Disclaimer © GUNDAM SEED / DESTINY by Sunrise

Warning: Typoo, OOC, kalimat ambigu, AU, AsuCaga x ShinnCaga, dan pair lainnya, alur kecepatan. dont like dont read

SOUL

.

.

By. Panda Nai

Chapter 10

Andai saja waktu bisa dikendalikan...

"Jadi, bisa kaujelaskan apa yang telah terjadi?" Mata Luna memandang lurus wajah Kira yang menatapnya dengan rasa sesal.

Kira menarik napas sejenak dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Mata ungunya memandang goresan awan pada langit yang telah berubah warna menjadi jingga. Hari akan berlalu, dan ia masih tetap diam dalam ruang OSIS meski Luna sudah memaksanya untuk buka suara perihal permasalahan yang terjadi.

"Kumohon, Kira. Ini sudah sore. Kautak perlu mengulur waktu lebih lama lagi. Aku tak akan menyerah sebelum kaumenjelaskannya padaku."

Mata Kira tertutup sepersekian detik. Luna yang keras kepala tentu tak akan melanggar ucapannya. Dengan perasaan enggan, ia tatap Luna yang berdiri tepat di hadapannya. "Luna, kau ingat saat kita berada di taman bermain yang berada tak jauh dari sekolah?" tanyanya dengan suara yang pelan.

Luna mengangguk. "Hm, saat aku tahu Stellar menyukai Shinn dan aku memintamu untuk menemuiku di taman itu sepulang sekolah. Lalu?"

Raut wajah Kira kontan berubah. "Lacus ada di sana."

Wajah Luna menegang. "Ma-maksudmu?" Suaranya bergetar memastikan bahwa apa yang telah mereka lakukan di taman membawa kesalahpahaman pada Lacus.

"Ya, Lacus melihatku memelukmu. Bahkan ia mendengar ucapanku yang mencintaimu."

Air mata mulai menumpuk, menimbulkan efek kabur pada penglihatan Luna. Jelas sudah. Pantas saja selama ini Lacus tak pernah berbicara atau menghampirinya. Dialah faktor utama penyebab keretakan hubungan Kira. "Kira, kenapa kaubaru mengatakannya?" Gadis itu mulai terisak akibat rasa sesak yang menyerang dadanya. "I-ini sudah sebulan. Selama itukah kau bertengkar padanya hanya karenaku?"

Kira berdiri dari posisinya dan beranjak menghampiri Luna. Merengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukan hangat. "Ini bukan kesalahanmu, Luna. Percayalah. Lacus hanya salah paham. Kami akan baik-baik saja."

Luna mengangguk dan melepaskan pelukan Kira padanya. Dengan linangan air mata, ia tatap wajah Kira yang tersenyum begitu tenang. "Aku akan membantumu menjelaskan semuanya pada Lacus. Bagaimana pun, ini sudah cukup lama. Dan kauada saat itu untuk menghiburku, Kira. Tak ada yang terjadi di antara kita."

Kira mengetuk perlahan kepala Luna. "Bodoh, hentikan air mtamu. Ya aku rasa hanya kau yang bisa meyakinkannya."

Luna menghapus air matanya. "Aku merasa kesal padamu karena menyembunyikan hal ini dariku. Kautak perlu menanggung semuanya sendirian, Kira."

Kira menyandarkan tubuhnya ke tembok, tepat di samping Luna. "Aku tak ingin membuatmu sedih. Kau sudah cukup terluka mengetahui fakta tentang Stellar yang mencintai Shinn. Aku tak sendiri, lagipula Fllay dan Shinn tahu permasalahanku," aku Kira sembari tertawa pelan.

Luna mengalihkan pandangannya ke arah Kira. Alisnya berkedut. "Shinn?"

"Ya, dia mencuri dengar percakapanku pada Fllay saat itu."

Srak! Dengan sigap Luna berdiri di hadapan Kira dengan wajah yang pucat. "Apa... Shinn mendengar semuanya?" tanyanya yang dijawab dengan sebuah anggukan oleh Kira.

