Sesaat ketika bola mata Tao telah terbuka, kesadarannya masih berenang ke sana-kemari di angan-angan. Pandangannya mengedar ke seluruh sudut ruangan. Otaknya tidak peduli kenapa kamarnya terlihat seperti kapal pecah sekarang. Tao belum bisa berpikir. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya ia bisa tertidur pulas di atas lantai. Tubuhnya meronta ngilu ketika sendi tulang Tao bergemeletuk setelah sekian lama berada di posisi yang salah. Ia tidak mengerti kenapa lantai kamarnya sekarang terlihat begitu berkilau. Tao tidak tahu ternyata efek lentera fajar bisa sangat menyakiti syaraf penglihatannya. Apa yang terjadi kemarin?

.

.

How to Train Your Dragon

Kris & Tao YAOI fanfiction

Rated T (maybe M for later?)

Romance and Fantasy

I do not own anything except the story

Cerita ini hanyalah fiksi belaka, tidak ada hubungan dengan kehidupan yang sebenarnya

Warning: YAOI, BoysLove, Alternative Universe, Typo, EyD, bahasa non-baku, etc.

.

Tidak suka? Jangan baca!

.

.

Suara gaduh di kamar mandi membanting kesadarannya kembali. Tanpa dikomando, kakinya bergerak menuju ruangan lembab itu. Apakah tikus kemarin kembali masuk ke kamarnya?

Tao tidak menghiraukan puing-puing hancur dari dinding dan genting kamarnya yang ia pijak secara sembarangan. Pasti gerombolan rayap kurang ajar sudah mulai melancarkan aksi mereka merobohkan bangunan tua ini. Tidakkah mereka tahu Tao masih ingin tinggal di sini? Lihat saja hasilnya. Lantai berpasir, udara berdebu. Kenapa ia masih bisa tidur nyaman di atas pecahan semen tersebut?

Tangan Tao bergerak memutar perlahan. Gagang pintu kamar mandi sudah terbuka lebar menyembunyikan pemandangan di balik punggungnya. Pemuda berambut hitam panjang dengan tubuh tinggi terlihat di ujung kamar mandi. Dari sisi muka Tao, pemuda itu membelakanginya. Perban putih menguning tampak mengelilingi sekujur tubuh atas dan lengan kanannya. Pundak milik sang pemuda bergerak gelisah, seperti berkutat pada sesuatu. Siapa pemuda itu? Bagaimana ia bisa masuk kamarnya—apalagi kamar mandinya?

Ingatan Tao kemarin malam berputar kembali di matanya. Seketika adrenalin Tao mengalir secepat gemuruh. Oh, ya. Sosok naga hitam yang berubah wujud menjadi manusia tampan setelah ia obati tidak sengaja datang ke kamarnya kemarin. Sosok yang awalnya buas menatap keping kristal Tao, berubah penurut saat Tao berbalik mengelus kepalanya.

"Kau...?" ucap Tao tidak yakin saat tangannya menepuk pundak telanjang sang pemuda asing.

Brak!

Tao sekali lagi dibuat kaget olehnya. Reaksi tiba-tiba sang Naga hampir membuat jantungnya copot. Air mengalir begitu deras karena tangan pemuda surai panjang itu tak sengaja menyenggol keran shower ke atas, mengenai sebagian tubuh Tao maupun pemuda jelmaan naga tersebut.

"H-hei..." lirih Tao menyadari perubahan pada kulit pemuda asing di hadapannya.

Sisik seperti ular mulai menjalar dari ujung jari hingga ke lengannya. Kukunya memanjang, memasang kuda-kuda kalau saja sang manusia ingin menyakitinya. Matanya berubah waspada yang semula hitam menjadi merah api. Dengusannya mulai terlihat, merespon susunan tubuhnya yang berubah menjadi sosok lain.

Mengerti apa yang akan terjadi, Tao mengambil tindakan sama seperti malam kemarin. Ia menahan nafas sebelum mulai. Tangannya terulur ke depan perlahan, berhenti tepat saat telapaknya menyentuh benang halus hitam milik sang Naga. "Tenang. Ini aku, Tao. Manusia yang mengobatimu semalam," ujarnya tersenyum manis.

