Disclaimer: Terpampang nyata kalau Gundam Seed/Destiny bukan milik saya.

Pairing: Siapa lagi, AsuCaga forever-lah! Long Live AsuCaga~ ^o^)/

Warning: AU, sangat OOC sekali, Typo(s) bertebaran di mana - mana, Un-Beta-Ed, sudah pasti ketebak alurnya kemana. This fic is mere fiction. If there's a similarity or resemblance of the situation and the story with another or other story fic form it is not intentional.

A/N: Multichapter fic Indonesia pertamaku. Yay.. *tebar bunga*. Bukan bermaksud untuk plagiat, tapi kebanyakan kata-kata, scene, plot, chara, dsb mengutip dari shojou manga karya Washio Mie-Sensei – Love in Trattoria. Salahkan spageti yang saya makan selagi membaca manga ini, hwehe... Tapi tidak sepenuhnya mirip sich, saya akan banyak mengubahnya di sana sini atau lebih tepatnya (mungkin) ter-INSPIRASI. Saya sarankan reader semua membacanya, ceritanya sangat manis semaniz saya. *plakplakplak*. Yosh! Typos uda di perbaiki!

Summary:
Kira dan Cagalli Hibiki, kakak-beradik yatim piatu, membuka sebuah restoran, yang parahnya sedang mengalami krisis keuangan. Suatu hari Kira menolong pemuda yang hampir mati kedinginan karena hujan di depan restorannya, tak di sangka ternyata sang pemuda tampan tersebut jago memasak. Masalahnya adalah pemuda tersebut dan Cagalli seperti bulan dan matahari, siang dan malam, kucing dan anjing, hitam dan putih. Dapatkan mereka menjalankan restoran tersebut dengan damai.


"Kalau sudah besar nanti, aku akan menjadi seorang chef hebat seperti Ayah."

"Bagus Kira, kalau kau, Cagalli?"

"Aku tidak bisa memasak. Aku akan membantu Kak Kira, Ayah dan Ibu saja."

"Hahaha... Impian kalian bagus sekali, semoga bisa tercapai."

"Hei Cagalli, membantu yang bagaimana maksudnya? Jangan – jangan kau membantu makan saja atau malah menghancurkan dapur?! Hahaha..."

"Kira jangan menggoda adikmu terus."

"Memang begitu kan Bu."

"Enak saja! Ehhmm... aku bisa jadi... jadi... waiter-nya. Ya, waiter!

"Seharusnya waitress kan."

"Bahasa Inggris-mu meragukan Cags selain itu kau kan wanita!"

"Whatever!"

.


Leggi Alba

.

Story 1 : Twilight


Tujuh tahun kemudian...

"Huft..." sudah sekian kalinya si gadis pirang ini mendesah dan mengeluh. Padahal waktu istirahat sekolah adalah waktu paling di tunggu-tunggu oleh hampir semua murid, sebenarnya nomer dua ter-favorit setelah waktu pulang sekolah.

Dia masih sibuk membolak-balik sebuah majalah, mata amber-nya masih fokus menelaah sedikit demi sedikit kata-kata yang tercetak di kertas putih itu. Setelah membolak-balik sambil memainkan pensil di jari mungilnya, kembali ia mengeluh.

"Ach.. sebal! Apa saja sich yang dilakukan pemerintah sekarang ini!" dia mengacak-acak rambut blonde-nya dengan kesal.

"Apa kau tidak pernah mendengar pepatah, Cagalli." Tiba-tiba ada suara yang menyelanya, tapi si pirang atau lebih tepatnya, Cagalli menoleh ke sumber suara tersebut. "'Ask not what your country country do for you, ask what you can do for your country.'"[1] Si rambut berwarna magenta mengutip kalimat yang sangat terkenal di seantero jagat dengan bangganya.

Gadis berambut pirang bermata amber tersebut malah menanggapi dengan cueknya, malah membalas dengan kata favoritnya, "Whatever!" sambil kembali menatap majalahnya. Merasa dilanda keheningan Cagalli pun risih, tak berapa lama ia pun mulai membuka mulutnya lagi sambil menatap sang lawan bicara.

