Tokyo Dome, 25 Desember

"Untuk saat terakhir. Giliran kami, yang sudah menciptakan Devil Bats. Tendanglah." Hiruma melemparkan kicktee pada Musashi yang berdiri tak jauh darinya. "Satu kick sampai ke goal post. Itu satu-satunya cara agar kita bisa menang. 60 Yard Magnum!"

Musashi hanya melirik sahabatnya sekilas. Ia kembali mengangsurkan kick tee pada Hiruma, membiarkan pria berambut spike jabrik itu meletakannya di atas rumput stadion.

Suara-suara 'tak percaya menggaung, berbaur dengan udara yang makin memanas. Pemain Teikoku Alexanders juga tampak memasang ekspresi tidak percaya.

"Ini mustahil Hiruma…Tidak sepertimu yang hanya percaya pada angka. Bahkan selama latihan, aku tidak pernah menendang sampai lebih dari 55 yard." Ucap Musashi datar. Pandangan matanya tampak teduh mengawasi sahabatnya.

"Kita menciptakannya supaya apa pun yang terjadi kita bisa sampai ke Christmas Bowl. Kau, aku dan Kurita, kita menciptakannya hanya dengan bertiga. Deimon Devil Bats." Hiruma berujar serius.

Musashi terdiam. Kurita menoleh dari tempatnya. Ia menatap Hiruma juga Musashi.

"Lalu, waktu kau meninggalkan tim. Kau tahu berapa banyak barang yang dihancurkan Kurita dalam keputusasaannya? Dan waktu kehabisan barang untuk dihancurkan, kau tahu seberapa banyak dia menjerit?"

Hiruma menyeringai menatap Musashi. Tapi pria yang diajak bicara itu tahu, ada kesedihan dalam suaranya yang terdengar sangat tegar. Ada kesedihan dalam cahaya hijau emerald di mata komandan dari neraka itu.

Kurita sendiri rasanya ingin menangis mendengar kata-kata Hiruma. Ia bisa merasakan matanya berkaca-kaca. Lineman itu masih memandangi dua sahabatnya secara bergantian.

"Kekekekeke… Dosa itu harus kau bayar sekarang di sini! Mencetak kick yang mustahil itu adalah tugasmu, orang tua sialan!" Hiruma kembali menunjukan seringainya.

"Ya." Musashi tersenyum. "Tidak masalah, sepertinya tidak ada jalan lain untuk menang!"

"Pada akhirnya, Kurita akan melempar bola, Hiruma akan memasangnya, dan Musashi akan menendangnya. Mereka akan menyelesaikannya dengan kekuatan ketiga pendiri Devil Bats."

.

.

.

Deai no Chikara

Dislaimer: Riichiro Inagaki-Yusuke Murata

Story: Mayou Fietry

Pair: Hiruma- Musashi-Kurita

Hiruma x Mamori

Musashi x OC

Kurita x OC

Genre: Friendship, humor, romance

Warning: OOC(terutama Musashi), OC seperti biasa, typo yang selalu setia, humor garing, gaje, ngaco, abal tingkat akut,


"TOUCH DOWN!"

GUBRAK.

Telah terjadi gempa lokal di sebuah kuil di daerah Deimon malam ini. Guncangannya cukup untuk membangunkan warga sekitar yang tengah terlelap tidur.

"Ryokan…. Sedang apa kau tengah malam begini?!" terdengar suara teriakan seorang pria paruh baya dari salah satu kamar di kuil itu.

Seorang pria berumur 17 tahun dengan badan bulat dan besar tampak tengah terduduk di atas sebuah futon. Ia mengucek kedua matanya dengan punggung tangan. Wajahnya terlihat bingung. Sepertinya ia tidak tahu kalau dia baru saja menjadi penyebab sebuah goncangan yang cukup besar tadi.

"Hoamh…," ia menguap pelan. Tangannya yang juga bulat menggaruk perutnya yang buncit dengan lembut. "Mimpi itu membuatku lapar." Ia bergumam.

Ia bangkit dari posisinya. Mata kecilnya menatap keluar jendela. Dari sana, ia bisa melihat sebuah bangunan megah yang tampak 'tak begitu jauh.