"Shinn tahu tentang kesalahpahaman ini?"

"Ya."

Luna menarik napas panjang. "Jadi, dia tahu aku dan Stellar menyukainya. Lalu mengapa ia bersikap seolah-olah tak terjadi apapun?"

Kira sempat mengalihkan pandangannya dari Luna sejenak. Sorot matanya nampak sendu. "Untuk menjaga persahabatan antara kalian bertiga."

Air mata gadis itu pun kembali tumpah membasahi pipinya.

.

.

.

Cagalli yakin bahwa keputusannya untuk tak mempercayai apa yang ia dengar sewaktu hendak menuju atap sekolah adalah kebohongan. Ia yakin, bahwa dalam dunia tak ada hal mustahil seperti itu. Pertukaran jiwa. Jika memang ada, apa yang membuat kejadian itu begitu nyata? Mungkin itu hanyalah omong kososng yang dikarang Shinn untuk memisahkannya dengan Athrun.

Drrrttt...

Mata hazel itu menatap ponsel yang bergetar di atas meja belajarnya. Sebuah nomor tak dikenal menghubunginya. Apakah harus ia jawab?

Pik...

"Aku berada di luar rumahmu, hime."

Mata Cagalli membulat. Segera ia menuju ke jendela kamar dan membukanya. Bibirnya terkatup rapat saat melihat seorang lelaki berambut hitam dengan mengenakan seragam sekolah, berdiri di depan pagar rumahnya, memandanginya dengan ponsel yang melekat di telinga kirinya. Shinn Asuka...

"Dari mana kaudapatkan nomor ponselku?"

Athrun tersenyum mendengar suara Cagalli dari ponselnya. Gadis pirang itu berdiri tepat di hadapan jendela kamar yang terbuka, untuk melihatnya. "Aku tahu nomor ponselmu, Cagalli."

Cagalli mendecak kesal. Ia tahu maksud lelaki itu menghubunginya. "Dengar, aku tak tahu apa masalahmu. Tapi... aku tidak akan membiarkanmu memisahkanku dari Athrun."

Athrun terdiam. Ekspresinya berubah perih. Ia terkekeh pelan meski perasaannya tercabik karena ucapan Cagalli. Gadisnya benar-benar tak mempercayai usahanya.

"Kau memang sudah terpisah dari Athrun, Cagalli. Kau terpisah. Dariku."

Cagalli memutar bola matanya yang mulai terasa panas. Entah mengapa ia ingin menangis mendengar suara lirih Shinn. "Hentikan omong kosongmu. Tak ada pertukaran jiwa. Kau sengaja menyuruhku untuk menemuimu di atap sekolah hanya untuk mendengar rekayasamu dengan Lacus. Kau makhluk yang rendah karena berbohong."

Athrun tak akan menyangkal jika mata merahnya sudah mengeluarkan cairan bening yang siap mengalir dari kedua bola matanya. Sebegitu tak percayakah Cagalli padanya yang berusaha untuk menyadarkannya? Ya, harus ia akui. Bukan hanya ia yang berjuang untuk memberikan kebenaran pada Cagalli, di saat Shinn Asuka yang bersarang di tubuhnya dengan gencar membutakan mata gadis itu.

"Aku mencintaimu."

Kedua pasang mata hazel dan ruby itu menjatuhkan kristal beningnya. Cagalli menutup matanya saat hatinya bergetar tak karuan. Ini cobaan baginya. "Jangan mencoba. Aku masih memiliki Athrun di sisiku. Aku tak akan berpaling." Suaranya bergetar tanpa ia sadari.

Dan Athrun yang masih berdiri di depan sana hanya bisa tersenyum. "Apakah kau sangat mencintaiku?"

"Berhenti berkata konyol," cerca Cagalli. Sungguh ia tak mengerti jalan pikir lelaki ini. Mencoba mengacaukan perasaannya dengan permainan kata-kata.

"Maaf jika aku baru mengatakannya sekarang. Aku tak tahu harus bilang apa saat kau memutuskan untuk menjadi kekasihku setelah aku menciummu. Tapi sungguh, aku berterima kasih padamu."

