Bukannya nyelesaiin fic lain yang belum kelar, malah publish fic baru. Oke, ini saya persembahkan khususnya untuk Keluarga Besar "SasoSaku, Flamming Cherry Blossom". Guys, you are awesomely awesome xD Juga untuk para fans SasoSaku yang lain :D Juga untuk para fans fanatik Uchiha Yuki- /keburudibacok
Naruto (c) Masashi Kishimoto
I don't own the Picture
Pairing: SasoSaku, other slight pairings included
Warning: AU, OOC, drama, nyinet, dan warning lain-lain aja deh, ye /mendadakpusing/ Dan catat: super duper mega ultra annoying and antagonistic Sakura
Happy reading~
Rumah yang begitu luas itu tampak begitu sepi, sekalipun di dalam sana terdapat beberapa manusia yang menghuni. Interior dalam rumah berasiktektur modern itu tampak demikian tertata rapi dan mampu memberikan kesan elegan dan mewah bagi siapapun yang memandangnya. Tak hanya berbagai benda bernilai ekonomis dan seni yang tinggi yang bisa kau temukan di sana, namun juga beberapa kali kau akan berpapasan dengan orang-orang berseragam hitam dan putih yang berlalu-lalang di dalam rumah itu. Dan mereka akan otomatis menunduk, seolah menunjukkan respek secara tak lisan, ketika mereka melewati seorang lelaki yang tengah menyesapi coklat hangatnya di depan ruangan dengan sebuah televisi di depannya.
Kizashi Haruno tak akan merespon tundukkan hormat para pelayan rumahnya. Bahkan sepertinya, ia tak akan peduli sekalipun para pelayan 'istana'nya itu melewatinya begitu saja, tanpa menundukkan kepala. Ia juga mengacuhkan sepenuhnya televisi layar lebar di depannya, yang kini menampilkan iklan dari sebuah merk pencuci rambut. Karena perhatiannya tertuju penuh pada lembaran koran yang tengah terpegang oleh kedua tangannya. Matanya sibuk menelusuri tiap kata yang tercetak di sebuah halaman, yang menerangkan keadaan dan situasi dunia bisnis di negara tempat ia tinggal.
Ah, mengapa ia harus peduli? Bukankah apapun yang terjadi, bisa dipastikan bahwa perusahaan pribadinya pasti akan tetap duduk di tahtanya sebagai salah satu perusahaan eksklusif dan terbesar di Jepang?
Namun, hal itu tak berlangsung lama. Konsentrasinya seketika pecah karena kedatangan dua manusia di sampingnya. Menoleh, ia mendapati dua pelayan laki-lakinya tengah berdiri di samping sofa yang ia duduki. Dengan matanya yang berada di balik lensa sebuah kaca mata, Kizashi mengamati dua lelaki dengan setelan jas dan celana hitam itu seksama, seolah dengan tatapannya itu ia mengatakan, 'Ada apa?'
Kedua lelaki itu membungkuk singkat, pertanda hormat, sebelum salah satu lelaki menunduk setelah ia merapikan dasi hitamnya, "Tuan Haruno. Kami menyerah."
Terangkatnya sebelah alis Kizashi bisa terlihat bersamaan dengan ia yang dengan hati-hati melipat koran yang baru saja dibacanya. Lalu diberikannya sepenuh perhatiannya pada dua pelayan di depannya itu, seolah minatnya tentang perkembangan dunia bisnis yang tadi berada di pikirannya, hilang saat mendengar suara tegas namun penuh respek dari pria berambut coklat tua itu.
"Hm," gumamnya setelah beberapa saat terdiam, "Apa anakku berulah lagi?"
Dan Kizashi tahu bahwa jawaban atas pertanyaannya tadi adalah jawaban positif, ketika mendapati pria berambut hitam, pelayan satunya, berjengit kecil sebelum berkata dengan agak terlalu tergesa-gesa, "Bu-buka—"
"Ya, Tuan," si rambut coklat memotong jawaban si rambut hitam, membuat Kizashi menghela nafas dalam-dalam dan si rambut hitam yang menoleh ke arah temannya dengan pandangan tidak percaya, "Kali ini, Nona berusaha kabur dari sekolah. Saat kami berusaha mengejarnya di jalan raya, ia membuat Asuma tertabrak sebuah mobil dan kakinya sempat terkilir."
Kizashi melirik ke arah Asuma, dan mendapati pria berambut hitam itu tertunduk, secara tersirat membenarkan pernyataan temannya barusan.
Pria berusia paruh baya itu menghela nafas berat, seolah ingin mengenyahkan rasa sesak dan pening yang mengisi hati dan kepalanya.
