. Eh, Itachi?" cetus Sasori sembari melirik Itachi yang sibuk dengan pengamatannya.

Menghela napas kecil, Itachi kembali memejamkan matanya dan warna kembali menjadi onyx.

Saingan, eh? Tentunya itu Sasuke Uchiha, adik Itachi. Mereka saling bersaing, bukan berarti Sasuke berada pada sisi yang putih. Karena mereka sama-sama berada pada sisi hitam.

Di dunia ini sekarang, tidak ada yang benar-benar bersih. Semua akan dibuat legal asal bisa bertahan hidup.

"Kita pergi."