Gadis pirang itu tertegun mendengarnya. "Kau tak pernah menciumku."

"Bukan aku yang sekarang. Tapi aku yang dulu. Aku... Athrun Zala yang sudah senaknya menciummu dan menjadikanmu kekasih tanpa menyatakan perasaanku padamu."

"..."

"Kau boleh saja bilang Shinn Asuka menguntitmu saat itu dengan Athrun. Tapi, pikirkanlah apakah ada orang lain selain kau dan Athrun saat itu?"

"..."

Athrun masih tersenyum memandangi Cagalli yang terdiam membisu. "Kau boleh tak percaya padaku. Tapi jika kau ingin mencariku dan membicarakan hal mustahil ini, kau bisa menghubungiku. Sampai jumpa."

Tangan Cagalli menggenggam erat ponselnya, dan semakin erat saat ia melihat Shinn berbalik arah, bersiap untuk pergi dari rumahnya. Sesaat sebelum sambungan telepon di antara keduanya terputus, mata Cagalli membelalak tak percaya mendengar ucapan Shinn yang kini sudah berjalan jauh, dan mulai menghilang dari pandangannya.

"Apakah kau benar-benar Athrun?" Isak tangis terdengar kala gadis itu tersungkur di depan jendela kamarnya yang terbuka. Hembusan angin malam yang menyerbu pun terasa lebih dingin dari biasanya, membuat hatinya meradang.

.

.

.

"Tuan muda, ada seorang gadis mencari Anda."

Shinn bangkit dari rebahannya saat pelayan pribadinya masuk ke kamar. Mata hijaunya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Siapa dan ada perlu apa mencarinya saat ini? Ia pun bergegas keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua.

Langkahnya melambat begitu ia melihat seorang gadis dengan rambut merah muda duduk manis di sofa ruang tamu. Ia tak tahu jika Lacus, kekasih sahabatnya, berteman dengan Athrun. Matanya memicing mendapati wajah kusut Lacus dengan mata yang sembab. Apa sesuatu terjadi?

"Lacus?" sapanya pelan.

Lacus mengangkat wajahnya untuk menatap Athrun. Ia lalu berdiri dan mendekat ke arah lelaki itu. Kemudian membawa tangan besar itu dalam genggamannya. "Apakah itu kau, Shinn?"

Shinn menatap tak percaya pada Lacus. Keringat mulai membasahi pelipisnya. Ia tepis tangan Lacus dengan perlahan. Mencoba untuk rileks, Shinn menghembuskan napas panjang. "Apa maksdumu, Lacus?" tanyanya seolah-olah tak paham.

Lacus mengulum bibir dan membuang wajah. Omong kosong jika saat ini Shinn berpura-pura tak memahmi ucapannya. Ia tahu semua yang terjadi meski sulit untuk percaya. "Kira memilih Luna."

Kening Athrun berkerut. Ah, ia tahu apa yang ingin dibicarakan Lacus padanya. Ia lalu memegang tangan Lacus, menyuruh gadis itu untuk mengikutinya menuju keluar rumah. Ia tak ingin pembicaraannya didengar oleh para pelayan.

"Kau yakin?" tanya Shinn yang masih berjalan menuju suatu tempat tak jauh dari rumahnya, diiringi oleh Lacus di belakang.

Lacus mengangguk ketika mereka berhenti pada sebuah lapangan basket. Mereka berdua duduk pada bangku panjang yang ada di sana. "Ketika Aku ingin menemuinya. Aku melihat Kira memegang wajah Luna, memandanginya dengan penuh kasih sayang."

Shinn mendengus kesal. Mau sampai kapan Kira membiarkan Lacus terjebak dalam kesalahpahaman. "Kau mencariku hanya untuk mengatakan ini?"

Lacus menatap Athrun dengan sayu. "Karena hanya kau yang bisa aku percayai."

"Orang asing sepertiku?"