"Tolong maafkan putriku, Asuma, Iruka," ucap Kizashi dengan tulus, terlihat dari pandangannya yang tertuju pada lantai, seolah menyimpan rasa malu untuk menatap dua dari pelayan yang disewanya sebagai pengawal pribadi putri kesayangannya.
"Tidak apa-apa, Tuan," jawab Asuma sembari membungkuk.
"Tidak, kali ini dia keterlaluan. Dia melukaimu," bantah Kizashi tegas.
"Kami memaafkannya, Tuan," jawab Iruka, "Tetapi, maaf. Izinkan kami untuk berhenti dari pekerjaan ini. Kami rasa… Kami bukanlah orang yang tepat untuk menjaga Nona."
Kizashi hanya terdiam dan memejamkan matanya. Ia berpikir, sudah berapa kali ia mendengar kalimat keputusasaan itu dari orang-orang yang dibayarnya untuk menjaga putrinya? 9? 12? Ah, tidak. Sudah mencapai 26 dalam 6 bulan ini.
Keterlaluan.
Kizashi membuka mata, dan mengalihkan pandangannya pada Asuma, mencoba berharap bahwa pria itu akan melakukan penyangkalan terhadap keinginan Iruka dan mengatakan bahwa ia masih sudi untuk mengabdikan dirinya.
Namun pria yang biasa merokok itu hanya menunduk.
Tak ada harapan.
Kizashi mengangguk-angguk pelan, seolah berusaha memaklumi keadaan ini. Memaklumi bahwa Iruka dan Asuma adalah manusia, seperti dengan mantan pengawal-pengawal pribadinya yang dulu telah mengundurkan diri dengan alasan yang sama. Bahwa sebagai manusia, mereka juga memiliki rasa lelah dan batas kesabaran. Dan saat batas kesabaran itu habis oleh ulah putrinya, maka mereka akan menyerah, tak peduli berapa besar uang yang disodorkan ke mereka tiap bulannya.
"Baiklah," ujar Kizashi lirih sembari tersenyum lirih, "Tunggu di sini sebentar."
Iruka dan Asuma mengangguk patuh bersamaan dengan Kizashi yang melangkah pergi dan meniti tangga, sepertinya menuju kamarnya di atas sana. Begitu sosok Kizashi sudah hilang dari penglihatan, Asuma segera menyikut keras pinggang kawannya, membuat Iruka memekik kecil karena sakit dan terkejut.
"Apa-apaan kau?!" protes Iruka tak suka.
"Kau yang apa-apaan?! Kenapa kau adukan pada Tuan Kizashi?!" kata Asuma lirih, berusaha menghindari kemungkinan bahwa Kizashi mampu mendengar ucapan mereka.
"Memang itu kenyataannya, 'kan?!" kata Iruka tak terima disalahkan, "Kau pikir aku harus merangkai kebohongan seperti apa untuk kita jadikan alasan agar bisa terbebas dari setan cilik itu, hah?!"
"Tetapi tetap saja, pasti Nona akan dimarahi Tuan," kata Asuma dengan nada dan intonasi yang merendah.
Iruka memutar bola matanya, pertanda muak akan sifat sahabatnya, "Nah. Lihatlah. Mengapa setan kecil itu amat manja dan menjengkelkan. Karena setiap orang sepertinya memang memperlakukan dan memikirkannya seolah-olah ia pewaris tahta kerajaan Inggris!"
"Berhenti menyalahkannya, Iruka. Nona masih remaja, wajar jika ia masih bandel dan nakal."
"Oh, ya? Kenakalan remaja macam apa saat ia dengan sengaja menggantungkan bangkai ayam di kamar pelayan Hana malam itu?"
"Yah….," Asuma menggaruk belakang kepalanya, tak tahu harus memberikan penyangkalan apa lagi.
"Lagipula, tenang saja. Toh Tuan Kizashi tidak akan berani bahkan untuk menyentil ujung jarinya," kata Iruka memelan, menyadari bahwa Kizashi telah tampak kembali dari ujung koridor tempat ia menghilang semula.
Iruka dan Asuma kembali sedikit membungkuk hormat melihat pria paruh baya itu kembali berdiri di depan mereka.
"Aku tulus meminta maaf pada kalian, terutama kau, Asuma," ujar Kizashi lirih sembari tersenyum lemah dan memandang kedua orang calon mantan pegawainya itu dengan pandangan penuh rasa bersalah.
Asuma menggeleng pelan, "Tidak, Tuan. Tuan tidak perlu meminta maaf seperti in—"
"Tidak," potong Kizashi cepat, "Jika sudah sampai membuatmu terluka seperti ini sih, bagaimanapun sudah keterlaluan."
Asuma yang hendak memprotes, mengurungkan niatnya. Ia menunduk, merasa bersalah karena membuat pria yang ia hormati itu merasakan perasaan yang sama padanya.