"Luna. Hmm... tumben kau kembali ke kelas lebih cepat?! Mana yang lain?" tanya Cagalli pada salah satu best friend-nya. Luna pun menyodorkan sesuatu ke muka Cagalli, sebuah roti dengan selai mocha. Luna tau bahwa si rambut pirang ini sering tidak makan pada saat istirahat sekolah.

Si pirang ini pun tak menyia-nyiakan perberian gratis tersebut setelah mengucapkan 'thanks' ia segera membuka kemasan plastik roti itu.

"Kau tahu Meer, ada senpai yang ia kagumi, jadi dia ingin mencuri-curi pandang dulu dan Miri sedang sibuk dengan klubnya untuk persiapan festival fotografi terbaru di sekolah kita minggu depan. Lagipula waktu istirahat hampir kelar, so... aku balik duluan" Jelasnya sambil mengambil kursi dan mendekatkannya dengan kursi Cagalli.

"Ehm... bwegwiwu ywaw, dwacwar mweyer –" Cagalli hanya mengangguk setelah mendengarkan penjelasan dari Luna sambil mencoba menelan roti yang sedang dimakannya, "– wah Miri hebat! Coba aku ikutan klub juga."

"Majalah apa itu?" tunjuk Luna pada sebuah majalah yang hampir penuh dengan coretan tanda silang dan lingkaran di meja Cagalli.

Cagalli hanya menaikkan alisnya, "Oh, ini, majalah."

"Say~ aku tau kalau itu majalah. Maksudku apa yang kau lakukan?" si pemilik rambut berwarna magenta mengeryitkan alisnya kesal.

"Biasa... part-time job, apalagi. Aku harus mencari kerja yang baru."

Pemilik mata berwarna ungu itupun mengambil majalah tersebut sedangkan Cagalli melanjutkan acara makannya, "Katamu lowongan pekerjaan?! Tapi, apa ini?! Kau mau menikah cepat Cagz! Haha..." mendengar itu, Cagalli tersedak, memghentikan hobi makan kesenangannya dan merebut paksa majalah dari Luna, yang sedari tadi tertawa terbahak-bahak.

"A-apa coba liat! Kau liat apaan sich!" setelah melihat, mata amber-nya pun membulat. "What the hell!Eeew..." rasanya ingin melempar majalah ini jauh-jauh saking jijiknya.

'Attention! Butuh cepat segera seorang istri muda. Bersedia dengan tulus ikhlas menjadi istri ketiga. Mau janda, gadis, perawan atau setengahnya juga boleh asal tidak terlalu tua. Yang pasti perempuan tulen bukan makhluk jadi-jadian. Saya lulusan S3: SD, SMP, SMA. Umur 35 tahun lima tahun yang lalu. Saya straight jadi anda tak perlu khawatir, di jamin service memuaskan. Berminat? Pasti! Hubungi nomor ini segera xxx-xxxxxx. Chuuu~ Yuuna R. Seiran.'

"Ya Tuhan haha... Cagz... Aku tau kau butuh uang... haha.. tapi ide mu bagus juga... lulus high school lagsung menikah saja jadi Kak Kira tidak akan repot lagi. Haha..." sambil menghapus air sela-sela mata ungunya dan berusaha menghentikan tawanya.

"Humph... baliknya, bukan yang itu Lunnie!" Kata si pirang sambil melempar majalah itu kembali ke muka Luna sambil menggembungkan pipinya karena kesal. Ia merasa sangat mual setelah membaca iklan tersebut, kenapa ada makhluk se-pede ini lahir ke bumi ini.

Luna pun hanya bisa ber'o' ria. "Sorry Caggy honey~" Luna pun membalik halaman majalah tersebut setelah salah membaca 'lowongan cinta' yang mengerikan.

Luna pun melanjutkan membaca, ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun tapi di lihat dari ekspresi wajahnya terlihat ia tertarik untuk membacanya.

Tiba-tiba si magenta hair menepuk-nepuk bahu Cagalli untuk mendapatkan perhatiannya. "Bagaimana kalau ini Cagz!? Babysitter?" Luna menyarankan dan si pemilik mata amber ini hanya menggelengkan kepalanya tanda tak setuju.