Tepukan yang sama. Masih membuat listrik mengalir cepat di ujung kulitnya. Mata merah si Naga membulat barang sedetik. Sayup-sayup warna bola kristalnya kembali normal, kulitnya kembali mulus seperti sedia kala. Naga itu membeo, "Tao?"

"Ya, Tao. Ingat saat sayapmu melemparku ke dinding? Aku masih manusia yang semalam."

Tao maju selangkah, mendekat dengan pemuda yang termangu diam di hadapannya. Ia tatap ekspresi blank sang Naga kemudian terkekeh. Kepalanya kembali tak selurus. Alis tebalnya naik salah satu. Tao kembali teringat air muka si Naga malam kemarin. Sungguh mirip. Mungkin masih dengan kasus yang sama; sang Naga tidak mengerti apa yang ia katakan.

"Ta—o," penggalnya seraya menunjuk dadanya sendiri. "Aku Ta—o. Tao. T-a-o. Kalau kau siapa?"

Hening. Sang Naga tidak menjawab.

"Nama. Namamu siapa?"

Perlahan air muka Kris berubah. Kepalanya berjengit kebelakang, kedua alisnya bertautan. Mulutnya sedikit mengerucut, entah kesal karena apa. Ia menggeleng kesal. Badannya bangkit, berniat meninggalkan Tao sendirian di kamar mandi.

Tao tidak tinggal diam, tangannya bergerak menahan si Naga untuk tidak pergi kemana-mana. Tao memposisikan tubuhnya sejajar dengan tubuh tinggi pemuda asing di hadapannya dan tetap menjaga kontak mata. "Aku hanya bertanya namamu, kenapa hanya mengatakan itu susah sekali?"

Rengutan yang ada di wajah pemuda berambut panjang semakin bertambah. Ia menggeleng cepat seraya mengibaskan tangan Tao dari pundaknya. Ia segera berbalik badan dan berjalan keluar ruangan asing lembab yang memiliki banyak barang aneh. Sekali lagi, tangan Tao menahannya.

Muka si Naga beralih menghadap Tao, dengan wajah yang tidak menyiratkan kepuasan, tubuh jangkungnya ia bungkukkan sedikit sambil melipat kedua tangannya. Kadua matanya memandang remeh. Melihat tingkah yang tak terdefinisi artinya, seketika Tao menghela nafas keras. Tatapannya tidak beralih dari mata granit pekat sang Naga. Ia tidak habis pikir kenapa untuk mengerti jalan pikir seorang siluman saja sudah serumit itu. "Aku harus bagaimana..." gumam Tao tidak sadar dalam bahasa mandarin.

"Apa?"

Penglihatan Tao kembali teralih pada bola kristal hitam itu. Keinginan untuk menundukkan kepalanya ia urungkan. Siapa yang berbicara?

"Huh?"

"Aku bilang, apakah kau mengatakan sesuatu?" Suara berat itu terdengar sekali lagi dalam bahasa yang sama rumpun dengan Tao.

Tao bisa memastikan bahwa bibir orang di hadapannya yang bergerak.

"Aku?"

"Iya, kau. Memangnya siapa lagi?"

Tao menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada siapa-siapa. Kemudian ia tersenyum maklum seraya berkata. "Ah, ya. Aku tadi sedang bingung—"

—tunggu, naga itu yang berbicara 'kan?

"Kau mengerti ucapanku?!"

"Hm."

Tao melemparkan tatapan tidak yakin kepada makhluk di depannya. Kenapa ia baru menjawab sekarang? Sedetik kemudian, Tao tersadar. Naga itu berasal dari China—menurut neneknya—dan barusan mereka berbicara menggunakan bahasa China. Kesimpulannya, naga itu hanya mengerti bahasa asal China, bahasa mandarin. Pantas saja dari tadi ia tidak menjawab. Tahu bahasanya saja tidak.

"Jadi kau tidak tahu apa yang tadi kutanyakan?"