Terdengar helaan nafas berat dari lelaki berkumis tipis itu sebelum tangan kanannya terulur, menampakkan dua buah amplop coklat muda ke arah dua pegawainya itu, "Tak seberapa. Bukan bermaksud untuk membeli harga diri kalian karena ulah putriku. Hanya saja ini sudah menjadi kewajibanku kepada pegawaiku."
Iruka tersenyum lemah, "Tuan, tidak perlu. Kami yang mengundurkan diri, jadi jangan rep—"
"Sudah kubilang, ini kewajibanku, Iruka," potong Kizashi sembari semakin mengulurkan tangan kanannya ke arah mereka, "Aku tulus."
Meski nampak ragu, pada akhirnya perlahan masing-masing tangan kanan mereka terulur dan menerima tanda terima kasih dari majikan mereka tersebut.
"Terima kasih kalian sudah berusaha untuk menjaga putriku." Ujar Kizashi tulus, membuat Asuma dan Iruka semakin merasa bersalah karena harus mengundurkan diri dan menyerah terhadap tugas mereka.
Iruka, sekali lagi membungkuk hormat, "Pengalaman yang berarti bagi kami, Tuan," jawabnya tegas, namun masih belum mampu memberikan pandangan pada sosok di depannya.
"Sampaikan salam dan maaf kami pada Nona, Tuan," ujar Asuma menambahi kalimat sahabatnya.
Kizashi hanya mengangguk kecil dan tersenyum sebelum berujar, "Ya," secara perlahan.
Dan saat kedua orang di depannya telah pergi beranjak dari depannya, saat itu pula mereka telah secara resmi tidak terikat hubungan kerja apapun dengan Kizashi.
Dan saat itu pula Kizashi menghela nafas berat, memikirkan siapa lagi orang yang kira-kira bersedia menempati posisi yang ditinggalkan Asuma dan Iruka?
Masih adakah?
Sekali lagi helaan nafas berat terdengar, tapi kali ini mengiringi gerakannya yang melepas kacamatanya, "Sakura Haruno, awas kau," geramnya lirih sembari memijit-mijit keningnya yang semakin berkedut dari awal.
-oOo-
"Aku tidak melakukan apapun, Ayah! Mengapa kau tidak memercayaiku?!"
Sakura merasa amat frustasi dan jengkel. Bagaimana tidak? Hari ini rasanya bagai hari tersial dalam sejarah enam belas tahun ia hidup di dunia ini. Pertama, jam wekernya lupa ia set malam sebelumnya untuk membangunkannya –dan oh, kenapa si pelayan teledor Kurenai itu tidak membangunkannya!
Sebagai akibat, ia terlambat ke sekolah dan terkena hukum berdiri di depan kelas selama satu periode pelajaran. Heh! Dasar guru Sarutobi. Apa ia lupa ia sedang berhadapan dengan siapa?! Sakura Haruno, anak dari Kizashi Haruno yang memiliki pengaruh kuat di perekonomian maupun politik negeri ini!
Dan ketiga, setelah ia bela-belain menyelinap kabur dari sekolah setelah mendapat info dari butik langganannya bahwa terdapat sepatu anggun nan mewah yang dilelang di sebuah gedung di pusat kota, ia harus mendapati bahwa sepatu itu telah terjual dengan harga seratus dua puluh ribu yen!
Dan apa? Setelah merasa kecewa berat dan pulang ke rumah dalam keadaan lemas dan lelah, ayahnya sudah menghadangnya di pintu bagai singa lapar dan membentak-bentaknya!
Huh!
Lagian, salahkan Asuma dan Iruka, yang sempat menghalangi niatnya kabur dan membuatnya terlambat dan kehilangan sepatu itu!
"Bukan salahmu bagaimana?!" Kizashi membentak dan memberi pelototan matanya, "Kau tahu, Asuma dan Iruka adalah pengawalmu yang keduapuluh enam dalam enam bulan ini! Dua puluh enam, Sakura! Dan kau tahu apa juga? Mereka semua mengundurkan diri dengan alasan yang sama, yaitu kenakalan dan kekeraskepalaanmu! Demi Tuhan, aku tak menyangka jika kau masih bisa menyangkal semua itu!"
Alih-alih mendengarkan, Sakura hanya memutar bola matanya dengan bosan dan menguap lebar sembari masih terus menggeser-geser mouse dari laptopnya. Sebuah permainan tampak sedang ia mainkan dengan wajah bosan di depan laptop berwarna merah muda itu.
Dan tentu saja, sikapnya itu bagai menyiram bensin di api kemarahan Kizashi yang sejak awal telah berkobar.
"Sakura! Dengarkan ayah!"
Tak ada jawaban dan tak ada reaksi yang berarti bahkan sekedar menolehkan kepala untuk menatap sang ayah.