Lacus memalingkan wajah Athrun untuk menatapnya. Mata gadis itu menyorot titik pandang terdalam Athrun. Memaksanya agar tak berkilah disaat ia tahu kenyataan yang ada pada dirinya. "Shinn... kumohon. Tak ada yang bisa kupercaya selain kau."

Shinn memejamkan mata dan menyentuh kedua telapak tangan Lacus yang berada di pipinya. Ia mengangguk, membiarkan dirinya mengalah demi Lacus. "Baiklah, kau ingin mengetahui kebenaran?"

Gadis merah muda itu mengangguk.

"Sebelum itu, siapa yang memberitahumu jika aku adalah Shinn?"

Lacus menjauhkan tangannya dan bergerak mundur dari posisinya. Kepalanya tertunduk. "Aku mendengar percakapanmu bersama Athrun saat di atap sekolah."

"Siapa saja yang mengetahui hal ini?"

"Hanya aku."

"Kau yakin tak ingin memberitau Kira?"

"Tidak."

"Lalu apa alasanmu ingin menemuinya di saat kau tak ingin melihatnya?"

Napas Lacus tercekat. Bibirnya terbuka. Tipis. "A-aku... aku hanya bingung dan butuh pendapat Kira tentangmu saat itu. Jadi aku."

Hh, Shinn mendengus kesal. Sahabat terbaiknya bisa saja menghancurkan impiannya. Mungkin ia harus bersyukur karena Lacus semakin salah paham pada Kira di saat gadis itu ingin membongkar apa yang ia tahu. "Kau percaya padaku?"

"Ya. Aku yakin, kau mengetahui sesuatu antara Kira dan Luna."

Dengan wajah serius, Shinn menatap intens Lacus, hingga gadis itu merasa tegang. Tanpa merasa bersalah sedikit pun, Shinn bergumam.

"Kira dan Luna sudah lama saling menyukai."

.

.

.

"Athrun."

Athrun yang sedang berjalan di sekitar lorong stadion menghentikan langkahnya saat mendengar Cagalli memanggil namanya. Gadis itu, dengan senyuman di wajahnya, berlari sembari membawa handuk kecil dan botol minuman ke arah Athrun.

"Kausengaja meninggalkannya?!" Gadis itu mengomel pelan dan mengambil ransel yang ada di bahu Athrun. Membukanya dan memasukkan barang yang ia bawa ke dalamnya.

Senyum samar menghiasi wajah Athrun. Ia tepuk kepala Cagalli hingga gadis itu mengaduh kesakitan. "Menurutmu?"

Cagalli mendengus lalu menyikut pelan lengan Athrun. Lelaki itu sontak tertawa. Ekspresi Cagalli sungguh membuatnya senang. Seperti ponsel yang tercharger penuh, lelaki itu nampak bersemangat.

"Cagalli."

"Ya."

Napas Cagalli memudar saat merasakan deru napas Athrun yang mengembus di wajahnya. Tubuh gadis itu condong ke belakang. Melihat Athrun yang ternyata mendekatkan diri padanya, sembari menahan tubuh gadis itu untuk tidak menjauh, dengan tangan kirinya yang merangkul pinggang ramping Cagalli.

"A-Athrun?"

Ucapannya terhenti ketika bibir Athrun menyentuh lembut bibirnya tanpa meminta persetujuan. Bisa-bisanya lelaki sial yang sebentar lagi bertanding ini menciumnya? Bersyukur hanya ada mereka berdua di tempat itu. Kalau pun ada, itu tidak akan jadi masalah bagi Athrun.

"..." Cagalli spontan menutup bibir dengan telapak tangannya. Sentuhan tiga detik mendebarkan jantungnya. Sorot matanya masih berusaha menelaah wajah Athrun. Gadis itu menuntut penjelasan ditengah kebingungan yang menerpanya.

Namuun bukannya menjelaskan, Athrun terlihat tersenyum dan kembali menepuk singkat kepala Cagalli. Lelaki itu beranjak meninggalkan Cagalli yang masih terpaku memandanginya.

"Aku mengambil hadiah kemenanganku duluan." Athrun berhenti beberapa langkah dan membalikkan tubuhnya menghadap Cagalli.