"Tadi? Tidak," jawabnya tegas.

"Kau tidak mengerti bahasa Korea?" tanya Tao sekali lagi.

Kali ini salah satu alis tebalnya naik seinchi. "Bahasa Korea? Apa itu?"

Tao melongo. Namun kemudian ia segera menutup mulutnya dengan salah satu tangannya. "Bahasa Korea, bahasa yang tadi kugunakan. Tidak tahu, ya?"

Si Jelmaan menggeleng. "Tidak."

"Baiklah, karena kau akan tinggal di sini sementara, akan kuajari kau bahasa itu nanti." Tao tersenyum lembut sambil mengusap-usap kepala yang lebih tinggi darinya itu. "Tadi aku menanyakan namamu. Aku Tao, kau?"

"Aku..." Naga itu terdiam sesaat. "Wufan. Aku Wufan."

Senyuman di bibir Tao semakin merekah. Kedua tangannya menepuk keras. Akhirnya berhasil juga. "Wufan. Nama yang bagus."

Blush

Semburat merah mulai menjalari tulang pipi hingga ke telinga. Wajah si Naga terlihat tidak terlalu senang dengan pujian itu. Pandangannya teralih, badannya berbalik memunggungi Tao dan berjalan menjauh.

Lengkungan bibir Tao luruh sedikit. Ada apa dengan makhluk itu? Apa ada yang salah dengan kata-katanya? Tao mengendikkan bahu. Jalan pikir sesuatu yang bukan manusia memang berliku, susah dimengerti.

"Nah, sekarang, lebih baik kita membersihkan badanmu dulu. Aku ambilkan handuk kecil dan air hangat. Kau mau di sini saja apa di luar kamar mandi?" Tao berkata sambil menyamakan langkahnya dengan Wufan.

"Terserah."

Tao mengangguk mengerti. "Baiklah."

.

.

.

Dengan penuh rasa kesal, Tao menatap dapurnya yang berdebu. Bagaimana caranya ia masak kalau begini? Toaster untuk memanaskan roti—hal yang paling sederhana saja sudah tidak layak digunakan. Eh, bisa sih, tapi kalau Tao ingin sarapan dengan tambahan semen dan penyakit. Tao menghela nafas pasrah, sepertinya ia terpaksa mengajak Wufan untuk makan di restoran terdekat.

Tao mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamarnya. Semua pajangan dan bendanya sudah buram tertutup kotoran. Bahkan ada beberapa yang pecah berhamburan. Lihat ke atas, atapnya terbuka lebar dengan cahaya matahari menemaninya. Tao benar-benar perlu pindah kamar asrama setelah ini.

Tao berhati-hati berjalan mendekati Wufan yang sedang duduk diam membelakanginya di kursi meja makan. Melihat sosoknya yang tertimpa sinar oranye dari sisi yang berlawan dengan muka, membuat Tao tak sadar berdecak kagum. Punggung lebar yang terbalut kaos putih bersih, tulang belikat yang mencuat indah dari belakang pundaknya, keheningannya yang melingkupinya seolah-olah menjadikannya sosok misterius.

Barusan, Tao benar-benar kaget dibuatnya saat mereka membuka perban basah di tubuh Wufan. Lebar lukanya hanya tinggal sekepal tangan orang dewasa. Tao benar-benar terpana dengan kekuatan manusia ini. Kecepatan penyembuhan seorang naga memang luar biasa. Ia tidak perlu membebatnya dengan kain kasa lagi. Tinggal melipat rapi kain kasa kecil, lalu menempelkannya dengan plester steril di tempat yang terluka. Mungkin beberapa jam lagi luka itu sudah benar-benar sembuh. Tao baru mengerti kenapa kemarin Wufan bersikeras membuat Tao menjauhi lukanya.

"Wufan, sepertinya kita harus makan di luar kali ini. Dapurku tidak mungkin digunakan untuk membuat makanan. Bagaimana?"

Diam. Wufan tidak menjawab ataupun menoleh barang sedikitpun.

"Wufan?"