Dengan gemas, Kizashi lalu menutup layar laptop Sakura dengan sedikit bantingan, membuat putri semata wayangnya itu sontak mendongak menatapnya dengan terkejut.
"Dengar, Haruno," Nah, jika yang disebutnya adalah nama keluarga mereka, maka Sakura paham bahwa Ayahnya sedang tak memberi ruang baginya untuk berargumen, "Apa yang harus kulakukan?" ujar Kizashi dengan suara lirih penuh penekanan, "Semua ini kulakukan demi dirimu, Sakura. Kau tahu siapa kau? Siapa saja yang tengah mengincar dirimu di luar sana untuk kepentingan mereka? Kau tahu apa keuntungan yang bisa mereka peroleh jika mereka memilikimu? Dan kau tahu apa yang akan terjadi pada Ayah jika Ayah kehilanganmu?"
Sakura hanya terdiam. Saat melihat ke dalam bola mata ayahnya yang berwarna hijau emerald itu, Sakura seolah tersedot dalam putaran waktu yang kembali ke masa lalu.
Enam bulan yang lalu... Peristiwa dimana ia nyaris diculik oleh suruhan saingan bisnis dan politis Ayahnya. Entah apa yang akan terjadi padanya jika saat itu tidak ada Sasuke-kun yang bersamanya.
Dan mengingat itu, Sakura merasakan sesuatu yang nyeri yang terdapat dalam sini. Apa namanya? Menyesal?
Betapa bodoh dan keterlaluannya dia. Bertindak seolah dunia ini bagai dongeng dimana ia berperan sebagai putri yang senantiasa dipuja oleh rakyatnya. Tanpa sadar akan bahaya yang mengintai, tanpa peduli pada usaha Ayahnya yang berusaha melindunginya.
"A-aku...," suara itu terdengar bagai cicitan saat perasaan duka mulai menyergap di hatinya. Kepalanya menunduk, tak punya kuasa lagi untuk tegak menatap sang Ayah, "Aku tak tahu jika Asuma terluka."
Ah, dasar gadis manja dan keras kepala.
Kenapa kalimat yang keluar malah berbeda sama sekali dengan apa yang telah ia rangkai dalam hatinya?
'Maaf, Ayah,'
Entah, ia tidak ingat pernah ada seseorang yang mengajarinya untuk mengatakan kalimat tanda penyesalan tersebut.
-oOo-
Beberapa wanita yang kebetulan ada di tempat kejadian, langsung melirik dan menatap kagum saat pandangan tertumbuk pada warna perak itu. Beberapa bahkan telah memiliki pasangan, dan seolah terhipnotis bagai orang linglung, mereka terus saja menatapnya dan menghiraukan apa yang telah mereka punya.
Ah, wanita memang selalu suka pada barang dan apapun yang baru, bukan? Apalagi kalau 'yang baru' itu high quality begini...
Bunyi dari lonceng ganda kuning keemasan yang tergantung di atas pintu itu, terdengar saat tangannya yang memakai glove bewarna hitam membukanya. Seperti apa yang telah terjadi di luar, begitulah sejarah mengulang kisahnya. Para wanita memberi pandangan yang sama dan perhatian yang tidak berbeda.
Dan ia juga memberi respon yang sama, acuh seolah yang ada di hadapannya hanya lelaki berambut merah mudah keabu-abuan yang –ia lihat dan dapati, telah menantinya di bangku dekat jendela di depan sana.
Ah, jangan berpikiran yang bukan-bukan. Meski ia jarang terlihat dekat dengan wanita, bukan berarti bahwa Hatake Kakashi itu gay, lho.
"Yo, apa kabar?" sapanya kasual sembari menarik kursi berwarna putih tulang itu lalu mendudukinya, "Tak menyangka jika kau akan menghubungiku lebih cepat dari perkiraanku, heh? Kau tahu... Donasimu pada calon walikota tiga minggu lalu kupikir akan menyita perhatianmu untuk... yah, dua bulan ke depan."
Sedangkan sang lawan bicara hanya terkekeh kecil sembari menyeruput kopi yang setengah dingin di depannya itu. "Seperti biasa, kau nyerocos bahkan sebelum aku bicara, ya, Kakashi?" ujarnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya geli dan menaruh kembali cangkir itu di atas wadahnya semula, "Hah, dan kau benar. Masalah pemilu walikota itu benar-benar membuatku sempat frustasi."
"Sudah kubilang bahwa partai yang kau dukung itu tidak potensial, Kizashi," Kakashi menatap Kizashi dengan datar, "Tapi sudah kumaklumi sifatmu yang keras kepala itu."