"Anak-anak tidak mau mengalah, mereka berisik, dan suka mengompol sembarangan!" keluhnya sedangkan Luna hanya bisa nyengir.

Namanya juga anak-anak.

"Kalau guide-tour?"

"Aku buta arah."

"Kasir swalayan?"

"Aku bodoh berhitung."

"Pengantar mie ramen?"

"Aku tidak suka bau ramen."

"Aktris?"

"Aku payah dalam akting."

"Girl-band?"

"Aku bukan Meer."

"Pilot Gundam?"

"Memang ada kerja seperti itu!?"

"Satpam?"

"Pilihanmu semakin gila!"

"Istri muda iklan yang tadi?"

"..."

"Presiden Orb?"

"LUNA!"

"Haha.. bercanda Cagz! Gomen-gomen... tapi Cagz lebih baik kau kerja membantu kakakmu saja." Setelah mendengarkan saran Luna, entah mengapa ada sedikit rasa bersalah kepada kakaknya. Lagi-lagi ia mendesah,

"Huh, iya kurasa sudah waktunya." Gadis berusia tujuh belas tahun itu meletakkan dahinya mencium meja di depannya.

Luna meletakkan salah satu tangan di pundak Cagalli. "Sekali-kali turutilah kakakmu itu. Buat dia bahagia. Kau tau kan apa saja yang telah dia korbankan untukmu." Cagalli mengerti dengan betul apa sebenarnya yang Luna katakan, tentu saja ia mau membantu dan membahagiakan kakaknya sebisa mungkin.

Mencari part-time job merupakan salah satu hal kecil yang Cagalli lakukan untuk meringankan beban satu-satunya keluarga yang ia punya, kakaknya, setelah kedua orang tua mereka meninggal pada saat Cagalli berusia 10 tahun dan Kira 13 tahun.

"Ahhh,,, aku tahu!" tiba-tiba sahabat karibnya itu berteriak, membuat Cagalli tersentak dan mengangkat kepalanya lalu memberi si rambut mangenta itu death-glare ala Medusa-nya yang sangat terkenal karena telah membuatnya terkejut.

"Uups.. sorry. Gimana kalau kau bantu aku di toko. Persediaan di gudang menumpuk dan berantakan, Ayah menyuruh kami membereskan setelah pulang sekolah. Tapi aku dan Mey sedang sibuk-sibuknya latihan di klub, akan ada lomba cheer nasional bulan depan. Kau gantikan aku saja nanti aku bayar dech."

"Kenapa, nggak ngomong dari tadi! Oke, Deal!" kata Cagalli dengan riang sambil menyodorkan tangan kanannya. Luna menyambut uluran tangan tersebut dan menghentakkannya ringan.

"Deal, ehmm... tapi... harga pertemanan ya!?" Cagalli hanya bisa sweatdrop.


Langit mulai berubah warna. Warna oranye kemerah-merahan itu mulai berubah warnanya menjadi abu-abu kehitaman. Seperti yang dikatakan oleh pembawa berita pagi bahwa hari ini nampaknya di ramalkan hujan deras di sore harinya terutama di kota ini.

Di kota dimana terdapat salah satu restoran kecil di pojok jalan. Terlihat seorang pemuda dengan rambut coklat dan mata amethyst-nya sedang sibuk. Sibuk? Padahal restoran tersebut sedang sepi pengunjung bahkan bisa di bilang tidak ada pengunjung.

Pemuda atau kakak dari Cagalli, Kira Hibiki ternyata sedang sibuk mencoret-coretkan penanya pada suatu lembaran putih, hampir serupa seperti yang dilakukan sang adik. Terlihat raut mukanya menjukkan ekspresi tidak nyaman. Kira memijit dahinya lelah, sepertinya dia bingung akan sesuatu.

Tanpa peringatan dan banyak basa-basi, hujan pun turun dengan derasnya. Kira terkejut dan segera menutup jendela di sampingya.

Hujan tersebut cukup deras, anginnya pun cukup kencang tapi tak membuat pemuda tersebut melanjutkan aktivitas corat-coretnya. Tapi nampaknya aktivitas tersebut harus ia hentikan karena terdengar angin menggedor-gedor jendela di sampingnya. "Ini namanya bukan hujan lagi tapi badai!"