"..."

"Wufan...? Kau tak apa?" Tangan Tao menepuk pundak Wufan untuk sekedar mencari perhatian. Wajahnya ia longokkan menatap tertutupnya kedua mata Wufan.

Drak!

"Wufan!" teriak Tao kaget.

Ia tidak menyangka tepukannya berefek begitu dahsyat hingga membuat Wufan terjatuh dari kursinya. Bahkan sang kursi ikut terjatuh karena saking tiba-tibanya gerakan Wufan.

"Akh..."

"Kau tak apa?" Tao mengulurkan tangannya membantu Wufan bangkit dari lantai. Setelah Wufan berdiri tegak, Tao membantu Wufan menepuk-nepuk pakaiannya agar bersih dari debu. "Kau tidak apa-apa 'kan?"

Anggukan sebagai jawaban untuk Tao.

"Maaf. Aku tidak mendengarmu tadi. Kau bertanya apa tadi?" tanya Kris mengulang tanpa ekspresi. Tao yakin ia sempat melihat warna kemerahan dari keping mata Wufan.

Tao menatap aneh manusia di depannya. Tapi kemudian ia berusaha untuk tidak menghiraukannya dan mencoba lebih peduli dengan orkestra di perutnya.

"Dapurku terlalu kotor untuk digunakan. Kita terpaksa ke restoran untuk makan pagi. Kau mau?"

"Restoran?"

"Ya, restoran. Bagaiman—"

Dok dok dok!

"Taooo?!" Terdengar suara panggilan dari luar kamar.

Mata Tao memutar malas. Siapa yang ingin mengganggunya pagi-pagi? Dengan tidak sopannya pula. Kenapa pintunya harus diketuk keras seperti itu?

"Tunggu sebentar..." Tao berjalan menghampiri pintu kamar yang diketuk begitu sadis.

"Siapa sih..." Tao berucap setengah hati membuka pintu. "...Ibu?!"

Di hadapannya ada seorang wanita muda dengan wajah memerah. Beberapa orang pemuda mengikutinya dari belakang. "Oh, Ya Tuhan, Tao! Kau tidak apa-apa 'kan? Suara apa itu dari dalam kamarmu? Keras sekali!" Wanita yang dipanggil ibu atau ibu asrama oleh Tao segera memeluk erat anak kesayangannya. Matanya tak sengaja melihat runtuhan genting dan lubang besar di atas kamar. "Ya Tuhan... atap kamarmu runtuh?! Pantasan ada suara debaman keras sekali! Kau tidak apa-apa, Tao-ie? Tidak ada yang terluka? Kau tidak menghirup debunya 'kan?" tanyanya sambil bolak-balik mengecek seluruh tubuh Tao.

Diam, Tao hanya diam. Ia masih belum bisa memproses semua keterangan maupun pertanyaan yang diberikan oleh ibu asramanya.

"Suara keras...?" tanya Tao tidak mengerti. Tidak ada ledakan atau apapun yang bisa terdengar jauh ke tempat sang ibu asrama. Tao berada di paling ujung dari gedung ini, begitu juga sang ibu, kamarnya terletak di ujung depan gedung, seberang jauh dari kamar Tao. Hanya Wufan tadi yang bersuara keras karena jatuh dari kursi. Tetapi itu tidak mungkin. Bagaimana bisa suara jatuh kursi Wufan bisa sampai membuat orang seheboh ini?

"Woah, dude. Kamarmu benar-benar hancur," ucap seorang pemuda yang berada di samping sang ibu asrama. Ia mulai mencoba masuk ke tempat kejadian perkara. Namun secepat kilat tangan panjang Tao menjegal satu-satunya akses ke dalam.

Kalau temannya masuk, mereka bisa tahu tentang Wufan.

Sementara itu wanita muda yang tidak mau melepas kedua tangannya dari pundak Tao menatap anak asuhnya miris. "Tao-ie... maafkan Ibu yang sudah memberimu kamar tua renta seperti ini. Ibu tidak menyangka umurnya sudah berakhir sekarang. Ibu berikan kamar baru untukmu ya? Tidak jauh dari sini kok. Nanti ibu minta tukang untuk membantu memindahkan barang-barangmu."