Kizashi kembali tergelak kecil, "Meskipun aku tahu apa jawabanmu, tapi mencoba tidak akan membunuh, 'kan? Jadi, kau mau pesan apa? Aku traktir."
Tak ada suara Kakashi sebagai respon atas tawaran tersebut. Cukup dengan satu telunjuk kanannya yang menunjuk masker hitam yang dipakainya sudah menjadi jawaban yang jelas bagi Kizashi.
"Jangan-jangan benar dugaan Sakura kalau di balik masker itu, terdapat mulut monyong sepeti kuda," Kizashi kembali tergelak saat melihat raut sahabatnya itu tertekuk tanda tidak suka.
"Ayolah, katakan apa maumu. Kau tahu? Aku tidak mau lagi dikerjai oleh para mahasiswaku sendiri dengan menaruh penghapus papan di atas pintu saat aku terlambat datang. Kau tahu, harga diriku tercabik," potong Kakashi sembari mendramatisir dengan menaruh tangan kanannya di dada kirinya.
"Oke-oke. Meski aku tahu bahwa sekalipun aku tak mengajakmu bertemu, kau pasti akan tetap melakukan sesuatu untuk membuatmu terlambat minimal sepuluh menit, tapi ya sudahlah," Raut Kizashi yang semula tampak bersinar kini mulai mulai tampak muram, "Kau tahu, ini masalah putriku lagi."
Begitu mendengar kalimat terakhir Kizashi, Kakashi sontak menegakkan badannya yang semula bersandar santai ke kursi, "Kenapa? Apa sainganmu melukainya lagi?"
Kizashi menggeleng, "Bukan, tapi kau tahu Asuma dan Iruka, 'kan? Mereka baru kurekrut dua minggu yang lalu, tapi sekarang aku harus mencari pegawai baru lagi."
Kakashi menyandarkan dagunya ke telapak tangan kirinya yang bersandar di meja, "Anakmu itu manja dan tidak bisa ditebak apa kenakalan apa yang akan dilakukannya."
"Aku sudah mendengar hal itu darimu sebelumnya dan dari semua mantan pengawal Sakura," Kizashi makin menekuk alis sendu saat mendengar kalimat Kakashi.
"Lalu kenapa kau masih saja begini? Kau tahu, memberi kail itu jauh lebih berharga dan berguna daripada memberi ikan."
"...," Kizashi menatap Kakashi dengan pandangan tak mengerti.
Kakashi menghela nafas. Sepertinya kali ini ia akan terlambat mengajar lebih lama dari biasanya, "Lebih baik kau didik dia untuk lebih dewasa. Itu lebih berguna daripada memberinya pengawal."
"Menjadi dewasa itu tidak cukup untuk melindunginya dari bahaya. Anakku itu perempuan," bantah Kizashi kurang senang bahwa Kakashi secara tak langsung menyalahkan caranya mengurus putri semata wayangnya.
"Setidaknya dengan menjadi dewasa, untuk pertama kalinya kau bisa mempertahankan pegawaimu lebih lama dari sebulan."
"..."
"..."
"Entahlah," Kizashi menghela nafas berat sembari menyangga dahinya dengan telapak tangan kirinya yang bertumpu di meja. Raut frustasi campur bingung tampak jelas di wajah putihnya, "Entahlah Kakashi. Entahlah. Mungkin aku orang tua yang buruk. Entahlah," Kizashi terus menggumamkan kata-kata pesimis dan nyaris putus asa. Ia seperti telah tenggelam dalam dunia dan pikirannya sendiri, melupakan Kakashi yang masih duduk di depannya.
Kakashi menghela nafas berat. Oh, andai saja lelaki di depannya ini bukanlah teman lamanya yang dahulu pernah membantunya saat kesulitan...
"Aku tidak berjanji tapi...," Kakashi menunggu untuk menatap mata Kizashi yang kini telah menegakkan kepalanya untuk melihatnya, "Akan kuusahakan untuk berbuat sesuatu untuk membantumu."
Yah, mungkin sekaranglah saatnya norma untuk membalas budi itu datang padanya.
-oOo-
Pagi itu matahari bersinar cerah. Musim semi baru saja membuka mata. Harumnya embun yang membasahi tanah dan tetumbuhan terasa menyegarkan paru-paru saat kau menghirupnya. Oh ya, tak lupa dengan suara-suara cicitan burung-burung di pepohonan sekitar.
Setting tempat adalah SMA Haruno, sebuah SMA swasta yang cukup terkenal di seantero Jepang. Sesuai dengan namanya, kalian pasti tahu siapa pemilik SMA yang bulan kemarin beberapa muridnya baru saja menyabet medali emas dari lomba sains tingkat murid SMA se-Jepang. Oh, pintar-pintar? Tentu saja. Yang merasa nilai akhir SMP-nya di bawah standar, silahkan mundur teratur.