"Hiruma pasti sedang tidur nyenyak sekarang," pria itu-Ryokan Kurita- kembali bergumam pelan. Matanya mengalihkan pandangan. Masih dari jendelanya, ia menatap bangunan besar yang merupakan sebuah rumah sakit.

"Musashi juga, biarpun menjaga ayahnya. Dia pasti sudah tidur," sekali lagi Kurita bergumam. "Lebih baik aku makan saja," sebuah senyum lebar terpasang di wajah Kurita. Dengan hati-hati ia melangkah ke dapur.

"Maaf soal keributan tadi, ayah," ia berbisik pelan saat melewati kamar ayahnya.

Begitu sampai di dapur, ia mulai membuka lemari es dan mengambil berbagai macam makanan miliknya. Dengan sangat lahap Kurita memindahkan semua makanan itu ke dalam perutnya.

"Makan tengah malam memang nikmat!"

~00000~

Hiruma baru saja akan melangkah keluar apartementnya saat ia merasakan satu dari sekian ratus handphone miliknya bergetar. Pria bermata hijau itu meraih handphonenya dan memeriksa sebuah pesan masuk.

From: gendut sialan

"Hiruma, besok ayo jenguk ayahnya Musashi."

Hiruma hanya meletuskan gelembung permen karet di mulutnya saat membaca pesan itu. Ia kemudian memasukan benda metalik putih itu ke dalam tas sekolahnya. Ia segera beranjak dari tempatnya berdiri.

Ia melangkah santai menuju stasiun Deimon yang jaraknya 'tak begitu jauh dari apartementnya. Tapi sebelum ia mencapai tempat tujuannya. Kaki jenjang pria berambut pirang itu berhenti di depan sebuah gang. Ia mengedarkan pandangannya, seakan mencari seseorang.

"Hiruma-kun!"

Iris hijau emerald dalam mata komandan neraka itu tampak membesar saat mendengar suara seorang gadis memanggilnya. Ia menoleh kearah suara dan mengakap sosok Mamori tengah berlari kecil kearahnya.

"Kau terlambat 5 detik, manajer sialan," ujar Hiruma santai. Ia berseringai menyambut kedatangan manajernya.

"Huuh… Kan cuma 5 detik! Salahmu sendiri tiba-tiba mengajakku berangkat bersama!" jawab Mamori sembari terus berjalan mendekat kearah Hiruma dan berhenti tepat di samping pria itu. Wajahnya menunjukan kekesalan.

"Soalnya kau harus membawa ini!" Hiruma memindahkan beberapa file yang ia bawa ke tangan Mamori.

"Mou… Menyebalkan! Padahal kau 'kan bisa memberikannya padaku saat di sekolah!"

"Suka-suka aku, manajer sialan!" Hiruma menyeringai kemudian berjalan mendahului Mamori.

"Paling kau hanya ingin berduaan denganku, makanya mengajakku!" dengan beraninya Mamori menggoda Hiruma.

Tapi sepertinya pria di depannya itu tidak terpengaruh. Ia terus saja berjalan.

'Kalau dia tidak menjawab, itu artinya benar 'kan?' batin Mamori.

"Terus saja berfantasi, manajer sialan! Tapi jangan harap kalau fantasimu itu akan menjadi kenyataan. Aku cuma nggak ingin tanganku pegal karena bawa berkas sialan itu, makanya aku menyuruhmu membawanya!"

Mamori menggelembungkan pipinya. Ia sedikit berlari untuk menyamai langkah Hiruma. Begitu tiba di sampingnya, Mamori langsung memukul setan itu dengan tumpukan berkas yang ia bawa—hanya sebuah pukulan pelan, tentu saja.

"Lagi-lagi kau memanfaatkanku!" sentaknya.

"Jadi cewek itu memang harus bisa dimanfaatkan, manajer sialan!" balas Hiruma sambil menatap dalam mata Mamori. Pria itu menyeringai saat menyadari wajah manajernya memerah.

Mamori diam. Ia tidak ingin melanjutkan perdebatan dengan Hiruma, kalau dia masih membalas, bisa-bisa mereka tetap berdebat sampai sekolah nanti. Keduanya kini berjalan berdampingan menuju stasiun Deimon.

"Kau sudah sarapan, Hiruma-kun?" tanya Mamori mengalihkan pembicaraan.