Tao hanya mengangguk mengerti mengiyakan semua perkataan sang ibu asrama. Ia diam tak berkutik, tidak menambahkan informasi apapun maupun bertanya dari mana semua konsklusi itu. Dalam hati ia berdoa semoga wanita ini tidak melihat Wufan di dalam kamarnya. Ia belum menyiapkan alasan yang sangat logis jika saja sang Ibu bertanya.

Dengat lembut, tangan lentik khas wanita menepuk kepala Tao beberapa kali. "Sekarang biarkan dua office boy kita menyusun barang-barangmu untuk dipindahkan. Tukang yang lain sedang dalam perjalanan ke sini." Tangannya mengisyaratkan pemuda yang berada di luar untuk segera masuk ke dalam. Kemudian ia melanjutkan, "aku ingin lihat keadaan kamarmu sebentar," ucapnya sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Tao.

Oh, tidak.

Secepat mungkin Tao merangkul ibu asramanya. Ia berusaha mengubah arah jalan mereka menuju ke lorong luar. "Ah, iya. Bagaimana kalau kita lihat-lihat saja dulu kamar baruku, Bu? Siapa tahu lebih luas, ahahaha. Sekalian bantu aku ya, Bu. Aku ingin merubah susunan barang-barangku supaya—"

"Tao, siapa itu?"

Mati, aku.

Sedikit takut-takut, pandangan Tao dialihkan ke arah pemuda tegap di sudut ruangannya. "Dia—um—-temanku. Ya, temanku. Dia baru pulang kemarin dari China."

"Temanmu? Kau tidak bilang padaku kau membawa temanmu ke kamarmu, Tao?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Tao. Matanya masih tertuju pada punggung lebar Wufan dari balik kursi. Kristalnya menyipit memperhatikan pemuda rambut panjang itu.

"Em, itu. Aku takut mengganggu Ibu soalnya Wufan datangnya malam sekali. Ia tak sempat pesan kamar hotel. Kopernya salah masuk bagasi dan malah terbang ke Qingdao. Jadi... aku membiarkannya tidur di sini dulu."

Oh, Tuhan. Alasan macam apa itu?

Wanita bermarga Park itu mengangguk. "Begitu... siapa tadi namanya?"

"Wu-Wufan, Bu."

"Kenapa kau tidak memperkenalkan dirinya secara langsung padaku, Tao?"

Orang yang ditanya terpaku. Bagaimana ini?

"Um... baiklah." Tao langsung menghembuskan nafas pasrah setelah mengucapkan itu. Ia terpaksa memanggil Wufan menemui ibu asramanya. Apa manusia setengah naga itu bisa mengerti keadaan gentingnya seperti ini? Apa ia bisa berakting mulus untuk mengelabui Ibunya? Tao tidak mungkin membocorkan jati diri Wufan. Apa kata mereka kalau Tao berkata tiba-tiba ada naga besar masuk ke kamarnya. Mereka tidak semudah itu diberitahu.

Semoga saja Wufan bisa mengikuti skenarionya. Semoga.

Tao melangkahkan kakinya berat menghampiri Wufan. Detak jantungnya masih tidak teratur ketika Tao menepukkan tangannya ke pundak Wufan.

"Wufan?"

Orang yang dipanggil menoleh. "Tao? Dari mana saja?" Alisnya yang bertautan menyiratkan kegelisahan. "Kenapa banyak makhluk sepertimu di sini?" tanyanya dengan mata berpendar melihat orang lalu-lalang.

"Eum... mereka ingin membersihkan kamarku. Tapi itu tidak penting. Sekarang, aku ingin memperkenalkanmu dengan Ibu asramaku. Jadi katakan saja namamu adalah Wufan, dan kau adalah temanku dari China, oke? Aku mohon kali iniii saja," pinta Tao dengan mata berkaca-kaca bersama kedua tangan yang ia tangkupkan di depan wajah. Matanya lekat menatap setiap sudut Wufan berharap orang di depannya menunjukkan ekspresi luluh.