Ah ya, jangan lupakan soal fakta mengenai biaya. Meski SMA ini setiap tahunnya tak segan-segan mengucurkan dana besar untuk beasiswa, tapi tentu saja masih susah. Karena syarat untuk mendapat beasiswa itupun kau harus menjadi juara pertama di kelas. Dan bisa kau bayangkan betapa ketatnya persaingan menyabet titel itu dengan kompetitor yang sama hebatnya.
Ah, kembali lagi.
Pagi ini nampak begitu cerah dan ceria. Jam masih menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, tapi halaman sekolah telah nampak ramai dengan kumpulan murid-murid yang menuju kelas masing-masing. Canda dan tawa saling terlempar disana-sini. Obrolan-obrolan dari yang serius semacam kondisi politik di Jepang, hingga gosip tak penting mengenai selebritis, terucapkan di sana-sini.
Pokoknya ramai.
Tapi keramaian itu sontak terhenti saat terdengar suara deruman dari arah gerbang sana.
Bagai sebuah drama remaja yang penuh dramatisasi di ceritanya, para murid itu menoleh ke arah asal suara. Dan sontak mereka membelalak hingga andai bisa, mata mereka akan meloncat keluar dari kelopaknya.
Oh, siapa yang tidak demikian jika di depan matanya terdapat sebuah Bugatti Veyron sedang melaju dengan semua kemewahannya? Mengapa ada mobil semewah dan semahal itu ada di sekolah ini? Seumur-umur, paling banter mobil bagus yang pernah masuk kawasan ini paling golongan Ferrari atau Limosine. Tapi ini...
Di lapangan parkir khusus siswa, mobil itu berhenti. Makin tersontak dan terpakulah yang lain mendapati kenyataan itu. Siapakah kira-kira murid yang mengemudikannya? Murid barukah?
Pintu mobil itu terbuka. Angin berhembus lirih dan seolah-olah waktu berjalan melambatkan diri. Pandangan mata masih belum teralih. Mulut yang setengah membuka terkejut, belum juga menutup kembali.
Ya, semua penuh dramatisasi.
Tapi begitu melihat ada semburat warna merah muda yang menyembul keluar dari dalam mobil itu, semua terjawab sudah.
Sakura keluar dari mobil teranyar dan termahal di pasaran dunia tahun terkini itu, yang baru dibelinya tepat dua hari yang lalu. Setelah menekan tombol alarm pada kunci mobil berwarna hitam metalik itu, ia kemudian berbalik dan mulai melangkah.
Semua mata masih memandangnya, seolah-olah para pemilik mata itu tengah terhipnotis oleh pemandangan di depannya. Bukan, Sakura bukanlah murid baru di sekolah yang didirikan Ayahnya itu. Namun tetap saja, Bugatti Veyron itu membuat pandangan mereka kini tertumbuk antara Sakura dan mobil barunya.
Sakura melangkah dengan ceria, sesekali melompat-lompat kecil dengan riang. Sebuah tas selempang berwarna merah muda, tampak terayun-ayun ringan dari tangan kirinya.
"Hai, Shion-chan!" Ia melambaikan tangan dengan riang ke arah seorang gadis.
"Oh, Ryuu-kun, terimakasih atas pujiannya di sms kemarin, ya!"
"Ohayou juga untukmu, Hana-chan!"
"Ah, maaf tak sempat membalas emailmu waktu itu, Shirou-kun!"
Sakura Haruno. Putri dan pewaris tunggal dari keluarga besar Haruno.
Seorang gadis remaja yang seolah hidupnya bagai dongeng yang menjadi kenyataan.
Cantik. Kaya. Punya banyak teman. Manis. Ceria. Nyaris mary sue. Tapi siapa yang bisa menyalahkan kenyataan? Toh memang seperti itulah dia.
"Jidat!"
Sakura menoleh dan seketika mendapati seorang gadis berambut pirang yang tengah berkacak pinggang di koridor sana.
"Hai, Ino," Sakura melambaikan tangannya riang dan menghampiri Ino, "Wah, tumben kau berangkat pagi sekali."
Gadis yang bernama Ino itu memutar bola matanya, "Hei, kalimat itu berlaku juga untukmu, tahu?!" Ino kemudian sedikit memiringkan kepalanya, menatap Sakura dengan pandangan penuh tanya, "Lagipula... Apa-apaan itu? Mobil baru lagi? Ferrari Enzo-mu sudah masuk gudang?"
Sakura tertawa sembari melirik ke arah di mana mobilnya berada. Di sekitar mobil itu, telah terdapat murid-murid sekolahnya yang dengan katroknya, tengah mengerubuti mobil itu.