"Belum," jawab Hiruma singkat.

"Eh.. Kenapa belum? Bagaimana kalau nanti kau sakit?" tanya Mamori lagi, yang sepertinya tidak sadar kalau pertanyaannya terdengar khawatir.

"Karena tidak ada yang memasakkannya untukku." Hiruma kembali menjawab seadanya. Ia bahkan tidak menggoda Mamori yang menunjukan perhatian padanya.

Gadis bermata biru itu tampak tidak puas dengan jawaban Hiruma. Selama ini yang ia tahu Hiruma selalu teratur makan. Kalau tidak ada yang memasak untuknya 'kan Hiruma bisa memesannya dan dengan segera makanan akan diantar ke apartementnya.

"Kenapa melihatku begitu, manajer sialan?" tanya Hiruma yang sukses membuat Mamori terkejut.

"Si-siapa yang melihatmu? Dasar GR!" Mamori melempar pandangannya kearah lain. Tapi ia masih bisa melihat Hiruma itu menyeringai. Pria itu pasti melihat semburat merah di pipi gadis cantik ini.

"Nggak usak sok perhatian padaku, manajer sialan!" ungkap Hiruma datar.

Mamori 'tak menjawab. Ia masih belum mau melihat Hiruma.

Setelah itu keduanya kembali terdiam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tidak ada yang bicara lagi sampai mereka tiba di stasiun.

Pada jam-jam seperti ini kereta menjadi lebih padat. Hiruma dan Mamori berdiri di salah satu gerbong, pria jabrik itu memposisikan dirinya di samping Mamori. Satu tangannya berpegangan, sementara tangan lainnya memeluk pinggang Mamori.

"Hi-Hiruma, tanganmu?" Mamori menundukan wajah dalam-dalam. Padahal biasanya jika ada yang berani melakukan hal seperti itu padanya, Mamori akan segera mengamuk, tapi entah kenapa kalau Hiruma yang melakukan, ia malah merasa nyaman, dan juga aman. Mengingat di dalam kereta yang super padat begini banyak chikan bertebaran.

"Apa?" sahut Hiruma sambil melirik malas kearah Mamori. "Kau mau chikan sialan itu meraba-raba tubuhmu, atau biarkan tanganku tetap di sini sampai stasiun berikutnya?" Hiruma berbisik dikalimat terakhir membuat wajah Mamori kembali memerah. Gadis itu mengangguk dan makin menundukan wajahnya. Ia tidak mau Hiruma melihat wajahnya saat ini.

Hiruma baru melepaskan tangannya saat kereta berhenti di stasiun berikutnya. Keduanya melangkah turun dan langsung meneruskan perjalanan mereka menuju sekolah.

"Arigatou, Hiruma-kun." Mamori membungkuk sebentar lalu berjalan mendahului Hiruma. Jantungnya masih belum bisa berdetak dengan normal, dan wajahnya masih memerah. 'Apa yang tadi di kereta itu benar-benar Hiruma? Kenapa manis sekali?!' inner Mamori nyaris berteriak.

"Manajer sialan, besok kau bantu si cebol buat penerimaan anggota baru!" instruksi Hiruma yang masih berjalan di belakang Mamori.

Gadis di depannya itu menghentikan langkah dan menoleh padanya. Mamori tampak menautkan alis.

"Kenapa?" tanya Hiruma datar, tidak mengerti maksud dari ekspresi Mamori.

"Kau tidak ikut?"

"Aku mau ke rumah sakit besok."

Mamori memutar bola matanya dan segera menatap Hiruma. Ia memandangi pria itu lekat-lekat. "Kau sakit?" tanyanya.

"Tidak."

"Lalu?"

"Berhentilah bertanya, manajer cerewet!"

Mamori langsung diam saat Hiruma mengatakan itu. Nada bicaranya sudah tak bisa dibantah lagi.

"Hiruma!"

Dua orang itu menoleh saat telinga mereka mendengar panggilan itu. Mereka mendapati Kurita tengah berjalan mendekat sembari melambaikan tangan.

"Kurita-kun!" Mamori yang membalas sapaan Kurita.

"Ah… ohayou, Anezaki, ohayou Hiruma!" sapa Kurita setelah ia bergabung dengan Hiruma dan Mamori.