Pria berambut coklat dan bermata ungu itu pun lagsung beranjak dari peraduannya. Dia melangkahkan kakinya untuk menutup semua jendela dan pintu belakang restorannya. Setelah memastikan semua terkunci rapat dan aman, ia mulai berjalan untuk menutup pintu depan. Tapi di tengah perjalanan tiba-tiba ia teringat sesuatu, adiknya, Cagalli yang belum pulang juga dari sekolah.

'Kenapa sudah jam segini Cagalli belum pulang? Apa masih kerja paruh waktu di tempat itu?' Ia terus berpikir tentang adiknya sambil berjalan. Sesampainya di pintu utama, ia memiringkan sedikit kepalannya, karena ada hal yang tidak biasa di depan restorannya.

"Apa itu!?" gumamnya. Ia mengedipkan matanya berkali-kali, "Oh, cuman orang tiduran!" katanya sambil menutup pintu dengan santainya.

'Eh... Orang!? Tiduran!? Hujan-hujan begini!? Holy Haumea!'

Matanya membesar dan Kira cepat-cepat kembali membuka pintu restorannya lebar-lebar. Bagaimana bisa dia telat sadar kalau ada sesosok pemuda yang tergeletak entah masih bernyawa atau tidak di bawah guyuran hujan yang deras dan dingin itu.

Kira mencoba menggoyangkan badan pemuda yang tak sadarkan diri tersebut. "Hei! Kau tidak apa-apa!? Hei!" Suara Kira bercampur dengan derasnya hujan dan angin tidak mampu membangunkan pemuda malang tersebut. Kira mencoba memeriksa denyut nadi pemuda tersebut.

Deg...deg...

Ia bernapas lega setelah mendengar denyut dari pemuda itu walaupun dirasanya sangat terburu-buru ia pun segera membawa masuk pemuda itu masuk ke dalam restoran yang juga merangkap sebagai rumah keluarga Hibiki.

"S-semoga ia masih bisa tertolong!" ujarnya sambil memapah pemuda yang tak sadarkan diri tersebut ke lantai dua restorannya.


Kediamaan Hawke...

"Whoa... derasnya! Kenapa hujannya tidak berhenti!" desahnya kesal melihat hujan tak kunjung reda dari jendela sebuah rumah dan waktu sudah menunjukkan jam 6 malam. Sesuai janjinya pada Luna pada saat istirahat makan siang sekolah, Cagalli membantu slash kerja paruh waktu di toko keluarga Hawke.

Setelah menyelesaikan mengerjakan semuanya dia bermaksud untuk langsung pulang sebelum mendapat omelan dari kakaknya, Kira, selama berjam-jam. Tapi ketika hendak pulang, hujan malah makin deras.

Tuan Hawke aka Ayahnya Luna tidak mengijinkan Cagalli pulang disaat 'badai' seperti ini, malah menyarankan Cagalli untuk makan malam terlebih dahulu di sana dan pulang setelahnya, itu pun kalau hujan reda.

"Cagz, kau masih di sin?" tanya Luna yang muncul tiba-tiba sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk. Kelihatannya si rambut magenta ini baru pulang dari eskulnya. Tak berapa lama menyusul di belakangnya adalah Meyrin Hawke, adiknya yang hanya terpaut lebih muda setahun dari mereka dengan rambut pigtail ciri khasnya.

"Hmm... Kalian baru pulang?" tanyanya pada kakak beradik Hawke.

"Iya hujannya deras sekali, jadi kita berdua pulang naik taksi. Tapi kelihatannya ini lebih deras dari yang tadi!" keluhnya sambil mengambil posisi duduk di antara Cagalli di ruang makan.

"Hai, Kak Cagalli." Sapa si bungsu Hawke sambil menarik kursinya sedikit.

"Hai... Mey! Lama ya kita tidak ngobrol seperti ini?" Yang di tanya malah sedikit blushing.

"Hahaha... Iya Kak!" jawabnya agak nervous.

"Bagaimana kerjamu hari ini, Cagz?" tanya Luna pada si pirang yang sedang mengunyah makanannya.