"Ah, ini hadiah dari Ayah, kok," Sakura kembali menatap Ino sembari tersenyum lebar, "Karena kau tahu apa? Karena aku telah tidak terlambat masuk sekolah selama dua minggu berturut-turut! Yay!"
Sakura tersenyum lebar sembari mengacungkan jari kanannya, membentuk tanda peace. Sedangkan Ino melengos, "Hadiah untuk alasan macam apa itu?"
"Hei! Dasar kau. Susah tahu, bagiku untuk tidak bangun telat!" ujar Sakura sembari merengut.
Ino mendesis, merasa sedikit terganggu dengan sikap kekanakan dari sahabat lamanya itu. Tak peduli sudah berapa lama mereka bersahabat, tetapi entah mengapa terkadang ia merasa sensi saja dengan gadis di depannya ini.
Cemburu terhadap kehidupan Sakura yang sempurna?
Mendapat pemikiran seperti itu, Ino menggeleng lirih, berusaha mengenyahkan pemikiran itu dari otaknya.
"Ngomong-ngomong, kau sendiri? Mana Asuma dan Iruka?" tanya Ino memulai pembicaraan kembali, berusaha menyingkirkan apa yang barusan dipikirkannya, "Kasihan, kudengar si Asuma kemarin kakinya terkilir saat berusaha mencegahmu kabur," ujar Ino sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling mereka, berusaha mendapati dua figur familiar yang biasanya ngintil sahabatnya kemana-mana.
"Mereka sudah dipecat," ujar Sakura santai dan wajar.
Ucapan Sakura, sontak membuat kepala Ino bergerak cepat dan menatap warna emerald itu dengan terkejut, "LAGI?!"
"Hah?"
"Apanya yang 'hah', Jidat?!" tanya Ino dengan nada tak percaya, "Tiga minggu yang lalu si Ibiki mengundurkan diri juga. Satu bulan tiga minggu yang lalu si Kabuto malah menghilang begitu saja. Dan bagaimana dengan yang lain?! Dan apa-apaan ekspresi ini?" Ino menunjuk ujung hidung Sakura, "Kau sama sekali tidak merasa bersalah, ya?"
Dengan sewot, Sakura menepis telunjuk Ino dari hidungnya, "Kenapa kau yang sewot? Sudah cukup aku diceramahi Ayahku, aku tak mau mendengar ceramah lagi pagi-pagi begini, APALAGI darimu," ujar Sakura sembari cemberut kesal.
Ino menghela nafas berat, "Kau ini... Benar-benar ya...," gumamnya lirih, "Lalu siapa lagi yang menjadi pengawal barumu, heh, Nona Putri?"
Sakura mengendikkan bahu, "Entahlah. Lagipula aku tak begitu perlu, aku sudah mampu menjaga diriku sendiri, kok."
"Apa?!" sahut Ino keras, "Lantas mengapa kau sempat diculik oleh saingan bisnis Ayahmu waktu itu?!"
"Itu karena mereka membiusku saja! Coba kalau tidak, aku pasti sudah mampu melawannya," jawab Sakura yakin sembari mulai melangkah menjauh, "Lagipulaaa... Salahkan saja Asuma dan Iruka yang telat menjemputku ke sekolah! Rasain sekarang dipecat!"
Ino Cuma menggelengkan kepala heran menatap sahabatnya yang masih terus mengoceh mengenai kualitas kerja mantan pengawalnya itu.
"Setidaknya sedikitlah merasa menyesal," ujar Ino ketika ia mulai menyejajari langkah sahabatnya, "Semua orang yang sayang sama nyawa pasti juga akan undur diri dari pekerjaan menjadi pengawalm—"
Ucapan Ino terhenti begitu lengannya ditarik paksa oleh Sakura hingga mereka kini menepi di tembok di tikungan koridor.
"Apa sih?" tanya Ino heran.
Sakura menoleh menatapnya.
Dan Ino harus menelan ludah saat terdapat seringaian yang jauh dari image inosen dan childish yang selalu ditampakkannya, "Waktunya balas dendam."
Belum juga Ino mengerti apa maksud Sakura, tiba-tiba gadis berambut merah muda unik itu telah menjulurkan kaki kirinya ke depan.
BRUKH.
Suara debuman khas benda jatuh terdengar mengikuti tersungkurnya seseorang di depan kaki Haruno muda itu.
"Heh," Sakura menyeringai kecil, menatap rendah sembari melipat tangannya di depan dadanya, "Rasain," gumamnya lirih.
Sedangkan objek yang menjadi pandangan Sakura dan Ino perlahan mulai bangkit. Mengelus-elus sebentar telapak tangan kanannya yang terlihat tergores permukaan kasar lantai, untuk kemudian memungut beberapa buku yang berserakan di sekitarnya.