"Ohayou, Kurita-kun…!" balas Mamori tersenyum. Sementara Hiruma terlihat tidak peduli.

"Waah… kalian berangkat bersama, romantis sekali… fufufufu!" ledek Kurita.

"Hanya kebetulan!" sanggah Mamori, berusaha menutupi rona merah di pipinya.

"Berisik kau, gendut sialan!" hardik Hiruma.

"Ne, Hiruma… kau sudah baca pesanku tadi pagi kan?" tanya Kurita antusias.

"Hm."

"Jadi bagaimana…? Besok kita pergi?"

"Bukannya besok Hiruma-kun mau ke rumah sakit?" tanya Mamori sebelum Hiruma menjawab.

"Benar, kau mau ikut…?"

"Nggak usah ajak dia! Nanti dia cerewet…!" potong Hiruma.

"Mou!" Mamori menggelembungkan pipinya. "Memangnya kalian mau apa ke rumah sakit?" tanya Mamori. Ia menandang Kurita. Kalau Hiruma pasti tidak mau jawab.

"Mau jenguk ayahnya Musashi," jawab Kurita antusias.

"Oh," Mamori tersenyum. Ia memandangi dua orang di sampingnya itu. Yang satu menyeramkan, sementara satunya lagi tampak sangat baik dan ceria. Persahabatan itu memang indah. Mungkin hanya Kurita dan Musashi yang mengerti Hiruma sedalam-dalamnya.

"Waaaaahh…..!" mata Kurita berbinar begitu mereka bertiga sampai di gerbang sekolah. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Mereka sudah kelas tiga sekarang. Sepanjang jalan dari gerbang menuju gedung sekolah banyak siswa-siswa dari semua klub mempromosikan klub mereka.

"Waah, ramai!" komentar Mamori.

"Norak!" Hiruma berjalan mendahului Mamori dan Kurita.

Merasa Hiruma sudah beranjak, dua orang itu langsung menyusulnya.

"Mana Devil Bats?' gumam Kurita. Matanya mencari-cari keberadaan klub American Football.

"Yaaa~ Mamo-nee… sebelah sini!" suara ceria seorang gadis membuat tiga orang itu menoleh. Mereka mendapati Suzuna dengan pakaian sekolahnya bersama Sena dan yang lain.

Mamori dan Kurita tersenyum dan langsung menuju gadis itu, Hiruma juga menghampirinya dengan malas.

"Suzuna-chan, tidak ke sekolah?" tanya Mamori saat tiba di sana.

"Sebentar lagi, Mamo-nee. Soalnya aku khawatir kalau meninggalkan acara ini dan menyerahkannya pada orang-orang seperti mereka!" jawab Suzuna sambil menunjuk pria-pria yang bersamanya.

Sena dan Monta dengan gugup membagikan brosur pada siswa baru, Komusubi juga membantu dengan "Fugo-fugo"-nya, yah, sebenarnya tidak terlalu membantu karena tidak ada yang mengerti apa yang dia katakan, Taki hanya berputar-putar tidak jelas, dan Ha-Ha bersaudara tampak malas-malasan di belakang.

Mamori tertawa hambar. Mengeri maksud dari perkataan Suzuna. Tim Deimon 'kan memang unik.

"Ck! Biar kuajarin gimana caranya!" Hiruma mengambil pengeras suara entah dari mana, ia lalu menghirup nafas dalam-dalam. "PARA MURID BARU SIALAN! AKAN KUKIRIM KALIAN KE NERAKA KALAU TIDAK MASUK KLUB AMERICAN FOOTBALL!" teriak Hiruma lewat pengeras suara.

Semuanya menutup terlinga agar tidak mengalami kerusakan pada gendang telinga.

"Mou… Hiruma-kun! Kau gila!" yang pertama protes sudah pasti Mamori. Yang lainnya masih mengumpulkan kembali nyawa mereka.

"ya ampun, pagi-pagi sudah berisik." Musashi tampak berjalan mendekati stan klub amefuto sambil mengorek telinganya. Terganggu juga dengan suara Hiruma mungkin. Di belakangnya terlihat Yukimitsu yang sepertinya gemetar.

"Suara Hiruma terdengar sampai depan," komentarnya.

Hiruma malah menyeringai bangga. "Kalau begitu klub sialan ini bakal banyak peminatnya."