Dengan wajah yang merah padam, Cagalli mendesis kesal. "K-kau terlalu percaya diri! Ha-hadiah? Jangan bercanda. Kalau kau kalah, aku akan memukulmu dengan keras."

Kepala Athrun tertunduk dengan tubuh yang bergetar akibat tertawa geli. Ia pandang Cagalli yang memasang wajah kesal ala kepiting rebus itu. Telunjuknya bergerak menyentuh bibirnya.

"Kau boleh mengambilnya kembali jika tim basketku kalah bertanding."

"Bodoh."

.

.

Mata hazel itu terbuka memandang ke seluruh ruangan yang mulai diterangi cahaya matahari yang masuk melalui celah ventilasi kamar. Tubuhnya bangkit perlahan. Diusapnya mata, wajah serta rambut pirang acaknya itu. Kepalanya mendadak pening akibat kurang tidur. Bagiamana caranya tidur dengan nyenyak, di saat seribu tanda tanya menghantam keras otaknya? Napasnya terembus panjang dan pelan.

Ada senyum begitu ia teringat jika semalam ia bermimpi tentangnya bersama Athrun. Ya, mimpi indah yang menjelaskan awal mula mereka berhubungan. Athrun bodoh yang tak pandai menyampaikan perasaan melalui kata-kata.

Sungguh konyol baginya bila mengingat momen itu. Ia dan Athrun memang sudah lama saling menyukai. Selalu bersama. Bahkan interaksi yang mereka tunjukkan bukanlah yang menyatakan bila mereka hanya sekedar berteman. Ada rasa yang terselip di dalam. Hubungan mereka tak pernah jelas apa statusnya. Yang mereka tahu, mereka saling menyukai. Itu saja.

Namun ketidakjelasan itu seakan memudar seiring berjalannya waktu, ditambah dengan tindakan Athrun yang semakin menegaskan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka. Ya, Athrun si hamster yang tak bisa megeluarkan isi hatinya.

Aku mencintaimu.

Pupil mata Cagalli melebar saat mengingat serpihan memori saat ia bersama Athrun. Cagalli harusnya tahu bagiamana sifat Athrun. Pikirannya kemudian terfokus pada satu kejadian aneh yang ia dengar kemarin siang saat berada di sekolah. Jiwa yang tertukar...

Matanya memicing. Entah mengapa ia tak begitu menyadari perubahan sikap Athrun yang terjadi akhir-akhir ini.

"Athrun tidak akan... dia..." bibirnya mengerut. Dengan mata yang melirik ke sana ke mari, hingga akhirnya fokus pada sebuah ponsel yang berada tepat di sisi kirinya. Sebelumnya keanehan terjadi pada ponselnya, yang ia yakini sebagai kesalahan pada penglihatannya.

Wajah Athrun berubah menjadi wajah seseorang yang baru saja ia temui tadi malam. Shinn Asuka...

Tubuhnya terlonjak kaget efek ponsel yang bergetar. Sebuah panggilan masuk. Dari Athrun...

"Athrun."

"Kau sudah bangun, Cagalli?"

Cagalli diam selama beberapa detik. Ada keraguan yang tak bisa ia deskripsikan dalam dirinya saat mendengar suara Athrun.

"Ya, baru saja."

Athrun nampak menghela napas di seberang sana. "Kau ingat hari ini?"

Mata Cagalli teralih pada sebuah tanggalan yang ada di atas meja belajarnya, tepat di samping kiri buku-buku pelajarannya. Ah, bukankah hari ini mereka akan pergi bersama ke bioskop untuk menyaksikan film. "Tentu saja aku ingat."

"Lalu mengapa kaubaru bangun? Ini sudah pukul 9."

Cagalli mendengus meski raut wajahnya nampak datar. "Kaujuga belum berada di sini untuk menjemputku."

"Hh, baiklah. Kau menang. Segera bersiap. Aku akan menjemputmu. Filmnya akan ditayangkan tepat pukul 11 nanti."