"Nwot bwad! Pwamwan Hwawkwe bwaywak m-mwembwanwukwu," jawab Cagalli susah payah sambil menelan makanannya.

"Luna, biarkan Cagalli makan dulu baru lanjut ngobrolnya nanti!" Kali ini giliran Nyonya Hawke yang buka suara dan langsung bernada 'warning' pada Luna.

"Maaf Ibu." Jawabnya cepat.

"Cagalli, menginap saja di sini sehari. Keliahatannya hujan tidak akan reda sampai pagi. Besok sore saja pulanglah ke rumah, tapi hubungilah keluargamu dulu," saran Tuan Hawke.

"Benar Cagsz! Kau bisa tidur denganku, kau bisa pinjam bajuku dan kita bisa bergosip semalaman. Sudah lama kau tidak menginap di rumahku." Kata Luna dengan riangnya menyambut senang saran ayahnya.

"Iya Kak, menginap saja. Sehari juga Kak Kira tidak bakal marah." Tambah Meyrin mendukung keputusan si sulung Hawke.

Pemilik mata amber itu hanya bisa ber-sweat drop-ria mendengar saran The Hawke Family. "Eehm... baiklah!" jawab si pemilik mata amber ini disambut senyuman lebar dari Tuan Hawke dan Meyrin serta tepukan tangan sekali oleh Luna.

"Ehem! Bisa lanjut ngobrolnya setelah makan nanti!" Nyonya Hawke menginterupsi kesenangan keluarga Hawke. Bukan karena tidak senang dengan Cagalli tapi ingin membiasakan disiplin untuk tidak banyak bicara saat makan tapi sering kali si sulung dan Tuan Hawke ini melanggarnya.

"Yes Mom!" jawab mereka kompak bersama-sama.

"Psst, setelah ini langsung hubungi Kak Kira. Aku tidak mau ada kerutan di wajahnya dan rambutnya jadi putih di kepala si tampan itu." Kata Luna sedikit berbisik pada Cagalli agar ibunya tidak mendengar, tapi tentu saja ibu Luna serta yang ada di sekitar meja makan tersebut dapat mendengarnya.

Ibu Luna tidak berkata apa-apa hanya melirik tajam serta ganas pada putri sulungnya itu. Luna yang merasakan dashyatnya lirikan ibunya hanya bisa nyengir. Mendengar saran Luna, Cagalli hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya.

'Ngomong-ngomong soal Kak Kira, tumben dia belum menghubungiku. Apa restoran begitu ramai di hari se-jelek ini? Atau Kak Kira sibuk mengatasi kebocoran di rumah karena hujan beberapa hari ini? Atau jangan-jangan... achh... jangan berpikir macam-macam!' pikir Cagalli.

Mungkin benar apa yang dipikirkan oleh Cagalli, Kira memang sedang sibuk atau mungkin sedang disibukkan oleh sesuatu, lebih tepatnya seseorang.


Meanwhile, di Kediaman Hibiki...

Kak Kira, maaf lama menghubungi. Aku tidak pulang ke rumah hari ini. Saat ini aku ada di rumah Luna karena hujan belum reda, mereka memaksaku menginap di sini semalam. Besok, sehabis pulang sekolah, aku janji akan segera pulang. Take care and love you.

Begitulah isi pesan singkat yang di kirim Cagalli pada Kira lewat hand phone.

Sigh...

Ia hanya menghela napas lega setelah membaca pesan dari adik kesayangannya itu. Di lain pihak dia khawatir akan adiknya, Cagalli, tapi di lain pihak ia juga merasa lega Cagalli bersama dengan keluarga Luna, yang ia tahu merupakan salah satu sahabat karib Cagalli.

"Uurgh..." terdengar suara erangan menghapus lamunan Kira.

Ternyata pemuda yang tidak sadarkan diri di bawah guyuran hujan tadi sore sudah siuman. Kira meletakkan hand phone-nya di meja dan mendekat ke ranjang, kemudian ia duduk di kursi di samping ranjang tersebut.

"Kau sudah sadar rupanya." tanya Kira khawatir.