"Itu tidak mungkin!" sanggah Mamori.

"Ya… minna, aku harus ke sekolahku sekarang, sukses yaa…!" Suzuna pamit dan segera meluncur keluar gerbang sekolah Deimon.

Banyak juga yang tertarik pada klub American Football, tidak seperti tahun lalu yang merupakan tahun penuh perjuangan untuk Kurita dan Hiruma supaya bisa mendapatkan anggota. Sekarang, banyak yang berdatangan dan minta bergabung dengan Devil Bats, salah satunya adalah Akira Nakabo atau Chubo yang sekarang sudah ikut mempromosikan klub amefuto. Rasanya, perjuangan berat satahun—bukan, lebih lama dari itu, Hiruma, Musashi, dan Kurita telah meneteskan banyak keringat dan air mata untuk tim ini. Tim yang sekarang telah mencapai puncak berkat kerja keras semuanya dan sekarang, tidak lagi butuh ancaman untuk mengajak orang lain bergabung, mereka telah datang dengan sendirinya untuk bergabung.

"Sumimasen, boleh minta brosurnya?" terdengar suara anak perempuan yang manis.

"Iya, tentu saja!" Kurita dengan segera mengangsurkan kertas brosur yang dipegangnya pada gadis tadi.

Saat itulah pandangan mata mereka bertemu.

'Manisnya.' Batin Kurita.

Di depannya kini berdiri seorang gadis mungil, cantik, rambut hitam panjang yang diikat ke atas dengan rapih, bola mata coklat caramel, dan wangi vanilla yang menguar dari tubuhnya.

'Dia seperti bola-bola coklat yang manis.' Batin Kurita lagi.

"Gendut sialan, jangan melamun!" sentak Hiruma yang berhasil membangunkan Kurita dari alam bawah sadarnya.

"Ah, iya, ini… silahkan dilihat," Kurita tersenyum dan segera memberikan brosur yang ternyata belum sempat ia serahkan pada gadis itu.

"Terima kasih," ujar gadis itu.

"Kau mau masuk klub amefuto?" tanya Mamori.

"Iya, apa boleh…? Uhm, aku ingin jadi manajer seperti Anezaki-senpai." Jawab gadis itu.

"Tentu saja!" Mamori dan Kurita menjawab kompak.

"Datang ke ruang klub sepulang sekolah besok, bocah sialan!"

Gadis itu mengangguk penuh antusias sambil tersenyum ceria. "Arigatou gozaimsu!" ia mumbungkuk hormat.

"Iya, sama-sama." Lagi-lagi Kurita dan Mamori menjawab kompak.

Musashi tersenyum kecil lalu menepuk pundak Hiruma. "Kurasa kali ini pikiran kita sama," ucapnya pelan.

Hiruma meliriknya sekilas. "Bicara apa kau?" tanyanya malas. Ia lalu melangkah meninggalkan stan amefuto dan berjalan menuju gedung sekolah diikuti Musashi.

"Aku bicara soal Kurita, kau jangan pura-pura tidak tahu." Musashi memulai lagi pembicaraan.

"Hoamh…." Hiruma menguap malas, pura-pura tidak tertarik dengan pembicaraan Musashi. "Ngapain aku mikirin si gendut bodoh itu."

"Benar, lebih baik memikirkan Anezaki, 'kan?"

Hiruma menghentikan langkahnya dan menatap Musashi dengan pandangan super galak, ia seolah siap mencabik-cabik Musashi dengan gigi taringnya. Sementara Musashi hanya membalasnya dengan wajah polos.

"Kau bicara sesuatu, orang tua sialan?" aura hitam menguar dari punggung Hiruma, buku ancaman juga sudah ada di tangannya, pria itu menyeringai seram.

"Ya, kubilang lebih baik memikirkan Anezaki dari pada Kurita, benar 'kan?" Musashi masih dengan wajah polos tanpa dosa.

Hiruma menyeringai makin seram dan siap meneriakan pada dunia tentang aib nista sahabatnya ini, kalau saja….

"Hiruma-kun, Musashi-kun!"

Panggilan dari sang malaikat cantik itu mengganggu konsentrasinya.