Tak ada respon dari Cagalli. Gadis itu terpaku pada sebuah foto. Matanya kontan menajam. Sesuatu harus ia pastikan hari ini juga.

.

.

.

Shinn mengembuskan napas dan menyadarkan tubuh ke dinding kamarnya. Tangannya menggenggam erat ponsel usai menelepon Cagalli. Perasaannya mendadak tak nyaman. Entah mengapa Cagalli terdengar dingin merespon ucapannya. Apakah gadis itu marah? Sudahlah, tak perlu memikirkan hal itu sekarang.

Mata hijaunya memandang langit biru cerah yang dihiasi awan putih bersih, melalui jendela kamar yang terbuka. Ujung bibir tersungging, membentuk lengkungan tipis ke atas. Setitik rasa penyesalan muncul dari dalam dadanya, kala teringat Lacus yang terisak semalam. Sungguh kejam baginya, karena telah membohongi Lacus. Shinn hanya merasa tak bisa memikirkan cara lain untuk membantu Lacus, terlebih gadis itu mengetahui jati dirinya. Membantunya berbaikan dengan Kira hanya akan membahayakan dirinya. Dangan dalih mengamankan diri, ia membuat kebohongan pahit yang semakin menjauhkan Lacus dari Kira.

Ini semua demi dirinya. Ya, dan ia merasa tak bersalah sedikit pun akan hal ini.

Setidaknya, jika hanya Lacus yang mengetahui keberadaan dirinya yang sebenarnya, maka masalah sudah terselesaikan. Lacus tak akan mengancamnya. Begitu pikirnya.

.

.

.

Kira tak tahu apa yang lebih menyakitkan di hari minggu yang cerah ini. Dimulai dari bangun tidurnya. Ia terkejut membaca pesan singkat yang dikirimkan Lacus untuknya semalam. Tak pernah ia bayangkan Lacus akhirnya nekat mengakhiri hubungan mereka secara sepihak. Sebulam memendam amarah dan kekecewan membuat Lacus sepertinya yakin untuk mengakhiri hubungan yang sempat menggantung ini.

Kira memijit pelan pelipisnya. Rasanya baru kemarin ia meyakinkan Luna untuk tidak khawatir padanya. 'Kami akan baik-baik saja', omong kosong itu sekarang tak berguna lagi untuk menegarkan perasaannya. Mungkin ini kesalahannya yang sejak awal membiarkan Lacus tenggelam dalam kesalahpahaman antara dirinya dan Luna.

Yang ia tahu, saat itu Luna sedang menangis dan membutuhkan sandaran. Sebagai sahabat yang baik, tentu Kira akan menawarkan diri sebagai penenang Luna. Beberapa guyonan ia lontarkan. Bahkan dengan konyolnya ia berlagak sebagai Shinn dan menyatakan cinta pada Luna, hanya untuk membuat gadis itu kembali tersenyum.

"Aku tahu kaudan Stellar mencintainya. Dan aku juga tak akan tahu bagaimana sikap Shinn bila mengetahui hal ini. Tapi setidaknya untuk saat ini biarkan aku menghiburmu."

Kira menggenggam tangan Luna, membawa gadis itu untuk fokus menatapnya. "Anggap aku Shinn saat ini," bisiknya hingga gadis magenta itu terkikik geli.

Melihat Luna yang mengangguk sambil tersenyum membuat perasaan Kira menjadi lega. Semangat sahabatnya akan kembali seperti sedia kala. Dengan suara yang tegas. "Lunamaria Hawk, aku mencintaimu."

Kira tak pernah menyadari jika Lacus akan berada di sana mendengar ucapannya. Kira sadar Lacus tahu jika Luna menyukai Shinn. Dan Shinn sepertinya tak menaruh minat untuk memiliki hubungan yang lebih pada Luna, sahabat kecilnya. Tapi, Kira? Lacus tentu murka jika mendengar kekasihnya ternyata mencintai Luna di saat yang sedang krisis seperti ini.