Wufan menatap Tao dengan mata membulat, walaupun dengan mulut tertutup, raut kaget terlihat jelas di wajahnya. Ia mengalihkan pandangannya ke samping sebentar, kemudian bergumam, "Baiklah."

Secercah cahaya menghiasi wajah Tao seketika. "Benarkah?"

"Tapi bagaimana kalau mereka menggunakan bahasa... apa? Korra? Korea? Ah, Korea. Aku tidak mengerti, Tao."

Oh, iya. Wufan hanya tahu bahasa Mandarin.

Tangan Tao menepuk pundak Wufan. "Tak apa. Aku nanti akan menerjemahkannya ke bahasa kita, oke?"

Wufan pun mengangguk. Gerakan sederhana itu membuat senyuman Tao semakin lebar selebar cakrawala.

Ia mengelus-elus kepala Wufan cepat; bermaksud menghargai bantuannya. "Ayo kita ke sana," ajaknya sambil menarik tangan Wufan.

Keduanya sudah sampai tepat di depan satu-satunya wanita di kamar ini. Masih tidak ada yang membuka suara. Tao sekedar memasang senyum gugup, sedangkan Wufan tetap dengan ekspresi datarnya.

Perlu diakui, tampang Wufan memang tampan. Lihat saja raut muka sang Ibu asrama saat melihat sosok Wufan secara keseluruhan. Rambut hitam pekat Wufan memang panjang, hal tersebut malah menambah nilai plus untuk kegagahannya. Gerak-gerik maupun mimik wajahnya yang diam, terkesan cuek namun tenang membuat sorakan di hati sang wanita berteriak kencang.

"Tampan sekali..." lirihnya tidak sadar. Tangannya bergerak tanpa perintah menutup mulutnya yang terbuka.

Awalnya Tao hanya terkikik geli menatap Wufan yang begitu risih dilihat terus-terusan oleh Shin Ah. Tatapannya terlalu berbinar-binar, bibir Shin Ah tak henti-hentinya mengucapkan ungkapan-ungkapan kagum. Jarang-jarang ia bisa seheboh ini.

Entah berapa lama mereka terdiam dalam keadaan seperti itu. Hingga sadar ketika rahang tajam Wufan semakin mengeras, gertakan gigi terdengar sayup, lalu iris matanya yang mengarah ke jendela mulai berubah warna, kekehan Tao luntur tergantikan rengutan.

Tao menepuk Wufan agak keras; mengalihkan kegiatan yang akan Wufan lakukan. Ia mengulurkan lengannya ke arah Wufan lalu merangkulnya halus. Ia dekatkan bibirnya dengan daun telinga Wufan kemudian berbisik, "Bukankah kau sudah berjanji padaku?"

Wufan membelenggu suaranya. "Aku tidak suka dia," balasnya dengan suara amat rendah.

Satu hembusan kemudian, Wufan sadar kalau Tao tidak senang dengan apa yang tadi diucapkannya. Ia terdiam melihat Tao melayangkan tatapan tak suka padanya. Tao mencoba mengangkat tangannya mendekati kepala Wufan yang tinggi. Tepat satu kali tepukan pelan di kepalanya, Wufan terdiam patuh. Semua bukti adanya naga di tubuh Wufan benar-benar kandas.

"Pintar."

Helaan nafas dari mulut Wufan terdengar sesaat setelah Tao bergerak menjauh.

Senyum kembali terukir di muka Tao. Namun tangannya tidak beranjak dari punggung lebar Wufan. Dengan suara cerianya, Tao berkata, "Nah, perkenalkan, Bu. Ini temanku, Wufan. Tapi maaf, bahasa Koreanya tidak begitu lancar. Jadi, aku akan menerjemahkan semua perkataannya."

Dengan sedikit tepukan di punggungnya, Wufan bersuara, "Halo. Namaku Wufan. Aku teman Tao dari China." Kemudian ia membungkuk karena tekanan telapak tangan Tao pada punggungnya.