Hiruma dan Musashi menoleh pada Mamori yang berlarian kecil menuju mereka berdua. Hiruma memasang wajah sebal, sementara Musashi tersenyum kecil menyambut malaikat itu.

"Mau apa, manajer sialan?" tanya Hiruma galak.

"Ke kelas, tuan Hiruma Youichi yang terhormat." Jawab Mamori menuh penekanan saat ia tiba di antara dua pria itu.

Musashi tersenyum geli melihat tingkah dua temannya. "Sepertinya aku akan ke kelas duluan." Ia pamit sambil menepuk pelan bahu Mamori.

"Hoi!" Hiruma memanggilnya tapi Musashi tetap melangkah mendahului mereka.

Musashi masih tersenyum kecil sambil terus melangkah, ia bisa mendengar dua orang di belakangnya sudah mulai saling berteriak. Kapan mereka berdua akan mengakhiri tingkah konyol mereka dan mengakui perasaan masing-masing? Dasar anak muda. Musashi malah menggelengkan kepalanya.

Ia langsung menuju bangkunya saat tiba di kelas. Setelah meletakan tasnya, Musashi segera membaca buku, masih mengabaikan suara berisik dari pertengkaran sejoli itu.

"Kenapa? Kenapa harus menerima dia?" Mamori bertanya dengan nada protes.

"Kau nggak perlu tahu alasannya. Pokoknya, dia HARUS jadi manajer Devil Bats berikutnya." Suara Hiruma terdengar tidak bisa dibantah.

Musashi melirik ke samping, Hiruma tengah menyeringai senang sambil duduk di bangkunya, kaki panjang itu langsung naik ke atas meja.

"Atau kau menyukainya ya? Makanya kau ingin dia jadi manajer Devil Bats yang baru?" Mamori yang duduk di depan Hiruma menoleh dengan cepat.

Hiruma menyeringai senang, atau seringai penuh kemenangan. "Tentu saja enggak, manajer sialan bodoh!"

"—karena yang dia sukai itu kau." Potong Musashi dengan wajah polos tanpa dosa andalannya.

"Apa… Musashi-kun?" Mamori menoleh pada Musashi. Wajahnya kelihatan bingung.

"Orang tua sialan! Nggak usah mengada-ada!"

"MIIINNNAAA!" teriak Kurita dari arah pintu sukses membuat seisi kelas mengalami kerusakan pendengaran. Pria besar itu berlari menuju tempat duduk teman-temannya, menyebabkan ruangan di lantai 4 ini berguncang.

"Oi! Oi! Gendut! Berhenti bertingkah begitu! Kau mau menghancurkan sekolah ini, heh?!" Hiruma langsung menembaki kurita dengan Ak-47 kesayangannya sementara yang lain bersembunyi di bawah meja, kecuali Musashi dan Mamori.

"Gomen!" Kurita duduk dan melindungi kepalanya dari peluru Hiruma dengan kedua tangan. Tapi tentu saja, Hiruma tidak menghentikan aksinya.

"Hiruma-kun bodoh, hentikan!" Mamori berteriak sambil memukul kepala Hiruma dengan buku di mejanya.

Hiruma menggeram sebelum menatap Mamori dengan pandangan galak. Moncong AK-47 kini menempel di kening Mamori. "Berani sekali kau, manajer sialan?!"

"Ya! Aku berani. Kalau hanya melawanmu, aku tidak takut!" Mamori malah menantang.

Tapi Hiruma malah menurunkan senjatanya dan menyeringai. Ia kemudian kembali ke bangkunya, membuat Musashi dan Kurita yang melihat itu sama-sama tersenyum.

Kurita duduk di bangkunya dengan manis sambil masih tersenyum. Matanya berbinar-binar bahagia seolah dia baru menemukan persediaan makanan seumur hidup.

"Kau baik-baik saja?" tanya Musashi yang mulai khawatir dengan kejiwaan sahabatnya.

"Ne, Musashi, Vanilla itu cantik ya?" Kurita seperti sedang mengigau.

Musashi memasang wajah aneh. "Vanilla? Cream warna putih itu? Bukankah harusnya manis?"

"Hiruma, bisakah kau terima Vanilla jadi manajer Devil Bats?" kali ini Kurita menoleh kearah Hiruma.