Dan tanpa berbicara atau sedikitpun menoleh, orang itu melanjutkan langkahnya kembali. Kali ini sambil menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya di balik poni tebal yang menutupi ekspresinya. Kedua tangannya memeluk erat buku-buku di dadanya, sembari kedua kakinya melangkah agak terburu-buru seolah dikejar sesuatu.
"Kenapa kau lakukan itu?" tanya Ino sepeninggal orang tadi.
Sakura menghembuskan nafasnya keras-keras, hingga beberapa helai rambut yang jatuh di sekitar dahinya terhembus pelan, "Cewek aneh dan nyentrik yang suka caper terhadap guru," gumamnya sembari berbalik dan mulai melangkah pergi, "Pantas mendapatkan itu, Hyuuga Hinata."
-oOo-
Kakashi melangkah pelan menyusuri koridor lantai dua fakultas. Sesekali tangan kirinya mengelus lirih pelipis kirinya yang terlihat berwarna biru lebam dan memar.
Hah, sudah ia duga, pasti para mahasiswanya tidak akan membiarkannya masuk kelas dengan damai tanpa perlu untuk memberinya sedikit 'kejutan' karena terlambat nyaris... 1 jam.
Berbicara tentang keterlambatannya, dosen mata kuliah etika kedokteran itu seketika menghela nafas, teringat akan alasan mengapa ia terlambat.
Kizashi dan putri tunggalnya.
Mungkin terdengar alasan yang sepele karena itu toh, bukan keluarga kandungnya. Terlebih, harusnya Kizashi mampu mengatasi problem keluarganya sendiri. Jikapun tidak, mengapa tidak konsultasi ke psikolog atau siapapun yang lebih ahli dan pengalaman di bidang permasalahannya itu?
Bukan seorang dosen Fakultas Kedokteran seperti dirinya.
Tapi bagamanapun juga, Kizashi tak bisa disalahkan sepenuhnya, 'kan? Menjadi seorang single parent tidaklah mudah. Ia harus kehilangan istrinya semenjak putri tunggalnya lahir. Tak heran jika ia sangat menyayangi dan memanjakan Sakura, karena memang Sakura adalah satu-satunya keluarga yang dia punya, dan satu-satunya bukti hidup bahwa dulu pernah terjalin kisah cinta antara dirinya dan istrinya. Lagipula, bukankah memang keinginan semua orang tua untuk membahagiakan anaknya? Sekalipun sadar atau tidak bahwa jalan yang ditempuh untuk itu sedikit keliru...
Ah, memikirkan apa Kakashi ini. Darimana dia bisa menilai Kizashi keliru dan sebagainya sedangkan ia pun tak punya pengalaman sama sekali dalam hal ini?
Hm, lagipula, ia terlanjur berjanji pada sahabat masa kuliahnya itu untuk membantunya.
Tapi bagaimana?
"Mendokusai...," ujarnya lirih, lebih mengarahkan kata itu kepada dirinya sendiri daripada kepada Kizashi.
JLEB!
Sontak Kakashi menghentikan langkahnya begitu ia mendengar suara itu.
JLEB!
Terdengar lagi, kali ini lebih keras tanpa ada suara langkah kakinya yang sempat terdengar di koridor yang sepi ini.
JLEB!
Kakashi menoleh ke arah sumber suara. Sepertinya dari dalam sebuah pintu berwarna coklat tua yang ada tepat di sampingnya.
Kakashi menaikkan sebelah alisnya pertanda heran.
Bukankah ini ruang klub karate?
Perlahan, ia memegang dan memutar kenop pintu itu. Tak dikunci. Sehingga ia dapat dengan mudah sedikit membukanya perlahan.
Ia melongokkan sedikit kepalanya ke dalam, bermaksud untuk melihat apa sebenarnya yang tengah terjadi di dalam sana.
JLEB!
"HOAH!"
Sontak ia melangkah mundur saat sebuah panah dart mendarat di tembok dekat pintu, tepat di posisi di mana kepalanya tadi barusan melongok ke dalam.
Jantung Kakashi berdegup kencang sembari satu tetes keringat dingin mengucur dari dahinya. Pandangan matanya mengarah ke depan, menangkap warna merah terang saat pintu coklat itu telah membuka sempurna akibat kekagetannya barusan.
Di sana, di depan papan dart yang telah tertancapi beberapa panah kecil, berdiri seseorang yang kini tengah menatapnya dengan raut tidak suka.
"Ne, Sensei? Kupikir kau membaca tulisan di kertas yang tertempel di pintu bahwa selain anggota, dilarang masuk?"
Demi Tuhan! Kakashi hanya sedikit melongokkan kepala!
-oOo-
Saya ga bisa update cepet. Huiks :'(
Comments and criticisms are wholeheartedly appreciated
Thank You
Yukeh ketjeh