Dalam hati Tao tertawa. Kata-kata Wufan terlalu kaku dan tidak lazim digunakan untuk seseorang yang sedang memperkenalkan diri.

Tao menarik tangannya dari punggung Wufan ketika Ibunya tersenyum membalas salam Wufan. Sepertinya tanpa diterjemahkan, wanita itu sudah mengerti apa yang Wufan ucapkan. "Annyeong, Wufan. Aku Park Shin Ah, sebagai pengurus asrama ini, salam kenal."

Tao menyikut pinggang Wufan saat pemuda di sampingnya itu mengabaikan bungkukkan badan Shin Ah. Walaupun dengan sedikit enggan, akhirnya Wufan menyambutnya juga.

"Baiklah, bagaimana kalau kita bercengkrama dulu di ruang tengah?"

Sebulir keringat menetes di pelipis Tao. "Ah, ya—"

Ting! Sebuah ponsel entah milik siapa berbunyi. Beruntung sekali.

"Tunggu sebentar," ucap Shin Ah sembari mengeluarkan benda imut dari balik kantung roknya. Ia berbalik badan memunggungi kedua pria muda tersebut. Ternyata milik Ibu asrama ponsel itu.

Tanpa disadari, Tao menghela nafas lega. Ia menarik-narik ujung kaos Wufan. Tepat saat Wufan berbalik ke arahnya, Tao tersenyum khas dan memberikan jari jempolnya ke atas menghadap Wufan. "Terima kasih," begitu bisiknya.

Selama beberapa detik, Wufan bungkam menatap ibu jari Tao yang terlihat manis. Tapi sesaat kemudian, ia tersenyum tipis membalasnya.

Deg.

Tao tidak mengerti kenapa sebuah senyuman bisa terlihat begitu indah. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya ke samping. Ia kesal seorang pria dengan elitnya bisa lebih tampan darinya. Bagaimana bisa ada sebuah senyum bisa telak mengalahkannya?

.

Keheningan kembali menghinggapi di antara Wufan dan Tao. Pemuda yang lebih pendek masih sibuk mengamati para tukang yang membersihkan puing-puing di lantai kamarnya. Mereka baru saja sampai. Sedangkan pria yang lebih tinggi menekan perutnya yang tiba-tiba mengeluarkan suara aneh.

"Tao."

"Ya?"

"Aku lapar," ujar Wufan tiba-tiba.

Tao menoleh. "Kita bisa makan setelah urusan kita dengan Ibu selesai, Wufan. Bersabarlah."

"Hm..." Wufan mengangguk kecil.

Tidak lama, satu-satunya wanita di kamar itu berbalik ke arah mereka dengan wajah sedikit tidak senang. Bibirnya mengerucut mengeluarkan gerutuan kecil entah untuk siapa. "Tao, aku ada urusan, mungkin agak lama. Apa kau masih perlu bantuanku?"

"Um..." Tao memasang wajah berpikir. "Aku cuma ingin bertanya, waktu aku pulang kuliah, Ibu tidak ada di asrama, ya?

"Huh?"

"Saat aku pulang asrama masih gelap. Di dalam juga sepi. Ibu pergi kemana?"

"Gelap? Apa maksudmu?" Raut bingung tercetak jelas di wajah Shin Ah. "Kau pulang pukul setengah enam lebih 'kan Tao-ie? Aku sudah di asrama satu jam sebelum kau pulang. Semua lampu sudah kunyalakan seperti biasa. Mungkin hanya perasaanmu saja. Aku menyapamu di depan kemarin, tapi kau malah nyelonong masuk begitu saja," ucapnya manggut-manggut seolah menerawang sehari yang lalu. "Sudah ya, Ibu pergi dulu. Sampai nanti, baby, Wufan. Baik-baiklah di sini!" kata si Ibu asrama sambil mengecup pipi tembam Tao cepat.

"...ha?"

Tao mengedipkan matanya beberapa kali.

Aneh.