Si pemuda tersebut melihat bingung ke arah Kira setelah mengedipkan matanya berkali-kali. Dia mencoba membuka mulutnya membalas pertanyaan Kira.

"A-aku d-dimana?" sekarang balik ia bertanya pada pemuda berambut coklat itu dengan suara yang parau sambil memegang kepalanya yang masih terasa sakit dengan salah satu tangannya.

"Eh? Kau di rumahku." Balasnya pendek. 'Baka Kira, bukan itu maksudnya,' pikirnya. "Ano, etoo... maksudku, kau tadi pingsan di luar restoran kami lalu aku membawamu kemari, ke rumahku." Kira menjelaskan dengan senyuman di wajahnya.

"D-dan m-maaf aku mengganti bajumu tanpa permisi." Kira sedikit blushing setelah mengatakan hal itu.

Setelah mendengar penjelasaan Kira, pemuda tampan itu tidak langsung menjawab atau mengomentarinya. Matanya yang sedari tadi tertutup dan memperlihatkan warna emerald yang indah, mencoba menjelajah seisi ruangan di sekitarnya.

Kira memperhatikan kembali pemuda yang terbaring di ranjang, 'Dia masih sangat muda, mungkin seumuran dengan Cagalli?'

Tak berapa lama pemuda berambut biru itu mencoba untuk bangkit dari ranjang yang hangat dan tentunya lebih nyaman daripada lantai keras yang dingin dan basah di depan restoran Kira.

Sebelum sepenuhnya bangkit, Kira menghentikannya dengan meletakkan ke dua tangannya di bahu pemuda berambut navy blue itu.

"Istirahatlah dulu! Kau belum pulih benar." Kira memaksa, pemuda tersebut heran tapi segera menurut dan membaringkan dirinya lagi.

"Eng... kau lapar tidak? Tadi waktu kau tertidur, aku masak bubur dan sup ayam. Tunggulah sebentar, aku akan bawa – "

"Tidak perlu." pemuda tampan berambut navy blue tersebut memotong tawaran Kira.

Kira menaikkan kedua alisnya. "Eh... tidak bisa seperti itu kau pasti lapar setelah pingsan di bawah guyuran hujan seperti itu." Kira tersenyum hangat meyakinkan pemuda itu sambil bangkit dari kursinya.

"Kenapa?"

Kira menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya untuk menatap pemuda itu lagi. "Hah?"

"Kenapa kau mau menolong orang asing?" tanyanya, mata emerald-nya menatap lurus mata amethyst milik Kira.

Yang di tanya malah memiringkan kepalanya heran dengan polosnya. "Hmm... Apakah menolong seseorang membutuhkan alasan." Jawab Kira dengan senyumannya yang hangat, mendengar jawaban Kira tersebut si pemuda berparas tampan tersebut tidak dapat berkata apa-apa.

"Berbaring-lah dulu sejenak, aku akan segera kembali...ehm..." sang pemuda menatap bingung pada Kira, "Etoo... aku Kira, Kira Hibiki. Kalau kau? Ehm... kalau tidak keberatan sih.."

Sang pemuda tersebut agak terkejut tapi dengan cepat menyembunyikan reaksinya itu. Kelihatannya ia cukup kaget dengan pertanyaan Kira yang dirasanya tiba-tiba tersebut, sejenak ia terdiam lalu tersenyum kecil pada Kira, "A-aku A-ath ehm..A-alex."

Terdapat keraguan dengan jawabannya tersebut tapi Kira menghiraukannya dan menganggapnya angin lalu, mungkin karena dia masih lemas dan pusing. "Sou ka... Alex-kun ne? Yoroshiku."

~TBC


A/N: Maaf belum ada interaksi AsuCaga di chapter ini. Untuk judulnya, Leggi Alba (dalam bahasa Italia) yang artinya Red Dawn (dalam bahasa Inggris), saya pake google translate untuk menerjemahkannya, Maaf kalau salah, benar-benar nggak tau bahasa Italia. *pundung* Ternyata bikin Indo ternyata sama susahnya. *minum obat sakit kepala dulu* Please read and review. *bow*

Notes: [1] John F. Kennedy's famous quote ever. ^^

Many Thanks,

Nel.
Semangat. ^o^)9