Kira tertawa pelan dan memejamkan mata. Semua ini menjadi semakin rumit untuk dimengerti. Tidak hanya masalahnya dengan Lacus. Shinn sahabatnya sedang mengaku sebagai Athrun, didukung oleh Luna yang mengatakan bahwa jiwa mereka tertukar. Lalu kepanikan Stellar yang mendengar hal aneh ini.

"Apa yang harus kulakukan?"

.

.

.

"Kakak, apakah kau yakin ingin menemaniku pergi ke taman bermain hari ini?" Mayu nampak mengembungkan pipinya. Saat ini ia dan kakak tercintanya sedang duduk di meja makan, menanti sang ibu yang sedang membuatkan dua piring sarapan untuk mereka berdua sebelum pergi ke suatu tempat bersama suaminya.

Shinn menaikkan sebelah alisnya. Menatap Mayu yang masih canggung saat berinteraksi dengannya. Yah, berkali-kali ia menolak Mayu membuat gadis cilik itu sulit untuk menentukan caranya bersikap di hadapan Shinn agar suasana di antara mereka kembali lagi seperti dulu.

Shinn berdehem. "Kau ingin pergi sendiri?"

Mayu menggerakkan tangannya dengan cepat. "Bu-bukan begitu. Hanya saja, ini pertama kalinya kita jalan berdua setelah kakak sembuh." Wajah Mayu merona tipis.

Athrun tertawa renyah. Tak pernah ia rasakan begitu menyenangkannya memiliki seorang adik. Jika ia tahu, harusnya sebelum ibunya tiada, ia minta dibuatkan adik saja agar tak kesepian di rumah. Tangan Shinn menyentuh dan mengacak-acak rambut Mayu. "Anggap saja ini kencan kita berdua."

Mayu menutup mulutnya dan tertawa lebar. Nyonya Asuka yang datang menghampiri kedua anaknya ikut tertawa. "Hei, kalian ingin pergi bersenang-senang?"

Mayu mengangguk antusias. "Tentu saja. Kami tak akan kalah dengan Ibu yang akan pergi bersama Ayah."

Nyonya Asuka terlihat gembira mendengarnya. Ia lalu menatap putera sulungnya yang sudah menyantap sarapan yang ia bawa. "Shinn, apa kau masih merasakan sakit di sekitar tubuhmu?"

Shinn tersenyum dan menggerakkan tubuhnya ke kanan dan kiri dengan semangat membara. "Aku baik-baik saja, bu," ucapnya masih dengan senyum yang lebar. Hatinya terasa hangat. Interaksi yang terjadi pada keluarga Asuka sangat membuatnya iri. Andai saja Ayahnya, Patrick Zala tidak meninggalkannya dengan para pelayan untuk bekerja. Tentu saja kekosongan kasih sayang keluarga tak akan ia rasakan.

"Baiklah, omong-omong, Shinn. Semalam Stellar mencarimu."

"Benarkah? Aku tak tahu."

"Tentu saja kau tak tahu, kau belum pulang ke rumah saat itu. Hh, kau membuat ibu khawatir karena pulang terlambat dari sekolah."

"Maafkan aku bu. Aku pergi mengunjungi rumah seseorang setelah pulang sekolah."

Nyonya Asuka kembali ke dapur untuk membereskan alat yang ia gunakan usai memasak. Kepalanya menoleh ke belakang. "Sepertinya kau harus menemuinya. Wajah Stellar nampak tak bersemangat. Matanya juga sembab seperti sehabis menangis."

Gerakan Athrun sempat terhenti mendengar ucapan nyonya Asuka. Matanya menyipit. Apa yang terjadi pada Stellar?

TBC

Hai, panda kembali dengan updetan Soul. Maaf lama, dan terima kasih kepada semua yang sudah membaca, mereview, dan mengingatkan panda untuk mengupdetnya. Maafkan beberapa kesalahan di sini. Efek kaku nulis fic, jadi rasa nggak mulus. Lol...

Semoga masih berkenan membacanya.

Thanks to: Alyazala, Lenora Jime, Len Raikov, , MimiTao, dan silent reader lainnya. Love you all

salam