"Hm…? Siapa itu Vanilla sialan, gendut sialan?" tanya Hiruma malas.

"Bisakan, Hiruma?" Kurita tidak menanggapi pertanyaan Hiruma dan malah kembali bertanya.

Mamori yang melihatnya mengerutkan alis. Bingung. Tapi akhirnya dia mengerti arah pembicaraan Kurita. "Yang kau maksud pasti gadis cantik tadi pagi 'kan?" tanyanya.

Kurita menunduk, wajahnya memerah. Mamori dan Musashi tersenyum geli melihat tingkah raksasa lembut itu, sementara Hiruma malah menyeringai.

"Hoo… jadi itu yang kau maksud, gendut sialan?" Hiruma melirik Kurita dari sudut matanya. "Waah… aku tidak mau melakukan hal seperti itu tanpa imbalan." Seringai dua taring miliknya keluar.

"Eh, begitu ya, Hiruma. Aku, tidak bisa memberikanmu imbalan." Kurita menjawab dengan nada sedih.

Mamori merengut sebal pada Hiruma lalu tersenyum manis kearah Kurita. "Serahkan saja semuanya padaku, Kurita-kun."

"Ah! Tentu saja, ada Anezaki!" pria itu langsung kembali bersinar.

Mamori mengangguk. 'Dasar bodoh, jadi ini alasan dia menyuruhku menerima anak yang tadi pagi.' Ia menggerutu dalam hati, tapi ia juga senang dengan sikap Hiruma yang diam-diam sangat peduli pada sahabatnya.

~00000~

Musashi baru saja menonton televisi di ruang tunggu lantai dasar rumah sakit Jakomachi, tempat ayahnya dirawat. Meski kondisinya sudah berangsur membaik, ayahnya masih belum diperbolehkan pulang, entah sampai berapa lama lagi.

Bosan dengan acara di televisi, Musashi melangkahkan kakinya keluar, ia menuju vending machine untuk membeli kopi. Hari ini agak membosankan. Ia akhirnya memilih untuk jalan-jalan di taman, seharusnya jam segini sudah tidak ada orang yang berkeliaran di sini.

Kopi kaleng yang ia dapat dari vending machine tadi tanpa terasa sudah hampir habis. Dari pada bosan, Musashi pikir akan menyenangkan menendang kaleng ini ke tempat sampah di ujung sana, seperti yang dilakukan Kotarou waktu itu.

Musashi meletakan kaleng kopi yang hampir habis itu di tanah lalu mengambil posisi untuk menendang. Pria itu menghitung dalam hati lalu menendang kaleng kopi tersebut, tentu saja tidak dengan tenaga super seperti biasanya.

Klontang!

"KYYYAAAAAA….!"

Musashi tersentak mendengar jeritan perempuan dari arah tendangannya tadi. Apakah tendangannya mengenai makhluk dari alam sana yang sedang jalan-jalan? Tanpa berlama-lama dengan pikirannya, Musashi segera berlari menuju asal teriakan, dan di sana ia menemukan seorang gadis yang duduk di kursi roda. Rambut hitam panjang gadis itu tampak basah dan kotor, kopi? Musashi merasa sangat bersalah.

"Maaf," ucapnya kaku.

Gadis itu menoleh, matanya menatap lekat Musashi. "Apa yang sedang paman lakukan?" tanya gadis itu.

"Paman?" alis Musashi menukik tajam. "Aku masih tujuh belas tahun." Ujarnya kemudian.

"Hee?" si gadis melotot tidak percaya. "Tidak mungkin," ia bergumam pelan. "Tapi yang lebih penting, sedang apa kau di sini?" ia kembali pada pertanyaan awalnya.

"Aku mendengarmu berteriak." Jawab Musashi, menyembunyikan fakta bahwa dirinyalah yang membuat gadis ini berteriak. Karena rambut gadis itu kotor seperti tersiram kopi dan kaleng yang penyok karena ulah kakinya ada di dekat kursi roda si gadis.

"Ada yang melempar kaleng kopi ke kepalaku," gadis itu bercerita.

"Aku yang melakukannya." Musashi akhirnya mengakui perbuatannya.

Gadis itu melotot lagi kearah Musashi, kali ini bahkan lebih tajam. "Kenapa kau melakukannya?"