Kalau satu jam sebelum Tao pulang, kenapa Shin Ah tidak menyadari ada makhluk besar jatuh di kamarnya. Ukuran sebesar itu pasti tidak membuat suara yang pelan. Seharusnya mereka dengar sesuatu saat Wufan jatuh. Kalaupun mereka dengar, mereka pasti akan berbondong-bondong datang ke kamar Tao dan menyadari adanya Wufan. Ini kenapa malah baru sekarang mereka datangnya.

Tao memperhatikan satu-satu office boy dan beberapa tukang yang mondar-mandir membawa berbagai macam alat. Mereka selalu siap sedia di asramanya. Kenapa tidak ada yang datang sekedar mengecek kamarnya saja kemarin saat ia masih di kampus.

Apa maksudnya sang Ibu menyapanya di depan lobi. Ia sama sekali tidak bertemu siapapun kemarin saat pulang.

Tatapan Tao beralih ke arah Wufan yang juga tengah menatapnya. Ekspresi horror Tao membuat Wufan mengernyit tak mengerti. "Kau kenapa?"

Apa yang terjadi kemarin?!

.

.

Tbc?

A/n: for all my dearest reader, thank you for reading. Seneng deh, pada suka ya;3 Ada yang tahu kenapa bisa terjadi seperti di atas tadi? Ehehe, selamat berspekulasi!

Saya mau sedikit klarifikasi... Katanya ff saya sedikit mirip/agak sama dengan salah satu ff ya? Well, itu murni sebuah kebetulan. Seperti yang saya sudah katakan, ff ini terinspirasi dari sebuah fanart yang ternyata fanart tersebut juga terinspirasi dari film dengan judul sama, How to Train Your Dragon. Film itu cukup terkenal jadi mungkin banyak idenya dari situ juga. Who knows? FF ini sudah saya rencanakan dari 3 bulan lalu tapi selalu aja ada kendala-_- Tapi saya pastikan ini bakalan berbeda. Beda dari filmnya sendiri (karena jujur, saya nggak pernah nonton filmnya) dan beda dari ff lain.

So, are you enjoy it? Are you ready to enjoy the next episode? Lol. Lemme know it from your review! Komentar, saran dan kritik masih saya tunggu loh ;))

.

Review rep for non-login member:
fyeahyaoi: ah~ makasih ya! Yes, sudah baca author note diatas kan? Emang terinspirasi dari situ^^. AnieJOY'ERS: yes, already. Hope you like it!. ajib4ff: yes, aku rasa Kris lebih cocok dengan rambut hitam kalau jadi naga.. ah kalau untuk Tao dia lebih unyu dengan rambut hitamnya;3 terima kasih ya! Sehat selalu untukmu juga!. Namechanyeolwu: indeed, they are so cute.. jinjja? Makasih sudah baca ini dan home tutor ya~~. Yui the devil: annyeong^^ ya, ini sudah update. Hope you like it!. Guest 1: ini sudah kok~ Kris dengan rambut hitam sexy juga kok ;). Albert said: because... Kris with long hair is freakin hot. Okeee terima kasih udah mau nunggu HT! Nado bangapseumnida~. Youngie: Tao emang lucky pake banget. Yes, they are cute indeed! Ini sudah kan?;) Guest 2: Aih, jinjja? Makasih yaa, ini lanjut deh.. Ya, Kris predebut itu kece~~

.

Special thanks to:

Mochi-kaasan,

chevalo, Aiiu d'freaky, paprikapumpkin, Shin Zi Tao, fyeahyaoi, Jaylyn Rui, miszshanty05, AnieJOY'ERS, Riszaaa, Xihun, ajib4ff, Volum48, Kazuma B'tomat, putchanC, Qhia503, hibiki kurenai, Namechanyeolwu, Baby ZiRen, Yui the devil, Guest, Azura Lynn Gee, Hanny TaoRis EXOtic, Albert said, autumnpanda, Shin SungGi, parkleestan, Jin Ki Tao, URuRuBeak, Irish Magenta, Youngie, Guest,

Pembaca yang mengalert maupun meng-fav ff ini,

And you! ;)

With all my love,

eLizxie Aire