"Kupikir tidak ada orang di sini, apa yang kau lakukan di sini? Kau pasien 'kan? Seharusnya kau tidak berkeliaran di sini, nona."

Gadis itu terkesiap mendengar perkataan Musashi, wajahnya berubah sedikit pucat. "Aku akan melupakan kau pernah melempar kaleng ke kepalaku kalau kau menutup mulut dan tidak mengatakan pada siapa pun tentang pertemuan ini. Oke? Selamat malam." Gadis itu langsung memutar roda di kursi yang ia duduki dengan tangannya, sepertinya ia ingin segera pergi dari Musashi sebelum pria ini melaporkannya pada perawat.

Musashi tersenyum kecil. "Biar kuantar." Ia memegang handle di belakang kursi dan mendorongnya pelan.

Gadis itu diam menerima tawaran Musashi. "Maaf soal kaleng itu, aku pikir di sini tidak ada orang. Rambutmu jadi kotor." Musashi memulai pembicaraan.

"I-iya, tidak apa-apa." Gadis itu malah jadi gugup.

"Kau baru masuk? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya?"

"Eh… Aku sudah satu minggu, kau bagaimana?"

"Ayahku dirawat sejak dua tahun lalu, rumah sakit ini sudah seperti tempat tinggalku."

"Oh, begitu."

Keduanya terdiam cukup lama. Mereka tidak tahu apa lagi yang ingin mereka bicarakan.

"O namae wa?" keduanya bertanya secara bersamaan. Selama sepersekian detik mereka diam karena tidak sengaja menanyakan hal sama, kemudian saling tertawa kecil.

"Gen Takekura," jawab Musashi. "Tapi teman-temanku memanggil Musashi."

"Musashi? Takekura?―hei! Kau kicker legendaris 60 yard Magnum 'kan? Kau menendang kaleng tadi!" tanya gadis itu dengan penuh semangat.

"60 yard Magnum itu cuma dongeng yang dikarang temanku."

"Tidak, tidak, tidak, kau membuktikannya di Chrismast Bowl."

"Baiklah, bagaimana denganmu? Namamu?"

"Uhm… aku, namaku Yukari Umeda." Gadis bernama Yukari itu kembali gugup.

"Kenapa dengan kakimu?" akhirnya Musashi menanyakan hal yang ingin ia tanyakan sejak melihat gadis ini.

Kaki kanannya di gips, tapi tidak ada luka lain di tubuh gadis ini. "Aku jatuh, waktu latihan dengan kudaku." Jawab Yukari.

"Kau seorang…?"

"Joki."

Mata Musashi sempat membulat. "Joki wanita? Kau ikut pacuan kuda?" tanyanya.

"Iya, tentu saja. Bulan depan akan ada lomba pacuan di Tokyo, sudah dua minggu aku latihan di Tokyo, tapi minggu lalu malah dapat kecelakaan begini."

Musashi diam menyimak cerita gadis itu. "Dimana kamarmu?" ia bertanya saat mereka tiba di lift lantai dasar.

"Lantai 4." Jawab Yukari seadanya.

"Kau ikut pacuan, berapa umurmu sekarang?"

"Delapan belas. Tahun ini aku lulus, dan akan mulai kuliah di Kyoto."

Musashi kembali diam saat pintu lift terbuka, ia dan Yukari segera masuk. Gadis itu juga ikut diam. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan tanpa saling bicara.

"Sampai!" ujar Yukari saat tiba di depan kamarnya. "Terima kasih, Musashi-san."

"Ya, maaf soal kopinya." Musashi sedikit membungkuk.

Yukari mengangguk sambil tersenyum simpul. "Tidak apa-apa, ini bukan masalah. Aku masuk ya, selamat malam." Gadis itu berpamitan sebelum akhirnya masuk ke kamarnya.

Musashi juga langsung berbalik menuju kamar ayahnya di lantai 11. Pria itu tersenyum diam-diam. 'Tidak terlalu buruk.' Batinnya.

Tsuzuku

ayeyeye... lagi-lagi saia bikin fic gaje! nyahaha... agak aneh ya hirumamonya? awalnya saia pengen bikin mereka udah jadian, tapi saia edit lagi, hasilnya begini deeh...

oke, silahkan tinggalkan review anda sebelum pulang, minna... XDD